BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data kematian dan penyebab kematian merupakan salah satu elemen indikator kesehatan. Data kematian dan penyebab kematian, bagi rumah sakit penting untuk evaluasi pelayanan kesehatan, dan bahan perencanaan kesehatan bagi institusi kesehatan masyarakat (Huffman, 1994). Dalam cakupan lebih luas lagi, data kematian merupakan data dasar menyusun angka statistik yang digunakan untuk menghitung beban penyakit mayor pada suatu di dalam kelompok populasi atau lintas wilayah geografi (WHO, 2013). Selain itu, pencatatan kematian sangat diperlukan untuk formulasi kebijakan dan pengembangan program, menetapkan prioritas kesehatan, evaluasi efektivitas program dan untuk riset (Sulistyowati dkk, 2012). Guna memperoleh data kematian dan penyebab kematian, dilakukan pencatatan kematian yang tercakup dalam suatu sistem registrasi sipil. Catatan di sistem registrasi tersebut merupakan dokumen personal legal (sertifikat) yang diperlukan masyarakat sebagai bukti suatu fakta seperti identitas dan umur (WHO, 2010). Sertifikat tersebut berguna untuk mengurus berbagai hal, misalnya hak waris dan syarat penguburan. Selain itu, sertifikat kematian juga bermanfaat bagi keluarga almarhum untuk mengetahui penyebab kematian dan lebih waspada terhadap kondisi yang mungkin muncul (HIS Hub, 2012). Maka, pencatatan penyebab kematian yang berkualitas baik ialah yang dapat merepresentasikan kondisi penyebab dasar kematian yang sesungguhnya. Penentuan penyebab dasar kematian (UCoD) sesuai standar internasional dilaksanakan sesuai dengan aturan dalam ICD-10. Aturan tersebut menjelaskan bagaimana prosedur ditentukannya UCoD dari suatu rangkaian kondisi atau diagnosis. Penentuan UCoD yang tepat tidak lepas dari peran dokter dalam menentukan rangkaian diagnosis dalam Formulir Keterangan Penyebab Kematian (FKPK) dan coder dalam melakukan coding mortalitas. 1
2 Coding mortalitas merupakan proses yang cukup rumit yang mengharuskan penerapan aturan (modification rules ICD-10) dalam urutan yang logis. Untuk memudahkan proses tersebut, tool sistem otomatis coding mortalitas dikembangkan. Otomatisasi dari langkah penentuan penyebab kematian dapat mengurangi peluang error dan meningkatkan akurasi proses melalui standarisasi (Buchala dan Martins, 2015). Tidak hanya itu, di beberapa negara dengan kualitas statistik vital yang baik, pengembangan sistem pencatatan mortalitas terkomputerisasi telah terintegrasi. Pelaksanaan pencatatan kematian dan penyebab kematian dalam sistem registrasi vital, terutama pencatatan kematian merupakan hal yang belum umum di masyarakat. Selama ini, evaluasi kesehatan dilakukan berdasarkan data sensus atau survei yang mempunyai berbagai keterbatasan untuk dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah (Sulistyowati dkk, 2012). Meskipun demikian, peraturan tentang registrasi kematian sudah dikeluarkan dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2010 NOMOR 162/MENKES/PB/I/2010 Tentang Pelaporan Kematian Dan Penyebab Kematian, serta Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Guna menjamin ketersediaan data angka kematian dan penyebab kematian yang akurat dan up to date, Balitbangkes Kementerian Kesehatan telah memulai inisiasi pengembangan pelaporan penyebab kematian melalui kegiatan Indonesia Mortality Registration System Strengthening Project (IMRSSP) di beberapa daerah. Pengembangan sistem tersebut dimulai sejak tahun 2006 dengan bantuan teknis dan finansial dari WHO dan AUSAID. Sampai pada tahun 2013, baru 28 kabupaten/kota yang dapat difasilitasi oleh pemerintah pusat untuk dapat melaksanakan registrasi kematian dengan sebab kematian (Sulistyowati dan Senewe, 2014). Kota Yogyakarta merupakan salah satu daerah sentinel pengembangan yang sudah melaksanakan registrasi kematian. Dalam hasil penelitiannya Sulistyowati dan Senewe (2014), Yogyakarta mempunyai capaian tertinggi (330 %) dibanding dengan daerah lain. Hal
3 ini tidak lepas dari peraturan daerah yang telah dikeluarkan oleh kota Yogyakarta, antara lain Perda Kota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 1960 tentang Wajib Lapor Kematian dan Ijin Mengubur Jenazah dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 99 Tahun 2010 Tentang Pemberian Santunan Kematian Bagi Pemegang Kartu Tanda Penduduk Warga Negara Indonesia dan Kartu Identitas Anak Warga Negara Indonesia Kota Yogyakarta Tahun 2011. Dengan adanya peraturan tersebut, jumlah masyarakat yang melaporkan kematian semakin banyak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada bulan Desember 2015, pelaksanaan registrasi kematian dimulai sejak tahun 2007. Pertambahan jumlah pelapor merupakan hasil dari usaha dinas setempat yang melakukan jemput bola di awal kebijakan tersebut berlangsung. Meskipun demikian, kuantitas pelaporan yang tinggi belum diimbangi dengan evaluasi kualitas data tersebut. Untuk kematian di rumah atau luar fasilitas pelayanan kesehatan, pelaksanaan baru sebatas pengumpulan data penyebab kematian yang berasal dari data wawancara autopsi verbal dan FKPK. Kegiatan reseleksi oleh petugas coding dengan menggunakan rule seleksi ICD masih jarang dilakukan di puskesmas. Selain itu, tidak seperti di rumah sakit, ketersediaan petugas coding berlatar pendidikan rekam medis di puskesmas tergolong masih sangat kurang. Dalam banyak kasus, pengisian sertifikat dan penentuan kode diagnosis penyebab dasar kematian dilakukan oleh dokter dan perawat puskesmas. Sementara itu, dalam penelitiannya, Sulistyowati dkk (2012) menyatakan bahwa kasus kematian di rumah atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan lebih tinggi, yaitu 59 % dan sisanya 41 % terjadi di rumah sakit. Itu artinya, kuantitas data kematian di rumah/ luar fasilitas pelayanan kesehatan sudah cukup banyak (dan akan terus bertambah) namun belum ditunjang oleh tenaga coder terlatih. Menurut WHO (2013), salah satu kunci untuk mengatasi masalah berkaitan dengan coding mortalitas ialah dengan menggunakan mortality coding tools. Selain MMDS, salah satu alat/ tools otomatis penentuan UCoD yang mudah digunakan adalah IRIS. Aplikasi tersebut merupakan hasil pengembangan dari beberapa negara, mencakup Perancis,
4 Jerman, Hungaria, Italia, Spanyol, Swedia dan United States. IRIS merupakan aplikasi koding mortalitas free dan dapat dikembangkan berdasarkan kebutuhan bahasa. Penggunaan aplikasi coding mortalitas ini dapat mengurangi subjektivitas dalam penentuan. Penggunaan tool coding mortalitas Di Indonesia, khususnya daerah sentinel Kota Yogyakarta masih belum dikenal. Di tingkat Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, tool coding mortalitas juga belum digunakan. Oleh karena itu, peneliti berminat untuk melakukan studi tentang ketepatan kode diagnosis penyebab dasar kematian, dengan IRIS sebagai pengukur ketepatannya. Penelitian tersebut berjudul Ketepatan Kode Diagnosis Penyebab Dasar Kamatian di Dinas Kesehatan kota Yogyakarta Menggunakan aplikasi Coding Mortalitas IRIS. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada perbedaan hasil diagnosis penyebab dasar kematian (UCoD) secara manual dengan hasil program coding mortalitas IRIS di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana hubungan ketepatan UCoD dengan jumlah kondisi penyebab kematian yang tercatat? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini yaitu Mengetahui ketepatan hasil UCoD berdasarkan hasil output aplikasi coding mortalitas IRIS di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui ketepatan hasil UCoD yang ditetapkan oleh petugas coding berdasarkan hasil output program coding mortalitas otomatis IRIS. b. Mengetahui hubungan antara ketepatan UCoD dengan jumlah kondisi menuju kematian.
5 D. Manfaat 1. Manfaat Teoritis a. Bagi institusi pendidikan Bagi institusi pendidikan, laporan penelitian dapat dijadikan tambahan khasanah ilmu di bidang rekam medis dan koleksi referensi bagi akademisi, serta sebagai indikator kualitas lulusan yang akan terjun mengabdikan diri pada masyarakat. b. Bagi Peneliti lain Manfaat laporan penelitian bagi peneliti lain yaitu sebagai bahan rujukan kepustakaan, khususnya penelitian dengan topik yang hampir sama. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Instansi Pemerintah Manfaat laporan penelitian bagi instansi pemerintah, yaitu sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. b. Bagi Fasilitas pelayanan kesehatan Manfaat laporan penelitian bagi fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebagai bahan pertimbangan untuk mengaplikasikan hasil penelitian guna meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat c. Bagi peneliti Bagi peneliti, laporan penelitian merupakan sarana pendalaman ilmu pengetahuan di bidang rekam medis yang didapat di perkuliahan serta pengalaman intelektual yang dapat meningkatkan pemahaman di bidang coding penyebab dasar kematian. E. Keaslian 1. Hidayat (2014) dengan judul Evaluasi Ketepatan Kode Diagnosis Penyebab Dasar Kematian Berdasarkan ICD-10 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Penelitian Hidayat (2014) menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, peneliti bermaksud memberi
6 gambaran tentang pelaksansan penentuan kode diagnosis penyebab dasar kematian di RS Panti Rapih Yogyakarta, presentase ketepatan hasil diagnosis penyebab dasar kematian serta faktor- faktor yang menyenyebabkan ketidaktepatan kode sebab dasar kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengodean sebab dasar kematian di RS Panti Rapih Yogyakarta belum sepenuhnya sesuai dengan ICD-10, staff coding sebab kematian hanya mengode diagnosis yang sudah dituliskan oleh dokter. Hasill presentasi ketepatan UCoD sebesar 79,53% tepat, dan 20, 47% tidak tepat. Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktepatan kode sebab dasar kematian adalah tidak adanya SPO tentang pengodean sebab dasar kematian, belum digunakannya tabel MMDS sebagai milik rumah sakit yang dijadikan fasilitas untuk staff coding, tidak semua dokter mengisi diagnosis sebab dasar kematian, dan tidak adanya audit coding atau evaluasi ketepatan kode sebab dasar kematian. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hidayat (2014) terletak pada bahasannya megenai sebab dasar kematian. Perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya. Penelitian Hidayat (2014) berfokus pada penyebab dasar kematian yang terdapat di rumah sakit, sedangkan penelitian ini berfokus pada penyebab kematian untuk kasus kematian di rumah atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Tiyandita (2015) dengan judul Pelaksanaan Penentuan Penyebab Kematian di RSUD dr. Soedirman Kebumen Penelitian Tiyandita (2015) bertujuan untuk mengetahui gambaran perlaksanaan pendokumentasian diagnosis penyebab kematian, pelaksanaan pengodean diagnosis penyebab kematian, dan mengetahui kesesuaian penentuan kode Underlying Cause of Death (UCoD) RSUD dr. Soedirman Kebumen, serta mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan penentuan penyebab kematian serta upaya yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif serta rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan penentuan penyebab kematian belum sesuai dengan
7 ketentuan karena masih mencantumkan kondisi seperti karena masih mencantumkan kondisi seperti symptom dan mode of dying serta proses pendokumentasian diagnosis ke dalam formulir penyebab kematian belum sesuai dengan aturan yang ada di dalam ICD-10. Pelaksanaan penentuan diagnosis underlying cause of Death belum sepenuhnya menerakan aturan rule seleksi yang ada di dalam ICD- 10. Penentua UCoD seringkali didasarkan pada pemahaman masingmasing petugas dengan mempertimbangkan diagnosis yang tertulis di resume medis pasien. Persentase kesesuaian penentuan kode diagnosis penyebab dasar kematian di RSUD dr. Soedirman Kebumen dari 166 sampel adalah sebesar 115 atau 69,28%. Sedangkan ketidaksesuaian penentuan kodes diagnosis adalah sebesar 51 berkas atau 72%. Faktor yang menghambat pelaksanan penentuan penyebab kematian adalah berasal dari man dan methode. Persamaan penelitian ini dengan milik Tiyandita (2015) terletak pada bahasannya tentang kode diagnosis penyebab dasar kematian, sedangkan perbedaannya terletak pada spesifikasi kasus kematiannya. Penelitian ini lebih membahas tentang penyebab dasar kematian untuk kasus kematian di luar fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan penelitian Tiyandita (2015) menekankan pada kasus kematian di rumah sakit. Perbedaan lain yaitu pada tujuan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hipotesis. 3. Maghfuroh (2013) dengan judul Analisis Kode Diagnosis Pada Berkas Rekam Medis dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Penelitan Maghfuroh (2013) menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan rancangan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengodean, analisis kode diagnosis serta faktor-faktor penyebab ketidaksesuaian dan ketidaktepatan kode diagnosis pasien rawat inap pada berkas rekam medis dan pada Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit berdasarkan ICD-10. Pelaksanaan
8 pengodean pada berkas rekam medis dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit belum sesuai dengan prosedur tetap. Dari data hasil analisis dapat diketahui bahwa kesesuaian kode diagnosis antara berkas rekam medis dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit adalah 27,36%. Hasil analisis ketepatan kode diagnosis tepat sampai karakter ketiga, keempat, dan kelima sebanyak 50,44%pada berkas rekam medis dan 33,92% pada SIM RS. Faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian dan ketidaktepatan kode diagnosis pasien rawat inap adalah faktor sumber daya manusia, prosedur tetap, komunikasi, cara penentuan kode diagnosis, dan infrastruktur yaitu SIM RS. Persamaan penelitian ini dengan milik Maghfuroh terletak pada bahasannya tentang coding, sementara perededaannya terletak pada spesifikasi coding nya. Penelitian ini berfokus pada coding mortalitas,sedangkan penelitian Maghfuroh (2013) lebih menekankan pada coding morbiditas. F. Gambaran Umum Kota Yogyakarta 1. Geografis Dalam Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2014, disebutkan bahwa luas wilayah Kota Yogyakarta kurang lebih hanya 1,02 % dari seluruh luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 32,5 km 2. Terbagi menjadi 14 wilayah kecamatan (yaitu Mantijeron, Kraton, Mergangsan, Umbulharjo, Kotagede, Gondokusuman, Danurejan, Pakualaman, Gondomanan, Ngampilan, Wirobrajan, Gedongtengen, Jetis, dan Tegalrejo) dan 45 wilayah kelurahan. Pada 14 wilayah kecamatan tersebut terdapat 18 puskesmas. Secara administratif, Kota Yogyakarta berbatasan dengan : - Sebelah utara : Kabupaten Sleman - Sebelah timur : Kabupaten Bantul dan Sleman - Sebelah selatan : Kabupaten Bantul - Sebelah barat : Kabupaten Bantul dan Sleman - Sungai Code yang mengalir di bagian tengah kota - Sungai Winongo yang mengalir di bagian barat kota
9 2. Demografi Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, terjadi kenaikan jumlah penduduk di tahun 2014. Pada tahun 2013 sebanyak 406.660 jiwa dan pada tahun 2014 sebanyak 413.936 jiwa sehingga mengalami kenaikan 1,75 % atau sebanyak 7.276 jiwa. Karena itu kepadatan penduduk Kota Yogyakarta juga mengalami kenaikan menjadi 12.740 jiwa/km 2. 3. Angka Kematian a. Angka kematian ibu Sumber: Profil Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2014 Gambar 1. Grafik angka kematian Ibu di Kota Yogyakarta 2009-2014 Grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan angka kematian ibu dari Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013 dan terjadi penurunan yang signifikan pada tahun 2014 yaitu 204 per 100.000 kelahiran hidup turun menjadi 46 per 100.000 kelahiran hidup angka kematian ibu pada tahun 2014 di bandingkan dengan target MDG s sebesar < 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, maka Kota Yogyakarta sudah dapat mencapainya.
10 b. Angka kematian bayi Sumber: Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2014 Gambar 2. Grafik angka kematian bayi di Kota Yogyakarta 2009-2014 Angka Kematian Bayi adalah jumlah kematian bayi umur 0-11 bulan dibandingkan dengan jumlah kelahiran hidup. Grafik menggambarkan trend peningkatran angka kematian bayi dalam 5 tahun terakhir. Pada Tahun 2013 angka kematian bayi sebesar 11,8 per 1000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 14,19 per 1000 kelahiran hidup pada Tahun 2014. Namun demikian apabila dibandingkan dengan target MDG s sebesar 23 / 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 Kota Yogyakarta sudah dapat mencapainya. Upaya yang telah dilaksanakan dalam upaya penurunan kematian bayi diantaranya adalah dengan penguatan sistem rujukan neonatal maupun bayi, peningkatan pengetahuan masyarakat terkait kesehatan neonatal dan bayi, peningkatan kapasitas petugas dalam menangani kegawatan neonatal dan bayi serta peningkatan ASI Eksklusif.
11 c. Angka kematian Balita Sumber: Profil Kesehatan Kota Yogyakarta Tahun 2014 Gambar 3. Grafik angka kematian balita di Kota Yogyakarta 2008-2014 Angka Kematian Anak Balita adalah jumlah kematian balita umur 12-59 bulan dibandingkan dengan jumlah kelahiran hidup. Grafik di atas menggambarkan bahwa angka kematian anak balita di Kota Yogyakarta Tahun 2008-2014 menunjukkan tren yang fluktuatif. Namun terjadi penurunan angka kematian anak balita dari Tahun 2013 sebesar 2,27 per 1000 kelahiran hidup turun menjadi 1,6 per 1000 kelahiran hidup pada Tahun 2014. Dibandingkan 16 dengan target MDG s kematian anak balita sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 maka Kota Yogyakarta sudah dapat mencapainya.