BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu program prioritas dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang merupakan dua dari delapan poin Millennium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai oleh suatu negara. Dalam upaya pencapaian tersebut, Indonesia telah menetapkan grand strategy yaitu melalui Making Pregnancy Safer (MPS). Dalam MPS ditetapkan berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mendukung penurunan AKI. Salah satu hal yang diupayakan adalah pengadaan Puskesmas dengan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar). Puskesmas PONED diharapkan mampu menjadi rujukan antara sebelum Rumah sakit untuk mengatasi kegawatdaruratan yang terjadi pada ibu hamil, melahirkan dan nifas serta bayi baru lahir. Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu faktor penyebab kematian ibu dan bayi baru lahir adalah keterlambatan merujuk ke Rumah Sakit apabila ada kegawatdaruratan. Keterlambatan ini yang berkaitan dengan kondisi geografis dan pemberian layanan oleh tenaga yang kompeten. Agar tujuan diadakannya Puskesmas PONED ini tercapai, diperlukan pengelola yang memiliki kemampuan manajemen dan ketrampilan memadai. Selain pengelola PONED langsung, peran Kepala Puskesmas sebagai pengambil keputusan tertinggi di Puskesmas sangat menentukan keberlangsungan PONED. Kapasitas manajerial Kepala Puskesmas untuk memfasilitasi pengembangannnya sangat vital. Di Kabupaten Banjarnegara, Puskesmas PONED dibentuk sejak tahun 2003, dimulai dari 2 (dua) Puskesmas di dua kecamatan terpilih yaitu Purwanegara dan Sigaluh. Tahun 2006, dibentuk lagi di dua Puskesmas, yaitu Pejawaran dan Madukara 1. Saat itu pembentukan Puskesmas PONED ini merupakan pilot project yang didanai oleh UNICEF. Penunjukkan dan pelaksanaannya bersifat top-down. 1
2 Pembentukan Puskesmas PONED ini diawali dengan pelatihan. Pelatihan PONED diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan bekerjasama dengan P2KP (Pusat pelatihan Klinik Primer) yang merupakan kepanjangan JNPK-KR (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi) di Kabupaten/Kota. Setelah Tim PONED Puskesmas diberi pelatihan, Puskesmas kemudian dicukupi kelengkapan sarana prasarananya. Pada tahun 2007 dbentuk lagi 6 (enam) Puskesmas di enam kecamatan yaitu Mandiraja, Klampok, Karangkobar, Kalibening, Batur dan Rakit. Pemilihan Puskesmas yang akan dijadikan Puskesmas PONED didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu wilayah kecamatan yang memiliki AKI serta AKB tinggi, memiliki wilayah yang jauh dari Rumah Sakit (lebih dari dua jam perjalanan) atau geografis desa desanya sulit, memiliki dokter, bidan dan perawat yang bertempat tinggal di wilayah, menjangkau seluruh wilayah Kabupaten. Tahun 2011 di Kabupaten Banjarnegara sudah memiliki 13 Puskesmas PONED yang penyelenggaraannya didasarkan pada Keputusan Bupati Banjarnegara Nomor 440/854 tahun 2011 tentang Penetapan Puskesmas Pelaksana Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Kabupaten Banjarnegara. Puskesmas puskesmas tersebut adalah Puskesmas Sigaluh 1, Puskesmas Madukara 1, Puskesmas Karangkobar, Puskesmas Kalibening, Puskesmas Klampok 1, Puskesmas Mandiraja 1, Puskesmas Purwanegara 1, Puskesmas Pejawaran, Puskesmas Rakit 1, Puskesmas Wanadadi 1, Puskesmas Punggelan 1 dan Puskesmas Banjarmangu 1. Walaupun pelatihan dan pembentukan Puskesmas PONED sudah dimulai sejak tahun 2005, tetapi kenyataannya, pelaksanaannya secara intensif baru pada tahun 2008 setelah Puskesmas dilatih kembali dengan materi pelatihan PONED yang terbaru dari Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK KR). Adapun tindakan kegawatdaruratan yang dapat dilakukan pada Puskesmas pelaksana PONED ini, sesuai dengan SK Bupati di atas adalah plasenta manual, kuretase pada abortus inkomplit tanpa komplikasi menggunakan AVM, penanganan awal perdarahan ante partum dan post partum, penjahitan robekan
3 porsio, kompresi bimanual dan aorta, resusitasi pada asfiksia neonatal, pemberian medikamentosa melalui vena umbilikalis, ekstraksi vakum letak rendah (stasion 0/0) dengan vakum ekstraksi manual, penanganan awal pre eklamsia/eklamsia termasuk pemberian injeksi Magnesium sulfat, penanganan distosia bahu serta melaksanakan rujukan ke rumah sakit. Tabel 1. Jumlah Kasus Yang Ditangani Menurut Puskesmas PONED Tahun 2009-2011 No. PUSKESMAS JUMLAH KASUS DITANGANI TAHUN KETERANGAN 2009 2010 2011 1. Batur 1 18 9 20 2. Kalibening 89 69 52 3. Karangkobar 162 121 284 4. Klampok1 76 84 167 5. Madukara 1 33 97 112 6. Mandiraja 1 178 201 209 7. Pejawaran 20 24 12 8. Purwanegara 1 54 87 84 9. Rakit 1 13 32 24 10. Sigaluh 1 176 198 226 JUMLAH TOTAL 819 922 1190 Sumber : Laporan Puskesmas PONED Kabupaten Banjarnegara Tabel 1 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, Puskesmas PONED di Banjarnegara terus mengalami peningkatan jumlah kasus yang ditangani. Hal ini menunjukkan bahwa di Puskesmas PONED ada kegiatan sebagaimana yang diharapkan pada saat pembentukannya. Tiga Puskesmas yaitu Karangkobar, Mandiraja 1 dan Sigaluh 1 menunjukkan penanganan kasus yang tinggi. Dua Puskesmas yaitu Klampok 1 dan Madukara 1 menunjukkan penanganan kasus yang makin meningkat setiap tahunnya. Banyaknya kasus yang ditangani, diharapkan akan semakin meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan para pelaksana kegiatan PONED ini. Tabel 2. Menunjukkan kunjungan kasus yang lebih spesifik di Puskesmas selama kurun waktu tahun 2009-2011. Jenis dan jumlah kasus yang bisa ditangani di Puskesmas mengalami peningkatan. Beberapa kasus yang di awal
4 berdirinya PONED belum dilaksanakan, pada akhirnya mampu dilaksanakan setelah mendapat bimbingan teknis lanjutan, misalnya ekstraksi vakum. Satu satunya pelayanan PONED yang sampai sekarang belum pernah dikerjakan oleh Puskesmas PONED di Banjarnegara adalah infus umbilikalis karena memang belum pernah ada kasus yang mengindikasi dilakukannya tindakan tersebut. Kegiatan yang ada di dalam tabel tidak termasuk pertolongan persalinan normal dan kasus-kasus lainnya di luar kriteria kasus kegawatdaruratan obstetri neonatal. Salah satunya adalah penanganan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) tanpa penyulit, yaitu bayi yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. Beberapa Puskesmas mampu merawat BBLR tanpa komplikasi. Puskesmas Sigaluh 1 bahkan mampu merawat bayi baru lahir seberat 1800 gram dengan menggunakan metode kanguru (Kangaroo Mother Care Method). Kasus terbanyak yang ditangani oleh Puskesmas selama kurun waktu tiga tahun tersebut adalah kasus perdarahan post partum dengan berbagai sebab, yaitu sebanyak 1278 kasus. Kasus kedua terbanyak yang bisa ditangani di Puskesmas adalah asfiksia dengan jumlah kasus sebanyak 631. Berikutnya adalah kasus preeklamsia dan eklamsia sebanyak 592 kasus. Kasus rujukan dan pra rujukan ada sejumlah 14.203 kasus. Kasus rujukan ini meliputi semua kasus yang dirujuk ke rumah sakit, baik yang langsung berasal dari Puskesmas PONED tersebut maupun Puskesmas sebagai perantara. Kasus rujukan antara merupakan kasus yang berasal dari jaringan Puskesmas, misalnya bidan di desa, Puskesmas Pembantu atau layanan primer lainnya, sebelum dirujuk ke rumah sakit, untuk dilakukan stabilisasi atau tindakan awal. Biasanya merupakan rujukan dari wilayah wilayah sulit yang jauh dari rumah sakit. Diharapkan, dengan adanya Puskesmas PONED sebagai rujukan antara tersebut, masalah keterlambatan dalam mendapatkan pertolongan pada kasus kasus kegawatdaruratan dapat diminimalkan.
5 Tabel 2. Pelayanan PONED dan Manajemen Kasus di Puskesmas Tahun 2009-2011 No. KASUS MANAJEMEN KETERANGAN DITANGANI DIRUJUK MENINGGAL 2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011 1. Placenta Manual 97 (74,0%) 106 (65,4%) 189 (68,5%) 34 (26,0%) 56 (34,6%) 87 (31,5%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Termasuk retensio plasenta 2. Kuretase dengan 0 (0%) 0 (0%) 2 (100%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) AVM 3. Perdarahan post 412 (93,0%) 389 (94,4%) 478 (96,2%) 24 (5,4%) 18 (4,4%) 13 (2,6%) 7 (1,6%) 5 (1,2%) 6 (1,2%) partum 4. Robekan porsio 5 (100%) 11 (91,6%) 9 (90,0%) 0 (0%) 1 (8,4%) 1 (10,0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 5. Kompresi 3 (50,0%) 2 (50,0%) 2 (50,0%) 3 (50,0%) 2 (50,0%) 2 (50,0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) bimanual 6. Penanganan 127 (62,9%) 214 (79,3%) 296 (80,7%) 12 (5,9%) 9 (3,3%) 15 (4,1%) 63 (31,2%) 47 (17,4%) 56 (15,3%) asfiksia 7. Infus umbilikalis 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 8. Vakum ekstraksi 0 (0%) 0 (0%) 3 (100%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 9. Pre 166 (51,4%) 195 (50,0%) 231 (50,0%) 157 195 231 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) eklamsia/eklamsia (48,6%) (50,0%) (50,0%) 10. Distosia bahu 9 (100%) 5 (100%) 7 (100%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 11 Rujukan/pra rujukan 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 3781 (100%) TOTAL 819 (17,2%) 922 (15,4%) 1217 (14,3%) 3869 (81,3%) Sumber : Laporan Puskesmas PONED 4743 (100%) 5019 (83,8%) 5679 (100%) 6028 (70,7%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Kasus maternal neonatal yang dirujuk secara total 70 (1,5%) 52 (0,9%) 62 (0,7%)
6 Dalam Strategi MPS disebutkan bahwa kualitas PONED dipantau melalui penilaian (assesment) yang dilakukan setiap enam bulan sekali untuk melihat indikator keberhasilan pelaksanaannya yang meliputi : 1. Peningkatan pengetahuan dan kinerja klinis. Ini dilihat dari penilaian langsung dengan menggunakan daftar tilik dan evaluasi kinerja dari waktu ke waktu melalui audit klinis. 2. Penghargaan positif dari masyarakat yang dilayani. Ini dilihat dari kunjungan PONED dari waktu ke waktu. 3. Peningkatan moral pelaksana yang secara positif memperngaruhi retensi dan motivasi. Indikator indikator di atas akan tercapai, salah satunya dengan pelaksanaan kegiatan pelatihan berkelanjutan melalui in-service training yang dilakukan di fasilitas PONED. Keberlangsungan Puskesmas PONED sangat bergantung pada komitmen para pelaksananya. Adapun perkembangannya dipantau melalui penilaian yang dilakukan setiap enam bulan sekali dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Di luar itu, Puskesmas melakukan self assesment (penilaian mandiri) untuk mengevaluasi pencapaian dan ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan kapasitas. Penyebaran informasi dan pengembangan ketrampilan terhadap seluruh petugas terkait menjadi sangat penting. Tim yang dilatih harus mampu memberikan informasi dan melakukan assesment pelaksanaan PONED di Puskesmas. Selain self assesment, juga dilakukan peer review yang dilakukan antar tenaga kesehatan maupun antar puskesmas. Dengan demikian, setiap personal akan berupaya meningkatkan kemampuannya. Tiap puskesmas diharapkan akan meningkat kualitas pelayanannya. Untuk hal tersebut di atas, peran kepala Puskesmas sangat besar dalam menumbuhkan motivasi mengembangkan diri pada karyawan yang akhirnya akan berimbas pada peningkatan kualitas pelayanan. Hal tersebut hanya akan terjadi bila dalam Puskesmas tersebut ada semangat untuk belajar. Semangat dan motivasi untuk menjadi organisasi pembelajaran (learning organization).
7 Di samping yang sudah disebutkan di atas, untuk menjamin keberlangsungan program, perlu diciptakan suatu mekanisme untuk memelihara dan memutakhirkan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam praktek sehari hari. Untuk hal tersebut, perlu pemantauan efektivitas program in-service training dan pendidikan berkelanjutan. Sebagaimana sudah diketahui secara luas bahwa in-service training merupakan metode pelatihan yang efektif dan efisien untuk menjaga implementasi hasil kegiatan, utamanya untuk jangka panjang. Selain peran Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan pengelola PONED di Puskesmas memiliki andil besar dalam pelaksanaan dan pemantauan kegiatan in-service training ini. Kepala Puskesmas harus mampu menjadi fasilitator dalam kegiatan ini. Dengan pelaksanaan in-service training yang efektif, pelaksanaan PONED diharapkan akan semakin mantap dan berkelanjutan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah; Sejauh mana Puskesmas PONED menerapkan kegiatan in-service training dalam upaya menguatkan pelaksanaan kegiatannya dan bagaimana peran Kepala Puskesmas dalam kegiatan in-service training tersebut? C. Tujuan Penelitian a) 1. Tujuan umum Untuk mengetahui peran Kepala Puskesmas dalam kegiatan in-service training untuk memelihara pelaksanaan suatu kegiatan (PONED). b) 2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pelatihan PONED di P2KP. 2. Untuk mengetahui proses pembelajaran di Puskesmas dengan PONED. 3. Untuk mengetahui peran Kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan kegiatan PONED di Puskesmas. 4. Untuk mengetahui mengapa beberapa kegiatan PONED tidak dilaksanakan di Puskesmas.
8 5. Untuk mengetahui kemungkinan in-service training dapat dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk mendorong peningkatan pelaksanaan kegiatan PONED di Puskesmas. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi penyelenggara pelatihan, sebagai bahan masukan untuk melakukan kajian mendalam dalam menjamin implementasi suatu pelatihan. 2. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan masukan untuk kemungkinan mengembangkan in-service training sebagai pengganti pelatihan konvensional. 3. Bagi peserta pelatihan sebagai bahan masukan mengatasi hambatan dalam implementasi hasil pelatihan. 4. Bagi peneliti sendiri, untuk menambah wawasan dan kemungkinan merumuskan suatu bentuk pelatihan yang lebih efektif dan efisien dalam menjamin keberlangsungan pelaksanaan kegiatan hasil suatu pelatihan. 5. Keaslian Penelitian Tabel 3. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Yang Terdahulu Peneliti Widya Sugiarto Supardi Peneliti Judul Efek Pengaruh Kemampuan Peran kepala pelatihan pelatihan manajerial Puskesmas sebagai terhadap tehnis kepala fasilitator dalam implementasi program; fungsional bidan puskesmas dalam pelaksanaan pelayanan obstetri studi kasus terhadap meningkatkan neonatal emergensi pelatihan kinerja bidan mutu dasar (PONED) di sanitarian di di desa pelayanan di kabupaten provinsi Bali puskesmas Banjarnegara melalui tahun 2006 Kota Mataram kegiatan in-service training Tujuan Mengetahui Mengetahui Mengetahui Efektivitas pelatihan proses perbedaan kemampuan dalam meningkatkan pelatihan dan kinerja manajerial kemampuan kepala efeknya pada sebelum dan Kepala puskesmas dan kinerja sesudah puskesmas pengelola PONED petugas pelatihan dan relevansi dalam mengelola karakteristik PONED melalui individu terhadap kemampuan manajerial kegiatan training in-service
9 Metode Studi kasus (embeded case) Responden Peserta pelatihan jabatan fungsional sanitasi Kuasi eksperimental Bidan di Desa kepala puskesmas Deskriptif, cross-sectional Kepala Puskesmas, kasi, kasubag Studi kasus Kepala puskesmas PONED dan Pengelola PONED Lokasi Provinsi Bali Jawa Tengah Kota Mataram Banjarnegara Cara Kuesioner Kuesioner Kuesioner Pengamatan, pengambilan dan terstruktur dan kuesioner dan data wawancara wawancara wawancara mendalam mendalam mendalam Hasil Pelatihan tidak memperbaiki kinerja sanitarian - Pelatihan berpengaruh terhadap kinerja, khususnya perencanaan kegiatan Kemampuan manajerial kepala Puskesmas relevan dengan masa kerja dan pendidikan/ pelatihan yang pernah diikuti