BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

RINOSINUSITIS KRONIS

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. pneumonia dijuluki oleh William Osler pada abad ke-19 sebagai The

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik. Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

1 PEMBERIAN NEBULIZER 1.1 Pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

PRAKTIKUM 10 AUSKULTASI PARU, SUCTION OROFARINGEAL, PEMBERIAN NEBULIZER DAN PERAWATAN WSD

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

BAB 3 METODE PENELITIAN

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

ASPERGILLUS FUMIGATUS

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

The effectiveness of sterile seawater for nose rinsing solution on chronic Rhinosinusitis patient based on nasal patency and quality of life

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker kepala dan leher merupakan salah satu tumor ganas yang banyak

DAFTAR PUSTAKA. Ahmed M, Bossiouny A, 2003, Ultrsstructural Ciliary Change of Maxillary Sinus

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

Bagian XIII Infeksi Nosokomial

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologi lokal. Dalam hal imunologi lokal, hidung dan sinus paranasal merupakan organ yang berperanan penting sebagai garis terdepan pertahanan tubuh pada saluran nafas bagian bawah terhadap mikroorganisme dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kedua organ ini seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Kedua organ tersbut memiliki daya pertahanan yang disebut spesifik dan non spesifik. (Hilger PA,1997. Passali. Soetjipto D & Wardani RS,2007) Daya pertahanan spesifik adalah ketika aliran turbulensi udara terhadap bahan-bahan yang terhirup oleh hidung dan dengan bantuan kerja dari mukus hidung terpelihara dengan baik, sedangkan daya pertahanan non spesifik adalah daya pembersihan hidung yang bekerja di dalam rongga hidung yang bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan rongga hidung dari virus, bakteri, jamur ataupun partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektifitasnya tergantung pada integritas dari sistem mukosiliar yang disebut sistem transport mukosiliar, terdiri dari sel-sel silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir yang dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa.. Tidak ada perbedaan secara struktural dan fungsional

antara sel-sel silia dari hidung dan sinus paranasal. (Hilger PA,1997 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007) Sistem transport mukosiliar merupakan sistem yang bekerja secara aktif dan simultan tergantung pada gerakan silia untuk mendorong gumpalan mukus dan benda asing yang terperangkap masuk saat menghirup udara melalui sistem pengangkutan di saluran pernafasan atas dan bawah hingga ke saluran pencernaan. Keterlambatan dalam mengeliminasi partikel patogen potensial yang masuk secara inhalasi dapat menyebabkan penumpukan beberapa benda asing yang lain termasuk bakteri dan virus di saluran pernafasan. Oleh karena itu sistem transportasi mukosiliar adalah disebut sebagai lini pertama dan dasar dalam mekanisme pertahanan tubuh antara silia epitel dengan virus, bakteri maupun partikel benda asing lainnya yang bekerja secara aktif menjaga agar saluran pernafasan atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, allergen, toksin dan benda asing lainnya yang tertangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997) Transportasi mukosiliar (TMS) adalah proses pengangkutan benda asing ke arah nasofaring yang sangat ditentukan oleh keadaan gerak silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang oleh karena perubahan komposisi palut lendir, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel ekskresi ataupun obstruksi anatomi. Waktu transport mukosiliar dapat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, kelembaban, kebiasaan dan ras. Dalam hal ras, perbedaan luas permukaan mukosa yang berbeda-beda berdasarkan konstitusi anatomi, dapat juga mempengaruhi waktu transport mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ; Huang HM,2006 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)

Terganggunya sistem transport mukosiliar dapat terjadi pada penderita rinosinusitis baik akut, maupun kronik. Mekanisme etiologi pada rinosinusitis akut terutama gangguan pada sistem mukosiliar yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen dan imunitas pasien. (Busquets JM, 2006 ; Mc Caffrey 2000; Shoseyov D, 2005). Penyakit sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Mangunkusumo E & Soetjipto D, 2007) Secara patofisiologi kesehatan sinus paranasal dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya daya pembersihan mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Gangguan pada KOM dapat menyebabkan terjadinya gangguan ventilasi dan pembersihan mukosa. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak akan dapat bergerak dan ostium sinus akan tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, yang mula-mula berupa cairan serous. Kondisi inilah yang dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Namun bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri. Sekret menjadi purulen dan keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial yang memerlukan terapi dengan disertai antibiotik. Jika terapi tidak berhasil proses

peradangan berlanjut dan terjadi hipoksia sehingga bakteri anaerob berkembang, mukosa makin membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus berputar hingga akhirnya terjadi perubahan mukosa menjadi kronik. (Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Nizar NW, 2000) Prinsip dari pengobatan rinosinusitis adalah membuka sumbatan di daerah KOM sehingga drainase dan ventilasi dari sinus -sinus menjadi kembali pulih secara alami. Terapi pilihan pada penyakit sinusitis adalah antibiotika dan dekongestan yang bertujuan untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Terapi tambahan laih yang diperlukan adalah analgetik, mukolitik, steroid oral atau topikal, dan pencucian hidung dengan NaCl. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Pada beberapa kasus rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak dapat terkontrol dengan terapi obat-obatan yaitu berupa kombinasi pemberian antibiotika dengan kortikosteroid topikal ataupun sistemik maka tindakan operasi adalah dapat diindikasikan dan merupakan hal yang dianjurkan. (Wilma T.2007) Tindakan operasi dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) adalah pilihan bedah standard terkini yang dikerjakan untuk sinusitis kronis yang secara konseptual BSEF adalah salah satu pengobatan untuk memperbaiki daerah KOM, yang merupakan salah satu modalitas penyebab pengobatan sinusitis yang didasari oleh penelitian dari Messerklinger pada tahun 1950-1960 an. Teori beliau adalah menjelaskan bahwa adanya perbaikan drainase pada daerah yang sangat kritis yaitu daerah KOM dan untuk memperbaiki fungsi seluruh sinus secara fisiologis dengan cara memperbaiki daya pembersihan mukosiliar sehingga mukosa sinus yang patologik dapat dipulihkan kembali ke kondisi yang normal setelah BSEF (Bassiouny. 2003 : Wilma T.2007).

Tindakan BSEF ini secara meluas telah dapat diterima sebagai tindakan primer untuk mengobati sinusitis kronis, yang sangat meningkat penggunaanya sejak tahun 1980an dan sampai sekarang merupakan tindakan bedah yang paling sering digunakan pada rinosinusitis kronis. (Wilma T. 2007 ; Katsuhisa.1996) BSEF menunjukkan hasil yang sangat bermakna pada sebagian besar pasien. Namun bagaimanapun meningkatnya hasil perbaikan yang bermakna tersebut biasanya memerlukan kombinasi antara tindakan operatif dengan perawatan sesudah BSEF dilakukan yaitu dengan perawatan lokal seperti melakukan pencucian hidung dan disertai terapi obat obatan. (Raymod GS. 2005) Dalam jurnal penelitian yang dikerjakan oleh Kai-Li Liang dan kawan-kawan dikatakan bahwa tindakan mengirigasi atau mencuci hidung adalah terapi yang paling popular digunakan sebagai terapi adjuvan dan seringkali diresepkan untuk digunakan setelah bedah sinus endoskopik. Tindakan cuci hidung yang dapat digunakan sebagai suatu adjuvan terapi pada penderita sinusitis adalah karena dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung, khususnya di daerah KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema mukosa dengan cara berdifusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya yang diharapkan dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder dapat memperbaiki patensi dari ostium sinus yang tersumbat. Rabago dkk, tahun 2006 telah mendemonstrasikan penelitian mereka untuk menunjukkan bahwa pengaruh cuci hidung dengan cairan salin baik dengan penilaian secara objektif maupun subjektif adalah meningkat penggunaannya dalam terapi untuk rinosinusitis. Dan penelitian dari Mayers et al, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 12

kali dalam peningkatan pembersihan mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Liang KL, 2008 ; Raymond GS, 2005 ; Hauptman, 2007 Rabago D, 2006 ; Talbot AR, 1997) Penggunaan irigasi nasal atau cuci hidung dengan menggunakan cairan hipertonik yang dilakukan secara alamiah telah digunakan sejak berabad- abad yang lalu, khususnya di negara India, sebagai purifikasi yang rutin dilakukan sebelum praktik yoga dimulai. Kedokteran barat telah mengadopsi praktik cuci hidung ini sejak abad ke-19. Pada tahun 1895 para editorial menuliskan dalam British Medical Journal tentang suatu artikel tentang hidung dengan judul Hidung adalah salah satu organ tubuh yang paling kotor. Berdasarkan artikel tersebut dilakukan salah satu teknik pembersihan hidung dengan cara mencelupkan wajah ke dalam suatu bak yang berisi air bersih yang suam-suam kuku atau dingin dengan mengambil sedikit demi sedikit sambil mengendus-endus, keluar-masuk saat wajah terendam air. Dan selama lebih dari seabad para ahli dari kedokteran Barat telah merekomendasikan cuci hidung sebagai salah satu terapi untuk penyakit sinonasal maupun setelah pembedahan hidung. (Hauptman,2007; Snidvongs K, Chaowanapanja P ; 2008) Secara klinis, teknik cuci hidung pertama kali dipergunakan untuk irigasi hidung pada pasien sifilis dan tuberkulosis pada tahun 1870an sebagai terapi yang dilakukan di rumah. Arthur W. Proetz, tahun 1926, mendukung bahwa irigasi dengan cairan hipertonik salin dapat mempengaruhi fungsi mukosiliar hidung. Konsep inilah yang kemudian juga diadaptasi oleh para ahli rinologi selama beberapa dekade dan mereka secara rutin melakukan pencucian hidung dan sinus paranasal pada pasien-pasien yang telah mendapat pembedahan sinus endoskopik.

Cuci hidung telah digunakan untuk mengobati penyakit sinus termasuk rinosinusitis dan rinitis alergik. Metode penelitian tentang cuci hidung ini sangat bermakna untuk memperbaiki gejala sinus agar skala kualitas hidup pasien menjadi lebih baik dan diharapkan dapat menurunkan penggunaan obat obatan untuk sinus. Pada anakanak juga memperlihatkan hasil yang yang sama dengan dewasa, baik pada penderita rinitis alergi maupun pada rinosinusitis kronis. (Snidvongs K, Chaowanapanja P ; 2008) Pada beberapa dekade yang lalu, para ahli juga telah sering meresepkan penggunaan dari cairan fisiologis atau normal salin (0,9%) dan terkadang cairan hipertonik salin. Parson DS, seorang peneliti senior, selama lebih dari sepuluh tahun telah menggunakan cairan yang tidak mahal yang dapat dilakukan oleh pasien di rumahnya berupa cairan buffer hipertonik salin (3%, ph 7,4) pada pasien dengan sinusitis akut ataupun kronik dan digunakan juga pada pasien yang telah mendapat pembedahan sinus. Hasil yang ditunjukkan pada pasien adalah berbedabeda, kelihatannya menjanjikan, tetapi data secara statistik sangatlah kurang. (Talbot AR, 1997) Kemudian Talbot et al, 1997, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa cairan hipertonik salin 3%, dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar yang dilakukan pada 21 sukarelawan perempuan sehat yang berusia 25-45 tahun yang dilakukan pembersihan dengan cairan normal salin diikuti dengan penilaian waktu TMS dengan metode sakarin. Selanjutnya dilakukan pencucian hidung dengan cairan hipertonik salin dan diikuti kembali dengan pemeriksaan waktu TMS dengan uji sakarin. Kemudian hasil dibandingkan dan menunjukkan bahwa cairan hipertonik salin dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar. Penelitian ini seharusnya

dapat dilakukan ulang terhadap pasien yang disertai dengan sinusitis akut maupun kronik. (Talbot AR, 1997) Atas dasar tersebutlah maka kami dalam hal ini mencoba untuk melakukan kembali penelitian terhadap pengaruh dan efektifitas penggunaan cuci hidung dengan cairan hipertonik salin 3% yang dibandingkan dengan cairan normal salin 0,9% pada penderita rinosinusitis kronis. Dan untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dilakukan beragam pemeriksaan seperti pemeriksaan fungsi transportasi mukosiliar, ultrakstruktur silia, frekwensi denyut silia, dan pemeriksaan konsistensi atau kandungan palut lendir. Untuk menguji waktu TMS dapat digunakan partikel sakarin atau label radioaktif. Partikel kecil dari sakarin dapat ditempatkan pada mukosa hidung dan waktu dicatat sampai pasien merasakan manis yang pertama kalinya. Uji sakarin merupakan uji yang sederhana, tidak mahal, non-invasif dan merupakan gold standard untuk uji perbandingan. (Jorissen, 2000; Sun SS, 2002 ; Havas T, 199, Waguespack 1995) 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan adjuvan terapi cuci hidung dengan cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan dengan cairan hipertonik NaCl 3%.

1.3. Hipotesis Waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan adjuvan terapi cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3% lebih cepat dibandingkan dengan cairan isotonik NaCl 0,9%. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh dan manfaat adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan dengan cairan hipertonik NaCl 3% terhadap waktu transportasi mukosiliar hidung pada pasien rinosinusitis kronis setelah dilakukan bedah sinus endoskopi fungsional. 1.4.2. Tujuan khusus 1.4.2.1. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% 1.4.2.2. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3%.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Dapat digunakan sebagai standar pengobatan terhadap keberhasilan terapi dengan menggunakan adjuvan terapi cairan pencuci hidung dalam pengobatan rinosinusitis kronis setelah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional. 1.5.2. Diharapkan dapat sebagai informasi untuk pertimbangan terapi pada penatalaksanaan rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional. 1.5.3. Untuk pengembangan khasanah pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.