BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

HUBUNGAN PRAKTEK PENCEGAHAN PENULARAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JENGGOT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

Prevalensi pre_treatment

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

5. Manifestasi Klinis

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto terbentuk/lahir sejak tahun 1928 yang

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

Pasal 3 Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN PADUKUHAN KRATON KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Pengertian Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut (Depkes RI, 2009c). 2.1.2 Gejala Klinis Filariasis Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi Wuchereria bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009d).

2.1.2.1 Gejala Klinis Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009d). 2.1.2.2 Gejala Klinis Kronis A. Limfedema Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal. B. Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan

dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar. C. Kiluria Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan. D. Hidrokel Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut : 1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi. 2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus. 3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih.

4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2009d). 2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema Limfedema terbagi dalam 7 (tujuh) stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita. Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut : 1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai. 2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema. 3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus.

Tabel 2.1 Stadium Limfedema Gejala Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 1. 2. Bengkak di kaki Lipatan kulit Menghilang waktu bangun tidur pagi Menetap Menetap Menetap Menetap, meluas Tidak ada Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam, kadang dangkal Menetap, meluas Dangkal, dalam Menetap, meluas Dangkal, dalam 3. Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadangkadang Kadangkadang Kadangkadang 4. Mossy lesions*) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadangkadang Hambatan berat Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ya *) Gambaran seperti lumut Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis (Depkes RI, 2009) 2.1.4 Diagnosis Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008) : 2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/PCR).

2.1.4.2 Radiodiagnosis Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. 2.1.4.3 Diagnosis Imunologi Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis brugia. 2.1.5 Patogenesis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis

tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009d): 1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut: a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri, yaitu : (1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe. (2) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe

(3) Adenolimfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe. (4) Abses (5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis. b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan lain-lainnya. 5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting). 2.1.6 Epidemiologi Filariasis 2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang (Person) Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Pada tahun 1997, diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia dibawah 15 tahun (Chairufatah, 2009). Penelitian Juriastuti dkk (2010) di Kelurahan

Jatisempurna ditemukan penderita filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin lakilaki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak berisiko (71%). Menurut penelitiaan Soeyoko dkk (2008) di Kabupaten Bonebolango ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan petani (54,3%), berpendidikan rendah (68,6%), berpengetahuan kurang (58,6%), dan berpenghasilan rendah 80%). 2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat (Place) Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis Wuchereria bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Depkes, 2009a). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang) (Kemenkes RI, 2010b). Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk

(2011) responden tinggal diperkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan tinggal dipedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan dibandingkan orang yang tinggal diperkotaan. 2.1.6.3 Distribusi Menurut Waktu (Time) Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007 kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699 kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah penduduk) (Kemenkes RI, 2010b). 2.1.6.4 Determinan Filariasis A. Faktor Agent (Penyebab Filariasis) Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal (Depkes RI, 2009a).

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Depkes RI, 2009a), yaitu : 1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes. 3. Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. 4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.

6. Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009a). a. Makrofilaria Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. b. Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.

Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa No Karakteristik Wuchereria bancrofti Brugia malayi Brugia timori 1. Gambaran umum dalam sediaan darah Melengkung mulus Melengkung kaku dan patah Melengkung kaku dan patah 2. Perbandingan lebar dan 1 : 1 1 : 2 1 : 3 panjang ruang kepala 3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna 4. Ukuran panjang (µm) 240-300 175-230 265-325 5. Inti badan Halus, tersusun rapi Kasar, berkelompok Kasar, berkelompok 6. Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2 7. Gambaran ujung ekor Seperti pita ke arah ujung Ujung agak tumpul Ujung agak tumpul Sumber : Epidemiologi Filariasis (Depkes RI, 2009) c. Larva dalam Tubuh Nyamuk Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 10 pada spesies Brugia atau hari 10 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 mm x 20 mm. Larva stadium

3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif. B. Faktor Host 1) Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2009a). 2) Jenis kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. prevalens filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). 3) Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis (Depkes RI, 2009a). Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila terkena infeksi umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya lebih cepat daripada pendudk asli dan penderita tampak sakit lebih berat, asimtomatik terutama terjadi pada pendudk asli (Soeyoko, 2002).

4) Ras Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009a). C. Faktor Environment (Lingkungan) Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI, 2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial. C.1 Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan), keadaan geografis, struktur geologi, dan sebagainya (Depkes RI, 2009a). Chandra (2012) menyatakan lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, cuaca, rumah, panas, sinar matahari, angin, dan lain-lain. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempattempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Depkes RI, 2009a).

(1) Suhu Udara Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi populasi nyamuk. Suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis (Boesri, 2012). (2) Kelembaban Udara Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban 63% misalnya, merupakan angka paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab dan India. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk (Ernamaiyanti dkk, 2010). (3) Curah Hujan Curah hujan dapat menambah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places) atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu menghambat perkembangbiakan nyamuk dan turun drastis kepadatannya (Anshari, 2004). Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan nyamuk (Epstein et al dalam Suwito dkk, 2010).

(4) Air Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada perairan mengalir larva nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes (Boesri, 2012). (5) Angin Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14 m/detik akan menghambat penerbangan nyamuk (Anshari, 2004). Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini (genus Culex, Aedes, dan Mansonia) biasanya pendek (Nasrin, 2008). Pada umumnya nyamuk mampu terbang sejauh 350-550 meter, misalnya Anopheles sinensis jarak terbangnya mencapai 200 sampai 800 meter, Anopheles barbirostris mencapai 200 sampai 300 meter, tapi dari hasil beberapa penelitian ada nyamuk yang bisa mencapai 1 2 km (Kelvey et al dalam Munif, 2009).

(6) Sinar Matahari Perilaku dan kebiasaan nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di bawah daun-daunan rumput atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar matahari (Boesri, 2012). (7) Rumah Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela, ventilasi dan langit-langit rumah (plafon). Konstruksi dinding berkaitan dengan kegiatan penyemprotan (indoor residual spraying), disamping pengaruhnya terhadap mudah tidaknya terhadap daya serap pestisida, kualitas dinding berpengaruh terhadap mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah (Anshari, 2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu timbulnya kejadian filariasis (Juriastuti dkk, 2010). C.2 Lingkungan Biologis Lingkungan biologis dapat menjadi rantai penularan filariasis. Menurut Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda hidup, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediat. Contoh lingkungan biologi adalah adanya tanaman air sebagai tempat

pertumbuhan nyamuk Mansonia spp (Depkes RI, 2009a). Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau rumput-rumputan air seperti Pistia (kyambang), Salvinia (rumput padi-padian) dan Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga dapat mengurangi populasi nyamuk disuatu daerah (Anshari, 2004). Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa Mansonia uniformis lebih cenderung menghisap darah manusia walaupun sering nyamuk ini ditemukan beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia uniformis dicelah-celah batu di bawar rumput-rumputan (Boesri, 2012). Nyamuk Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa rumput-rumputan (Pranoto dalam sulistiyani dkk, 2012). Penelitian Barodji et al dalam Sulistiyani (2012) menyatakan bahwa keberadaan semak-semak disekitar tempat tinggal menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis. Felis catus (kucing) merupakan salah satu dari hewan reservoir dari filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi tipe non-periodik nokturna yang mempunyai

intensitas kontak dengan manusia relatif sering (Setiawan, 2008). Penelitian Soeyoko dkk (2008) menyatakan memelihara kucing memiliki hubungan bermakna dengan kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan betina yang menunjukkan bahwa kucing merupakan hospes reservoir. Memelihara ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia sehingga memungkinkan penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut (Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk, hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak dari rumah. C.3 Lingkungan Sosial Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik (Chandra, 2012). Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Prevalens filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). Penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) menyatakan bahwa orang yang mempunyai pekerjaan

selain petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada orang yang bekerja siang hari. Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I: 1,40-8,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor yang sangat berpengaruh terjadinya filariasis (OR : 3,99; 95% CI : 1,26-12,60). 2.1.7 Penetapan Endemisitas Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen. Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria Mf Rate = x 100% Jumlah sediaan darah diperiksa Bila Mf Rate > 1% disalah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1% pada semua lokasi survei, maka

kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah (Depkes RI, 2009b). 2.1.8 Rantai Penularan Filariasis Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu : 1) Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Depkes, 2009a). Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2009a).

2) Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan. Di Sumatera Utara filariasis disebabakan Brugia malayi dengan vektornya adalah nyamuk spesies Mansonia uniformis (Depkes RI, 2009a).

3) Manusia yang rentan terhadap filariasis. Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009) Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat

dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5 7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari.

Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari. Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a). Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap nyamuk terlalu banyak maka nyamuk akan mati dan apabila jumlah parasit sedikit maka hanya sebagian kecil yang terisap oleh nyamuk. Menurut Atmosoedjono et al., (1977) agar terjadi penularan yang optimal kepadatan mikrofilaria didalam darah penderita 1-3 mf/ul darah. Sementara penularan filariasis dari nyamuk ke manusia sangat berbeda dengan penularan yang terjadi pada malaria dan demam berdarah. Menurut Depkes RI (2009) seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Menurut Rozendal (1997) peluang untuk infeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil (Hasminawati dan Nurhayati, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kasus mikrofilaria positif dan filariasis tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup panjang (> 10 tahun), karena berkaitan dengan lamanya terpapar dengan kondisi

lingkungan yang potensial bagi perkembangan vektor filariasis, kebiasaan berisiko yang dapat menimbulkan kerentanan, perjalanan penyakit, siklus hidup parasit dan vektor itu sendiri. 2.1.9 Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis 2.1.9.1 Siklus Hidup Nyamuk Dalam siklus hidup nyamuk terdapat 4 stadia dengan 3 stadia berkembang di dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas (Nurmaini, 2003): 1) Nyamuk Dewasa Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk ( Nurmaini, 2003). Kettle dalam Boesri (2012) menyatakan bahwa perkembangan telur nyamuk Mansonia uniformis sampai dewasa (imago) pada lingkungan temperature 26º- 30ºC memerlukan waktu antara 25 sampai 40 hari, sama pada nyamuk Mansonia Africana.

2) Telur Nyamuk Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda -beda tergantung dari jenisnya : -Nyamuk Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air, dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga (Nurmaini, 2003). Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air (Boesri, 2012). -Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air satu persatu atau rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung (Nurmaini, 2003). -Nyamuk Culex akan meletakkan telur diatas permukaan air secara bergerombolan dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung (Nurmaini, 2003). -Nyamuk Aedes meletakkan telur dan menempel pada yang terapung diatas air atau menempel pada permukaan benda yang merupakan tempat air pada batas permukaan air dan tempatnya. Stadium telur ini memakan waktu 1-2 hari (Nurmaini, 2003).

3) Jentik nyamuk Pada perkembangan stadium jentik adalah pertumbuhan dan melengkapi bulubulunya, stadium jentik mermerlukan waktu 1 minggu. Pertumbuhan jentik dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, ada tidaknya binatang predator (Nurmaini, 2003). Horsfall dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia uniformis dapat hidup terbenam dalam suatu massa ikatan sebagai sampah di sekitar sistem perakaran tumbuhan air, akan memakan segala macam partikel organik yang ada disekitarnya, akan tetapi larva ini pula dapat menjadi mangsa binatang kecil/protozoa lainnya yang menjadi musuhnya. 4) Kepompong Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang 1-2 hari (Nurmaini, 2003).

Gambar 2.2 Nyamuk Mansonia spp Sumber : http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/mosquitophotos _conquillettidia_mansonia.htm. 2.1.9.2 Tempat Berkembangbiak (Breeding Places) Dalam perkembangbiakan nyamuk selalu memerlukan tiga macam tempat yaitu tempat berkembangbiak (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places). Nyamuk mempunyai tipe breeding places yang berlainan seperti Mansonia senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman airnya (Nurmaini, 2003). Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana tumbuhan yang dominan adalah Isachene globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan dan merupakan tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk Mansonia annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam keanekaragaman

tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat berkembangbiak jenis nyamuk seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia, apalagi jika kolam tersebut mempunyai kedalaman 15-100 cm (Wharton dalam Boesri, 2012). Culex dapat berkembang di sembarangan tempat air, sedangkan Aedes hanya dapat berkembangbiak di air yang cukup bersih dan tidak beralaskan tanah langsung (Nurmaini, 2003). 2.1.9.3 Kebiasaan Menggigit Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda beda, nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan aktif pada malam hari (Wharton dalam Boesri, 2012). Aktifitas Mansonia uniformis menggigit di luar rumah dimulai pada pukul 18.00 sampai pukul 19.00, kemudian menurun pada pukul 19.00 sampai pukul 20.00. Pada pukul 20.00 sampai pukul 21.00 intensitas menggigitnya kembali meningkat dan dengan kepadatan yang sama pada pukul 21,00 sampai pukul 22.00 (Ambarita dan Hotnida, 2004). Nyamuk yang aktif pada malam hari menggigit adalah Anopheles dan Culex, sedangkan nyamuk yang aktif pada siang hari menggigit yaitu Aedes. Khusus untuk Anopheles, nyamuk ini bila menggigit mempunyai perilaku bila siap menggigit langsung keluar rumah. Pada umumnya nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina (Nurmaini, 2003).

2.1.9.4 Kebiasaan Beistirahat (Resting Places) Biasanya setelah nyamuk betina menggigit orang/hewan, nyamuk tersebut akan beristirahat selama 2-3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berisitirahat (Nurmaini, 2003). Penelitian dan pengamatan perilaku dan kebiasaan istirahat nyamuk Mansonia menurut Krafsur dalam Boesri (2012) di Gambela (Ethiopia) mendapatkan kepadatan populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian di Afrika menemukan Mansonia uniformis dan Mansonia africanus selalu mengisap darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3-4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 3,8 hari untuk Mansonia indiana. Wharton dalam Boesri (2012) juga telah menemukan banyak nyamuk Mansonia uniformis di celah-celah batu dibawah rumput-rumputan. 2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis 2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor Prinsip utama agar terhindar atau mencegah infeksi mikrofilaria positif dan filariasis adalah menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha seminimal mungkin kontak dengan nyamuk vektor menggunakan spraying dan antimosquito fumigants. Pengurangan populasi vektor perlu mendapatkan perhatian dengan cara: 1) reduction of vector breeding habitats dengan perbaikan keadaan

lingkungan; dan 2) reductionvector densities dengan pengendalian kimiawi (insektisida) maupun biologis (Sucharit dalam Soeyoko, 2002). Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus perbaikan lingkungan sebagai berikut : 1) memperbaiki sistem drainage di perkotaan dengan maksud mengurangi penyebaran filariasis bancrofti tipe urban; 2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya man-made container breeding site mosquito; 3) menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawarawa sangat bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia spp ; dan 4) meningkatkan penggunaan polystylene balls sebagai usaha membunuh/mencegah perkembangan larva menjadi pupa terutama nyamuk Culex quenquefasciatus. Usaha pengendalian vektor filariasis cara seperti tersebut di atas ternyata dapat menurunkan angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit dalam Soeyoko, 2002). Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor ada beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan mekanis (modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan, pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan lain-lain), metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik (predator pemakan jentik, manipulasi gen), metode pengendalian secara kimia (kelambu berinsektisida, larvasida, fogging, penggunaan repelen, penggunaan obat anti nyamuk, dan lain-lain).

2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat Warga masyarakat diharapkan bersedia datang dan mau diperiksa darahnya pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan darah (survei darah jari), bersedia minum obat secara teratur sesuai dengan ketentuan yang diberitahukan petugas, memberitahukan kepada kader atau petugas kesehatan bila menemukan penderita filariasis, dan bersedia bergotong royong membersihkan sarang nyamuk atau tempat perkembangbiakan nyamuk (Widoyono, 2011). 2.1.10.3 Pengobatan Massal Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah dengan angka Mf rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai penularannya. Pengobatan massal filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC 6 mg/kg BB, Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun (Depkes, 2009d). 2.1.10.4 Pengobatan Kasus Klinis (Individual) Pada semua kasus klinis filariasis di daerah endemis maupun non endemis diberikan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan. Tetapi harus menjadi perhatian bahwa pada kasus klinis yang dengan gejala klinis akut dan kasus klinis kronis yang sedang mengalami serangan akut harus

diobati terlebih dahulu gejala akutnya dengan obat-obatan simptomatik seperti obat demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder : Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, Albendazole dan Parasetamol sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut. Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC dengan dosis 3 x 100mg selama 10 hari sudah cukup. Langkah selanjutnya adalah pembersihan dan perawatan diri (Depkes RI, 2009d).

2.2 Landasan Teori Fenomena Gordon merupakan konsep yang menjelaskan timbulnya penyakit secara epidemiologi berdasarkan teori lingkungan (ekologi). Fenomena Gordon menyatakan bahwa suatu penyakit timbul karena adanya gangguan terhadap keseimbangan Host-Agent-Environmnet (Ryadi dan Wijayanti, 2011). Teori segitiga epidemiologi juga menggambarkan relasi tiga komponen penyebab penyakit yaitu pejamu (host), agen (agent) dan lingkungan (environment). Perubahan pada satu komponen akan mengubah keseimbangan tiga komponen lainnya (Murti, 2003). Demikian halnya dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis klinis yang terjadi akibat perubahan komponen lingkungan sehingga mempengaruhi pejamu. AGEN VEKTOR PEJAMU LINGKUNGAN Gambar 2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi Sumber : CDC, 2002; Gordis, 2000; Gerstman, 1998; Maurner dan Kramer, 1985 dalam Murti (2003)

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Komponen untuk terjadinya mikrofilaria positif dan filariasis yaitu : (1) Agen Agen penyebab dari mikrofilaria positif dan filariasis adalah cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori baik dalam bentuk makrofilaria (cacing dewasa), mikrofilaria dan larva infektif (L3). Di Sumatera Utara, filariasis disebabakan oleh Brugia malayi. (2) Pejamu Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Di Indonesia semua spesies cacing filaria dapat menginfeksi manusia, hanya Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung, kera dan kucing. (3) Lingkungan Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun pejamu, tetapi mampu menginteraksikan agen- pejamu. Berbagai faktor lingkungan yang dapat berperan dalam kejadian mikrofilaria positif dan filariasis antara lain suhu, kelembaban, perumahan, air, adanya hewan reservoir, tanaman air, dan kebiasaan.

(4) Vektor Telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis di Indonesia. Di Sumatera Utara yang menjadi vektor utama filariasis adalah nyamuk Mansonia uniformis. 2.3 Kerangka Konsep Variabel independen Varabel dependen Lingkungan Fisik : Air - Keberadaan Rawa-rawa - Keberadaan Persawahan Rumah - Suhu - Kelembaban - Keberadaan kawat kasa - Konstruksi plafon Lingkungan Biologis: - Keberadaan Tanaman di sekitar rumah - Keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis Lingkungan Sosial : - Pekerjaan - Kebiasaan Keluar Pada Malam Hari - Kebiasaan Memakai Kelambu - Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian