PEDOMAN. Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd.

dokumen-dokumen yang mirip
PANDUAN PENENTUAN KLASIFIKASI FUNGSI JALAN DI WILAYAH PERKOTAAN

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 14 (Empat belas)

PENENTUAN KLASIFIKASI FUNGSI JARINGAN JALAN PERKOTAAN STUDI KASUS KOTA BANDA ACEH. Adnal Shafir Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Universitas Gunadarma

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini kemacetan dan tundaan di daerah sering terjadi, terutama di

Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 03/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN FUNGSI JALAN DAN STATUS JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB V PENUTUP

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

PEDOMAN. Perencanaan Bundaran untuk Persimpangan Sebidang DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd.

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

BAB III LANDASAN TEORI

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

BAB I PENDAHULUAN. R. Nur Sholech E W / I-1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perancangan Detail Peningkatan Ruas Jalan Cihampelas Kota Bandung Provinsi Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PENENTUAN ANGKA EKIVALEN BEBAN SUMBU KENDARAAN DI RUAS JALAN PADALARANG CIANJUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persyaratan Teknis jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER. Jalan Karangmenjangan Jalan Raya BAB I

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

BAB 3 GAMBARAN UMUM KAWASAN JALAN CIHAMPELAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Nasional. Salah satu bidang yang terus mengalami perkembangan yaitu Bidang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan I-1

No Angkutan Jalan nasional, rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi, dan rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkuta

Merasakan Perjalanan di Jalan Sholeh Iskandar

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 3 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

ANALISIS KINERJA JALAN KOMYOS SUDARSO PONTIANAK

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

Perancangan Fasilitas Pejalan Kaki Pada Ruas Jalan Cihampelas Sta Sta Kota Bandung Untuk Masa Pelayanan Tahun 2017 BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

BAB I PENDAHULUAN. raya adalah untuk melayani pergerakan lalu lintas, perpindahan manusia dan

TERMINAL TOPIK KHUSUS TRANSPORTASI

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

EVALUASI U-TURN RUAS JALAN ARTERI SUPADIO KABUPATEN KUBU RAYA

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Teks B. Disertasi/Tesis/Tugas Akhir

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

STUDI SEKTORAL (12) TRANSPORTASI DARAT

STUDI PENANGANAN JALAN RUAS BUNDER LEGUNDI AKIBAT PEKEMBANGAN LALU - LINTAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN DI KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI TAPIN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN LAPORAN TUGAS AKHIR I - 1. D4 Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bandung

BAB III LANDASAN TEORI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

EVALUASI KINERJA JALAN PADA PENERAPAN SISTEM SATU ARAH DI KOTA BOGOR

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transportasi merupakan sistem yang bersifat multidisiplin bidang PWK, ekonomi, sosial, engineering, hukum, dll

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN

KAJIAN PERBAIKAN KINERJA LALU LINTAS DI KORIDOR GERBANG PERUMAHAN SAWOJAJAR KOTA MALANG

BAB II KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. Tetapi sebaliknya, bila transportasi tidak ditata dengan baik maka mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Jalan sebagai salah satu sarana transportasi darat mempunyai peranan

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2018, No Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan U

PEMERIKSAAN KESESUAIAN KRITERIA FUNGSI JALAN DAN KONDISI GEOMETRIK SIMPANG AKIBAT PERUBAHAN DIMENSI KENDARAAN RENCANA

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

sementara (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996).

BAB 2 TINJAUAN TEORI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-18-2004-B Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

Daftar isi Daftar isi Daftar tabel Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii iv 1 Ruang lingkup. 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Ketentuan umum. 4 4.1 Struktur hirarki perkotaan dan sistem jaringan jalan primer.. 4 4.2 Struktur kawasan perkotaan dan sistem jaringan jalan sekunder. 6 5 Ketentuan teknis ( Kriteria penetapan klasifikasi fungsi jalan )... 8 5.1 Jalan arteri primer.. 8 5.2 Jalan kolektor primer. 11 5.3 Jalan lokal primer 13 5.4 Jalan arteri sekunder. 14 5.5 Jalan kolektor sekunder 16 5.6 Jalan lokal sekunder. 18 6 Cara penentuan klasifikasi fungsi jalan 20 6.1 Umum 20 6.2 RTRWN / RTRW Provinsi / RTRW Kabupaten/Kota. 20 6.3 Hirarki sistem pusat kegiatan dalam sistem primer.. 20 6.4 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.... 21 6.5 Struktur hirarki/fungsi kawasan primer dan sekunder di kawasan perkotaan.. 21 6.6 Karakteristik eksisting ( lapangan ).. 21 6.7 Penilaian kesesuaian... 22 6.8 Penentuan dan rekomendasi penetapan klasifikasi fungsi jalan. 22 6.9 Pertimbangan lain dalam menentukan klasifikasi jalan... 23 6.10 Evaluasi dan umpan balik.. 23 Lampiran A Daftar nama dan lembaga ( informatif ). Bibliografi.. 25 26 Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, No. 260/KPTS/M/2004, Tanggal 10 Mei 2004. i

Daftar tabel Tabel 1 Tabel 2 Hubungan antara hirarki kota dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan primer. Hubungan antara kawasan perkotaan dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder 4 6 Daftar gambar Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Sistem jaringan jalan primer....... Sistem jaringan jalan sekunder.. Sketsa hipotesis hirarki jalan perkotaan...... Tipikal penampang melintang jalan arteri primer... Konsep klasifikasi fungsi jalan dalam hubungannya dengan tingkat akses..... Tipikal penampang melintang jalan kolektor primer... Tipikal penampang melintang jalan lokal primer..... Tipikal penampang melintang jalan arteri sekunder. Tipikal penampang melintang jalan kolektor sekunder.. Tipikal penampang melintang jalan lokal sekunder.... Bagan alir proses penentuan klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan.. 5 7 9 10 11 12 13 15 17 19 24 ii

Prakata Pedoman penentuan klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan ini disusun oleh Panitia Teknik Standarisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan, melalui Gugus Kerja Sistem Transportasi pada Sub Panitia Teknik Bidang Prasarana Transportasi. Pedoman ini diprakarsai oleh Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pedoman ini merupakan penyempurnaan dari Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No. 10/T/BNKT/1990 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Jalan Kota (Binkot), Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, tahun 1990. Dengan adanya pedoman ini, pedoman tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi semua pihak yang terlibat dalam penentuan klasifikasi fungsi jalan khususnya jalan yang berada di kawasan perkotaan. Pedoman ini telah mengakomodasi masukan dari Perguruan Tinggi, Asosiasi Profesi, Instansi Pusat/Daerah, anggota Gugus Kerja Sistem Transportasi, anggota Sub Panitia Teknik Bidang Prasarana Transportasi dan anggota Panitia Teknik Bidang Konstruksi dan Bangunan. Tata cara penulisan pedoman ini mengacu pada pedoman dari Badan Standarisasi Nasional No. 8 tahun 2000. iii

Pendahuluan Pedoman penentuan klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan dimaksudkan agar ada kesepakatan antara Pemerintah (Pusat), Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten dalam penentuan klasifikasi fungsi jalan yang ada di kawasan perkotaan, seiring dengan perkembangan jaringan jalan di kawasan perkotaan. Pedoman ini merupakan penyempurnaan pedoman serupa yang disusun oleh Direktorat ngalami kesulitan dalam memahami dan menerapkan penentuan klasifikasi jalan di lapangan, karena penjelasan mengenai pengertian dan kriterianya terlalu banyak, sedangkan substansi pedoman atau petunjuk pemakaiannya hanya diuraikan sekilas, sehingga mengaburkan maksud dari pedoman/petunjuk itu sendiri. Pedoman ini juga telah memperhatikan kemungkinan adanya perubahan Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1980 tentang Jalan, Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 tahun 1985 tentang Jalan maupun Peraturan Pemerintah RI Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ( RTRWN ). Dengan telah dikeluarkan pedoman klasifikasi fungsi jalan ini, diharapkan semua ruas jalan yang ada dan yang akan ada dapat ditentukan klasifikasi fungsinya, sehingga terjadi efisiensi dalam penggunaan jalan dan tidak terjadi tumpang tindih dalam penggunaannya, yang berakibat pada kemacetan jalan. Sesuai dengan Undang-Undang RI No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah RI No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi, bahwa peran Departemen Teknis bertugas menyiapkan Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM), baik berupa Perundang-undangan, Standar Nasional Indonesia (SNI) maupun Pedoman Teknis kepada Pemerintah Daerah agar dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik, efektif dan efisien. Pedoman ini diutamakan untuk jalan-jalan di kawasan perkotaan, sedangkan jalan-jalan yang membentuk sistem primer hanya disinggung sepintas, karena penentuan klasifikasi fungsi jalan primer yang masuk wilayah/kawasan perkotaan (menerus) mengikuti pedoman lain. Untuk penentuan sistem jaringan jalan primer di dalam kawasan perkotaan (akses ke kawasan primer) didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku, seperti Peraturan Daerah, dll. iv

Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan 1 Ruang lingkup Pedoman ini mencakup tata cara penentuan klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan, yang terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sekunder, termasuk sistem jaringan jalan, ciri-ciri dan kriteria untuk fungsi ruas jalan. 2 Acuan normatif Undang-Undang RI Nomor : 13 Tahun 1980 tentang Jalan; Undang-Undang RI Nomor : 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah RI Nomor : 26 Tahun 1985 tentang Jalan; Peraturan Pemerintah RI Nomor : 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). 3 Istilah dan definisi 3.1 sistem jaringan jalan primer sistem jaringan jalan yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur ruang wilayah nasional, yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi. [ Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985 ] 3.2 jaringan jalan primer jaringan jalan yang menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal, dan pusat kegiatan di bawahnya sampai ke persil dalam satu satuan wilayah pengembangan. 3.3 jalan arteri primer jalan yang secara efisien menghubungkan antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. 3.4 jalan kolektor primer jalan yang secara efisien menghubungkan antar pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. 1 dari 26

3.5 jalan lokal primer jalan yang secara efisien menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan persil atau pusat kegiatan wilayah dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan di bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat kegiatan dibawahnya sampai persil. 3.6 pusat kegiatan nasional (PKN) kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya, serta sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, simpul transportasi melayani beberapa provinsi dan nasional, dengan kriteria penentuan kota yang mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya, pusat jasajasa pelayanan keuangan/bank yang cakupan pelayanannya berskala nasional/beberapa propinsi, pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional/beberapa provinsi, simpul transportasi sacara nasional/beberapa propinsi, jasa pemerintahan untuk nasional/beberapa provinsi, jasa publik yang lain untuk nasional/ beberapa provinsi. [Peraturan Pemerintah RI No. 47/1997] 3.7 pusat kegiatan wilayah (PKW) kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan dan simpul transportasi yang melayani beberapa kabupaten, dengan kriteria penentuan : pusat jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani beberapa kabupaten, pusat pengolahan/pengumpul barang yang melayani kabupaten, simpul transportasi untuk beberapa kabupaten, pusat pelayanan jasa pemerintahan untuk beberapa kabupaten, pusat pelayanan jasa yang lain untuk beberapa kabupaten. [Peraturan Pemerintah RI No. 47/1997] 3.8 pusat kegiatan lokal (PKL) kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan dan simpul transportasi yang mempunyai pelayanan satu kabupaten atau beberapa kecamatan, dengan kriteria penentuan : pusat jasa keuangan/bank yang melayani satu kabupaten atau beberapa kecamatan, pusat pengolahan/pengumpul barang untuk beberapa kecamatan, jasa pemerintahan untuk beberapa kecamatan, bersifat khusus dalam arti mendorong perkembangan sektor strategis. [Peraturan Pemerintah RI No. 47/1997] 3.9 kota di bawah pusat kegiatan lokal (PK < PKL) kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari pusat kegiatan lokal dan terikat jangkauan serta orientasi yang mengikuti prinsip-prinsip di atas. [Peraturan Pemerintah RI No. 47/1997] 2 dari 26

3.10 sistem jaringan jalan sekunder sistem jaringan jalan yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. [Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985] 3.11 jalan arteri sekunder jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. [Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985] 3.12 jalan kolektor sekunder jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. [Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985] 3.13 jalan lokal sekunder jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. [Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985] 3.14 kawasan wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya. [Undang Undang RI No. 24/1992] 3.15 kawasan perkotaan kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. [Undang Undang RI No. 24/1992] 3.16 kawasan primer kawasan kota yang mempunyai fungsi primer; fungsi primer sebuah kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga kota itu sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal; fungsi primer dan fungsi sekunder harus tersusun teratur dan tidak terbaurkan; fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua dan seterusnya terikat dalam satu hubungan hirarki. 3 dari 26

3.17 kawasan sekunder kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder; fungsi sekunder sebuah kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga kota itu sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal; fungsi ini dapat mengandung fungsi yang terkait pada pelayanan jasa yang bersifat pertahanan keamanan yang selanjutnya disebut fungsi sekunder yang bersifat khusus; fungsi primer dan fungsi sekunder harus tersusun teratur dan tidak terbaurkan; fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua dan seterusnya terikat dalam satu hubungan hirarki. 3.18 fungsi primer fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya. 3.19 fungsi sekunder fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan penduduk kota itu sendiri. 3.20 wilayah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait pada yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. [Undang Undang RI No. 24/1992] 4. Ketentuan umum 4.1. Struktur hirarki perkotaan dan sistem jaringan jalan primer Hubungan antara hirarki perkotaan dengan peranan ruas jalan penghubungnya dalam sistem jaringan jalan primer diberikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1 disajikan dalam bentuk matrik dan Gambar 1 disajikan dalam bentuk diagram. Tabel 1 Hubungan antara hirarki kota dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan primer PERKOTAAN PKN PKW PKL PK<PKL PERSIL PKN Arteri Arteri Lokal Lokal Lokal PKW Arteri Kolektor Kolektor Lokal Lokal PKL Lokal Kolektor Lokal Lokal Lokal PK<PKL Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal PERSIL Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal 4 dari 26

PKN JALAN ARTERI PRIMER (JAP) PKN JALAN ARTERI PRIMER (JAP) JALAN ARTERI PRIMER (JAP) PKW JALAN KOLEKTOR PRIMER (JKP) PKW JALAN LOKAL PRIMER (JLP) JALAN KOLEKTOR PRIMER (JKP) PKL JALAN KOLEKTOR PRIMER (JKP) JALAN LOKAL PRIMER (JLP) PKL JALAN LOKAL PRIMER (JLP) JALAN LOKAL PRIMER (JLP) JALAN LOKAL PRIMER (JLP) PK DI BAWAH PKL JALAN LOKAL PRIMER (JLP) PERSIL Gambar 1 Sistem jaringan jalan primer 5 dari 26

4.2. Struktur kawasan perkotaan dan sistem jaringan jalan sekunder Struktur kawasan perkotaan dapat dibagi dalam beberapa kawasan berdasarkan fungsi dan hirarkinya, antara lain, kawasan primer, sekunder dan perumahan. Hubungan antara kawasan perkotaan dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder diberikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2 disajikan dalam bentuk matrik dan Gambar 2 disajikan dalam bentuk diagram. Tabel 2 Hubungan antara kawasan perkotaan dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder PRIMER SEKUNDER SEKUNDER SEKUNDER KAWASAN I II III PERUMAHAN PRIMER ( F 1 ) SEKUNDER I ( F 2.1 ) SEKUNDER II ( F 2.2 ) SEKUNDER III ( F 2.3 ) ( F 1 ) ( F 2.1 ) ( F 2.2 ) ( F 2.3 ) - Arteri - - - Arteri Arteri Arteri - Lokal - Arteri Kolektor Kolektor Lokal - - Kolektor Kolektor Lokal PERUMAHAN - Lokal Lokal Lokal Lokal 6 dari 26

F 1 Kawasan Primer JALAN ARTERI SEKUNDER(JAS) JALAN ARTERI SEKUNDER (JAS) F 2.1 Kawasan Sekunder I JALAN ARTERI SEKUNDER (JAS) F 2.1 Kawasan Sekunder I JALAN ARTERI SEKUNDER (JAS) JALAN ARTERI SEKUNDER (JAS) F 2.2 Kawasan Sekunder II JALAN KOLEKTOR SEKUNDER (JKS) F 2.2 Kawasan Sekunder II JALAN LOKAL SEKUNDER (JLS) JALAN KOLEKTOR SEKUNDER (JKS) JALAN LOKAL SEKUNDER (JLS) F 2.3 Kawasan Sekunder III JALAN LOKAL SEKUNDER (JLS) F 2.3 Kawasan Sekunder III JALAN LOKAL SEKUNDER (JLS) Perumahan JALAN LOKAL SEKUNDER (JLS) Perumahan Gambar 2 Sistem jaringan jalan sekunder 7 dari 26

5. Ketentuan teknis (Kriteria penetapan klasifikasi fungsi jalan) Kriteria disini dimaksudkan sebagai ciri-ciri umum, yang diharapkan pada masing-masing fungsi jalan, dan merupakan arahan untuk fungsi jalan yang perlu dipenuhi/didekati. Sketsa hipotetis hirarki jalan perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3. 5.1. Jalan arteri primer Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan arteri primer harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) kriteria-kriteria jalan arteri primer terdiri atas: - jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam (km/h); - lebar badan jalan arteri primer paling rendah 11 (sebelas) meter (Gambar 4); - jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien; jarak antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter; - persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya; - jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas ratarata; - besarnya volume lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan yang lain; - harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan dan lain-lain; - jalur khusus seharusnya disediakan, yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya; - jalan arteri primer seharusnya dilengkapi dengan median jalan. b) ciri-ciri jalan arteri primer terdiri atas : - jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan jalan arteri primer luar kota; - jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer; - lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional; untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, dan lalu lintas lokal, dari kegiatan lokal (Gambar 5); - kendaraan angkutan barang berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan melalui jalan ini; - lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan tidak diijinkan; - jalan arteri primer dilengkapi dengan tempat istirahat pada setiap jarak 25 km. 8 dari 26

Bandar udara Pelabuhan & pergudangan Pergudangan Kawasan industri Kawasan perdagangan regional Terminal angkutan barang Keterangan gambar : Kawasan primer Sistem jaringan jalan primer Kawasan sekunder Jalan arteri sekunder Perumahan Jalan kolektor sekunder Batas perkotaan Jalan lokal sekunder Gambar 3 Sketsa hipotetis hirarki jalan perkotaan 9 dari 26

Damija Damaja 2 m 6 m 7 m 7 m 6 m 2 m Trotoar Jalur lambat 1.0 m Separator Jalur lalu lintas 2.0 m Median Jalur Laliu lintas 1.0 m Separator Jalur lambat Trotoar Kondisi minimal ideal Damija Damaja 2 m Bahu 7 m Jalur lalu lintas 2 m Bahu 11 m Badan jalan Kondisi minimal Gambar 4 Tipikal penampang melintang jalan arteri primer 10 dari 26

Jalan arteri primer dan jalan arteri sekunder Tingkat akses meningkat Jalan kolektor sekunder Jalan lokal sekunder Lalu lintas menerus/jarak jauh meningkat Gambar 5 Konsep klasifikasi fungsi jalan dalam hubungannya dengan tingkat akses 5.2. Jalan kolektor primer Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor primer harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) kriteria-kriteria jalan kolektor primer terdiri atas : - jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) km/h; - lebar badan jalan kolektor primer paling rendah 9 (sembilan) meter (Gambar 6); - jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien; jarak antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter; - persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya; - jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; - harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas dan lampu penerangan jalan; - besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan arteri primer; - dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. b) ciri-ciri jalan kolektor primer terdiri atas : - jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota; - jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer; - kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini; - lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam sibuk. 11 dari 26

Damija Damaja 1.5 m 4 m 6 m 6 m 4 m 1.5 m Trotoar Jalur lambat 1 m Separator Jalur lalu lintas 1.7 m Median Jalur lalu lintas 1 m Separator Jalur lambat Trotoar Kondisi minimal ideal Damija Damaja 1,5 Bahu 6 m Jalur lalu lintas 1,5 m Bahu 9 m Badan jalan Kondisi minimum Gambar 6 Tipikal penampang melintang jalan kolektor primer 12 dari 26

5.3. Jalan lokal primer Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal primer harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) kriteria-kriteria jalan lokal primer terdiri atas : - jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km/h; - lebar badan jalan lokal primer paling rendah 6,5 (enam setengah) meter (Gambar 7); - besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada sistem primer. b) ciri-ciri jalan lokal primer terdiri atas : - jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar kota; - jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya; - kendaraan angkutan barang dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini. Damija Damaja 0.5 Bahu 5,5 m Jalur lalu lintas 0.5 Bahu 6.5 m Badan jalan Gambar 7 Tipikal penampang melintang jalan lokal primer 13 dari 26

5.4. Jalan arteri sekunder Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan arteri sekunder harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) kriteria-kriteria jalan arteri sekunder terdiri atas : - jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) km/h; - lebar badan jalan paling rendah 11 (sebelas) meter (Gambar 8); - akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter; - persimpangan pada jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya; - jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; - harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain; - besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem sekunder yang lain; - dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya; - jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan kelas jalan yang lebih rendah. b) ciri-ciri jalan arteri sekunder terdiri atas : - jalan arteri sekunder menghubungkan : i. kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu; ii. antar kawasan sekunder kesatu; iii. kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua; iv. jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu; - lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat; - kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat diijinkan melalui jalan ini; - lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam sibuk. 14 dari 26

Damija Damaja 2 m 6 m 7 m 7 m 6 m 2 m Trotoar Jalur lambat 1.0 Separator Jalur lalu lintas 2.0 m Median Jalur lalu lintas 1.0 Separator Jalur lambat Trotoar Damija Damaja 2 m Bahu 7 m Jalur lalu lintas 2 m Bahu 11 m Badan jalan Gambar 8 Tipikal penampang melintang jalan arteri sekunder 15 dari 26

5.5. Jalan kolektor sekunder Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor sekunder harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) kriteria-kriteria jalan kolektor sekunder terdiri atas : - jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km/h; - lebar badan jalan kolektor sekunder paling rendah 9 (sembilan) meter (Gambar 9); - harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup; - besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari sistem primer dan arteri sekunder. b) ciri-ciri jalan kolektor sekunder terdiri atas : 1. jalan kolektor sekunder menghubungkan : i. antar kawasan sekunder kedua; ii. kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga ; - kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman ; - lokasi parkir pada badan jalan dibatasi. 16 dari 26

Damija Damaja 2 m 4 m 6.5 m 6.5 m 4 m 2 m Trotoar Jalur lambat 1.0 Jalur lalu lintas 1.7 m Jalur lalu lintas 1.0 Jalur lambat Trotoar Separator Median Separator Kondisi minimal ideal Damija Damaja 1,5 Bahu 6 m Jalur lalu lintas 1,5 Bahu 9 m Badan jalan Kondisi minimum Gambar 9 Tipikal penampang melintang jalan kolektor sekunder 17 dari 26

5.6. Jalan lokal sekunder Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal sekunder harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) kriteria-kriteria jalan lokal sekunder terdiri atas : - jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) km/h; - lebar badan jalan lokal sekunder paling rendah 6,5 (enam setengah) meter (Gambar 10); - besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah dibandingkan dengan fungsi jalan lain. b) ciri-ciri jalan lokal sekunder terdiri atas : - jalan lokal sekunder menghubungkan : i. antar kawasan sekunder ketiga atau di bawahnya; ii. kawasan sekunder dengan perumahan; - kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman. 18 dari 26

Damija Damaja 2 m 1 m 3 m 1 m 3 m 2 m Trotoar Jalur lalu lintas Trotoar Damija Damaja 1 m Bahu 4,5 m Jalur lalu lintas 1 m Bahu 6,5m Badan jalan Gambar 10 Tipikal penampang melintang jalan lokal sekunder 19 dari 26

6. Cara penentuan klasifikasi fungsi jalan 6.1. Umum Secara garis besar proses penentuan klasifikasi fungsi jalan digambarkan dalam Bagan Alir seperti pada Gambar 11. Secara umum dalam perencanaan wilayah (perkotaan), terlebih dahulu ditentukan pembagian sub-wilayah/kawasan berdasarkan potensi yang ada dan hirarki kota/kawasannya, kemudian ditentukan prasarana jalan pendukungnya. 6.2 RTRWN / RTRW provinsi /RTRW kabupaten/kota Langkah awal dalam penentuan klasifikasi fungsi jalan adalah melihat secara makro wilayah (nasional), dimana hubungan antara kota dengan kota yang lain. Hal ini sangat berguna untuk menentukan klasifikasi fungsi jalan primer. Kemudian diasumsikan bahwa hirarki kota dalam suatu wilayah telah ditentukan, misalnya melalui RTRWN, RTRW Provinsi atau Kabupaten/Kota. Di dalam RTRW (Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota), telah ditentukan atau diidentifikasikan hirarki dan fungsi dari kota-kota yang terkait. Penentuan ini didasarkan pada berbagai aspek pertimbangan, strategi dan kebijakan pengembangan dan pembangunan, pemanfaatan lahan (land use) saat ini, potensi yang ada dan lain-lain. Kebijakan Pemerintah berpengaruh besar terhadap sistem hirarki kota, kebijakan otonomi daerah, dan strategi pengembangan ekonomi akan mempengaruhi fungsi kota-kota, perubahan kebijakan dalam arah perkembangan wilayah juga akan mengubah fungsi kota dan prasarana jalan pendukungnya. Awal dari penentuan klasifikasi fungsi jalan ini dimaksudkan untuk melakukan klasifikasi jalan primer yang melalui perkotaan (menerus), dimana penentuan ini berdasarkan hirarki antar kota, sedangkan untuk penentuan klasifikasi jalan pada sistem primer antar kota ditentukan dengan pedoman lain. Sistem jaringan jalan primer adalah jaringan jalan yang menghubungkan pusat kegiatan nasional (PKN) dengan pusat kegiatan nasional antar satuan wilayah pengembangan, jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota, jaringan jalan primer harus menghubungkan kawasan primer, suatu ruas jalan primer dapat berakhir pada suatu kawasan primer, kawasan yang mempunyai fungsi primer, antara lain : industri skala regional, terminal barang/pergudangan, pelabuhan, bandar udara, pasar induk, pusat perdagangan skala regional/grosir. Secara garis besar langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : a) Review RTRWN, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota; b) Indikasikan pembagian Satuan Pengembangan Wilayah (SPW) dan strateginya; c) Indikasikan klasifikasi/hirarkhi kota dalam satuan wilayah terkait; d) Indikasikan apakah prasarana jalan yang menghubungkan kota tersebut dengan kota lainnya masuk katagori/klasifikasi sistem primer yang mana; e) Indikasikan lintasan sistem primer yang masuk dalam perkotaan. 6.3 Hirarki sistem pusat kegiatan dalam sistem primer Dengan telah ditentukannya RTRWN/RTRW Provinsi/RTRW Kabupaten/kota, maka dapat diindikasikan hirarki kota-kota dalam suatu wilayah (misalnya : PKN, PKW, PKL atau PK < PKL). Perubahan fungsi kota dan hirarkinya, akan merubah prasarana jalan yang melayaninya. 20 dari 26

Secara garis besar langkah-langkah yang harus dilakukan adalah: a) Indikasikan pusat-pusat kegiatan masyarakat dalam sistem primer; b) Review kondisi saat ini dan kemungkinan perkembangan pada masa datang; c) Perkirakan rencana perubahan pusat-pusat kegiatan masyarakat di masa datang berdasarkan potensi yang ada dalam sistem primer. 6.4 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Setelah melihat wilayah di luar kawasan perkotaan, khususnya berkaitan dengan sistem primer, maka selanjutnya melihat wilayah perkotaan sendiri (kaitannya dalam sistem sekunder). Pemahaman ini dapat dilihat melalui RTRW Kota dan dikaitkan dengan sistem jaringan jalan perkotaan (sekunder). Secara garis besar langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : a) Review RTRW Kota setempat yang telah ditetapkan; b) Pelajari strategi dan kebijakan pengembangan kota; c) Indikasikan pembagian Satuan Pengembangan Wilayah (SWP); d) Indikasikan pusat-pusat kegiatan masyarakat dan hirarki masing-masing kawasan dalam kota tersebut. 6.5 Struktur hirarki dan fungsi kawasan primer dan sekunder di kawasan perkotaan Dengan memperhatikan RTRW Kota, maka dapat diindikasikan hirarki dan fungsi kawasankawasan perkotaan. Hal ini akan menentukan hirarki klasifikasi fungsi jalan perkotaan. Dalam hal ini telah diasumsikan bahwa hirarki kawasan perkotaan dalam suatu wilayah kota telah ditentukan. Dalam RTRW Kota, telah ditentukan atau diidentifikasikan hirarki dan fungsi kawasan-kawasan kota. Penentuan ini didasarkan pada berbagai aspek pertimbangan, strategi dan kebijakan pengembangan dan pembangunan, pemanfaatan lahan (land use) saat ini, potensi yang ada dan lain-lain. Kebijakan Pemerintah berpengaruh besar terhadap sistem hirarki kota, kebijakan kawasan prioritas dan strategi pengembangan ekonomi akan mempengaruhi fungsi kawasan perkotaan, perubahan kebijakan dalam arah perkembangan wilayah juga akan mengubah fungsi kawasan perkotaan dan prasarana jalan pendukungnya. Secara garis besar langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : a) Indikasikan pusat-pusat kegiatan masyarakat dalam sistem sekunder; b) Review kondisi saat ini dan kemungkinan perkembangan pada masa datang; c) Perkirakan rencana perubahan pusat-pusat kegiatan masyarakat di masa datang berdasarkan potensi kawasan yang ada dalam sistem sekunder. 6.6 Karakteristik eksisting (lapangan) Dengan mengetahui hirarki kawasan perkotaan dan jaringan jalan yang ada, maka perlu diidentifikasikan di lapangan, jaringan jalan yang tepat atau mendekati dengan kriteria dan ketentuan teknis yang telah ditetapkan, untuk penilaian terhadap kesesuaian dalam menentukan klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan dan rekomendasi yang diperlukan. 21 dari 26

Secara garis besar langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : a) Lakukan pengecekan di lapangan berdasarkan indikasi dalam RTRW yang ada; b) Bila dalam indikasi hubungan antar hirarki kota atau kawasan terdapat lebih dari satu alternatif jalan, maka indikasikan rute-rute alternatif tersebut dan lakukan pengecekan di lapangan; c) Cek kondisi geometri masing-masing rute alternatif; d) Amati kondisi atau karakteristik lalu-lintas yang lewat pada jalan tersebut; e) Survai kondisi fisik jalannya. 6.7 Penilaian kesesuaian Dari hasil pengamatan di lapangan dan hirarki fungsi kawasan dalam perkotaan, maka perlu dilakukan penilaian kesesuaian penentuan klasifikasi fungsi jalan. Beberapa aspek, yang perlu dikaji dan dipahami adalah sebagai berikut : a) Karakteristik jaringan jalan, dengan mempelajari jaringan jalan yang ada dan kesesuaian kriteria dan fungsi jalannya, maka dapat katagorikan klasifikasi fungsi jalan yang sesuai; b) Karakteristik lalu-lintas yang melewati dan yang diperkirakan akan lewat jalan tersebut dapat membantu dalam menentukan klasifikasi jalannya; c) Karakteristik fisik dan geometri jalan, berdasarkan kondisi fisik dan geometrinya, maka dapat ditentukan fungsi jalan tersebut. Secara sederhana dapat ditentukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Pahami hasil pengamatan di lapangan. b) Pilih atau tentukan jalan alternatif yang paling mendekati kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan hasil pengecekan di lapangan. c) Bila kondisi jalan belum sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, maka diusahakan untuk disempurnakan perbaikan kondisi jalan tersebut. 6.8 Penentuan dan rekomendasi penetapan klasifikasi fungsi jalan Dengan telah ditentukan fungsi dan hirarki kawasan perkotaan, maka berdasarkan pengertian klasifikasi fungsi jalan, kriteria dan ciri-ciri jalan, serta hasil pengamatan di lapangan, maka dapat ditentukan klasifikasi fungsi jalan yang ada serta rekomendasi yang diperlukan. Pengertian klasifikasi fungsi jalan dapat dipahami melalui hubungan antar kawasan dalam perkotaan dengan fungsi jalan. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka dapat ditentukan salah satu ruas jalan dari beberapa alternatif ruas jalan yang ada untuk ditentukan klasifikasi fungsi jalannya, dimana dipilih ruas jalan yang mendekati kriteria yang telah ditetapkan. Rekomendasi dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada intansi yang berwenang dalam penetapan klasifikasi fungsi jalan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: a) Pelajari pengertian tentang klasifikasi jalan yang ada, berdasarkan peraturan yang berlaku; b) Dipahami betul-betul kriteria dalam klasifikasi fungsi jalan, baik primer maupun sekunder. 22 dari 26

c) Tentukan dulu sistem primernya yang melintas dalam kota tersebut, berdasarkan pengertian & kriteria klasifikasi jalan primer, hirarki kota dalam sistem primer, serta hasil pengamatan di lapangan. d) Tentukan sistem sekunder berdasarkan pengertian & kriteria klasifikasi fungsi jalan, hirarki kawasan kota dalam sistem sekunder serta hasil pengamatan di lapangan, pilih mana yang paling mendekati kriteria yang ada. e) Lakukan program perbaikan/penyempurnaan jalan tersebut agar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. 6.9 Pertimbangan lain dalam menentukan klasifikasi fungsi jalan Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan klasifikasi fungsi jalan, antara lain adalah : a) ketersediaan peta jaringan jalan yang lengkap dan akurat; b) ketersediaan peta tata guna lahan, baik untuk keadaan sekarang maupun rencana pengembangannya di masa mendatang, yang disertai dengan informasi lebih lengkap mengenai potensi aktifitas-aktifitas perdagangan, pergudangan, perkantoran, industri, pendidikan serta jasa-jasa lain, baik yang bersifat regional maupun lokal (untuk mengurangi konflik antara sistem transportasi dan tata guna lahan, keseimbangan/kesesuaian antara fungsi jaringan jalan dengan tata guna lahan perlu dipenuhi); c) volume kendaraan sesuai dengan jenisnya; meskipun volume lalu lintas tergantung kepada beberapa faktor, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi volume lalu lintas pada suatu ruas jalan makin tinggi pula klasifikasi fungsi jalan tersebut; sebagai contoh bahwa volume lalu lintas bukan satu-satunya kriteria yang digunakan, adalah sebagai berikut: suatu ruas jalan yang melayani volume lalu lintas yang rendah dan berdasarkan volume ini bisa digolongkan pada jalan lokal, seharusnya adalah jalan arteri sekunder jika jalan tersebut melayani kendaraan-kendaraan berat dan hanya satusatunya ruas jalan yang menghubungkan jalan arteri; sebaliknya, jalan-jalan yang memberikan akses ke daerah parkir suatu pusat pertokoan dan melayani lalu lintas yang tinggi tidak bisa digolongkan sebagai jalan arteri sekunder; d) lebar jalan, rambu-rambu lalu lintas serta fasilitas parkir kendaraan; e) rute kendaraan umum bus dan angkutan kota serta truk; f) proporsi lalu lintas menerus pada jalan-jalan utama; g) rencana induk kota; h) data pendukung lain yang tersedia. 6.9 Evaluasi dan umpan balik Evaluasi dan umpan balik diperlukan untuk mengoptimalkan prasarana jaringan jalan yang ada. Apabila terjadi ketidaksesuaian fungsi di lapangan atau terjadi perubahan hirarki kawasan perkotaan atau perubahan penggunaan lahan, maka diperlukan evaluasi baru dari awal. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan adalah : a) Lakukan pengamatan di lapangan; b) Indikasikan apakah ada perubahan hirarki kota atau hirarki kawasan dalam kota; c) Bila semua memang ada perubahan fungsi dan peran jalan yang ada, maka perlu dilakukan evaluasi lagi tentang klasifikasi jalan yang ada. 23 dari 26

RTRWN/RTRWP RTRW KAB (6.2) RTWN/RTRWP /RTRW KAB Hirarki Sistem Pusat Kegiatan dalam Sistem Primer (6.3) Ketentuan Umum (Pengertian Klasifikasi Fungsi Jalan di Kws Perkotaan) RTRW KOTA (6.4) Struktur Hirarki/ Fungsi Kawasan Primer & Sekunder di Kws Perkotaan (6.5) Karakteristik Eksisiting (Lapangan), (6.6) Penilaian Kesesuaian: Karakteristik Lalu-lintas - Karakteristik Jaringan Jalan Karakteristik Fisik & Geometri Jalan (6.7) Penentuan & Rekomendasi Penetapan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kws Perkotaan (6.8) Ketentuan Teknis (Kriteria Klasifikasi Fungsi Jalan di Kws Perkotaan & Ciri-cirinya - EVALUASI & UMPAN BALIK (6.10) Gambar 11 Bagan alir proses penentuan klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan 24 dari 26

Lampiran A ( informatif ) Daftar nama dan lembaga 1) Pemrakarsa Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2) Penyusun Ir. Haryanto C. Pranowo, M.Eng. Dr. Ir. IF. Poernomosidhi PHK, M.Sc. Ir. Agusbari Sailendra, M.Sc. Ir. Tasripin Sartiyono, M.T. Ir. Wahyono Bintarto, M.Sc. Ir. Yetty Nuryati, M.Soc.Sci. Direktorat Bina Teknik, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Direktorat Tata Ruang Wilayah Tengah, Ditjen Tata Ruang Pusat Litbang Prasarana Transportasi Direktorat Bina Teknik, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Tengah, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Direktorat Bina Teknik, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan 25 dari 26

Bibliografi 1. Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, National Urban Development Strategy ( NUDS ), A Policy Review and Improvment of the IUIDP Concept, Tahun 2000. 2. US Departement of Transportation, Federal Highway Administration, Highway Fungtional Classification, Concepts, Criteria and Procedures, Volume 20, Appendix 12, July 1974. 26 dari 26