BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 7 UNTUK ESTIMASI UMUR TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN VIII CISALAK BARU, BANTEN) YUDI ASWANDI A

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ISTILAH DI NEGARA LAIN

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

JENIS CITRA

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

Gambar 1. Satelit Landsat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

ix

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

SAMPLING DAN KUANTISASI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Radiasi Elektromagnetik

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

PENGOLAHAN CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN VEGETASI MENGGUNAKAN ER MAPPER 7.0 (Laporan Peongolahan Citra Satelit)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

Transkripsi:

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit tumbuh baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah, yaitu di sepanjang garis khatulistiwa antara 23,5o LU-23,5o LS, memiliki curah hujan 1250-3000 mm/tahun merata di sepanjang tahun dengan bulan kering tidak lebih dari 3 bulan, memiliki suhu 22-23oC, dan kelembaban 5090%, dataran berada di atas 400 m dan matahari bersinar sepanjang tahun dengan minimal 5 jam/hari (PPKS, 2003). Kelapa sawit memiliki waktu tumbuh yang panjang, kira-kira hingga 30 tahun. Secara morfologi umur tanaman bisa diketahui dari perubahan daun, batang, akar, bunga dan buah. Daun pada tanaman sawit tersusun secara spiral dari titik tumbuh. Setiap primordium daun terpisah dari primordium sebelumnya pada spiral genetik berdasarkan suatu sudut, yaitu sudut divergen yang besarnya 137,5o. Susunan spiral mengikuti deret Fibonacci, yaitu 1:1:2:3:5:8:13:21 dan seterusnya, dimana setiap angka pada susunan spiral merupakan penjumlahan dari dua angka sebelumnya. Pada batang kelapa sawit dewasa, susunan kelipatan 8 daun umumnya bias ditemui, tetapi kelipatan 5, 13, dan 21 juga dapat dijumpai. Luas daun tanaman sawit meningkat secara progresif pada umur sekitar 8-10 tahun setelah tanam. Biasanya luas daun pada umur yang sama beragam dari satu daerah ke daerah lain, tergantung dari faktor-faktor seperti kesuburan dan kelembaban tanah serta tingkat stress air (Pahan, 2006). Pada batang tanaman sawit, penebalan dan pembesaran batang terjadi karena aktivitas penebalan meristem primer yang terletak di bawah meristem pucuk dan ketiak daun. Pada tahun pertama atau kedua, pertumbuhan membesar terlihat sekali pada bagian pangkal, dimana diameter batang bisa mencapai 60 cm. Setelah itu batang akan mengecil biasanya hanya berdiameter 40 cm, tetapi pertumbuhan tingginya menjadi lebih cepat. Umumnya, pertambahan tinggi batang bisa mencapai 35-75cm/tahun, tergantung pada keadaan lingkungan tumbuh dan keragaman genetik (Pahan, 2006).

5 Dari sisi produksi, pada umumnya tanaman sawit sudah menghasilkan buah pada usia tiga tahun setelah tanam. Kelapa sawit akan berproduksi maksimal pada usia 8-14 tahun. Setelah itu akan menurun. Jumlah produksi per hektar per tahun dipengaruhi oleh kesesuaian lahan dan kondisi lingkungan yang favorable. Secara umum, temperatur tahunan, ketersediaan air, dan retensi hara menjadi faktor yang banyak menentukan tingkat produksi. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan RI (2009), luas areal perkebunan kelapa sawit pada level nasional sebesar 7 juta ha dengan perkiraan produksi sebesar 18,5 juta ton. Ada peningkatan luas areal rata-rata sebesar 2% setiap tahunnya dengan peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 2,9%. Sentra produksi minyak sawit Indonesia terutama berasal dari tujuh provinsi yang memberikan kontribusi sebesar 81,80% terhadap produksi minyak sawit Indonesia. Provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan provinsi sentra produksi terbesar yang berkontribusi masing-masing sebesar 28,52% dan 17,77%, disusul berturut-turut provinsi Sumsel, Kalteng, Jambi, Kalbar dan Sumbar masingmasing sebesar 10,19%, 7,92%, 7,04%, 5,44%, dan 4,94%. 2.2 Sistem Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah suatu ilmu untuk memperoleh informasi tentang objek (permukaan bumi dan perairan) atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh pada jarak tertentu tanpa kontak langsung dengan objek melalui pengukuran reflektansi ataupun emisi objek dengan gelombang elektromagnetik (Lillesand dan Kiefer, 1979 ). Secara garis besar, penginderaan jauh dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) sistem data fotografik (pictorial) yang menghasilkan gambar berbentuk foto atau yang dikenal dengan foto udara dan memakai waha pesawat terbang, dan 2) sistem data numerik adalah sistem yang umumnya menggunakan wahana satelit, dimana hasil yang direkam merupakan data digital berbentuk angka. Angka-angka tersebut diterjemahkan oleh komputer agar dapat ditampilkan sebagai gambar.

6 Komponen Utama Sistem Penginderaan jauh Pada dasarnya komponen utama sistem penginderaan jauh meliputi: wahana, sensor, sumber energi, interaksi antara energi dan obyek, sistem pengolahan data dan aplikasinya (Gambar 1). Gambar 1 Komponen Utama Sistem Penginderaan Jauh (Sumber: Sutanto, 1986) Wahana Sistem satelit dalam penginderaan jauh tersusun atas pemindai (scanner) dengan dilengkapi sensor pada wahana (platform) satelit, dan sensor tersebut dilengkapi oleh detektor. Ada banyak wahana yang digunakan untuk penginderaan jauh, antara lain, satelit, pesawat udara, pesawat ultralight, pesawat aeromodelling, balon udara, atau bahkan layang-layang. Dalam pembahasan berikutnya, wahana yang dikaji hanya khusus satelit untuk penginderaan jauh. Berdasarkan cara mengorbitnya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu: a. Satelit geostasioner, satelit ini mengorbit pada ketinggian sekitar 36.000 km dari bumi pada posisi tetap di atas suatu wilayah tertentu. Orbit ini disebut juga sinkron bumi (geosynchronous). Pada umumnya satelit cuaca merupakan satelit geostasioner, misalnya satelit (Geosynchronous Meteorological Satellite). GOES, Meteosat, dan GMS

7 b. Satelit sinkron matahari yang mengorbit bumi dengan melintas dekat kutub dan memotong arah rotasi bumi. Orbit sinkron matahari adalah orbit yang mengkombinasikan ketinggian dan inklinasi (kemiringan) sedemikian rupa sehingga satelit tersebut melintas di atas titik tertentu dari permukaanbumi pada waktu matahari lokal (local solar time) sama. Orbit tersebut dapat menempatkan satelit pada cahaya matahari yang konstan, dan keadaan ini menguntungkan bagi satelit penginderaan jauh, satelit mata-mata, maupun satelit cuaca. Karena itu, umumnya satelit penginderaan jauh termasuk dalam kelompok ini, misalnya Landsat, SPOT, dan ERS. Ketinggian satelit ini sekitar 700 900 km. Sensor Sensor adalah alat perekam energi elektromagnetik yang datang dari obyek. Namun, setiap sensor mempunyai keterbatasan, sebab tidak ada sensor yang mampu merekam seluruh energi tersebut. Parameter yang menjadi ukuran kemampuan suatu sensor adalah resolusi, yaitu batas kemampuan memisahkan/ mengidentifikasi obyek. Ada lima jenis resolusi yang dikenal dalam penginderaan jauh, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, resolusi temporal, dan resolusi termal. Sensor dapat juga dibedakan atas sensor pasif dan sensor aktif. Sensor pasif mendeteksi pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik dari sumber alam, sedangkan sensor aktif mendeteksi respon pantulan dari obyek yang diradiasi dari sumber energi buatan, seperti radar. Sumber Energi Seluruh sistem penginderaan jauh memerlukan sumber energi. Sumber energi ini dapat berupa sumber energi alami, misalnya matahari, maupun sumber energi buatan. Sumber energi alami digunakan untuk sistem penginderaan jauh pasif, sedangkan sumber energi buatan digunakan untuk sistem penginderaan jauh aktif. Energi yang umumnya digunakan dalam penginderaan jauh adalah energi elektromagnetik.

10 b. Penginderaan jauh inframerah panas: sumber energi adalah energi radian dari obyek itu sendiri sebab setiap obyek dengan temperatur normal akan memancarkan radiasi elektro-magnetik dengan puncak sekitar 10 m. c. Penginderaan jauh gelombang mikro: terbagi atas penginderaan jauh gelombang mikro pasif (radiasi gelombang mikro dipancarkan dari obyek yang dideteksi) dan aktif (mendeteksi koefisien hamburan balik). Interaksi antar Energi dan Obyek Tiap benda mempunyai karakteristik tersendiri dalam menyerap dan memantulkan energi yang diterimanya. Karakteristik ini disebut karakteristik spektral atau tanda-tangan spektral. Obyek yang banyak memantulkan energi elektromagnetik tampak cerah, sedangkan yang banyak menyerap tampak gelap. Suatu obyek memancarkan fluks radian spektral unik tergantung pada temperatur dan sifat emisiviti (pancaran) obyek tersebut. Radiasi ini disebut radiasi termal karena terutama tergantung pada temperatur. Interaksi energi dengan obyek akan menimbulkan tiga hal, yaitu dipantulkan, diserap, atau diteruskan (ditransmisikan). Reflektan adalah perbandingan fluks sinar datang pada permukaan dengan fluks sinar pantulannya. Asumsi dasar dalam penginderaan jauh adalah bahwa reflektan spektral bersifat unik dan berbeda dari satu obyek dengan obyek lain yang berbeda. Pengenalan objek di permukaan bumi didasarkan pada nilai reflektan energi elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek yang direkam oleh sensor. Di permukaan bumi terdapat tiga kelompok objek utama, yaitu vegetasi, tanah, dan air yang masing-masing memancarkan energi elegtromagnetik dengan panjang gelombang tertentu. Sifat-sifat inilah yang dipergunakan oleh poenginderaan jauh untuk mengenali objek-objek atau tipe-tpe penutupan lahan di permukaan bumi (Lillesand dan Kiefer, 1979 ). Gambar 4 memperlihatkan grafik reflektan spektral untuk tanah, vegetasi, dan air

11 80 70 60 50 Persentase Reflektan 40 30 20 10 E 0 0.4 A Keterangan: A = tanah lempung berlumpur B = tanah musk C = vegetasi B D = air sungai keruh C E = air sungai jernih D 0.8 1.2 1.6 2.0 Panjang Gelombang 2.4 Gambar 4 Reflektan Spektral untuk Tanah, Vegetasi, dan Air (Sumber: Lillesand and Kiefer, 1986) Sistem Pengolahan Data dan Aplikasinya Hasil akhir suatu proses pengolahan penginderaan jauh tergantung pada tujuan dan kebutuhan si pengguna. Sebab itu, pihak pengguna merupakan komponen penting dalam sistem penginderaan jauh. Diterima-tidaknya hasil penginderaan jauh tergantung pada kecermatan, keterpercayaan, dan kesesuaian dengan kebutuhan pengguna. Berbagai aplikasi penginderaan jauh telah meluas keberbagai bidang kajian, antara lain di bidang pemetaan, pertanahan, geologi, kehutanan, pertanian, keteknikan, kelautan, kajian bencana alam, pertambangan, dan sebagainya. 2.3 Citra Landsat 7 Gambar 5 Satelit Landsat 7 (Sumber: Landsat Handbook, 2009)

12 Landsat 7 (Gambar 5) dengan sensor ETM+ merupakan turunan dari Thematic Mapper (TM) yang dipasang untuk Landsat 4 dan 5, tetapi lebih terkait erat dengan Enhanced Thematic Mapper (ETM) yang hilang karena Landsat 6 gagal orbit. Desain sensor ETM+ seperti sensor ETM pada Landsat 6 ditambah dua sistem model kalibrasi untuk gangguan radiasi matahari dengan penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik. Sensor ETM+ bekerja pada 3 resolusi, yaitu 30 resolusi meter untuk saluran 1-5, resolusi 60 meter untuk saluran 6, dan resolusi 15 meter untuk saluran 8. Karakteristik instrumen Landsat 7 terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Instrumen Landsat 7 No. Parameter Landsat-7 Keterangan 1 Sensor ETM+ Resolusi Spasial Pankhromatik (PA) 15 m (B8) 2,5 m identik 1: 10.000 Visible (VIS) 30 m (B1, B2, B3) 5 m identik 1:20.000 Near Infrared (NIR) 30 m (B4) 10 m identik 1:40.000 Short Infrared (SWIR) 30 m (B5, B7) 20 m identik 1:50.000 Thermal Infrared (TIR) 60 m (B6) 30 m identik 1:100.000 2 Ketelitian di lapang - produk standar 250 m - produk ortho - 3 Ukuran frame citra 185 km x 185 km 4 Pemanfaatan: - suberdaya alam ME, MA - mitigasi bencana MA, ME - kartografi MA - urban MA, ME - sumberdaya pesisir ME, MA - - Sumber: Kusumowidagdo (2006) Keterangan: MA= Skala Makro; ME= Skala Menengah Fungsi-fungsi aplikasi dari delapan saluran pada Landsat 7 dapat dilihat pada Tabel 2.

13 Tabel 2 Saluran pada Citra Landsat 7 Kisaran Saluran Kegunaan Utama Gelombang (µm) 1 0,45 0,52 Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan. 2 0,52 0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat 3 0,63 0,69 Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil 4 0,76 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. 5 1,55 1,75 Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah. 6 2,08 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal. 7 10,40 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal. 8 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang Sumber: Lillesand dan Kiefer, 1979 dengan modifikasi. 2.4 Karakterisitik Data Penginderaan Jauh Karakteristik data dalam penginderaan jauh dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu resolusi spektral dan resolusi spasial. Resolusi Spektral adalah banyaknya saluran yang dapat diserap oleh sensor. Semakin banyak saluran yang dapat diserap oleh sensor maka resolusi spektralnya semakin tingi. Resolusi spektral berkaitan langsung dengan kemampuan sensor untuk dapat mengidentifikasi objek. Karakteristik Spektral adalah karakteristik objek dalam berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh air mempunyai sifat banyak menyerap sinar matahari sehingga sinar yang dipantulkan sedikit, sebagai akibatnya maka air akan tampak gelap pada citra.

14 Resolusi Spasial adalah kemampuan sensor dalam membedakan dua objek yang jaraknya berdekatan atau jarak minimum antar dua objek yang masih data dibedakan. Dengan kata lain objek yang berjarak lebih kecil dari resolusi spasial akan tampak sebagai objek tunggal pad citra. Karakteristik Spasial adalah karakterisitik objek dalam hubungannya dengan keruangan seperti bentuk, ukuran, bayangan tekstur, pola dan asosiasi. Sebagai contoh pasar yang dikenali berdasarkan bangunan yang besar dengan pola yang teratur yang berjarak rapat satu sama lain, situsnya di tepi jalan, dan berasosiasi dengan tempat parker kendaraan. Resolusi Temporal adalah waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk meliput kembali satu objekyang sama di permukaan bumi. Resolusi temporal yang tinggi berarti satelit hanyamembutuhkan waktu yang singkat untuk mengorbit (memutari) bumi. Karakter spektral dan spasial digunakan untuk mengenali objek yang tergambar pada citra. Proses pengenalan kenampakan pada citra disebut sebagai proses interpretasi citra. Pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua proses, yaitu pengenalan objek pada citra dan proses analisis-klasifikasi-sintesis untuk menentukan keteraturan atau pola keterkaitan antar unsur lingkungan. 2.5 Karakteristik Spektral Vegetasi Daun tanaman memantulkan, menyerap, meneruskan, dan memancarkan sinar yang diterima dari sinar matahari. Banyaknya sinar yang dipantulkan ditentukan oleh kuatnya sinar matahari, banyaknya sinar yang diserap, dan dipancarkan kembali. Pada panjang gelombang tampak (0,4-0,7 µm) pigmentasi mendominasi tanggapan spektral dari tumbuhan, keberadaan klorofil sangat penting pada panjang gelombang ini. Pantulan (reflektansi) dan pemancaran sinar matahari pada saluran biru (0,4-0,5 µm) dan merah (0,6-0,7 µm) relatif rendah, karena kandungan klorofil pada daun menyerap energi paling tinggi pada panjang gelombang 0,45 µm dan 0,65 µm (Rambe, 1989). Pada panjang gelombang inframerah, pantulan meningkat sangat cepat (pada 0.8 µm dan tetap tinggi sampai 1,3 µm). Pantulan tinggi berkaitan dengan

15 kenyataan bahwa pada panjang gelombang ini serapan klorofil daun sangat kecil, sedangkan struktur internal daun lebih berperan dalam pertambahan pantulan. Pada saluran spektral 1,2-2,3 µm (inframerah dekat), struktur internal daun kurang berperan memberikan informasi kandungan air dalam jaringan daun. Pada saluran spektral 1,4 µm, 1,95 µm, dan 2,6 µm pantulan menjadi rendah sesusai dengan saluran serapan air yang utama. Saluran spektral 2,5-2,6 µm (inframerah jauh) daun menunjukkan serapan radiasi lama persentase yang lebih tinggi lagi sekitar 15% dari jumlah energi yang terserap diteruskan, dan sekitar 25% dihamburkan. Pada julat gelombang inframerah jauh ini terjadi pantulan yang rendah. 2.6 Image Enhancement Didefinisikan sebagai suatu teknik untuk meningkatkan kualitas gambar atau citra sehinga menjadi lebih baik dan lebih mudah untuk diidentifikasi atau diinterpretasi kenampakan objek yang ada pada citra. Tipe penajaman citra meliputi perentangan kontras, konversi histogram, komposit citra, dan fusi data (ERDAS, 1999). Perentangan Kontras Perentangan kontras dapat diformulasikan dengan hubungan sistematis y= f(x) dimana x adalah data asli dan y adalah data luaran. Secara garis besar ada dua tipe perentangan, yaitu linier dan nonlinier seperti pada Gambar 6. Perentangan linier menggunakan hubungan sistematis y= ax+b dimana a dan b merupakan konstanta, sedangkan perentangan nonlinier ada beberapa macam diantaranya fold convertion, saw convertion, continuous function. Fold convertion merupakan perentangan kontras mengikuti kurva multiple liner. Perentangan ini menguntungkan karena perentangan kontras dapat dilakukan dengan bagian per bagian sesuai dengan nilai spektral yang diinginkan untuk dipertajam/direntang. Saw convertion hampir sama dengan fold convertion, tetapi perentangannya tidak kontinyu. Perentangan dengn continuous eksponesial, logaritmik, dan polinomial. function menggunakan fungsi

16 Gambar 6 Hasil Proses Perentangan Kontras (Sumber: Jensen,1986) Konversi Histogram Konversi histogram bertujuan untuk melakukan perentangan kontras dengan cara mengubah bentuk histogram nilai spektal citra asli menjadi histogram baru sehinga menghasilkan citra data gambar yang lebih jelas. Teknik yang biasa digunakan adalah histogram equalization dan histogram normalization. Histogram equalization adalah teknik mengkonversi histogram citra asli menjadi histogram yang terdistribusi merata. Sedangkan histogram normalization menghasilkan histogram yang terdistribusi normal. Proses konversi histogram ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7 Hasil Konversi Histogram dalam Penginderaan Jauh (Sumber: http://www.nrcan.gc.ca/)

17 Komposit Citra Komposit citra dibuat untuk mendapatkan tampilan visual citra yang optimal untuk identifikasi lahan dengan tujuan menonjolkan detail bentuk kenampakan dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman. Guna menampilkan citra komposit warna ke layar monitor hanya diperlukan tiga saluran, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam layer merah (Red), hijau (Green), dan biru (Blue). Ketiga layer ini merupakan warna dasar bagi pembentukan warna yang dapat dilihat monitor. Jika masing-masing saluran menggunakan resolusi radiometrik 8 bit, berarti tiap saluran mempunyai jumlah maksimum 256 tingkat keabuan, maka kombinasi dari ketiga layer tersebut dapat menghasilkan 2563 warna. Komposit warna dapat dilakukan dengan melakukan pemilihan kombinasi saluran terbaik dengan parameter Optimum Index Factor (OIF) yang dikembangkan oleh Chaves et al. (1982, dalam Jensen, 1986). Cara ini meranking kombinasi tiga saluran spektral yang dapat dibuat dari citra multispektral. Nilai OIF secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standar deviasi nilainilai spektral pada tiga saluran dengan jumlah nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga saluran. Untuk memperoleh nilai OIF maka digunakan persamaan sebagai berikut: Keterangan: Sk = ( ) = Standar deviasi nilai-nilai spektral pada saluran Abs (rj) = Nilai absolut koefisien antara tiap dua dari tiga saluran Dari perhitungan nilai OIF akan terdapat banyak kombinasi yang kemudian ditentukan urutan nilai OIF. Nilai OIF tertinggi akan dipilih sebagai kombinasi saluran terbaik. Dari kombinasi saluran terbaik tersebut selanjutnya akan dilakukan kombinasi kembali, yaitu dengan cara membolak-balik urutannya sehingga akan didapatkan 6 kombinasi baru. Keenam kombinasi tersebut bisa

18 berbeda dalam warna, namun jumlah urutannya akan tetap sama, sehingga pengubahan susunan kombinasi tidak akan mengubah kedetilan informasi. Fusi Data Untuk mempertajam informasi spektral dan spasial, maka dilakukan fusi data yang merupakan penggabungan citra dengan informasi spektral dan informasi spasial. Fusi multispektral adalah penggabungan kombinasi antar saluran yang memiliki resolusi spektral yang berbeda dan resolusi spasial yang sama. Dalam citra Landsat 7 saluran yang digunakan adalah saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m, dan saluran 8 yang memiliki resolusi spasial 15 m. Saluran 6 tidak digunakan dalam fusi karena memiliki resolusi spasial yang berbeda, yaitu 60 m. Fusi spasial merupakan penggabungan saluran-saluran yang memiliki resolusi spasial berbeda. Pada Landsat 7 dilakukan penggabungan antara citra multispektral (saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) yang memiliki resolusi spasial 30 m dengan pankromatik (saluran 8) yang memiliki resolusi spasial 15 m, sehingga hasil akhirnya akan didapatkan citra baru yang memiliki resolusi spasial 15 m. Fusi multispasial dilakukan dengan menggunakan kombinasi saluran yang sudah terpilih. Berbagai teknik fusi data yang dikenal adalah Principal Component, Multiplicative, dan Brovey Transform (ERDAS, 1999). Principal Component. Teknik ini mentransformasikan data multispektral menjadi komponen utama (PC) 1,2,,n dimana PC1 mempunyai informasi paling banyak, dan berkurang sampai PCn. Fusi data dengan komponen utama digunakan dengan langkah sebagai berikut: PC1 diganti dengan data yang mempunyai informasi tekstur, kemudian ditransformasikan balik menjadi saluran semula. Multiplicative. Pada suatu kombinasi warna RGB (542) dengan intensitas dari saluran pankromatik dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: dari domain RGB (542) ditransformasikan ke domain HIS (542). Intensitas hasil transformasi diganti dengan saluran pankromatik, sehingga menjadi I(Pan)HIS(542). I(Pan)HIS(542) ditransformasikan balik menjadi RGB yang merupakan hasil dari gabungan saluran 542 dengan intensitas dari pankromatik.

19 Brovey Transform. Teknik baik digunakan untuk mempertajam kenampakan air, dan menampilkan daratan dengan lebih alami. Jika kombinasi saluran RGB (542) digabung dengan saluran pakromatik, maka Brovey Transform: RED : B5/(B2+B4+B5)*Pan GREEN : B4/(B2+B4+B5)*Pan BLUE : B2/(B2+B4+B5)*Pan Data Landsat 7 saluran 1-5, dan 7 dengan resolusi spasial 30x30 meter digabungkan dengan Landsat saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15x15 meter akan memperjelas kenampakan visual, dimana kesan warna didapat dari data Landsat multispektral, sedangkan kesan tekstur diambil dari data Landsat saluran pankromatik. 2.7 Interpretasi Citra Interpretasi citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya (Howard, 1991 ). Dari interpretasi citra dapat diperoleh informasi kualitatif dan kuantitatif dari sebuah citra melaui pengenalan bentuk, lokasi, tekstur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar objek yang ada, dan lain-lain dengan mengunakan pengetahuan dan pengalaman manusia. Beberapa elemen yang paling banyak digunakan dalam interpretasi citra adalah ukuran, bentuk, bayangan, rona, warna, teksktur, pola, dan asosiasi. Rona adalah ukuran relatif cerah gelapnya suatu citra yang mencerminkan ukuran banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh suatu objek dan direkam oleh sensor hitam putih. Misalnya pasir kering akan terefleksi menjadi putih, sedangkan pasir basah akan terefleksi menjadi hitam. Warna penting untuk mengidentifikasi benda-benda yang rumit. Misalnya jenis tumbuh-tumbuhan dan spesies dapat lebih mudah dibedakan dengan memperjelas warna.

20 Tekstur adalah derajat kekasaran atau kehalusan yang ditunjukkan oleh suatu kenampakan pada citra. Misalnya padang rumput yang sejenis akan memperlihatkan sebuah tekstur yang halus, hutan pinus akan memperlihatkan tekstur yang kasar. Pola adalah susunan ruang yang teratur mengenai kenampakan objek permukaan bumi. Keteraturan bisaanya mengulang bentuk yang sama dengan tetap memperhatikan sebuah objek. Asosiasi adalah kombinasi elemen interpretasi untuk mengidentifikasi sesuatu objek denganbantuan karakeristik geografi, konfigurasi lingkungan atau konteks dari sebuah objek di sekitarnya. Unsur-unsur ini dapat digunakan satu persatu atau secara gabungan. Selain unsur-unsur tersebut, diperlukan pula suatu teknik interpretasi citra, yaitu suatu cara ilmiah dalam metode penginderaan jauh. Cara tersebut antara lain menggunakan data acuan/lapangan, penanganan data, dan penerapan konsep multi, seperti multispektral, multispasial, dan multitemporal. 2.8 Model Estimasi Umur Tanaman Kelapa Sawit McMorrow (2001) mengatakan bahwa tanaman kelapa sawit secara struktur memiliki kemiripan dengan hutan. Kerapatan kanopi pada tanaman yang homogen memudahkan dalam pengenalan ciri spektral (spectral signature). Pembuatan model estimasi umur mengadopsi dari hasil penelitian Kustiyo (2003) yang berjudul Model Estimasi Fase Tumbuh dan Luas Panen Padi Sawah dengan Menggunakan Data Landsat 7. Dalam penelitiannya Kustiyo mengambil sampling area dengan kriteria tertentu dari setiap petak tanaman padi yang sudah diketahui umurnya pada masa vegetatif. Dari setiap sampel tersebut diekstrak rataan digital number (DN). DN tersebut merupakan ciri spektral, sehingga dapat dikorelasikan dengan umur tanaman padi. Parameter indeks vegetasi tidak digunakan dalam penelitian ini. Karena menurut Jansen (2004) bahwa MIRI, RVI dan NDVI tidak berkorelasi dengan umur tanaman sawit. Strategi pembuatan model dilakukan dengan cara mencari hubungan fungsional terbaik antara umur tanaman dengan saluran-saluran citra

21 Landsat 7. Korelasi yang digunakan adalah regresi linier ganda yang dirumuskan seperti formula dibawah: y =a0+a1s1+ +ansn Keterangan: y = umur tanaman a1 = koefisien regresi dari saluran ke-i s1 = nilai spektral saluran ke-i n = jumlah saluran y digunakan Pendugaan model terbaik dilakukan bertahap dengan cara mengurangi jumlah saluran yang digunakan satu demi satu (all possible regression method). Pada tahap pertama, umur tanaman dikorelasikan dengan semua saluran multispektral landat 7 yaiu 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Dari 6 saluran, diambil satu saluran untuk dilakukan kombinasi sehingga akan nada 6 kombinasi masingmasing terdiri dari 5 saluran. Dari 6 kombinasi ini dikorelasikan dengan umur tanaman dan diambil kombinasi dengan koefisien korelasi paling besar. Pada tahap kedua kombinasi dari 5 saluran dengan nilai koefisien paling besar diambil satu saluran lagi, sehingga diperoleh 5 kombinasi dimana setiap kombinasi terdiri dari 4 saluran. Masing-masing kombinasi dikorelasikan dengan umur tanaman padi, dan diambil kombinasi dengan nilai koefisien paling besar.