Diterima editor 12 Mei 2012 Disetujui untuk publikasi 04 Juni 2012

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH LAJU ALIRAN PADA PERPINDAHAN KALOR PENDIDIHAN DI VERTICAL RECTANGULAR NARROW GAP

ANALISA FLUKS KALOR KRITIS PADA PERUBAHAN SUHU PELAT DAN LAJU ALIRAN AIR PENDINGIN UNTUK KASUS PEMANASAN-GANDA DI CELAH SEMPIT REKTANGULAR

Analisis Karakteristik Rewetting Dalam Celah Sempit Vertikal Untuk Kasus Bilateral Heating Berdasarkan Perubahan Temperatur Awal Plat

ANALISIS VISUAL PENDINGINAN ALIRAN DUA FASA MENGGUNAKAN KAMERA KECEPATAN TINGGI ABSTRAK ABSTRACT

STUDI EKSPERIMENTAL PERPINDAHAN KALOR DI CELAH SEMPIT ANULUS SELAMA BOTTOM FLOODING BERDASARKAN VARIASI TEMPERATUR AWAL BATANG PANAS

KARAKTERISTIK REWETTING DALAM CELAH SEMPIT VERTIKAL UNTUK KASUS BILATERAL HEATING

Analisis Eksperimental Fluks Kalor pada Celah Sempit Anulus Berdasarkan Variasi Suhu Air Pendingin Menggunakan Bagian Uji HeaTiNG-01

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP PERPINDAHAN PANAS DI CELAH ANULUS VERTIKAL

KARAKTERISTIK PENDIDIHAN DALAM CELAH SEMPIT REKTANGULAR VERTIKAL DENGAN VARIASI TEMPERATUR AWAL PLAT

PENGAMATAN PERPINDAHAN PANAS PENDIDIHAN SELAMA PROSES PENDINGINAN PADA BATANG PEMANAS BERTEMPERATUR TINGGI

ANALISIS PERPINDAHAN PANAS PENDIDIHAN PADA EKSPERIMEN REFLOODING MENGGUNAKAN BAGIAN UJI QUEEN

PENENTUAN PREDIKSI WAKTU EKSPERIMEN PERPINDAHAN KALOR PENDIDIHAN MENGGUNAKAN BUNDEL UJI QUEEN-1

EFEK BATASAN COUNTER CURRENT FLOW PADA PERPINDAHAN PANAS PENDIDIHAN DALAM CELAH SEMPIT

STUDI AWAL PENDINGINAN PADA BATANG PEMANAS BERTEMPERATUR TINGGI MENGGUNAKAN BAGIAN UJI QUEEN-II

STUDI PERPINDAHAN PANAS SELAMA REWETTING PADA SIMULASI PENDINGINAN PASCA LOCA*

DISTRIBUSI TEMPERATUR SAAT PEMANASAN DAN PENDINGINAN PER- MUKAAN SEMI-SPHERE HeaTING-03 BERDASARKAN TEMPERATUR AWAL

Observasi Pola Aliran Dua Fase Air-udara Berlawanan Arah pada Pipa Kompleks ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Skema pressurized water reactor ( September 2015)

ANALISIS PERPINDAHAN PANAS PADA COOLER TANK FASSIP - 01

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENELITIAN EKSPERIMENTAL PERPINDAHAN PANAS PADA CELAH SEMPIT ANULUS: KONSTRUKSI DAN PENGUJIAN ALAT

KONSTRUKSI DAN PENGUJIAN PERALATAN EKSPERIMEN PERPINDAHAN PANAS PADA CELAH SEMPIT ANULUS

G bifenomena PERPINDAHAN PANAS PENDIDIHAN BERDASARKAN PERISTIWA LOCA DAN KECELAKAAN PARAH

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERHITUNGAN FLUKS KALOR UNTUK KURVA DIDIH SELAMA EKSPERIMEN QUENCHING MENGGUNAKAN SILINDER BERONGGA DIPANASKAN

Multiple Droplets Studi Eksperimental tentang Pengaruh Konduktivitas Material terhadap Fenomena Multiple droplets

ANALISIS KARAKTERISTIKA FRAKSI VOID PADA KONDISI RE-FLOODING POST LOCA MENGGUNAKAN RELAP5

ANALISA FLUKS KALOR KRITIS PADA PERUBAHAN SUHU PELAT DAN LAJU ALIRAN AIR PENDINGIN UNTUK KASUS PEMANASAN-GANDA DI CELAH SEMPIT REKTANGULAR

ANALISIS FLUKS KALOR PADA CELAH SEMPIT ANULUS DENGAN VARIASI TEMPERATUR AWAL MENGGUNAKAN BAGIAN UJI HeaTiNG-01

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EFEK VARIASI TEMPERATUR PELAT PADA CELAH SEMPIT REKTANGULAR TERHADAP BILANGAN REYNOLDS

EFEK PERUBAHAN KETINGGIAN COOLER TERHADAP KECEPATAN ALIRAN AIR PADA SIMULASI SISTEM PASIF

SIMULASI EKSPERIMENTAL KECELAKAAN PARAH PADA PEMAHAMAN ASPEK MANAJEMEN KECELAKAAN

PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN

Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH. Soleh Iskandar KM.2 Bogor 16162

STUDI EKSPERIMENTAL DISTRIBUSI TEMPERATUR TRANSIEN PADA SEMI SPHERE SAAT PENDINGINAN. Amirruddin 1, Mulya Juarsa 2

EKSPERIMEN AWAL ALIRAN SIRKULASI ALAMIAH PADA SIMULASI SISTEM KESELAMATAN PASIF

PENELITIAN KECELAKAAN KEHILANGAN PENDINGIN DI KAKI DINGIN REAKTOR PADA UNTAI UJI TERMOHIDROLIKA REAKTOR

PERHITUNGAN LAJU ALIR PENDINGIN AIR SISI PRIMER PADA UNTAI UJI BETA UNTUK EKSPERIMEN SISTEM PASIF

KARAKTERISTIKA PERPINDAHAN PANAS TABUNG COOLER PADA FASILITAS SIMULASI SISTEM PASIF MENGGUNAKAN ANSYS

L untuk 4 ss o i PROSIDING SEMINAR. kalor dapat. didih. (boiling. diklasifikasikan. saturasi (1) menjadi dua. benda yaitu. diperlihatkan (2) dengan,

Karakteristik Perpindahan Panas dan Pressure Drop pada Alat Penukar Kalor tipe Pipa Ganda dengan aliran searah

EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA DOUBLE PIPE HEAT EXCHANGER DENGAN GROOVE. Putu Wijaya Sunu*, Daud Simon Anakottapary dan Wayan G.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Pengaruh Sudut Kontak Statis terhadap Penyebaran Droplet di Atas Permukaan Padat yang Dipanaskan pada Bilangan Weber Menengah

KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR DUA FASA UDARA DAN AIR SEARAH DALAM PIPA VERTIKAL PADA DAERAH ALIRAN KANTUNG (SLUG FLOW)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Fenomena Transport Heat Exchanger Sistem Untai

KINERJA PIPA KALOR DENGAN STRUKTUR SUMBU FIBER CARBON dan STAINLESS STEEL MESH 100 dengan FLUIDA KERJA AIR

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE

TEKNIK PERBAIKAN SAMBUNGAN TERMOKOPEL TEMPERATUR TINGGI PADA HEATING-01

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Radiator

STUDI EKSPERIMENTAL KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR MODEL WATER HEATER KAPASITAS 10 LITER DENGAN INJEKSI GELEMBUNG UDARA

Analisis Perpindahan Panas Pada Cooler Tank FASSIP - 01

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving

RISET PROSES PELELEHAN TERAS SAAT KECELAKAAN PARAH

ANALISIS LAJU ALIRAN AIR DI COOLER PADA HEAT SINK SYSTEM UNTAI UJI FASSIP

KARAKTERISASI PERUBAHAN TEKANAN DAN TEMPERATUR PADA UNTAI UJI BETA (UUB) BERDASARKAN VARIASI DEBIT ALIRAN

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

PENGARUH NILAI WETTABILITY PADA POOL BOILING HEAT TRANSFER STUDI KASUS HYDROPHOBIC, HYDROPHILIC DAN SUPERHYDROPHILIC

BAB II DASAR TEORI. ke tempat yang lain dikarenakan adanya perbedaan suhu di tempat-tempat

SIMULASI KARAKTERISTIK ALIRAN DAN SUHU FLUIDA PENDINGIN (H 2 O) PADA TERAS REAKTOR NUKLIR SMR (SMALL MODULAR REACTOR)

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

PENDINGIN TERMOELEKTRIK

Sujawi Sholeh Sadiawan, Nova Risdiyanto Ismail, Agus suyatno, (2013), PROTON, Vol. 5 No 1 / Hal 44-48

Single Droplet Studi Eksperimental Pengaruh Bilangan Weber Terhadap Dinamika Tumbukan Single Droplet

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

Multiple Droplets. Studi Eksperimental tentang Visualisai Pengaruh Frekuensi terhadap Fenomena Multiple droplets yang Menumbuk Permukaan Padat

ANALISIS EFEKTIFITAS ALAT PENUKAR KALOR SHELL & TUBE DENGAN MEDIUM AIR SEBAGAI FLUIDA PANAS DAN METHANOL SEBAGAI FLUIDA DINGIN

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB III SISTEM PENGUJIAN

BAB II LANDASAN TEORI

KARAKTERISTIK TERMOHIDROLIK REAKTOR TRIGA 2000 UNTUK KONDISI 110 PERSEN DAYA NORMAL

POLA ALIRAN DUA FASE (AIR+UDARA) PADA PIPA HORISONTAL DENGAN VARIASI KECEPATAN SUPERFISIAL AIR

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

LAPORAN TUGAS AKHIR BAB II DASAR TEORI

Pengaruh Variasi Diameter Injektor Konvergen Udara Terhadap Fenomena Flooding Dalam Aliran Dua Fase Gas-Cair Berlawanan Arah Pada Pipa Vertikal

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE...

ANALISIS UNJUK KERJA PEMANAS DAN PENDINGIN DI UNTAI FASILITAS SIMULASI SISTEM PASIF

PENINGKATAN UNJUK KERJA KETEL TRADISIONAL MELALUI HEAT EXCHANGER

Visualisasi Mekanisme Flooding Aliran Counter-Current Air- Udara pada Simulator Hotleg Dengan L/D=50

MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK LABVIEW. Kussigit Santosa, Sudarno, Dedy Haryanto

Analisis Koesien Perpindahan Panas Konveksi dan Distribusi Temperatur Aliran Fluida pada Heat Exchanger Counterow Menggunakan Solidworks

PENENTUAN KORELASI EMPIRIS LOKAL PERPINDAHAN PANAS PADA BAGIAN SEKTOR ELLIPS MODEL SUNGKUP AP1000

BAB II LANDASAN TEORI

STUDI PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI PADA SUSUNAN SILINDER VERTIKAL DALAM REAKTOR NUKLIR ATAU PENUKAR PANAS MENGGUNAKAN PROGAM CFD

WATER TO WATER HEAT EXCHANGER BENCH BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tujuan Pengujian

ANALISA PENGARUH VARIASI LAJU ALIRAN UDARA TERHADAP EFEKTIVITAS HEAT EXCHANGER MEMANFAATKAN ENERGI PANAS LPG

Pengaruh Hambatan Cincin Terhadap Fenomena Flooding Dalam Aliran Dua Fase Berlawanan Arah Pipa Vertikal

Kata kunci: analisis transient aliran, SSSR, aliran sirkulasi alam, loop primer, kondisi normal.

PENGARUH BAHAN INSULASI TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA TANGKI PENYIMPANAN AIR UNTUK SISTEM PEMANAS AIR BERBASIS SURYA

INTEGRASI UNTAI UJI BETA (UUB) DENGAN BAGIAN UJI HeaTING-01 PADA BAGIAN MEKANIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

ANALISA PENGARUH SUHU AWAL PELAT PANAS PADA PROSES QUENCHING CELAH SEMPIT REKTANGULAR M. Hadi Kusuma 1, Mulya Juarsa 1,2, Anhar Riza Antariksawan 3, Nandy Putra 2 1 Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional 2 Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia 3 Penelitian Dasar dan Terapan, Badan Tenaga Nuklir Nasional Email: luluikal@batan.go.id Diterima editor 12 Mei 2012 Disetujui untuk publikasi 04 Juni 2012 ABSTRAK ANALISA PENGARUH SUHU AWAL PELAT PANAS PADA PROSES QUENCHING CELAH SEMPIT REKTANGULAR. Pemahaman terhadap manajemen termal apabila terjadi suatu kecelakaan parah reaktor nuklir seperti melelehnya bahan bakar dan teras reaktor, menjadi prioritas utama untuk menjaga integritas bejana tekan reaktor. Dengan demikian hasil lelehan bahan bakar dan teras reaktor (debris) tidak keluar dari bejana tekan reaktor dan mengakibatkan dampak lain yang lebih besar ke lingkungan. Salah satu cara yang dilakukan untuk menjaga integritas bejana tekan reaktor adalah dengan melakukan pendinginan terhadap panas berlebih yang dihasilkan akibat dari kecelakaan tersebut. Untuk mempelajari dan mendapatkan pemahaman mengenai hal tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh suhu awal pelat panas dalam proses quenching (pendinginan secara tiba-tiba) celah sempit rektangular. Penelitian difokuskan pada penentuan suhu rewetting dari pendinginan pelat panas dengan suhu awal pelat 220 ºC, 400 ºC, dan 600 ºC dengan laju aliran air pendingin 0,2 liter/detik. Eksperimen dilakukan dengan menginjeksikan air pada laju aliran 0,2 liter/detik pada suhu air pendingin 85 ºC ke dalam celah sempit rektangular. Data hasil pengukuran digunakan untuk mengetahui suhu rewetting yang terjadi pada pendinginan pelat panas tersebut. Tujuannya adalah untuk memahami pengaruh suhu awal pelat panas terhadap rewetting pada proses quenching di celah sempit rektangular. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa titik rewetting pada pendinginan pelat panas 220 ºC, 400 ºC, dan 600 ºC terjadi pada suhu rewetting yang berbeda-beda. Pada suhu awal pelat panas 220 ºC, suhu rewetting terjadi pada 220 ºC yaitu langsung ketika air dilewatkan melalui celah sempit rektangular. Pada suhu awal pelat panas 400 ºC, suhu rewetting terjadi pada 379,51 ºC. Dan pada suhu awal pelat panas 600 ºC, suhu rewetting terjadi pada 426,63 ºC. Perbedaan suhu awal pelat panas yang sangat signifikan menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik benda uji, berbedanya rejim pendidihan yang dialami oleh fluida yang melewati celah sempit, perubahan nilai kalor spesifik bahan, perubahan nilai konduktifitas termal, dan perbedaan suhu wall superheated-nya. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut menyebabkan peningkatan suhu rewetting seiring dengan kenaikan suhu awal pelat panas. Kata kunci: rewetting, quenching, celah sempit, keselamatan nuklir ABSTRACT AN ANALYSIS OF HOT PLATE INITIAL TEMPERATURE EFFECT ON RECTANGULAR NARROW GAP QUENCHING PROCESS. The understanding about thermal management in the event of a severe accident such as the melting nuclear reactor fuel and reactor core, became a priority to maintain the integrity of reactor pressure vessel. Thus the debris will not out from the reactor pressure vessel and resulting impact of more substantial to the environment. One way to maintain the integrity of the reactor pressure vessel was cooling of the excess heat generated due to the accident. Toget understanding of this aspect, the research focused on the effect of the initial temperature of the hot plate in the rectangular narrow gap quenching process. The initial temperature effect on quenching process is related to cooling process (thermal management) when the occurrence of a nuclear accident due to loss of coolant accident or severe accident. In order to address the problem, it is crucial to conduct research to get a better understanding of thermal management regarding to nuclear cooling accident. The research focused on determining the rewetting temperature of hot plate cooling on 220 ºC, 400 ºC, and 600 ºC with 0.2 liters/sec cooling water flowrate. Experiments were carried out by injecting 85 ºC cooling water temperature into the narrow gap at flowrates of 0.2 liters/sec. Data of transient temperature measurements were recorded using a data acquisition system in order to know the rewetting temperature during the quenching process. This study aims to understand the effect of hot plate intial temperature on rewetting during rectangular narrow gap quenching process. The results obtained show that the rewetting point on cooling the hot plate 220 ºC, 400 108

Nomor : 266/AU1/P2MBI/05/2010 Analisa Pengaruh suhu awal pelat panas pada... (M. Hadi Kusuma) ºC and 600 ºC occurs at varying rewetting temperatures. At 220 ºC hot plate initial temperature, the rewetting temperature occurs on 220 ºC. At 400 ºC hot plate initial temperature, the rewetting temperature occurs on 379.51 ºC. At 600 ºC hot plate initial temperature, the rewetting temperature occurs on 426.63 ºC. Significant differences of hot plate initial temperature leads to changes in physical properties of material, different boiling regimes occurs when fluid passing through a narrow gap, changes on specific heat of material, changes on thermal conductivity of material, and the differences of wall superheated temperature. Rewetting temperature will increase due to increasing on hot plate initial temperature. Keywords: rewetting, quenching, narrow gap, nuclear safety PENDAHULUAN Kecelakaan parah (severe accident) yang terjadi pada reaktor Three Mile Island-2 (TMI-2) mengakibatkan bahan bakar dan teras meleleh akibat overheated. Lelehan bahan bakar dan teras (debris) kemudian tertumpuk di bagian bawah bejana tekan reaktor. Debris tersebut tidak menyentuh dinding dalam bejana tekan reaktor karena terdapat air pendingin yang digunakan untuk mendinginkan permukaan lelehan, sehingga terbentuk celah sempit berukuran rata-rata 1 mm diantara keduanya. Air pendingin dapat memasuki celah sempit tersebut dan mendinginkan permukaan lelehan. Proses pendinginan yang terjadi di dalam celah sempit inilah yang menjaga integritas bejana tekan reaktor tetap utuh. Proses pendinginan yang terjadi di celah sempit ini disebut dengan quenching, yaitu pendinginan mendadak suatu permukaan panas yang terjadi saat permukaan tersebut terendam dalam zat cair. Penetrasi air ke dalam celah sempit selain akibat gravitasi akan banyak ditentukan oleh karakteristik perpindahan panas dalam celah sempit tersebut. Fenomena yang terjadi pada kasus di atas menjadi temuan yang sangat berharga untuk mempelajari proses pendinginan yang terjadi pada kecelakaan tersebut dan mempelajari manajemen termal yang akan dilakukan apabila kecelakaan serupa berulang pada operasi reaktor berikutnya. Dengan mengetahui manajemen termal yang baik, diharapkan dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan apabila kecelakan tersebut kembali terjadi. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai proses pendinginan dan fenomena perpindahan panas yang terjadi pada kecelakaan TMI-2. Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa celah sempit yang terdapat di antara lelehan teras yang bagian luarnya membeku dengan dinding bejana tekan reaktor berukuran sekitar 1 2 mm. Celah ini terbentuk karena pengaruh air pendingin yang menahan debris tidak menyentuh dinding bejana tekan bagian dalam akibat gaya bouyance [1-3]. Gambar 1 menunjukkan ilustrasi kondisi lelehan teras di bagian bawah bejana reaktor yang membentuk celah sempit diantara lelehan teras dan dinding bejana reaktor. 109

Gambar 1. Konfigurasi keadaan debris pada bagian bawah Reactor Pressure Vessel Hasil penelitian lainnya menunjukkan dalam fenomena perpindahan panas di celah sempit vertikal rektangular bahwa pada celah sempit berukuran < 3 mm terdapat uap yang menutupi permukaan pemanas. Gelembung uap yang terbentuk bergerak ke atas, sedangkan air mengalir sepanjang dinding dingin ke bawah. Adanya uap tersebut mencegah kontak antara air dengan permukaan pemanas. Uap terbentuk pada rejim didih film, yaitu daerah dimana permukaan suatu bidang yang panas tidak bersentuhan dengan air, hanya tertutupi oleh uap yang berbatasan dengan air. Perpindahan kalor selama pendinginan celah secara signifikan dibatasi oleh counter current flow limitation dalam celah sempit. Terjadinya counter current flow limitation menyebabkan panas yang terserap oleh air pendingin akan sangat sedikit, sehingga critical heat flux tidak akan tercapai dan pendinginan akan menjadi sangat lambat. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya counter current flow limitation adalah kecepatan superficial fluida pendingin dan sifat fisik dari material permukaan panas. Apabila kecepatan superficial air pendingin lebih lambat dari pada kecepatan superficial uap, maka air pendingin akan tertahan dan sangat sulit untuk menembus perlawanan yang dilakukan oleh uap. Seiring dengan hilangnya counter current flow limitation, maka fluks kalor kritis akan mudah tercapai. Fluks kalor kritis akan naik seiring meningkatnya mass flow velocity. Pada kondisi suhu awal yang sama dan ukuran celahnya besar, maka rewetting pada dinding bagian dalam akan lebih cepat terjadi pada fluks kalor yang lebih tinggi dan fluks kalor kritis juga tinggi. Bentuk aliran fluida tidak bergantung pada ukuran celahnya, tetapi bergantung pada proses pemanasannya. Kecepatan fluida yang mengalir dalam celah sempit, kondisi fluida (subcooling), sifat fluida, dan ukuran celah sempit memiliki pengaruh yang signifikan dalam karakteristik perpindahan kalor, performansi pendinginan, dan transisi pola aliran [4-7]. Dari banyak penelitian yang telah dilakukan tersebut, masih menunjukkan adanya beberapa parameter yang sedikit sekali diamati. Salah satunya adalah pengaruh suhu awal pelat panas pada proses quenching dengan variasi suhu awal pelat pada debit air pendingin tertentu. Untuk itu, maka perlu dilakukan analisa mengenai pengaruh suhu awal pelat panas pada proses quenching celah sempit rektangular dengan variasi suhu awal pelat pada debit air pendingin tertentu. Tujuannya adalah mempelajari pengaruh suhu awal pelat panas pada proses quenching celah sempit rectangular dan memahami fenomena yang terjadi di dalamnya. Pemahaman ini sangat dibutuhkan untuk manajemen pengendalian termal ketika terjadi kecelakaan reaktor khususnya yang diakibatkan oleh kehilangan air pendingin (LOCA, loss of coolant accident) maupun severe accident. Metodologi yang digunakan 110

Nomor : 266/AU1/P2MBI/05/2010 Analisa Pengaruh suhu awal pelat panas pada... (M. Hadi Kusuma) dalam penelitian ini adalah melakukan literature survey dari penelitian tentang pengaruh suhu awal pelat panas pada proses quenching celah sempit rektangular yang pernah dilakukan, melakukan eksperimen untuk memperoleh data pada celah sempit rektangular dengan parameter suhu awal pelat dan debit aliran air pendingin, menentukan laju penurunan suhu pelat panas, melakukan pembahasan terhadap hasil yang diperoleh dan menarik kesimpulan dari hasil analisa yang dilakukan. TEORI Kontak Fluida Dengan Benda Bersuhu Tinggi Kontak antara fluida dengan benda bersuhu tinggi secara terus menerus merupakan sesuatu yang diharapkan dalam pendinginan suatu permukaan benda yang sangat panas. Secara umum dapat dikatakan bahwa kontak stabil secara terus menerus itu disebut dengan rewetting. Secara lebih dalam, definisi rewetting adalah re-establishment dari kontak fluida dengan permukaan yang panas dan menyebabkannya dapat basah. Permukaan yang sangat panas tersebut tidak dapat terbasahi oleh air ketika suhu permukaan benda panas tersebut masih berada pada rejim pendidihan film-nya. Proses rewetting terjadi ketika suhu permukaan berada di bawah titik Leidenfrost, yaitu titik terjadinya pendidihan film yang sangat minim. Pada saat rejim pendidihannya telah berada di bawah titik Leindenfrost, maka ketika air dialirkan akan terjadi kontak antara air dengan permukaan benda panas secara establish dan mengakibatkan permukaan benda panas tersebut dapat basah. Pada proses rewetting koefisien perpindahan kalor memiliki nilai yang paling tinggi dan fluks kalor kritis akan meningkat seiring dengan meningkatnya laju aliran massa [8]. Rewetting hanya terjadi ketika dilakukan pendinginan suatu permukaan yang sangat panas dimana terdapat kondisi uap film yang terbentuk antara permukaan dengan layer fluida di atas permukaan tersebut. Fenomena turunnya suhu secara drastis disebut dengan rewetting. Pada saat terjadi rewetting, suhu fluida pendingin cukup rendah untuk mengkondensasikan gelembung uap sehingga akhirnya membasahi permukaan yang panas dan kemudian suhu permukaan turun secara drastis. Rejim perpindahan kalor berubah dari pendidihan film ke pendidihan transisi dan pendidihan inti. Pendinginan yang efektif terjadi setelah permukaan panas tersebut berada di bawah suhu rewetting. Pada kondisi rewetting, fluida dapat melalui lapisan uap permukaan panas dan terjadi kontak yang re-establish dengan permukaan panas yang kering dan akhirnya menuju rejim perpindahanan kalor konveksi paksa kondisi steady state [9-12]. Carbajo dalam investigasinya tentang suhu rewetting menggambarkan pembagian daerah pendinginan ketika terjadi rewetting pada kelongsong bahan bakar menjadi dispersed flow film boiling, inverted annular film boiling, transition boiling, nucleate boiling, force convection, dan no heat transfer seperti tampak pada Gambar 2 [13]. 111

Gambar 2. Kurva transien suhu kelongsong bahan bakar pada saat dilakukan bottom reflooding dengan laju aliran air yang tinggi [13] Agrawal et. al melakukan penelitian tentang efek diameter jet terhadap rewetting dari permukaan horizontal panas selama quenching menggunakan stainless steel dengan ketebalan 0,25 mm dan suhu awal permukaan 800 ºC. Permukaan panas tersebut didinginkan oleh water jet dengan suhu 22 ºC. Hasilnya menunjukkan bahwa suhu rewetting, waktu tunda wetting, dan kecepatan rewetting menentukan kinerja dari suatu pendinginan permukaan panas [14]. Gambar 3 merupakan kurva suhu permukaan dan gradiennya pada pendinginan transien yang didapatkan dari penelitiannya. Gambar 3. Kurva suhu permukaan dan gradiennya pada pendinginan transien [14] Kim et.al melakukan studi tentang korelasi empirik suhu rewetting menggunakan analisis dimensional pada vertical circular channel dengan kondisi bottow flooding. Dari korelasi tersebut 112

Nomor : 266/AU1/P2MBI/05/2010 Analisa Pengaruh suhu awal pelat panas pada... (M. Hadi Kusuma) terlihat bahwa suhu rewetting akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu pelat panas [15]. Korelasi yang didapatkan adalah sebagai berikut: 0.107 0.162 2 0.0989.. 0.163 (1) T c G 19.51 sc p k T ws z Tq Tws 3 Tws. G dengan: T q = Suhu rewetting, K T s = Suhu saturasi fluida, K T ws = Suhu wall superheated = selisih antara suhu dinding dan suhu saturasi fluida, K T sc = Selisih antara suhu saturasi fluida terhadap suhu coolant, K c p = Kalor spesifik bahan pipa, J/kgK G = Laju aliran massa, kg/m 2 s = Ketebalan dinding pipa, m K = Konduktifitas termal tabung uji, W/m.K = Densitas massa bahan pipa, kg/m 3 Z = Jarak axial dari inlet, m METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metodologi eksperimental dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Melakukan literature survey dari penelitian tentang pengaruh suhu awal pelat panas terhadap rewetting pada proses quenching celah sempit rektangular yang pernah dilakukan 2. Melakukan eksperimen untuk memperoleh data pada celah sempit rektangular dengan parameter suhu awal pelat dan debit aliran air pendingin 3. Menentukan laju penurunan suhu pelat panas 4. Melakukan pembahasan terhadap hasil yang telah diperoleh 5. Menarik kesimpulan dari hasil analisa yang dilakukan. Skema Pengujian Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental. Eksperimen yang dilakukan untuk mengetahui fenomena rewetting pada celah sempit rektangular selama proses quenching menggunakan loop terbuka. Gambar 4 memperlihatkan skematik pengujian yang dilakukan pada eksperimen ini. Loop terdiri dari bagian uji yang berupa dua buah pelat stainless steel 316 sejajar (pelat penutup dan pelat utama) sehingga antara keduanya akan membentuk celah sempit. Pelat penutup merupakan pelat yang dipanaskan dengan heater yang dihubungkan dengan slide regulator voltage dengan daya maksimal 25 kw. Kalor yang dihasilkan oleh heater dipindahkan secara radiasi ke pelat penutup. Kalor yang diterima oleh pelat penutup bagian atas secara konveksi akan mengalir ke bagian bawahnya. Kemudian kalor tersebut dipindahkan secara radiasi ke pelat utama Setelah pelat utama mencapai suhu yang diinginkan, kemudian aliran listrik ke heater dimatikan. Peralatan uji celah sempit rektangular (HeaTiNG-02) dihubungkan dengan loop air pendingin (untai uji BETA). Untai uji BETA mensirkulasikan air pendingin ke dan dapat menjaga suhu air tetap berada pada suhu yang diinginkan. Air pendingin kemudian dialirkan ke dalam HeaTiNG-02. Dalam eksperimen ini air masukan yang dialirkan memiliki suhu 85 ºC. Air disirkulasikan dengan pompa ke dalam HeaTiNG-02. Apabila air yang terdapat pada untai uji BETA habis, maka air yang ada di dalam tangki (terbuka terhadap udara luar) secara otomatis akan mengalir ke dalam untai uji BETA tersebut untuk kemudian dipanaskan kembali oleh preheater dan dialirkan lagi ke dalam HeaTiNG-02. 113

Pengambilan dan perekaman data hasil eksperimen dilakukan ketika semua aliran listrik menuju HeaTiNG-02 dimatikan. Data suhu selama proses pemanasan pelat direkam dengan menggunakan data akuisisi sistem yang dihubungkan dengan komputer. Sebelum dilakukan proses quenching, kamera infra-red digunakan untuk mengetahui distribusi suhu di heater dan pelat penutup. Pada proses quenching, perekaman data suhu terus dilakukan dan dihentikan setelah suhu pelat utama mencapai suhu yang sama dengan suhu masukan air pendingin. Gambar 4. Skematik pengujian HeaTing-02 Prosedur Eksperimen Prosedur eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan lebar celah sempit. Pengaturan lebar celah sempit dilakukan dengan memberikan lapisan grafoil yang diletakkan antara pelat utama dengan pelat penutup pada alat HeaTiNG-2. Grafoil yang digunakan memiliki ketebalan 0,5 mm dan memiliki ketahanan hingga suhu 3000 ºC. Selain berfungsi untuk mengatur lebar celah sempit, juga berfungsi untuk menahan air yang akan dilewatkan agar tidak bocor melewati sisi-sisi bagian uji. 2. Pengaturan suhu dan laju alir air pendingin. Alat uji HeaTiNG-02 digabungkan dengan untai uji BETA. Untai uji BETA berfungsi sebagai loop aliran air pendingin. Air pendingin yang akan dilewatkan melalui celah sempit harus diatur suhu dan laju alirnya. Suhu air pendingin diatur dengan menggunakan preheater. Preheater dapat mengatur dan mempertahankan suhu air pendingin yang akan dimasukkan ke dalam celah sempit. Air di dalam sistem pendingin mulai dipanaskan oleh preheater hingga mencapai suhu 85 ºC. Sedangkan laju aliran air pendingin diatur dengan menggunakan pompa primer. Pompa primer dihidupkan dengan frekuensi tertentu agar debit air pendingin sesuai dengan yang diinginkan. Pembacaan suhu dan laju aliran air pendingin ini menggunakan alat ukur digital yang terpasang pada untai uji BETA. 3. Pemanasan pelat rektangular. 114

Nomor : 266/AU1/P2MBI/05/2010 Analisa Pengaruh suhu awal pelat panas pada... (M. Hadi Kusuma) Pemanasan alat uji HeaTiNG-02 dilakukan secara radiasi oleh keramik heater secara horizontal dengan daya total 15000 Watt. Pengaturan masukan tegangan selama pemanasan menggunakan Slide regulator voltage dengan daya maksimal 25000 Watt. Tegangan dinaikkan secara bertahap agar distribusi kalor dapat merata pada bidang yang dipanaskan. Satu tahapan kenaikan tegangan dilakukan hingga suhu pelat mencapai kondisi steady, kemudian tegangan akan terus dinaikkan hingga mencapai suhu yang diinginkan. Setelah suhu pelat rektangular yang diinginkan tercapai, kemudian suplai listrik ke heater dimatikan. 4. Pembukaan penutup keramik heater. Pembukaan penutup keramik heater dilakukan secara vertikal setelah suplai listrik yang diberikan pada heater dimatikan. 5. Perekaman gambar dengan kamera infra-red. Perekaman ini bertujuan untuk memastikan distribusi suhu yang terdapat pada heater dan pelat penutup. 6. Pendinginan pelat rektangular Pendinginan dilakukan dengan memasukkan air pendingin yang telah diatur suhu dan laju alirnya dengan menggunakan untai uji BETA. Pendinginan dilakukan dari bagian atas menuju bagian bawah celah sempit pelat rektangular. Kran penutup air pendingin dibuka dan air mulai dialirkan ke dalam celah sempit. Pendinginan dimulai pada saat dibukanya penutup keramik heater dan berakhir pada saat suhu pelat rektangular berada di bawah suhu air pendingin yang dimasukkan. 7. Perekaman data suhu. Perekaman data suhu selama pemanasan dan proses quenching pelat rektangular dilakukan dengan menggunakan sistem akuisisi data yang dihubungkan dengan komputer. 8. Menghitung laju pendinginan. Laju pendinginan diperoleh dengan menghitung gradient penurunan suhu pelat terhadap waktu, sehingga laju pendinginan dt (ºC/detik). dt Variabel Eksperimen Variabel yang digunakan dalam eksperimen ini adalah: - T initial pelat = 220 ºC, suhu air pendingin yang masuk ke celah sempit 85 ºC, ukuran celah sempit = 1 mm, dan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik. - T initial pelat = 400 ºC, suhu air pendingin yang masuk ke celah sempit 85 ºC, ukuran celah sempit = 1 mm, dan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik. - T initial pelat = 600 ºC, suhu air pendingin yang masuk ke celah sempit 85 ºC, ukuran celah sempit = 1 mm, dan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik - Data pengukuran yang digunakan dalam eksperimen ini adalah data suhu yang terekam pada termokopel 5C saja. Data suhu pada termokopel 5C adalah data tertinggi dan dijadikan ukuran penghentian kalor yang diberikan oleh heater ke pelat rektangular ketika pembacaan suhu mencapai 220 ºC, 400 ºC dan 600 ºC. Sementara pada saat yang sama, pembacaan suhu di termokopel lain menunjukkan angka di bawah 200 ºC, 400 ºC dan 600 ºC. HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva laju pendinginan pada suhu awal pelat panas 220 ºC, 400 ºC, dan 600 ºC dengan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik dapat dilihat pada Gambar 5-7. 115

Suhu Pelat Rektangular, T ( 0 C) 300 250 200 150 T rewetting = 220 0 C t rewetting = 0 detik T Fluks kalor kritis = 209,65 0 C t Fluks kalor kritis = 1,95 detik Termokopel 5C T = 220 o C, Q = 0,2 liter/detik Waktu, t (detik) Transien pada Tc-5C Laju Pendinginan pada Tc-5C 100 2 Rejim pendidihan inti 50 Rejim perpindahan kalor konveksi satu fasa Rejim 1 pendidihan transisi 0 0 0 25 50 75 100 8 7 6 5 4 3 Laju Pendinginan ( 0 C/detik) Gambar 5. Kurva laju pendinginan pada suhu awal pelat rektangular 220 ºC dengan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik Dari kurva laju pendinginan pada suhu 220 ºC pada debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik, secara umum dapat dilihat bahwa rewetting langsung terjadi ketika air pendingin mulai dialirkan ke dalam celah sempit rektangular dan menyentuh pelat panas pada titik pengukuran 5C. Tidak terjadi pendidihan film pada suhu permukaan pelat rektangular 220 ºC. Air pendingin langsung membasahi pelat panas secara establish setelah dialirkan ke dalam celah sempit rektangular, yang menunjukkan bahwa suhu kondisi ini berada di bawah rejim pendidihan film minimal (titik Leidenfrost). Mengalirnya air pendingin secara establish menunjukkan bahwa fluks kalor yang terdapat di pelat panas banyak terserap oleh air pendingin dan tercapainya fluks kalor kritis setelah rejim pendidihan transisi terlampaui. Fluks kalor kritis tercapai ketika pelat rektangular berada pada suhu 209,65 ºC. Setelah fluks kalor kritis tercapai rejim pendidihan berubah menuju rejim pendidihan inti, dan akhirnya memasuki rejim perpindahan kalor satu fasa konveksi hingga suhu pendinginan yang diinginkan tercapai. 116

Nomor : 266/AU1/P2MBI/05/2010 Analisa Pengaruh suhu awal pelat panas pada... (M. Hadi Kusuma) Suhu Pelat Rektangular, T ( 0 C) 450 400 350 300 250 200 150 T rewetting = 379,51 0 C t rewetting = 16,14 detik Rejim pendidihan film Termokopel 5C T = 400 o C, Q = 0,2 liter/detik T Fluks kalor kritis = 274,48 0 C t Fluks kalor kritis = 46,41 detik Transien pada Tc-5C Laju Pendinginan pada Tc-5C 100 2 50 Rejim Rejim pendidihan inti Rejim perpindahan kalor pendidihan konveksi satu fasa transisi 1 0 0 0 50 100 150 200 Waktu, t (detik) 10 9 8 7 6 5 4 3 Laju Pendinginan ( 0 C/detik) Gambar 6. Kurva laju pendinginan pada suhu awal pelat rektangular 400 ºC dengan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik Dapat dilihat dari kurva laju pendinginan pada suhu awal pelat panas 400 ºC dengan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik terlihat bahwa terjadi semua fenomena pendidihan ketika air pendingin dilewatkan ke dalam celah sempit rektangular dan menyentuh pelat panas pada titik pengukuran 5C, yaitu rejim pendidihan film, rejim pendidihan transisi, rejim pendidihan inti, dan rejim perpindahan kalor konveksi satu fasa. Pada rejim pendidihan film, air pendingin tidak dapat membasahi pelat panas. Air pendingin akan menjadi uap ketika menyentuh pelat panas pada rejim ini. Tidak terjadi penyerapan kalor yang besar pada pendidihan film ini, yang berarti bahwa penurunan suhu tidak terlalu signifikan ketika air menyentuh pelat panas. Semakin lama, kondisi pendidihan film akan hilang seiring dengan terus terjadinya kontak dengan air pendingin. Hilangnya rejim pendidihan film menyebabkan terjadinya perubahan rejim pendidihan ke rejim pendidihan transisi. Pada saat titik Leidenfrost tercapai, yang berarti kondisi film sangat minim, air pendingin yang melewati celah sempit rektangular mulai dapat menyentuh permukaan pelat panas secara establish. Kondisi inilah yang disebut dengan titik rewetting. Titik rewetting terjadi pada saat pelat panas berada pada kondisi pendidihan film minimal. Hal ini ditandai dengan terjadinya penyerapan kalor pelat panas yang semakin besar oleh air pendingin. Pada kurva laju pendinginan terlihat mulai terjadinya penurunan suhu yang signifikan karena banyaknya kalor yang terserap oleh air. Kalor yang terserap akan mencapai puncaknya pada kondisi fluks kalor kritis. Fluks kalor kritis tercapai ketika pelat rektangular berada pada suhu 274,48 ºC. Pada kondisi ini terjadi penyerapan kalor yang paling besar oleh air pendingin yang melewati pelat panas. Kondisi ini berlangsung terus secara establish hingga tercapainya rejim pendidihan inti dan rejim perpindahan kalor satu fasa konveksi. Hal ini menunjukkan bahwa pendinginan pelat panas akan cepat tercapai ketika kondisi pendidihan film minimal terlampaui. Pada kondisi ini air pendingin dapat secara establish melakukan pendinginan pelat panas hingga suhu pendinginan yang diinginkan tercapai. 117

Suhu Pelat Rektangular, T ( 0 C) 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 T rewetting = 426,63 0 C t rewetting = 66 detik Termokopel 5C T = 600 o C, Q = 0,2 liter/detik Transien pada Tc-5C Laju Pendinginan pada Tc-5C T Fluks kalor kritis = 263,95 0 C t Fluks kalor kritis = 110,18 detik 150 2 100 Rejim Rejim perpindahan kalor 50 Rejim pendidihan film pendidihan Rejim pendidihan inti konveksi satu fasa 0 transisi 0 0 50 100 150 200 Waktu, t (detik) 14 12 10 8 6 4 Laju Pendinginan ( 0 C/detik) Gambar 7. Kurva laju pendinginan pada suhu awal pelat rektangular 600 ºC dengan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik Dapat dilihat dari kurva laju pendinginan pada suhu awal pelat panas 600 ºC dengan debit aliran air pendingin 0,2 liter/detik memiliki fenomena pendidihan yang serupa dengan pendinginan pada suhu awal pelat panas 400 ºC. Terlihat bahwa terjadi semua fenomena pendidihan ketika air pendingin dilewatkan ke dalam celah sempit rektangular dan menyentuh pelat panas pada titik pengukuran 5C, yaitu rejim pendidihan film, rejim pendidihan transisi, rejim pendidihan inti, dan rejim perpindahan kalor konveksi satu fasa. Pada rejim pendidihan film, air pendingin tidak dapat membasahi pelat panas. Air pendingin akan menjadi uap ketika menyentuh pelat panas pada rejim ini. Tidak terjadi penyerapan kalor yang besar pada pendidihan film ini, yang berarti bahwa penurunan suhu tidak terlalu signifikan ketika air menyentuh pelat panas. Semakin lama, kondisi pendidihan film akan hilang seiring dengan terus terjadinya kontak dengan air pendingin. Hilangnya rejim pendidihan film menyebabkan terjadinya perubahan rejim pendidihan ke rejim pendidihan transisi. Pada saat titik Leidenfrost tercapai, yang berarti kondisi film sangat minim, air pendingin yang melewati celah sempit rektangular mulai dapat menyentuh permukaan pelat panas secara establish. Kondisi inilah yang disebut dengan titik rewetting. Titik rewetting terjadi pada saat pelat panas berada pada kondisi pendidihan film minimal. Hal ini ditandai dengan terjadinya penyerapan kalor pelat panas yang semakin besar oleh air pendingin. Pada kurva laju pendinginan terlihat mulai terjadinya penurunan suhu yang signifikan karena banyaknya kalor yang terserap oleh air. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama quenching pada permukaan suatu pelat rektangular yang bersuhu tinggi (di atas suhu saturasi air pendinginnya), pelat tidak akan dapat langsung dibasahi oleh air pendingin. Ketika air akan menyentuh permukaan pelat terjadi penguapan sehingga permukaannya tetap kering. Kemudian terjadi kontak antara air dengan permukaan pelat secara terus menerus sehingga mengakibatkan pelat panas mengalami penurunan suhu dan pada saat tertentu air akhirnya dapat membasahi permukaan pelat. Kalor yang terserap akan mencapai puncaknya pada kondisi fluks kalor kritis. Fluks kalor kritis tercapai ketika pelat rektangular berada pada suhu 263,95 ºC. Pada kondisi ini terjadi penyerapan kalor yang paling besar oleh air pendingin yang melewati pelat panas. Kondisi ini berlangsung terus secara establish hingga tercapainya rejim pendidihan inti dan rejim perpindahan kalor satu fasa konveksi. Hal ini menunjukkan bahwa pendinginan pelat panas akan cepat tercapai ketika kondisi pendidihan film 118

Nomor : 266/AU1/P2MBI/05/2010 Analisa Pengaruh suhu awal pelat panas pada... (M. Hadi Kusuma) minimal terlampaui. Pada kondisi ini air pendingin dapat secara establish melakukan pendinginan pelat panas hingga suhu pendinginan yang diinginkan tercapai. Dengan kurva laju pendinginan dapat diketahui pembagian rejim pendidihan diketahui suhu dan waktu mulai terjadinya rewetting, dan diketahui letak fluks kalor kritis yang terjadi selama proses pendinginan pelat panas. Sehingga dari kurva tersebut didapatkan bahwa suhu rewetting pada 220 ºC, 400 ºC, dan 600 ºC memiliki angka yang berbeda. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu rewetting terjadi seiring dengan kenaikan suhu permukaan pelat panas. Hal ini terjadi karena pelat dipanaskan pada tiga kondisi suhu yang berbeda sangat signifikan. Perbedaan suhu yang signifikan ini menyebabkan terjadinya perubahan nilai kalor spesifik dan termal konduktifitas pelat yang digunakan sebagai benda uji. Perbedaan suhu yang tinggi juga menyebabkan berbedanya nilai suhu wall superheat, yaitu selisih dari suhu dinding panas terhadap suhu saturasi fluidanya, dan berubahnya sifik fisik pelat uji serta berbedanya rejim pendidihan yang dialami oleh fluida yang melewati celah sempit tersebut. Fenomena yang didapatkan ini memperkuat korelasi yang didapatkan oleh Kim et.al. KESIMPULAN Titik rewetting pada pendinginan pelat panas 220 ºC, 400 ºC, dan 600 ºC terjadi pada suhu rewetting yang berbeda-beda. Pada suhu awal pelat panas 220 ºC, suhu rewetting terjadi pada 220 ºC yaitu langsung ketika air dilewatkan melalui celah sempit rektangular. Pada suhu awal pelat panas 400 ºC, suhu rewetting terjadi pada 379,51 ºC. Dan pada suhu awal pelat panas 600 ºC, suhu rewetting terjadi pada 426,63 ºC. Perbedaan suhu awal pelat panas yang sangat signifikan menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik benda uji, berbedanya rejim pendidihan yang dialami oleh fluida yang melewati celah sempit, perubahan nilai kalor spesifik bahan, perubahan nilai konduktifitas termal, dan perbedaan suhu wall superheated-nya. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut menyebabkan peningkatan suhu rewetting seiring dengan kenaikan suhu awal pelat panas. DAFTAR PUSTAKA 1. Y. Maruyama et al. Application of CAMP Code to analysis of debris coolability experiments in ALPHA program. Proceeding of the Workshop on Severe Accident Research (SARJ-98); 1999. JAERI-Conf 99-005. 2. A.R. Antariksawan. Analisis degradasi teras PWR pada kejadian kehilangan catu daya. Jurnal Tri Dasa Mega. 2005, Vol. 2, No. 3. 3. D.X. Du, W.X. Tian, G.H. Su, S.Z. Qiu, Y.P. Huang, X. Yan. Theoretical study on the characteristics of critical heat flux in vertical narrow rectangular channels. Journal of Applied Thermal Engineering. 2012; 36: 21-31. 4. S. Al Issa, R. Macian. A Review of CCFL Phenomenon. Journal of Annals of Nuclear Energy. 2011; 38: 1795-1819. 5. Y.W. Wu, G.H. Su, S.Z. Qiu, B.X. Hu. Experimental study on critical heat flux in bilaterally heated annuli. International Journal of Multiphase Flow. 2009; 35: 977-986. 6. M. Juarsa. Study on boiling heat transfer under transient cooling in an annulus with a narrow gap. Master Degree Thesis of Fundamental Energy Science. Kyoto University, 2003. 7. Jian Zhang, Futoshi Tanaka, Mulya Juarsa, Kaichiro Mishima. Calculation of boiling curves during rewetting of a hot vertical narrow channel. The 10 th International Topical Meeting on Nuclear Reactor Thermal Hydraulics (NURETH-10). October 5-9, 2003. Seoul, Korea. 119

8. A.K. Saxena, V. Venkat Raj, and V. Govardhana Rao. Experimental studies on rewetting of hot vertical annular channel. Journal of Nuclear Engineering and Design. 2001; 208: 283-303. 9. Michitsugu Mori, and Yukihisa Yabushita. Visualization of quench-rewetting phenomena of liquid-film falling during dryout and rewetting on fuel rods in high temperature and pressure BWR operating conditions. Journal of The Visualization Society of Japan. 2012; 139 144 DOI 10.1007/s12650-011-0115-9. 10. Nitin Karwa, Tatiana Gambaryan-Roisman, Peter Stephan, Cam Tropea. A Hydrodynamic model for subcooled liquid jet impingement at the leidenfrost condition. Journal of Thermal Sciences. 2011; 50: 993-1000. 11. Md. Ashraful Islam, Masanori Monde, Peter Lloyd Woodfield, Yuichi Mitsutake. Jet impingement quenching phenomena for hot surfaces well above the limiting temperature for solid liquid contact. International Journal of Heat and Mass Transfer. 2008; 51: 1226 1237. 12. Nitin Karwa, Tatiana Gambaryan-Roisman, Peter Stephan, Cameron Tropea. Experimental investigation of circular free-surface jet impingement quenching: Transient Hydrodynamics and Heat Transfer. International Journal of Experimental Thermal and Fluid Science. 2011; 35: 1435 1443. 13. Juan J. Carbajo. A Studi on The rewetting temperature. Journal of Nuclear Engineering and Design. 1985; 84: 21-52. 14. C. Agrawal, R. Kumar, A. Gupta, B. Chatterjee. Effect of jet diameter on the rewetting of hot horizontal surfaces during quenching. Journal of Experimental Thermal and Fluid Science. Accepted 22 March 2012. 15. A.K. Kim and Y. Lee. A correlation of rewetting temperature. Letters in Heat and Mass Transfer. 1979; 6: 117-123. 120