BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

Istilah kode berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.

Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien. 1. Tanggung Jawab Etis

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG EUTHANASIA. 1. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN UKDW

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

PROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA)

BAB I PENDAHULUAN. Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan. masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

Aspek Etik dan Hukum Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menakutkan. Ketakutan akan penyakit HIV/AIDS yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS. dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB IV TANGGUNG JAWAB PENGURUS KOPERASI TERHADAP PENGALIHAN BENDA JAMINAN MILIK ANGGOTA DAN TINDAKAN HUKUM YANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

RELEVANSI Skm gatra

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB XX KETENTUAN PIDANA

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) , Fax. (0342) Kembangarum - Sutojayan - Blitar

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

JASA PELAYANAN KESEHATAN DAN EKSISTENSI YURIDISNYA TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN. Hasyim S. Lahilote 1. Abstrak

PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

KODE ETIK KEDOKTERAN/MEDICOLEGAL DAN PATIENT SAFETY

SENGKETA MEDIS DALAM PELAYANAN KESEHATAN 1. Dr.M.Nasser SpKK.D.Law 2

KONSEP HUKUM DALAM KEPERAWATAN

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

Manusia adalah makhluk sosial ( Zoon Politicon ) Kehidupan manusia diatur dalam : * Hukum * Kaidah agama * Kaidah sosial bukan hukum ( kebiasaan,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SECARA MUTILASI

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. 1 Untuk memelihara kesehatan

Moral Akhir Hidup Manusia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Rahasia medis menjadi salah satu unsur terpenting. dalam hubungannya antara dokter dengan pasien.

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

INFORMED CONSENT ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. akhir-akhir ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat dalam

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP.

vii DAFTAR WAWANCARA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG

BAB I PENDAHULUAN. Kedokteran adalah suatu profesi yang di anggap tinggi dan mulia oleh

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Sumpah Dokter SAYA BERSUMPAH BAHWA :

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

Transkripsi:

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut pandang medis-etis-yuridis. Masalah yang dimaksud, antara lain: transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung, Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang masih terus menjadi bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, dan etis belum memperoleh kesepakatan, akibat situasi ini semakin menempatkan dokter pada posisi yang sulit. Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah sematamata diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang pro berpendapat bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan

persetujuan dan tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain. 17 Masalah euthanasia, terlepas dari faktor-faktor yang melatar belakangi dokter untuk melakukannya, bukanlah semata-mata merupakan permasalahan medical ethis saja, tetapi persoalannya adalah juga bio ethics dan karenanya bersifat interdisipliner. Lebih jauh dari itu, masalah euthanasia tidaklah akan terlepas dari jangkauan hukum yang mengaturnya, oleh karena euthanasia tersebut menyangkut keselamatan jiwa manusia, gangguan terhadap kelangsungan hidup seseorang. 17 Wirjono Prodjo Dikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung., 2008, hal. 36

Manusia memerlukan jasa seorang dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Seorang dokter dengan segala kemampuan yang ada padanya dan berdasar sumpahnya akan memberikan pertolongan kepada pasiennya. Tujuan utamanya bukan semata-mata mencari uang, tetapi lebih memandang tugasnya sebagai keharusan sosial dan menyelamatkan pasiennya dari penyakit dan tidak menguntungkan diri sendiri. Menurut Oemar Seno Adji, Pekerjaan dokter adalah: Sebagai suatu panggilan untuk melayani sesama yang sakit dan yang memerlukan bantuan. Untuk itu tuntutan pada profesi kedokteran harus meningkatkan pengetahuan dan keahlian terus menerus yang merupakan ethos kedokteran modern. 18 Menjalankan profesinya, dokter dibedakan atas: 1. Dokter Umum. Yang dimaksud dengan dokter umum adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas Kedokteran, sehingga la dapat berpraktek sebagai dokter umum. 2. Dokter Spesialis. Yang dimaksud dokter spesialis adalah seorang dokter yang telah memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas Kedokteran dan kemudian melanjutkan pendidikannya untuk mengambil bidang spesialisasi yang dimintanya. 18 Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta, 1991, hal. 5

Oleh karena makin luas dan rumitnya ilmu kedokteran, maka seorang dokter tidak mungkin mengetahui semuanya. Karena itu seorang dokter perlu memperlancar hubungan anggota sebagai seorang profesi medis, konsultasi dengan kolega atau dokter spesialis, baik menyangkut penyembuhan penyakit maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi medis. Mengenai tugas dokter, secara umum tercermin dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI), yang tercantum empat kewajiban, yaitu: 1. Kewajiban Umum 2. Kewajiban Dokter terhadap pasien 3. Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat 4. Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri Keempat kewajiban ini merupakan pedoman bagi dokter untuk melaksanakan tugas mulia dan luhur profesi medis tersebut. Di dalam kewajiban itu, yang menjadi tugas pokok sehari-hari adalah kewajiban dokter terhadap pasien karena hubungan dengan pengobatan dan penyembuhan penyakit pasien. Tanggung jawab seorang dokter adalah harus menunaikan kewajibannya dengan sungguh-sungguh dan dengan keinsyafan akan beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Seorang dokter menjalankan profesi medisnya, selain dibebani dengan tanggung jawab etis, moral

serta tanggung jawab kepada Tuhan (tanggung jawab religius), juga dibebani tanggung jawab hukum. Kemampuan profesional dokter biasanya diukur dari kemahiran serta wewenang untuk melaksanakan profesinya. Suatu kesalahan mungkin terjadi apabila yang bersangkutan kurang pengalaman, kurang pengetahuan dan pengertian. Dengan demikian seorang dokter melakukan kesalahan apabila la tidak memeriksa, menilai, berbuat atau meninggalkan hal-hal yang harus diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya disituasi yang sama. Jadi, suatu kesalahan profesional belum tentu mengakibatkan terjadinya tanggung jawab hukum. Tetapi tanggung jawab hukum dasarnya adalah tanggung jawab profesional. Tanggungjawab hukum seorang dokter profesinya dapat berupa; 1. Tanggung jawab Pidana 2. Tanggung jawab Perdata 3. Tanggung jawab Administratif Tanggung jawab pidana terjadi misalnya apabila terdapat kesalahan dokter yang menimbulkan kematian atau luka-luka terhadap pasien. Faktornya adalah faktor kelalaian, dan bukan kesengajaan seperti yang terdapat misalnya pada penganiayaan. Kita tahu bahwa ilmu Hukum

Pidana, kesalahan (schuld) dapat disebabkan oleh kesengajaan (obzet) atau oleh kelalaian. Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep permanent of heart beating and respiration is death. Setelah ditemukannya respirator yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada kansep brain death is death. Terakhir, konsep diagnostik tersebut diperbaiki lagi menjadi brain stem death is death. 19 Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible), atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi sumpah dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para muridnya untuk bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran kandungan, kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter 19 Euthanasia, Legal atau Non Legal, http://www.artikel.com diakses tanggal 05 Nopember 2009

Indonesia yang bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968. 20 Agar timbul tanggung jawab pidana, maka pertama-tama harus dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara-cara pengobatan/penyembuhan. Untuk menentukan adanya kesalahan profesional tersebut diperlukan pendapat para ahli yang dapat memberikan data profesional kepada hakim. Jadi menurut ilmu kedokteran, terlebih dahulu harus ada ketetapan mengenai kesalahan tersebut, untuk kemudian ditetapkan hakim apakah kesalahan tersebut mengakibatkan terjadinya tanggung jawab pidana. Tanggung jawab perdata terjadi apabila misalnya seorang pasien menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien tersebut. Pada umumnya seorang dokter yang berpraktek mengadakan suatu penawaran umum (open baar aan bod) mengenai pekerjaan yang dapat di lakukan untuk menyembuhkan orangorang sakit. Pasien yang kemudian menghubungi dokter untuk minta bantuan medis dan dokter kemudian mengobatinya, maka terjadilah kontrak/persetujuan. Dengan demikian tuntutan ganti rugi kepada dokter adalah karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Tanggung 20 Ibid.

jawab di bidang hukum administrasi terjadi misalnya apabila seseorang dokter melakukan praktek tanpa izin. 21 B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi bagaimana pun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah Kitab Undang-- undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya mengenai kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati adalah Pasal 344 KUHPidana. 22 Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU 21 Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Pemerintah No. 36/1964 22 Untuk lebih jelasnya lihat Buku ke 2, Bab IV KUHPidana

RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau pengertian euthanasia dari berbagai pendapat, apabila dikaitkan dengan ketiga jenis euthanasia di atas, maka rumusan yang terdapat Pasal 344 KUHPidana adalah sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif. Pasal 344 KUHPidana tersebut berbunyi sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua betas tahun. Mengenai perampasan nyawa/jiwa orang lain di atur juga Pasal 340 KUHPidana sebagai berikut: Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Ketiga pasal tersebut di atas mengandung makna larangan untuk membunuh. Namun Pasal 338 KUHPidana yang mengandung pembunuhan biasa (doodslag, ) merupakan aturan umum tentang pernapasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHPidana merupakan pasal

pembunuhan berencana. Demikian juga Pasal 338 KUHPidana tersebut di muat unsur "atas permintaan orang itu sendiri menyatakan dengan kesungguhan hati". Apabila seorang dokter melakukan euthanasia yang tentu saja di Indonesia mengandalkan Pasal 344 KUHPidana maka dokter tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur yang terdapat Pasal 344 KUHPidana tersebut. Jaksa harus membuktikan adanya unsur "permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati". Bahwa perumusan ini menimbulkan suatu kesulitan sudahlah pasti, oleh karena dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati tu sudah pulang kealam baka. Oleh sebab itu, pernyataan "dengan kesungguhan hati" itu tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat pernyataan ini dapat di pakal sebagai alat bukti seperti yang di atur Pasal 184 KUHAP yang mengakui upaya bukti berupa: saksi-saksi ahli, suratsurat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Adanya unsur "atas permintaan orang itu sendiri", juga menimbulkan masalah, manakala yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan kesungguhan hati. Karena kita tahu mati

tidak, hidup pun tidak (in a persistent vegetative state) atau in competent (tidak mampu berkomunikasi menyatakan kehendaknya). Seperti contoh yang sangat populer adalah yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus: Karen aan quinlan, pada tahun 1976 di New Jcrsey si gadis manis Karen berusia 21 tahun, yang dipungut oleh keluarga quinlan, berada dalam keadaan in a persistent vegetative state, Karen hanya dapat bertahan dengan bantuan sebuah respirator. 23 Keadaannya bagaikan kerangka mayat saja, tidak dapat bicara lagi. Janganlah makan, bernafas pun sudah payah, pendeknya segala untuk hidup dan yang menghidupinya, tergantung dari mesin-mesin modem yang serba ruet. Karen terbujur melengkung, tanpa bisa bergerak sendiri, bagaikan sebuah mayat hidup tanpa perasaan. Apakah Karen dengan demikian dapat dikatakan sudah mati? Dunia hukum tidak dapat dan tidak boleh mempunyai pretensi untuk menentukan fomulasi pengertian mati. Bahkan kedokteran sendiri masih berada di persimpangan jalan tentang pengertian mati, terutama sejak tahun 1967, ketika diadakan operasi transplantasi jantung yang pertama kali. Jadi masih belum ada kata sepakat untuk menentukan pengertian mati atas dasar konsep brain death ataupun heart death. Pada kasus ini pemeriksaan menunjukkan bahwa Karen tidak dalam keadaan 23 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.Cit., hal. 54

brain death. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila respirator tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan Karen akan segera mati. Tetapi hal ini para dokter menolak untuk menghentikan penggunaan respirator tersebut. Quinlan (ayah angkatnya) kemudian menuntut agar Karen dinyatakan sebagai in cokpetent dan Quinlah yang ditunjuk sebagai guardian tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan putusan banding, bahwa seseorang mempunyai hak yang disebut right to privacy dan khusus di dalam kasus Karen ini, bila mana Karen dapat melakukannya, dia pasti menolak penggunaan respirator karena penderitaan yang dialaminya sangat berat. Karen membutuhkan 24 Jam terus menerus perawatan intensif, anti piotiks, bantuan respirator, catheter dan feeding tube. Jadi jelas ini kepentingan Karena melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya dan negara. Pada akhirnya supreme court memerintahkan agar the life support apparatus dicabut tanpa adanya pertanggung jawaban sipil maupun kriminal. Kasus tersebut di atas memang terjadi di Amerika Serikat, di mana supreme court (Pengadilan Tertinggi) di Amerika Serikat mengizinkan atau

memerintahkan agar respirator yang digunakan Karen selama ini di cabut tanpa menuntut pertanggung jawaban. Apabila kasus tersebut di atas terjadi di Indonesia, maka sudah jelas dokter yang mencabut respirator tersebut, yang mengakibatkan kematian bagi pasien, walaupun dengan persetujuan sendiri, dapat dimintakan pertanggung jawabannya menurut Pasal 344 KUHPidana. Dan apa yang dikemukakan/diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulannya, bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat Pasal 344 KUHPidana, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut dapat menimbulkan kesulitan Jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan. Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHPidana tersebut dapatlah kiranya dirumuskan kembali, berdasarkan atas kenyataan-kenyataan yang sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat memudahkan untuk mengadakan penuntutan kasus ini.