1 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga Novelina MS Hutapea Dosen Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yang telah mengatur tentang hak-hak korban, tindakan yang dilarang, sanksi pidana bagi pelaku, kewajiban pemerintah dan masyarakat, pemulihan korban dan perlindungan yang wajib diberikan kepolisian, tenaga kesehatan, pekerja social, advokat, relawan pendampingan ataupun petugas rohani. Dalam merealisasikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, aparat penegak hukum sebagaimana halnya dengan penyidik Polri harus melakukan tindakan-tindakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun tidak jarang pula penyidik Polri menemui permasalahan dalam penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga ini yang menuntut penyidik Polri harus dapat bertindak bijaksana, sehingga permasalahan yang dihadapi tidak sampai mengganggu kelancaran tugas penyidikan. Kata Kunci : Penyidik Polri, KDRT ----------------------------------------- Pendahuluan Tujuan perkawinan atau berumahtangga adalah membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis. Keharmonisan dan kebahagiaan dalam suatu rumah tangga memang tidak datang dengan sendirinya tetapi harus dicari dan dibina oleh suami istri. Atas dasar itu dalam setiap keluarga, pasangan suami istri harus mempunyai cara dan strategi tersendiri. Akan tetapi tidak jarang bahwa sebagai manusia biasa, bahtera rumah tangga digoncang oleh badai sehingga mengakibatkan terganggunya keharmonisan dan kebahagian yang telah dibina. Ketidakmampuan menyatukan perbedaan karakter, latar belakang budaya ditambah lagi faktor-faktor yang datang dari luar rumah tangga yang bersangkutan seringkali menimbulkan konflik yang bisa membawa petaka bagi kehancuran suatu rumah tangga. Perbedaan yang mulamula kelihatan kecil akhirnya dapat menjadi besar dan bahkan tidak sedikit menjadi pemicu terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Pada umumnya yang menjadi korban adalah pihak yang mempunyai posisi yang lemah baik secara fisik maupun psikis. Akibat lebih jauh munculnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga ini bisa membawa dampak yang cukup serius dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Walaupun mungkin secara formal suatu rumah tangga kelihatannya masih utuh, tetapi secara batiniah sebenarnya sudah hancur. Keluh kesah dari anggota penghuni rumah selalu terdengar tentang adanya tindakan kekerasan yang dilakukan pihak yang merasa mempunyai otoritas. Pembiasaan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat mengakibatkan keadaan akan lebih buruk terjadi sebagaimana pemberitaan dalam berbagai media, bahwa akibat tindakan
2 www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 kekerasan dalam rumah tangga ada korban yang mengalami luka berat bahkan akhirnya sampai meninggal dunia. Tindakan ini tentu melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Berdasarkan hal-hal diatas, dalam tataran internasional telah dilakukan berbagai upaya unutk memberikan perlindungan hukum agar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dihapuskan. Untuk memantapkan landasan hukum yang kuat, agar pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat dengan hukum maka tanggal 22 September 2004, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menerbitkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di dalam Undang-undang KDRT ini telah diberikan kepada kepolisian sebagai penyidik beberapa wewenang dalam penegakan hukum terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga baik bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi korban maupun penindasan bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Rumusan Masalah a. Bagaimana tindakan penyidik Polri setelah menerima laporan atau pengaduan tentang tindakan kekerasan dalam rumah tangga? b. Apakah penyidikan dapat dilakukan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga tanpa adanya pengaduan dari korban? c. Apakah ada kendala yang dihadapi dalam penyidikan tindak kekerasan dalam rumah tangga? Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Dengan kedua metode ini, data diperoleh melalui buku-buku literature maupun perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan judul serta rumusan masalah yang akan dibahas. Selanjutnya dilakukan penelitian di Polres Simalungun yaitu mengadakan wawancara dengan salah seorang penyidik yang berwenang menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga. PEMBAHASAN 1. Tindakan Penyidik Polri setelah Menerima Laporan atau Pengaduan tentang Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Setiap rumah tangga hendaknya menumbuhkembangkan sikap membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol. Pada akhirnya hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan
3 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga - Novelina MS Hutapea dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga tidak harus diartikan dalam bentuk tindakan fisik (memukul, menjambak) termasuk juga kekerasan dalam bentuk psikis, seperti terus menerus ditekan atau dipojokan oleh keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau katakata kasar sudah dianggap sebagai bentuk kekerasan. Sekalipun kaum laki-laki terkesan aktor yang paling banyak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak berarti kekerasan dalam rumah tangga tidak pernah dilakukan oleh kaum perempuan terhadap anggota keluarga lainnya. Akan tetapi perkembangan dewasa ini mewujudkan bahwa tindakan kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga banyak terjadi dan terutama menimpa kaum perempuan. Kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ini bisa menimpa siapa saja baik dari kalangan bawah maupun dari kalangan atas. Hal ini dapat diketahui dari pemberitaan mass media ataupun media elektronik yang kerap kali memberitakan masalah kekerasan dalam rumah tangga, dan melibatkan perempuan juga anak sebagai korbannya. Menurut pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Korban menurut undangundang ini adalah socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban (Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007:137) Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004, perempuan yang menjadi korban kekerasan rumah tangga, pelaku atau bahkan masyarakat masih menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya (perempuan) bukanlah merupakan suatu hal yang pantas untuk diperbincangkan. Masalah itu adalah masalah pribadi rumah tangga yang bersangkutan, harus diselesaikan secara pribadi, tidak perlu campur tangan pihak manapun apalagi sampai diajukan ke proses sidang pengadilan. Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang diundangkan pada tanggal 22 September tahun 2004, mulailah muncul kesadaran dari korban untuk untuk melaporkan ke pihak berwajib apabila terjadi aksi kekerasan dalam rumah tangga. Guna merealisasikan pencegahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, maka setiap orang yang melihat, mendengar atau mengetahui terjadinya tindakan tersebut harus memberikan laporan atau pengaduan kepada kepolisian agar dapat ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur yang telah diatur oleh hukum. Setelah mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, maka kepolisian wajib segera memberikan perilndungan sementara pada korban (pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2004). Perlindungan sementara yaitu perlindungan
4 www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial, atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat penting untuk segera diberikan kepada korban karena jika korban harus menunggu turunnya penetapan pengadilan yang berisikan perintah perlindungan, dikhawatirkan prosesnya lama sementara korban membutuhkan perlindungan dalam waktu relatif cepat. Perlindungan sementara sebagaimana disebutkan di atas wajib segera diberikan oleh kepolisian kepada korban dalam waktu 1 x 24 jam, terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan yang diberikan kepada korban paling lama tujuh hari sejak korban diterima atau ditangani. Agar perlindungan sementara ini dapat segera dinaikkan statusnya menjadi perlindungan, maka dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selanjutnya di dalam pasal 19 Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 diatur bahwa penyidik Polri wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Apabila dari hasil penyelidikan dapat ditentukan bahwa terhadap tindakan kekerasan yang dilaporkan dapat dilakukan penyidikan, maka hal itu akan dilanjutkan dan untuk itu penyidik dapat melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan kepada tersangka pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan penelitian di lapangan diperoleh fakta bahwa di kantor Kepolisian Resort Simalungun telah dibentuk suatu unit penanganan terhadap kejahatan yang menimpa perempuan dan anak-anak yaitu unit PPA (Pemeriksaan Perempuan dan Anak). Kasuskasus yang biasanya ditangani oleh unit ini adalah pemerkosaan, penganiayaan di lingkungan keluarga, pelecehan seksual (kejahatan kesusilaan). Ide pembentukan ruang pelayanan khusus ini pada mulanya adalah dari adanya kekhawatiran dari aparat kepolisian, bahwa korban (perempuan dan anak-anak) yang telah mengalami tindakan kekerasaan tidak bersedia untuk memberikan keterangan berkaitan dengan tindak kekerasan yang dialaminya karena proses pemeriksan dilakukan dilakukan di tempat terbuka seperti yang dilakukan terhadap korban-korban kejahatan lainnya, sedangkan pada kasus yang menimpa korban (perempuan dan anak-anak) faktor kerahasiaan sangat penting untuk dijaga. Anggota kepolisian yang ditempatkan pada ruang pelayanan khusus ini berasal dari anggota polisi wanita yang telah memperoleh berbagai pelatihan khusus berkaitan dengan masalah-masalah keluarga. Dengan ditempatkannya anggota polisi wanita ini dalam pemeriksaan, maka diharapkan kendala komunikasi antara korban dan aparat kepolisian dapat diatasi. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota kepolisian wanita ini dibantu oleh petugas yang berasal dari rumah sakit, atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah korban kekerasan dalam
5 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga - Novelina MS Hutapea rumah tangga. Dalam pelayanan ini pihak rumah sakit dilibatkan, khususnya pabila korban mengalami kekerasan secara fisik (seksual) sehingga memerlukan perawatan khusus. 2. Penyidikan terhadap Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat Dilaksanakan Tanpa Adanya Pengaduan Korban Laporan berbeda dengan pengaduan. Laporan dapat diberikan terhadap delik atau tindak pidana biasa, sedangkan pengaduan hanya dapat dilakukan terhadap delik atau tindak pidana aduan. Selanjutnya ada beberapa perbedaan antara laporan dan pengaduan berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 24 dan 25 KUHAP yaitu: a. Pengaduan berisi bukan saja laporan akan tetapi juga permintaan supaya yang melakukan tindak pidana itu di hukum. b. Pengaduan dapat dicabut kembali, sedangkan laporan tidak dapat ditarik kembali. c. Pengaduan dapat dilakukan oleh orangorang tertentu yang disebut dalam undangundang dan dalam kejahatan tertentu saja sedangkan laporan dapat dilakukan oleh setiap orang yang mengetahui telah, sedang atau diduga akan terjadinya suatu tindak pidana. Pengaduan dapat didefinisikan sebagai : suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau dituliskan) dari seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian RI) tentang telah diperbuatnya suatu tindak pidana (in casu kejahatan aduan) oleh seseorang dengan disertai permintaan agar dilakukan pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan (Adami Chazawi, 2002:201). Jadi ada dua unsur esensial pengaduan yaitu: 1. Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang, dan disertai; 2. Permintaan untuk dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan. Berdasarkan pada prinsip umum, maka tidak penting tentang apa yang diminta oleh korban dalam perkara pidana. Diminta atau tidak diminta, negara akan melakukan penuntutan atas perkara pidana. Namun prinsip ini dikecualikan dalam hal tindak pidana aduan. Dalam hal tindak pidana aduan, negara tidak berwenang untuk menuntut pidana apabila korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak meminta atau mengadu agar perkara yang diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus. Peranan korban pada delik aduan adalah menentukan untuk dapat tidaknya dilakukan penuntutan pidana (vervolging), akan tetapi bukan menentukan untuk dapat tidaknya dilakukan penyidikan (opsporing). Dalam hal penyidikan tidaklah penting adanya pengaduan atau tidak. Penyidikan boleh dilakukan terhadap pelaku tindak pidana tanpa digantungkan adanya pengaduan dari pihak yang berhak mengadu. Bila teori tersebut dikaitkan dengan penyidikan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, maka harus dipahami bahwa pada dasarnya berdasarkan adanya laporan dari masyarakat ataupun korban tentang terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga, maka
6 www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 penyidik wajib segera melakukan penyidikan. Sedangkan terhadap beberapa tindakan kekerasan tertentu yang disebutkan sebagai delik aduan, penyidik tetap dapat melakukan penyidikan. Hanya saja, bila penyidikan telah selesai dilakukan dan tetap korban kekerasan dalam rumah tangga tidak mengajukan pengaduan, maka jika penyidik tetap melanjutkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum, pekerjaan itu akan menjadi sia-sia karena akan ditolak oleh penuntut umum sebab penuntut umum tidak dapat mengajukan tuntutan pidana ke sidang pengadilan. Jika seandainya penuntut umum menerima berkas hasil penyidikan dan melanjutkannya ke sidang pengadilan, maka majelis hakim selanjutnya akan memutus tentang tuntutan itu dengan menyatakan : dakwaan tidak dapat diterima, berhubung penuntut umum tidak berwenang menuntut pidana. Adapun beberapa tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang digolongkan sebagai delik aduan sesuai dengan ketentuan yang dapat ditelaah berdasarkan pasal 51, 52 dan 53 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah: a. Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. b. Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. c. Tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. 3. Kendala yang Dihadapi dalam Penyidikan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga Penyidikan tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan langkah atau proses awal dari penegakan hukum dalam upaya memberantas tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tujuan pembentukan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam melaksanakan tugasnya terhadap penyidikan tindakan kekerasan dalam rumah tangga ternyata tidak jarang mengalami kendala. Kendala itu antara lain adalah dalam hal mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup, sebab pada umumnya kekerasan yang dialami korban tidak disaksikan oleh orang lain selain korban sendiri yang mengalami kekerasan. Jika perkara nantinya tidak cukup bukti untuk diajukan ke penuntut umum, maka berkas perkara hasil penyidikan akan dikembalikan disertai petunjuk untuk dilengkapi. Untuk itu penyidik harus sungguhsungguh dan bekerja keras untuk mengumpulkan bukti-bukti yang cukup. Selain itu ada pula kendala yang ditemui disebabkan oleh sikap atau perilaku dari si korban sendiri (wawancara dengan salah seorang penyidik di Polres Simalungun).
7 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga - Novelina MS Hutapea Bahwa setelah dilakukan penangkapan dan penahanan dan pemeriksaan saksi-saksi sehubungan dengan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan korban luka berat dan hal itu dilaporkan sendiri oleh korban, korban kemudian memohon kepada penyidik supaya proses penyidikan dihentikan dan tidak dilanjutkan ke penuntutan dengan alasan korban merasa kasihan terhadap tersangka, masih mencintai tersangka dan sudah memaafkan kesalahannya. Ketika penyidik memberikan penjelasan bahwa penghentian penyidikan tidak dapat dilakukan karena sudah cukup bukti atas tindakan kekerasan itu dan tidak ada alasan penghentian penyidikan seperti yang dikemukakan terdakwa, demikian juga tindak kekerasan yang dilakukan tersangka tidak tergolong sebagai delik aduan, korban tidak dapat dan tidak mau menerima penjelasan dari penyidik. Dalam hal demikian bahkan korban menuding penyidik membuat keluarga korban dan tersangka yaitu anak-anaknya menjadi terlantar sebab tersangka sebagai pelaku kekerasan tidak dapat lagi mencari nafkah karena ditahan. Kesimpulan 1. Setelah menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, sebagai langkah pertama penyidik Polri wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban dan selanjutnya melaksanakan penyidikan. 2. Adanya pengaduan dari korban tidak menjadi syarat bagi penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga. 3. Upaya mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup dan adanya keinginan disertai permohonan korban untuk mencabut kembali pengaduan korban dalam delik yang bukan tergolong delik aduan adalah beberapa permasalahan yang dihadapi penyidik dalam penanganan Kekerasan dalam rumah tangga. Daftar Pustaka Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman, Jakarta, 1982. Harahap M. Yahya., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pustaka Kartini Penerbit Buku Bermutu, Jakarta, 1985. Kanter E.Y. dan Sianturi S.R., Asas-asas Hukum Pidana Indonesia Dan Penerapannya, Storia Gloria, Jakarta, 2002. Mulyadi Mahmud., Criminal Policy, Pustaka Bangsa Press Kampus USU, Medan, 2008. Martha Aroma Elmina, Perempuan, Kekerasan Dan Hukum, UII Pres, Yogyakarta, 2003. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Catatan : Tulisan ini telah dipublikasi pada Majalah Ilmiah : Dinamika, Vol. 9 No. 1. Januari April 2012