ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DILIHAT DARI RASIO PENDAPATAN DAERAH APBD TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA (APBD) DITINJAU DARI RASIO KEUANGAN (Studi Kasus di Kabupaten Sragen Periode )

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KLATEN DILIHAT DARI PENDAPATAN DAERAH PADA APBD

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA TAHUN ANGGARAN

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO APBD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BOYOLALI APBD

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

INUNG ISMI SETYOWATI B

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI SETELAH DIBERLAKUKANYA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEBELUM DAN SESUDAH DIBERLAKUKANNYA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BOYOLALI APBD

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Negara Indonesia sedang berada dalam sistem pemerintahan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. rancangan APBD yang hanya bisa diimplementasikan apabila sudah disahkan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya diatur dalam undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. angka rasio rata-ratanya adalah 8.79 % masih berada diantara 0 %-25 %

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

Rasio Kemandirian Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = x 100 Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTODA DI KABUPATEN NGANJUK

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KOTA JAMBI DI LIHAT DARI PERSPEKTIF AKUNTABILITAS

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

PENGARUH BELANJA MODAL DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP PENDAPATAN PER KAPITA

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DAN KABUPATEN KARANGANYAR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KANTOR SEKRETARIAT KABUPATEN KUTAI BARAT. Supina Sino,Titin Ruliana,Imam Nazarudin Latif

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Disusun Oleh : B

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB III METODE PENELITIAN. Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN dengan menggunakan data. Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Disusun Oleh B PROGRAM

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini merupakan hasil pemekaran ketiga (2007) Kabupaten Gorontalo. Letak

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN TINGKAT KEMANDIRIAN DAERAH DI KABUPATEN MAGETAN (TAHUN ANGGARAN )

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

Transkripsi:

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DILIHAT DARI RASIO PENDAPATAN DAERAH APBD TAHUN 20092010 Agung Wijaya B 200 080 202 Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kinerja keuangan Pemerintah Kota Surakarta dan dan Pemerintah Kota Yogyakarta dilihat dari rasio pendapatan daerah APBD tahun 20092010. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (APBD) Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta tahun anggaran 20092010. Sumber data diperoleh dari instansi terkait yaitu kantor DPPKA Kota Surakarta dan Kantor DPDPK Kota Yogyakarta. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif yang berupa rasio kemandirian, rasio efektifitas dan efisiensi, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan. Hasil analisis kinerja keuangan pada Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta secara keseluruhan sudah baik, karena dari 6 rasio hanya rasio kemandirian yang kurang efektif. Pada Kota Surakarta dibuktikan dengan rasio kemandirian yang memiliki pola hubungan instruktif. Rasio efektifitas menunjukkan adanya peningkatan efektifitas kinerja. Rasio efisiensi menunjukkan bahwa kinerja Pemkot Surakarta sudah efisien dalam memungut PAD. Rasio keserasian menunjukkan bahwa proritas pengalokasian belanja daerah lebih ditekankan pada belanja rutin daripada belanja pembangunan. Rasio pertumbuhan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Selanjutnya pada Kota Yogyakarta dibuktikan dengan rasio kemandirian yang menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang. Rasio efektifitas menunjukkan adanya penurunan efektifitas kinerja namun masih memenuhi target yang ditetapkan. Rasio efisiensi menunjukkan bahwa kinerja Pemkot Yogyakarta sudah efisien dalam memungut PAD. Rasio keserasian menunjukkan bahwa proritas pengalokasian belanja daerah lebih ditekankan pada belanja rutin daripada belanja pembangunan. Rasio pertumbuhan menujukkan pertumbuhan yang positif. Kata kunci : kinerja keuangan, rasio kemandirian, rasio efektifitas dan efisiensi, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan.

PENDAHULUAN Saat ini Negara Indonesia sedang memasuki masa transisi pemerintahan dari sistem pemerintah yang bersifat sentralistik menuju sistem pemerintah yang desentralistik sebagai perwujudan dari prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Perubahan ini realisasikan dengan memberikan otonomi kepada daerah yakni pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahannya. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pengelolaan pemerintah daerah yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Undangundang diatas juga telah melahirkan konsep baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan, kecuali bidangbidang tertentu yang telah ditetapkan peraturan pemerintah. Tugas, beban dan tanggung jawab yang harus dijalankan pemerintah daerah juga semakin besar. Seperti yang dikemukakan oleh Susilo dan Adi (2007) dalam Setiaji (2007), bahwa peran pemerintah daerah dalam era otonomi sangat besar, karena pemerintah daerah dituntut kemandiriannya dalam menjalankan fungsinya dan melakukan pembiayaan seluruh kegiatan daerahnya. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan yaitu, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana. Penyelenggaraan fungi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung dengan sumber pembiayaan yang memadai. Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 pasal 10 menyebutkan bahwa yang menjadi sumbersumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment), antara lain berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Di samping itu didapat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak daerah, retribusi daerah, BUMD, dan lain pendapatan asli daerah. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa PAD inilah yang sebenarnya menjadi kunci utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Derajat desentralisasi menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Ketergantungan keuangan dihitung dengan membandingkan jumlah pendapatan transfer dengan total penerimaan daerah. Salah satu faktor yang dapat mendorong semakin tingginya kemampuan keuangan daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Saragih (2003) dalam Sularso (2011) mengemukakan bahwa kenaikan PAD merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diana (2008) dalam Hendraryadi (2011) melakukan penelitian mengenai analisis kinerja atas laporan keuangan pemerintah provinsi sesumatera bagian Selatan dengan indikator kemampuan keuangan daerah, efektifitas, efisiensi, aktivitas dan perkembangan APBD. Hasil analisis menunjukkan bahwa provinsi Sumatera Selatan menduduki peringkat pertama dalam evaluasi pelaksanaan laporan keuangan Pemda dan hasil elastisitas menunjukkan secara ratarata kelima provinsi memiliki nilai elastisitas pendapatan asli daerah yang inelastik. Hal ini berarti setiap daerah harus mampu menggali dan mengoptimalkan sumbersumber keuangan yang ada di daerah masingmasing dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah karena sumber utama APBD adalah pendapatan asli daerah itu sendiri. Upaya pemerintah daerah dalam menggali kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur menggunakan analisis rasio keuangan pemerintah daerah. Pengukuran kinerja keuangan pada pemerintah daerah juga digunakan untuk menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah dan melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu. Oleh

karena itu, kretifitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumbersumber keuangan akan sangat bergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas dan penulis juga mereplikasi dari penelitian Andi Prasetyo (2011) mengemukakan hasilnya bahwa kemandirian Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar relatif rendah karena tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat masih tinggi. Yang membedakan dengan penelitian yang saya lakukan terletak pada alat analisis dan obyek penelitiannya. Untuk itu penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Surakarta Dan Pemerintah Kota Yogyakarta Dilihat Dari Rasio Pendapatan Daerah APBD Tahun 20092010. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana kinerja keuangan Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta dilihat dari rasio pendapatan daerah APBD tahun 20092010? dan tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kinerja keuangan Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta dilihat dari rasio pendapatan daerah APBD tahun 20092010. TINJAUAN PUSTAKA 1. Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. (UU No.32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5). Salah satu ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat proporsi ketergantungan kepada pemerintah pusat yang semakin kecil dan diharapkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Prinsip otonomi daerah antara lain ( Darise, 2007:15 ) : prinsip otonomi seluasluasnya, prinsip otonomi yang nyata dan prinsip otonomi yang bertanggungjawab. 2. Kinerja Keuangan Daerah Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Keuangan daerah Menurut UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam penjelasan umum pasal 156 ayat (1) adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari defisi tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ( Halim, 2008:25) : a. Semua hak yang dimaksud adalah hak untuk memungut sumbersumber penerimaan daerah,seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lainlain, dan atau hak untuk menerima sumbersumber penerimaan lain seperti dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut dapat menaikkan kekayaan daerah. b. Semua kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihantagihan pada daerah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut dapat menurunkan kekayaan daerah. Sehingga kinerja keuangan daerah berdasarkan uraian diatas adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan pengeluaran dengan menggunakan indikator keuangan APBD yang ditetapkan melalui suatu kebijakan

untuk meningkatkan sumbersumber keuangan asli daerah. Bentuk dari penilaian kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari laporan pertanggungjawaban keuangan daerah berupa perhitungan APBD. Sumber penerimaan daerah berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 5 ayat 2 terdiri dari: PAD, Dana Perimbangan dan Lainlain Pendapatan. Sesuai dengan UU No. 33 Pasal 6 ayat 1, sumber PAD terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lainlain pendapatan asli yang sah. Sedangkan menurut UU No.33 Tahun 2004 pasal 10 yang termasuk dalam dana perimbangan adalah; dana bagi hasil, dana alokasi khusus, dana alokasi umum dan lainlain pendapatan. Belanja daerah sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 Pasal 1 terdiri dari belanja rutin dan belanja modal/pembangunan. 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Jenis anggaran dibagi menjadi 2 ( Mardiasmo, 2002:6667) : anggaran operasional dan anggaran modal / investasi. Prinsip penyusunan APBD sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) PP No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan Pasal 83 Permendagri No. 13/2006 sebagaimana diubah dengan Permendagri No. 21/2011 tentang perubahan kedua atas Permendagri No. 13/2006 menyatakan bahwa prinsip penyusunan APBD meliputi beberapa hal: 1. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah; 2. APBD harus disusun secara tepat waktu sesuai tahapan dan jadwal 3. Penyusunan APBD dilakukan secara transparan, dimana memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluasiuasnya tentang APBD 4. Penyusunan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat 5. APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan 6. Substansi APBD tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Di dalam pelaksanaannya, APBD mempunyai beberapa fungsi, yaitu ( Kawedar, Rohman, dan Handayani, 2011:154155 ) : Fungsi otorisasi, fungsi perencanaan, fungsi pengawasan, fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. 4. Akuntabilitas Kinerja Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban. Jadi, akuntabilitas kinerja adalah instrument partanggungjawaban yang meliputi berbagai indikator mekanisme kegiatan pengukuran, penilaian, dan pelaporan kinerja secara menyeluruh untuk memenuhi kewajiban dalam mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan. Istilah akuntabilitas juga sering disamakan dengan stewardship yaitu keduanya merupakan pertanggungjawaban. Akuntabilitas merupakan konsep yang lebih luas dari stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas suatu aktifitas secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk melaporkan, sedangkan akuntabilitas mengacu pada pertanggungjawaban oleh seorang yang diberi amanah kepada pemberi tanggung jawab dengan kewajiban membuat pelaporan dan pengungkapan secara jelas (Mahsun, 2006:8485) dalam (Ekawarna, 2009). Mardiasmo ( 2002:2021) mengkategorikan akuntabilitas menjadi dua macam yaitu : akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. 5. Analisis Rasio Keuangan pada APBD Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemda dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2008:230). Dalam rangka pengelolaan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisisi rasio terhadap anggaran pendapatan belanja

daerah perlu dilaksanakan (Halim, 2008:232). Hasil analisis rasio keuangan tersebut dapat digunakan untuk (Halim, 2008:230): (1). Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah (2). Mengukur efisiensi dan efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah (3). Mengukur sejauh mana aktifitas Pemerintah Daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya (4). Mengukur kontribusi masingmasing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah (5). Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu Macammacam rasio keuangan (Halim, 2008:232241) : 1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah. Semakin tinggi rasio kemandirian,semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio kemandirian = Bantuan Pemerintah Pusat / Provinsi + Pinjaman Paul Harsey dan Kennerth Blancard memperkenalkan hubungan situasional dalam pelaksanaan otonomi daerah ( dalam Halim, 2002:168169) : (1). Pola Hubungan Instruktif Apabila tingkat kemandirian 5% 25% berarti kemampuan keuangan daerah tersebut rendah sekali, maka daerah tersebut sangat bergantung pada pemerintah pusat yang berarti daerah tersebut tidak mampu melaksanakan otonomi daerah. (2). Pola Hubungan Konsultif Apabila tingkat kemandirian 25% 50% berarti kemampuan keuangan daerah tersebut rendah, namun campur tangan pemerintah pusat berkurang yang berarti daerah tersebut dianggap sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah. (3). Pola Hubungan Partisipatif Apabila tingkat kemandirian 50% 75% berarti kemampuan keuangan daerah tersebut sedang, dengan demikian daerah yang bersangkutan mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah. (4). Pola Hubungan Delegatif Apabila tingkat kemandirian 75% 100% berarti kemampuan keuangan daerah tersebut tinggi, maka campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah tersebut telah benar benar mampu mandiri dalam melaksanakan otonomi daerah. 2. Rasio Efektifitas Dan Efisiensi PAD Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Realisasi Penerimaan PAD Rasio Efektifitas = Target PAD

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Semakin kecil rasio efisiensi, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah. Biayayangdikeluarkan untuk memunggut PAD Rasio efisiensi = RealisasiPenerimaanPAD 3. Rasio Keserasian Rasio ini menggambarkan bagaimana pemda/pemkot memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Total Belanja Rutin a) Rasio belanja rutin terhadap APBD = Total APBD b) Rasio belanja pembantunan terhadap APBD Total BelanjaPembangunan = Total APBD 4. Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah/pemerintah kota dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masingmasing komponen penerimaan (PAD dan total pendapatan) dan pengeluaran (belanja pembangunan). Rasio pertumbuhan (growth ratio) : RPPAD = RPPADXn Xn 1 RPPADXn 1 RP ΣP = RBP Xn Xn 1 RBR RPBP = RPBR = RBPXn1 Keterangan: RPPAD : Rasio pertumbuhan PAD RPPAD : Realisasi penerimaan PAD RP P = Rasio pertumbuhan pendapatan RP P = Realisasi penerimaan pendapatan RPBP = Rasio pertumbuhan belanja pembangunan RBP =Realisasi belanja pembangunan Xn = Tahun yang dihitung Xn1 = Tahuh sebelumnya METODE PENELITIAN RPΣP Xn Xn1 RPΣP Xn 1 Xn Xn 1 RBRXn1

Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Metode pengumpulan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif komparatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif dengan sumber data diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara yang merupakan data laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (APBD) kota Surakarta dan Yogyakarta tahun anggaran 20092010. Sumber data diperoleh dari instansi yang terkait yaitu dari kantor DPPKA Kota Surakarta dan kantor DPDPK Kota Yogyakarta. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (APBD) untuk mengetahui tingkat kinerja keuangan Pemerintah Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta tahun anggaran 20092010. Tolok ukur kinerja bagian keuangan dikatakan baik apabila minimal 3 rasio dari 6 rasio keuangan memenuhi standar rasio yang ditetapkan. Definisi operasional variable dalam penelitian ini adalah : 1. Rasio kemandirian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio kemandirian = Bantuan Pemerintah Pusat / Provinsi + Pinjaman 2. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Realisasi Penerimaan PAD Rasio Efektifitas = Target PAD Biayayangdikeluarkan untuk memunggut PAD Rasio efisiensi = RealisasiPenerimaanPAD 3. Rasio Keserasian a. Total Belanja Rutin Rasio belanja rutin terhadap APBD = Total APBD b. Rasio belanja pembantunan terhadap APBD Total BelanjaPembangunan = Total APBD 4. Rasio Pertumbuhan RPPADXn Xn 1 RPPAD = RPPADXn 1 RP ΣP = RPΣP Xn Xn1 RPΣP Xn 1 RPBP = RBP Xn Xn 1 RBPXn1 RBR Xn Xn 1 RPBP = RBRXn1 Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Dalam penelitian ini, prosedur analisis data dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menggunakan metode analisis kuantitatif, yaitu perhitunganperhitungan terhadap data keuangan dengan menggunakan : Rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas dan efisiensi pendapatan asli daerah, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan 2. Menggunakan metode analisis kualitatif. 3. Memberikan saran yang dapat diimplementasikan oleh instansi tersebut untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.

HASIL PENELITIAN 1. Rasio kemandirian = Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bantuan Pemerintah Pusat / Provinsi + Pinjaman a. Rasio kemandirian Kota Surakarta 20092010 Rasio kemandirian tahun 2009 = Rasio kemandirian tahun 2010 = 101.972.318.682 626.965.862.270 = 16.26 % 113.946.007.541.85 744.567.959.830 = 15.3 % Berdasarkan perhitungan diatas maka dapat diketahui tingkat rasio kemandirian keuangan daerah Kota Surakarta pada tahun 2009 adalah 16.26% dan mengalami penurunan sebesar 0.96% pada tahun 2010 dengan tingkat kemandirian keuangan daerah sebesar 15.3%. Maka dapat diketahui bahwa Kota Surakarta memiliki pola hubungan instruktif yang berarti bahwa tingkat kemandirian Pemerintah Kota Surakarta pada tahun anggaran 20092010 masih tergolong rendah sekali. Hal ini membuktikan tingkat ketergantungan Pemerintah Kota Surakarta terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi) tergolong masih tinggi Oleh karena itu perlu adanya usaha yang lebih maksimal lagi dari Pemerintah Kota Surakarta untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber dana ekstern baik melalui pengoptimalan sumber pendapatan yang sudah ada maupun dengan meminta kewenangan yang lebih luas untuk mengelola sumber pendapatan lain yang sampai saat ini masih dikuasai pusat maupun provinsi. Selain itu juga perlu adanya usaha untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membayar retribusi dan pajak daerah. b. Rasio kemandirian Kota Yogyakarta 20092010 Rasio kemandirian tahun 2009 = 161.473.838.209.95 588.515.178.157 = 27.44 % 179.423.640.057.51 Rasio kemandirian tahun 2010 = 636.072.284.594 = 28.21 % Berdasarkan table IV.6 maka dapat diketahui tingkat rasio kemandirian keuangan daerah Kota Yogyakarta pada tahun 2009 adalah 27.44% dan mengalami kenaikan tahun 2010 menjadi 28.21%. Rasio ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki pola

hubungan konsultif yang berarti bahwa tingkat kemandirian Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun anggaran 20092010 masih tergolong rendah. Namun hal ini juga membuktikan bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang yang berarti Pemerintah Kota Yogyakarta sudah dianggap sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu perlu adanya usaha yang maksimal dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk terus meningkatkan sumber pendapatan yang telah ada untuk terus mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber dana eksternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi). Salah satu cara yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk meningkatkan sumber PAD adalah dengan mengoptimalkan sektor wisata yang telah ada. Realisasi Penerimaan PAD 2. Rasio Efektifitas = Target PAD a. Rasio efektifitas Kota Surakarta 20092010 101.972.318.682 Rasio efektifitas Tahun 2009 = 110.842.157.600 Rasio efektifitas tahun 2010 = = 92 % 113.946.007.541.85 114.429.357.815 = 99.58 % Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa rasio efektifitas Kota Surakarta dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dapat dikatakan sudah efektif. Hal ini dapat dilihat dari rasio efektifitas Kota Surakarta tahun anggaran 2009 yaitu sebesar 92% dan mengalami peningkatan sebesar 7.58% pada tahun anggaran 2010 yang mencapai rasio efektifitas sebesar 99.58%. b. Rasio efektifitas Kota Yogyakarta 20092010 161.473.838.209.95 Rasio efekrifitas tahun 2009 = 145.446.398.106 Rasio efektifitas tahun 2010 = = 111.02 % 179.423.640.057.51 175.872.008.293 = 102.02 % Dari perhitungan tabel IV.8 di atas dapat diketahui bahwa rasio efektifitas Kota Yogyakarta tahun anggaran 2009 sebesar 111.02% namun mengalami penurunan sebesar 9% pada tahun anggaran 2010 yang hanya mencapai rasio efektifitas sebesar 102.02%. Meskipun mengalami penurunan sebesar 9% namun kinerja Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mencapai realisasi anggaran penerimaan PAD sudah bisa dikatakan sangat efektif. Hal ini dibuktikan

dengan ratarata rasio efektitas Kota Yogyakarta sebesar 106.52% dan rasio efektifitas tahun 2009 dan 2010 yang masingmasing telah mencapai lebih dari 100 persen. 3. Rasio efisiensi = Biayayangdikeluarkan untuk memunggut PAD RealisasiPenerimaanPAD a. Rasio efisiensi Kota Surakarta 20092010 3.476.659. 900 Rasio efisiensi tahun 2009 = 101.972.318.682 = 3.41 % Rasio efisiensi tahun 2010 = 3.659.642.000 113.946.007.541.85 = 3.21 % Dari perhitungan tabel IV.10 dapat diketahui bahwa rasio efisiensi Pemerintah Kota Surakarta pada tahun anggaran 2009 adalah sebesar 3.41% dan menurun di tahun 2010 dengan rasio efisiensi sebesar 3.21%. Penurunan ini menunjukkan adanya peningkatan kinerja Pemerintah Kota Surakarta didalam memungut PAD (dalam hal ini pajak daerah). Hal ini menggambarkan kinerja Pemerintah Kota Surakarta sudah efisien yang dibuktikan dengan hasil rasio yang kurang dari 100 %. b. Rasio efisiensi Kota Yogyakarta 20092010 Rasio efisiensi tahun 2009 = 11.763.841.131.2 161.473.838.209.95 = 7.28 % Rasio efisiensi tahun 2010 = 11.017.377.015.2 179.423.640.057.51 = 6.14 % Dari perhitungan tabel IV.13 dapat diketahui bahwa rasio efisiensi Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun anggaran 2009 adalah sebesar 7.28% dan menurun di tahun 2010 dengan rasio efisiensi sebesar 6.14. Penurunan tingkat rasio efisiensi di tahun 2010 ini membuktikan bahwa adanya peningkatan kinerja yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini menggambarkan kinerja Pemerintah Kota Yogyakarta didalam memungut PAD (dalam hal ini pajak daerah dan retribusi daerah) sudah efisien yang dibuktikan dengan hasil rasio yang kurang dari 100 %. 4. Rasio keserasian a. Rasio belanja rutin terhadap APBD = Total Belanja Rutin Total APBD

Total BelanjaPembangunan b. Rasio belanja pembantunan terhadap APBD = Total APBD (1) a. Rasio belanja rutin Kota Surakarta 20092010 516.474.493.148 Tahun 2009 = 747.303.130.803 Tahun 2010 = = 69.11 % 599.515.928.649.60 825.858.500.472.25 = 72.59 % Berdasarkan perhitungan tabel IV.14 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar belanja daerah Pemerintah Kota Surakarta lebih besar dialokasikan untuk belanja rutin. Persentase belanja rutin pada tahun 2009 sebesar 69.11% dan meningkat sebesar 3.48% di tahun 2010 dengan nilai persentase sebesar 72.59%. Peningkatan dan pengalokasian sebagian besar belanja daerah untuk belanja rutin ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta dalam mengelola keuangan daerahnya lebih diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin perangkat daerah. b. Rasio belanja pembangunan Kota Surakarta 20092010 Tahun 2009 = 230.828.637.655 747.303.130.803 = 30.89 % 226.342.571.822.65 Tahun 2010 = 825.858.500.472.25 = 27.4 % Rasio belanja pembangunan Pemerintah Kota Surakarta berdasarkan perhitunga diatas terlihat bahwa pada tahun 2009 menunjukkan angka persentase sebesar 30.89% dan menurun sebesar 3.49% di tahun 2010 dengan angka persentase sebesar 27.4%. Penurunan ini menunjukkan adanya tingkat pembangunan daerah yang kurang stabil yang cenderung kurang baik untuk menunjang pembangunan daerahnya. (2)a. Rasio belanja rutin Kota Yogyakarta 20092010 474.846.213.225.86 Tahun 2009 = 783.851.692.759.66 Tahun2010 = = 60.58 % 535.464.145.542.43 839.866.480.661.43 = 63.75 %

Persentase belanja rutin pada tahun 2009 sebesar 60.58% dan meningkat sebesar 3.17% di tahun 2010 dengan nilai persentase sebesar 63.75%. Peningkatan dan pengalokasian sebagian besar belanja daerah untuk belanja rutin ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengelola keuangan daerahnya lebih diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin perangkat daerah. b. Rasio belanja pembangunan Kota Yogyakarta 20092010 309.005.479.533.80 Tahun 2009 = 783.851.692.759.66 = 39.42 % 304.402.335.119 Tahun 2010 = 839.866.480.661.43 = 36.24 % Rasio belanja pembangunan Pemerintah Kota Yogyakarta berdasarkan perhitungan diatas terlihat bahwa pada tahun 2009 menunjukkan angka persentase sebesar 39.42% dan menurun sebesar 3.18% di tahun 2010 dengan angka persentase sebesar 36.24%. Penurunan ini menunjukkan adanya tingkat pembangunan daerah yang kurang stabil yang cenderung kurang baik untuk menunjang pembangunan daerahnya. 5. Rasio Pertumbuhan Perbandingan Keseluruhan Rasio Keuangan Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 20092010 Rasio Keuangan Surakarta Yogyakarta 2009 2010 2009 2010 Rasio Kemandirian 16.26% 15.3% 27.44% 28.21% Rasio Efektifitas 92% 99.58% 111.02% 102.02% Rasio Efisiensi 3.41% 3.21% 7.28% 6.14% Rasio Keserasian a. Rasio Belanja Rutin b. Rasio Belanja Pembangunan Rasio Pertumbuhan a. Rasio Pertumbuhan PAD b. Rasio Pertumbuhan Pendapatan c. Rasio Pertumbuhan Belanja Rutin d. Rasio Pertumbuhan Belanja Pembangunan 69.11% 30.89% 72.59% 27.4% 11.74% 17.77% 16.08% (1.94%) 60.58% 39.42% 63.75% 36.24% 11.12% 8.73% 12.76% (1.49%)

KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan Rasio kemandirian Kota Yogyakarta tahun anggaran 20092010 lebih baik daripada Kota Surakarta tahun anggaran 20092010. Rasio efektifitas Kota Yogyakarta tahun anggaran 20092010 lebih efektif daripada Kota Surakarta tahun anggaran 20092010. Rasio efisiensi Kota Surakarta tahun anggaran 20092010 lebih efisien daripada Kota Yogyakarta tahun anggaran 20092010. Rasio keserasian Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta tahun anggaran 20092010 samasama lebih mengalokasikan belanja daerahnya untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan. Rasio pertumbuhan PAD Kota Surakarta tahun anggaran 2010 sedikit lebih baik daripada Kota Yogyakarta tahun anggaran 2010. Rasio pertumbuhan pendapatan Kota Surakarta tahun anggaran 2010 lebih baik daripada Kota Yogyakarta tahun anggaran 2010. Rasio pertumbuhan belanja rutin Kota Surakarta tahun anggaran 2010 lebih besar daripada Kota Yogyakarta tahun anggaran 2010. Rasio pertumbuhan belanja pembangunan Kota Yogyakarta tahun anggaran 2010 sedikit lebih besar daripada Kota Surakarta tahun anggaran 2010. Untuk itu sebaiknya Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta samasama meningkatkan kinerja bagian keuangannya supaya seluruh standar keenam rasio terpenuhi sesuai target dan tujuan yang ditetapkan. Saran Bagi peneliti selanjutnya hendaknya menganalisis secara keseluruhan unsure perkembangan APBD sehingga hasil yang didapat akan lebih lengkap dan menyeluruh. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik apabila menambah model rasio yang digunakan agar hasil penelitian yang didapat lebih lengkap. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik apabila menambah objek penelitian dan tahun anggaran yang digunakan agar mendapatkan hasil penelitian yang lengkap. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya lebih mengembangkan model penganalisaan yang lebih luas, tidak hanya berfokus pada rasio keuangannya saja.

DAFTAR PUSTAKA Darise,Nurlan, 2007, Pengelolaan Keuangan Daerah, Indeks. Ekawarna, Shita Unjaswati, dkk, 2009, Pengukuran Kinerja Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Daerah Kabupaten Muaro Jambi, Jurnal Cakrawaka Akuntansi Vol. 1, No. 1, Februari 2009 Fachruzzaman, 2010, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Di Kota Bengkulu., Simposium Nasonal Akuntansi XIII, Purwokerto. Hairunisya, Nanis, 2008, Penilaian Kinerja Bagian Keuangan Pemkab Probolinggo Menggunakan Analisis Rasio Keuangan APBD, Jurnal Ekonomika Vol. 2, No. 2, Desember 2008 Halim,A, 2001, Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama,Yogyakarta: UPF Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Halim,A, 2002, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat. Halim, A, 2008, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Tiga Jakarta: Salemba Empat. Hendraryadi, Sigit, 2011, Perbandingan Indicator Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Antara Tahun 20082010, Skripsi, Program Sarjana (SI) Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, (tidak dipublikasikan). Hidayat, Paidi, dkk, 2007, Analisis Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12, No. 3, Desember 2007 Kawedar, Warsito, dkk, 2011, Akuntansi Sektor Publik: Pendekatan Penganggaran Daerah dan Akuntansi Keuangan Daerah, Volume Satu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta:ANDI Prasetyo, Andy, 2011, Analisis Kinerja Pemerintah Kabupaten Karanganyar Dilihat Dari Rasio Pendapatan Daerah APBD Tahun 20062008, Skripsi, Program Sarjana (SI) Fakultas Ekonomi UMS, Surakarta. Setiaji, Wirawan. dan Priyo Hari Adi, 2007, Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran?, Simposioum Nasional Akuntansi X, Makassar. Sularso, Havid, 2011, Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal Dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah, Media Riset Akuntansi, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 Susetyo, Didik, 2008, Kinerja APBD Kabupaten/Kota Di Sumatera Selatan, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.6, No.1, Juni 2008. Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undangundang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.