BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku-sukubangsa yang tinggal di berbagai daerah tertentu di Indonesia. Masing- masing suku bangsa memiliki adat-istiadat, agama, bahasa dan sebagainya yang berbeda satu samalain. Masing- masing suku bangsa memiliki kekhasan yang merupakan kenyataan unik, menggambarkan kekayaan unik milik bangsa Indonesia. Suku Sabu yang berasal dari tempat yang jauh merupakan suku pendatang di Sumba yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut dan lontar yang kemudian diproses menjadi gula Sabu (Umbu Pura Woha,2003). Dan sejak dulu orang Sabu sudah mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang Sumba, sebagai bukti adanya perkawinan raja Melolo di Sumba Timur dengan raja Seba di Sabu. Saudara perempuan Ama Dimu Tallo dengan Raja Kambera (Umbu Tunggu Djama) selanjutnya saudara perempuannya Ama Nia Djama kawin dengan raja Umalulu Umbu Nggaba Haumara (Niko Kana, 1982). Penduduk Sabu menyebar ke Sumba juga atas usul raja Seba (Ama Nia jawa) yang menginginkan pendudukannya mendapatkan nafkah yang layak. Usulan tersebut disetujui oleh presiden Belanda di Kupang. Pada abad ke 19 orang Sabu dipindahkan oleh Belanda ke Pulau Sumba. Mereka yang dipindahkan ditempatkan di Melolo dan Kambaniru dan dari Melolo ke Mangili (Pahunga Lodu)(Umbu Pura Woha,2003: 89). Sebelum memeluk agama Kristen, suku Sabu menganut agama tradisional suku, yaitu Jingitiu. Saat ini 80 persensuku Sabu memeluk agama Kristen Protestan. Namun demikian dalam hidup keseharian kebanyakan orang Sabu masih terpengaruh oleh tradisi Jingitiu. Jingitiu dengan segala tata aturannya (uku) merupakan sebuah kearifan lokal sekaligus identitas masyarakat Sabu Raijua yang kini berstatus daerah otonom/kabupaten. Terlepas bahwa kini mayoritas masyarakat di Sabu sudah memeluk Kristen, namun gagasan kebijakan yang bernilai baik yang berlaku sejak nenek moyang tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut cerita mitologi (tokoh adat Sabu) dalam kehidupan masyarakat penganut Jingitiu, setiap aspek kehidupan
tidak boleh bertentangan dengan tata aturan (uku) yang ada karena diyakini hal tersebut bisa mengganggu keseimbangan alam sekaligus merugikan bagi seluruh komunitas. Sehingga apabila ada yang melanggar, langsung mendapat sanksi tegas berupa denda adat. Misalnya dalam hal menyadap lontar. Nira hasil sadapan lontar yang dilakukan di luar waktu yang ditetapkan para tetua tidak boleh dimasak menjadi gula sabu, melainkan hanya untuk diminum sehari-hari. Penganut Jingitiu kini 10 persen dari populasi kabupaten Sabu Raijua. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya seperti mengatur kapan saatnya memulai akitivitas pertanian, penanaman tanaman pangan secara serentak, misalnya, sangat tepat untuk memutus mata rantai hama dan penyakit tanaman. Cara bertanam masih sangat tradisional dengan melepaskan ternak tanpa kandang. Jumlah ternak justrumenunjukkan status sosial seseorang. Hewan peliharaan berfungsi sosial ketimbang bernilai ekonomi terutama kuda, kerbau, dan domba/kambing. Ternak ini sering menjadi pemenuhan kebutuhan upacara adat seperti untuk perkawinan adat, termasuk upacara sakral lainnya. Secara umum sebuah perkawinan di masyarakanat Indonesia biasanya didahului dengan tata cara adat kebiasaan yang berlaku dari generasi ke generasi,baik secara lengkap dan utuh, maupun sebagian dimodifikasi/disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebuah perkawinanbagi masyarakat Sabu adalah suatu peristiwa yang sangat sakral. Sebelum pengantin diberkati secara keagamaan, maka diadakan upacara adat berupa Kenoto (Sirih Pinang). Kenoto artinya satu kantong kecil yang berisi sirih pinang, kapur dan tembakau yang gunanya untuk dimakan dalam perjalanan dan disuguhkan untuk tamu. Dalam perkembangan kemudian arti kenoto ini langsung dipakai sebagai simbol untuk seluruh perkawinan adat Sabu. Dikatakan sebagai simbol, karena tidak digunakan secara langsung pada tempat aslinya yang biasa dipakai menaruh sirih pinang itu tetapi dalam bentuk yang lain, seperti dulang atau tempat lain yang kemudian di bungkus rapi dengan kain putih atau kuning lalu di bawa pada waktu acara itu akan berlangsung, sebenarnya arti kenoto ini tetap kantong yang berisi sirih pinang, kapur dan tembakau.
Adapun simbol kenoto yang dipergunakan dalam adat perkawinanan sabu(kenoto) yaitu pihak mempelai laki-laki membawa sebuah kantong (kenoto)yang berisi sirih tua, sirih muda, pinang tua, pinang muda,kapur, tembakau, uang, kalung mas, cincin mas, anting mas, kain sabu yang akan diberikan kepada pihak mempelai perempuan. Dengan demikian dapat di ketahui bahwa kenoto adalah lambang pelaksanaan perkawinan adat Sabu antara dua orang muda- mudi yang saling mencintai. Banyak masyarakat suku Sabu yang belum mengetahui tata cara pelaksanakan perkawinan adat Sabu (kenoto) secara mendalam, hanya sebatas diketahui sebagai kewajiban untuk melaksanakan perkawinan adat Sabu tanpa mengetahui makna yang terkandung dalam perkawinan adat Sabu yang harus dijunjung tinggi. Pelaksanaan perkawinan adat Sabu (Kenoto) dapat dilaksanakan dengan syarat : 1. Jika kedua orang muda mudi dari suku Sabu sendiri. 2. Jika pemudanya dari luar suku Sabu,pemudi dari suku Sabu. 3. Pemudanya harus memenuhi syarat yang ada sepertiseorang pria yang sudah menginjak dewasa dan sudah memotong gigi. Berdasarkan uraian di atas maka akan dilakukan penelitian yang berjudul Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat Sabu (Kenoto)Di Kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur Periode Desember 2015 April 2016 (Suatu Studi Kasus). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas makapenelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat Sabu (Kenoto) dikecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur? 2. Nilai apakah yang terkandung dalam pelaksanaan perkawinan adat Sabu (Kenoto) di Kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur? 3. Apakah ada perubahan dalam tata cara upacara perkawinan adat Sabu (Kenoto) seiring perkembangan zaman?
C. Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada permasalahan pelaksanaan perkawinan adat Sabu di periode Desember 2015 April 2016 di Pahunga Lodu- Sumba Timur D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan upacara perkawinan adat Sabu (Kenoto) di kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur 2. Untuk mengetahui nilai nilai yang terkandung dalam upacara perkawinan adat Sabu (Kenoto) di kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur 3. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam tata cara upacara perkawinan adat Sabu (Kenoto) di kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur E. Manfaat Penelitian Adapun Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis : Menambah wawasan dan wacana tentang perkawinan adat suku Sabu serta dapat sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang sejenis 2. Manfaat Praktis : Memberikan masukan bagi Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kajian dalam pengembangan dan penerapan adat perkawinan dalam konteks Indonesia yang beragam suku dan budaya, khususnya dalam memperdalan perkuliahan antropologi budaya dan hukum adat.