BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya

BAGAIMANA MENDIRIKAN SEBUAH MUSEUM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PELESTARIAN BANGUNAN DAN/ATAU LINGKUNGAN CAGAR BUDAYA

MUSEUM PEREMPUAN RIAU DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR KONTEMPORER

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

BAB II KAJIAN LITERATUR

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 2 TAHUN 2015 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 2 TAHUN 2015

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA.

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. KONSEP Konsep Dasar Perencanaan Tapak

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 74 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 1999 SERI D NO. 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

Dasar Kebijakan Pelestarian Kota Pusaka 1. Tantangan Kota Pusaka 2. Dasar Kebijakan terkait (di Indonesia) 3. Konvensi Internasional

BAB II TINJAUAN PROYEK GAMBARAN UMUM PROYEK DATA FISIK BANGUNAN : Peningkatan Kuantitas Komplek Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

V. KONSEP PENGEMBANGAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

DEFINISI- DEFINISI A-1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

2015 PERANAN MEDIA VISUAL TERHADAP DAYA TARIK WISATA DI MUSEUM GEOLOGI BANDUNG

BAB I Pendahuluan. Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan,

3. Pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung (Homestay/Resort Wisata), dengan kriteria desain : a) Lokasi Homestay pada umumnya terpisah dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan yang indah, hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Konsep Design Mikro (Bangsal)

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan, bepergian, yang dalam hal ini sinonim dengan kata travel dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa keanekaragaman

-BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya dinikmati segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Obyek wisata adalah salah satu komponen yang penting dalam industri pariwisata

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA DAN CAGAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 07 TAHUN 2005 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perkiraan jumlah wisatawan internasional (inbound tourism) berdasarkan perkiraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

2014 PENGARUH KUALITAS PRODUK WISATA TERHADAP KEPUTUSAN PENGUNJUNG UNTUK BERKUNJUNG KE MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK DI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Sepanjang Jalan Malioboro adalah penutur cerita bagi setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Industri pariwisata bukanlah industri yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. besar untuk di manfaatkan, tentu sektor bisnis yang terkait kedatangan wisatawan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

2015 PENGEMBANGAN RUMAH BERSEJARAH INGGIT GARNASIH SEBAGAI ATRAKSI WISATA BUDAYA DI KOTA BANDUNG

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Perkembangan Wisatawan Nusantara pada tahun

BAB V ARAHAN DAN REKOMENDASI

2 Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah Lanskap sejarah (historical landscape) menurut Harris dan Dines (1988), secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (landscape of the past), yang terdiri dari informasi fisik tentang keberadaan manusia pada suatu tempat. Lanskap sejarah mampu bertahan hingga keadaan masa kini namun tetap menampilkan keadaan pada masa lalu secara berkelanjutan, serta mengikuti perkembangan pembangunan. Lanskap sejarah juga memiliki fokus kepada lanskap budaya, diantara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat. Lanskap sejarah merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu didalamnya, yang juga dapat dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis yang merupakan objek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria dan/atau alasan sebagai berikut: 1. Etnografis, yang merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini yaitu rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan). - Rural landscape, merupakan suatu model atau bentuk lanskap yang dapat merupakan cerminan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan; dan

- Urban landscape, yaitu bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan 2. Associative, suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika, dan sebagainya. 3. Adjoining, adalah bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu. 2.2. Pelestarian Lanskap Sejarah Nurisyah dan Pramukanto (2001), mengungkapkan bahwa pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan lanskap, Harris dan Dines (1988) mengajukan 4 (empat) hal utama dilakukannya tindakan preservasi untuk pelestarian lanskap sejarah ini, yaitu: (1) Untuk menyelamatkan karakter estetik dari suatu areal, wilayah atau properti a. Untuk menekan kesinambungan antara masa lalu dengan masa sekarang b. Untuk melengkapi struktur kesejarahan c. Untuk menahan degradasi karakter lingkungan d. Untuk menginterprestasikan kehidupan sejarah dari seseorang, suatu kejadian, dan suatu tempat (2) Untuk mengkonservasi sumberdaya a. Untuk mempertahankan pepohonan, tanaman-tanaman semak, dan berbagai jenis tanaman lainnya b. Untuk memperpanjang umur kehidupan dari suatu site features c. Untuk memperbaiki dan merehabilitasi berbagai hal atau bahan yang sudah tidak diproduksi lagi

d. Untuk mengurangi kegiatan pemeliharaan (3) Untuk memfasilitasi pendidikan lingkungan a. Untuk mengilustrasikan nilai, cita rasa, proses, dan teknologi yang telah dimiliki pada masa yang lampau b. Untuk mengevaluasi keterpakaian dari teknologi tempo dulu untuk digunakan pada saat sekarang (4) Untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebutuhan akan hunian, baik yang terdapat dalam kawasan perkotaan, di tepi kota, maupun di kawasan pedesaan. Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), kriteria untuk melakukan tindakan pelestarian atau preservasi didasarkan atas pertimbangan faktor-faktor: (1) Makna sejarah (Historical significance) - Pertimbangan didasarkan pada kepentingan relatif dari makna kesejarahan dan keunikannya (2) Extant historic resources - Pertimbangan didasarkan pada jumlah dan tipe dari features utama yang terkait dengan periode sejarah tapak tersebut - Integritas historikal dari beberapa sumberdaya yang dapat dipertahankan keberadaannya (Historical integrity of surviving resources) (3) Kondisi sumberdaya sejarah - Kondisi struktural - Kondisi material tanaman (4) Seleksi periode sejarah - Kepentingan dari asosiasi sejarah - Ketersediaan sumberdaya eksisting (saat ini) - Keterpaduan dari sumberdaya tersedia

- Keterkaitan antar sumberdaya eksisting dengan keterkaitan sejarah - Kondisi sumberdaya saat ini - Ketersediaan informasi sejarah pada periode yang otentik untuk upaya restorasi Bangunan dan daerah bersejarah tertentu dikatakan sebagai unsur kualitas perkotaan yang positif. Perlindungan (pemeliharaan) terhadap kawasan bersejarah tidak hanya mempunyai nilai intrinsik, melainkan juga mempunyai dampak ekstrensik sehingga dapat mendorong perbaikan daerah di sekitarnya. Menurut Catanese dan Snyder (1988), terdapat beberapa kategori perlindungan terhadap benda bersejarah, yaitu: - Daerah alami Daerah ini biasanya berbentuk daerah pantai, perkebunan, hutan, lereng perkebunan, dan lokasi-lokasi arkeologis. Kelompok pemelihara setempat biasanya bertindak sebagai konservator pada daerah lanskap. - Skyline dan pemandangan koridor Pada bangunan-bangunan tinggi diberlakukan pengendalian dan pembatasan ketinggian. Bentuk serta ketinggian skyline berada di bawah pengawasan secara seksama. Pembatasan tersebut ditujukan untuk menjamin bahwa pemandangan-pemandangan dari tempat lain serta dari bangunan-bangunan penting dan bersejarah dilindungi dari kerusakan. - Wilayah Kategori wilayah yang dilindungi biasanya merupakan daerah-daerah dengan konsistensi stylistis atau suatu tempat tradisional. Tempat-tempat tersebut dilindungi dari pembongkaran dan pengaruh orang luar atau perubahanperubahan baru. Perhatian sebaiknya diberikan tidak hanya untuk memelihara daerah berciri arsitektur, tetapi juga ciri kehidupannya. - Bentang jalan Pada bagian dari bentang jalan diberikan perhatian yang serius untuk melakukan revitalisasi penghidupan kembali terhadap jalan utama. Sebagai

hasil dari suburbanisasi banyak pusat perdagangan yang memburuk dan kehilangan perannya. Dalam beberapa kasus, usaha untuk memlihara jalan utama telah berada pada skala daerah dan mencakup rencana bagian arah pergerakan kendaraan dan tempat parkir. Namun, dalam kasus lain, sebagian besar perhatiannya dicurahkan bagi pemeliharaan penampilan tradisional jalan utama sebagai kenangan masa lalu. - Bagian depan suatu gedung Telah umum ditemukan beberapa gedung sejarah yang tetap mempertahankan bagian depan dari gedung tersebut, sementara perkembangan pembangunan terhadap gedung tersebut, seperti penyisipan bangunan yang lebih besar biasanya dilakukan pada bagian belakang gedung. Hal tersebut meupakan upaya dari perlindungan benda bersejarah, dengan dua tujuan utama, yaitu: (1) mempertahankan ciri jalan yang berada di bagian depan gedung bersejarah, dan (2) memungkinkan eksploitasi nilai lahan baru melalui konstruksi bangunan terhadap pasar real estate. Sasaran kritik terhadap metode pemeliharaan bersejarah ini mungkin melebihi dibandingkan pada bagian lain, karena makna (spirit) dari bangunan asli sering hilang bila dipenuhi dengan konstruksi baru dengan ciri dan skala yang berbeda. - Bangunan Pemeliharaan bangunan perorangan (individual) mempunyai sejarah paling lama dan merupakan tindakan pemeliharaan paling umum. Ini disebabkan adanya pola hak milik, bangunan tersendiri lebih mudah untuk dikendalikan dibandingkan dengan sekelompok bangunan. Hal ini juga dikarenakan pola dasar pemeliharaan yang hanya mengidentifikasikan bangunan bernilai tinggi, paling banyak, paling baik, paling tua untuk penyelamatan. - Benda dan bagian bangunan (fragmen) Skala paling kecil dari pemeliharaan meliputi bagian-bagian bangunan, misalnya sisa pemboman, atau bagian dari bekas dinding kota, dan bendabenda yang mempunyai nilai estetis dan historis.

2.3. Benda Cagar Budaya Benda cagar budaya memiliki dua definisi berdasarkan Undang-undang tentang Cagar Budaya No. 5 tahun 1992, yaitu: 1. Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. 2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, menjabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya, yaitu: 1. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun. 3. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya. 4. Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut. 5. Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Kepemilikan benda cagar budaya berdasarkan Undang-undang RI No. 5 tahun 1992 Bab III pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang. Kegiatan pemugaran pada Benda Cagar Budaya harus sangat diperhatikan, terutama dari keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak. Berikut adalah prasyarat kegiatan pemugaran benda cagar budaya (Suantra, 2010): 1). Keaslian Bentuk Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis. 2). Keaslian Bahan a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula. b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. 3). Keaslian Tata Letak a). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lainlain harus dikembalikan ke tempat semula. 4). Keaslian Teknologi Pengerjaan Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara :

a). Teknologi pembuatan b). Teknologi konstruksi Benda cagar budaya yang termasuk ke dalam bangunan museum memiliki beberapa persyaratan pendirian, diantaranya adalah dalam hal pendirian bangunan dimana berdasarkan bangunannya museum dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu bangunan pokok (pameran tetap, pameran temporer, auditorium, kantor, laboratorium konservasi, perpustakaan, bengkel preparasi, dan ruang penyimpanan koleksi) dan bangunan penunjang (pos keamanan, museum shop, tiket box, toilet, lobby, dan tempat parkir). Selain dapat dikelompokan bangunan museum juga dapat berupa bangunan baru atau dapat juga memanfaatkan bangunan lama, dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi (Direktorat Permuseuman, 2000). 2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata Wisatawan menurut Yoeti (1996) adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan tujuan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu. Sedang pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu untuk menikmati perjalanan dan kunjungan itu (Yoeti, 1996). Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2009), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan tersebut didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Selain informasi dan promosi kawasan, untuk mengembangkan suatu kawasan wisata maka faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah ketersediaan dari objek dan atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Objek dan daya tarik wisata merupakan andalan utama untuk pengembangan kawasan wisata. Keduanya didefiniskan sebagai suatu keadaan alam dan perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk

dikunjungi wisatawan; dan atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata (Gunn, 1993). Menurut Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa permintaan akan pariwisata tergantung pada ciri-ciri wisatawan, seperti penghasilan, umur, motivasi, dan watak. Masing-masing dari ciri-ciri tersebut akan mempengaruhi kecenderungan orang untuk berpergian mencari kesenangan, kemampuannya untuk berpergian, dan pilihan tempat tujuan perjalanannya. Permintaan juga ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri tempat tujuan perjalanan, daya tariknya, harga dan efektif tidaknya kegiatan memasarkan tempat tujuan. Kebijaksanaan dan tindakan pemerintah dapat mendorong atau menurunkan permintaan akan pariwisata secara langsung dan sengaja, dan secara tidak langsung melalui faktor-faktor yang penting bagi wisatwan, seperti keamanan. Selain itu, faktor-faktor sosial dapat mempengaruhi permintaan, seperti sikap penduduk setempat pada para wisatawan dan minat yang dibangkitkan oleh budaya setempat. Selain itu, menurut Allen, Long, Perdue dan Keiselbach (1988) dalam Ross (1994), terdapat tujuh aspek fungsi masyarakat: pelayanan umum, faktor ekonomi, faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, peran serta warga, pendidikan formal dan pelayanan rekreasi bersama dan pembangunan pariwisata. Dimana dari ketujuh faktor tersebut peran serta warga, pelayanan umum dan lingkungan merupakan hal-hal yang paling peka dalam perkembangan pariwisata. Menurut Pendit (2002), terdapat tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk menjadi tujuan wisata: (1) Memiliki atraksi atau objek menarik (2) Mudah dicapai dengan alat-alat kendaraan (3) Menyediakan tempat untuk tinggal sementara

Sedangkan, untuk daerah tujuan wisata sejarah, termasuk didalamnya adalah kotakota bersejarah yang mempunyai bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik, monumen, balairung, teater, dan sebagainya. Black (1990) dalam Ross (1994), mengatakan bahwa bangunan bersejarah memainkan peranan penting dalam memikat wisatawan dan sudah terbukti banyak pemasukan yang dapat diperoleh dari upaya pelestarian. Salah satunya adalah dengan menyesuaikan bangunan bersangkutan sehingga mempunyai nilai ekonomi. 2.5. Perencanaan Lanskap Wisata Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling mendukung satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak/bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisyah dan Pramukanto, 2009). Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa dalam perencanaan pariwisata dibutuhkan pertimbangan berdasarkan tiga unsur dasar yang merupakan sendi model pariwisata, pertama wisatawan dan perjalanan, artinya orang yang melakukan perjalanan dan bermalam dan tempat tujuan. Kedua adalah organisasi dan fasilitas yang dinikmati wisatawan, karena pariwisata itu rumit, luas, dan membawa dampak. Ada lagi dampaknya pada Pihak Lain atau pihak-pihak seperti pemerintah, masyarakat, ekonomi, dan orang-orang lain yang terlibat secara tidak langsung. Menurut Gold (1980), perencanaan wisata dapat diklasifikasikan melalui lingkup perencanaan, orientasi, area geografi, atau pengguna. Dalam konteks perkotaan, perencanaan wisata telah dirubah dari identitas sumberdaya dan perencanaan fasilitas menjadi identitas kota dan perencanaan lingkungan, dalam konteks desain lingkungan. Komponen dari perencanaan rekreasi harus dapat disukai oleh populasi - populasi khusus, seperti orang cacat. Perencanaan wisata juga dapat

diklasifikasi melalui pengguna, area perencanaan atau level dari pelayanan pemerintah. Perbedaan ini dijelaskan melalui orientasi, skala analisis, dan produk dari perencanaan wisata. Perencanaan suatu kawasan wisata juga membutuhkan perencanaan fasilitasnya, dimana seharusnya fasilitas wisata tersebut dikelompokkan menjadi satu wilayah. Selain itu, wilayah-wilayah khusus harus dibangun untuk menunjang keberadaan fasilitas wisata. Pembangunan fasilitas wisata harus lebih daripada sekedar menempatkan bangunan-bangunan, karena sebagian dari daya tarik wisata biasanya terletak pada pusat kota, tempat dengan nilai sejarah, dan sebagainya, dan biasanya dibangun dengan lokasi yang ditujukkan untuk faktor-faktor yang berbeda (Law, 1993). Perencanaan wisata merupakan aliran sistematik dari antisipasi, sebab pelestarian maupun pengawasan terhadap perubahan yang berhubungan dengan kepentingan umum dan kepuasan pribadi. Perencanaan wisata juga merupakan proses yang berkelanjutan dari perubahan dalam respon terhadap nilai sosial, pola kehidupan, teknologi, legislasi, dan melihat ketersediaan dari sumberdaya. Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2009), merencanakan suatu kawasan wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisata sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat diminimumkan tetapi pada saat yang bersamaan kepuasan wisatawan dapat terwujudkan.

BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak pada administrasi Kota Jakarta, termasuk dalam wilayah Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara (Gambar 2). Pembatasan wilayah penelitian berada didalam wilayah Kampung Tugu yaitu pada kawasan perkampungan Portugis yang berada di sekitar Gereja Tugu dan kawasan sekitarnya sesuai dengan denah Keluarga Tugu pada tahun 1940 (Lampiran 1). Penelitian berlangsung selama 3 bulan dan dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2010 hingga April 2010. Sedangkan analisis dan penyusunan skripsi dilaksanakan mulai bulan April 2010 sampai bulan Juli 2010 (Tabel 1.). JAKARTA UTARA DKI JAKARTA Sumber : Googlemap Gambar 2. Lokasi Penelitian