1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara berkembang angka kematian bayi dan anak masih tinggi, hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima tahun. Kebanyakan kematian disebabkan oleh penyakit-penyakit yang umum diderita oleh anak-anak yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati. Tujuan dari Millenium Development Goals (MDG s) pada anak adalah mengurangi angka kematian anak sampai dua pertiga pada tahun 2015. Di Indonesia, satu dari tiga anak balita menderita demam (yang mungkin disebabkan oleh malaria, infeksi saluran pernafasan akut dan lainnya), dan satu dari tujuh anak balita menderita diare. Sebagian besar kematian akibat penyakit-penyakit ini dapat dicegah. Namun, untuk mencegah penyakit-penyakit tersebut, diperlukan pengetahuan, pengenalan tepat waktu, penanganan dan perubahan perilaku para ibu serta petugas kesehatan (Harwood et al, 2009). Demam menjadi salah satu gejala utama dari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Demam yang terjadi pada DBD seringkali secara mendadak dan tanpa penyebab yang pasti. Kejadian luar biasa (KLB) dengue yang cukup bermakna terjadi pada lima dari enam wilayah World Health Organization (WHO), dengan wilayah Eropa sebagai satu-satunya pengecualian. Populasi di dunia yang 1
2 diperkirakan berisiko terhadap penyakit ini mencapai 2,5 sampai 3 miliar orang yang tinggal di daerah perkotaan dan di wilayah yang beriklim tropis atau subtropis (WHO, 2011). Jumlah kasus DBD di Asia Tenggara bervariasi, hingga tahun 2006 terjadi 188.684 kasus. Sejak tahun 2003, jumlah kasus DBD semakin meningkat meskipun angka kematian dapat ditekan di bawah 1%. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) serta 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012). WHO memasukkan Indonesia dalam strata A dengan insidensi DBD yang tinggi, sehingga mengakibatkan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD pada anak (WHO, 2008). Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Daerah rawan DBD merata hampir di seluruh pulau di Indonesia, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Jawa Barat dan Papua Barat merupakan provinsi-provinsi yang pernah tercatat sebagai pemilik lima besar angka insiden DBD dalam jangka empat tahun (2005-2009). Menurut data Depkes RI (2009) pada tahun 2008 dijumpai kasus DBD di Indonesia sebanyak 137.469 kasus dengan CFR 0,86% dan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk, dan mengalami kenaikan pada tahun 2009 yaitu sebesar 154.855 kasus dengan CFR 0,89% dengan IR sebesar 66,48 per 100.000. Pada tahun 2010 Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN yaitu sebanyak 156.086
3 kasus dengan kematian 1.358 orang (Kompas, 2010). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010, terlihat bahwa pola penyakit terbanyak kedua pasien rawat inap di seluruh wilayah Indonesia adalah DBD dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus dan perempuan sebanyak 325 orang (CFR sebesar 0,55%) (Depkes RI, 2010). Tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan yaitu 49.486 dengan kematian 403 orang (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2011). Pada bulan Januari 2009, penderita DBD di Jawa Tengah sebanyak 1706 orang. Sedangkan kasus DBD yang terjadi di beberapa kota di Jawa Tengah sampai pertengahan 2009 sebanyak 2767 orang, 73 diantaranya meninggal (Lismiyati, 2009). Daerah Klaten sendiri terdapat 12 desa yang menjadi daerah endemis DBD. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dari tanggal 15-20 September 2014 didapatkan data bahwa di Kabupaten Klaten memang merupakan daerah endemis DBD. Penderita DBD hampir menyebar di 12 desa yang ada di Klaten. Sejauh ini, dinas kesehatan Kabupaten Klaten telah berupaya untuk menekan angka kejadian DBD dengan senantiasa melakukan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ataupun fogging, tetapi hal tersebut belum dapat mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat yang dirasa masih kurang maksimal untuk menjaga lingkungan mereka dari bahaya DBD. Dari 34 Puskesmas yang ada di Kabupaten Klaten, Puskemas Wedi adalah puskesmas dengan angka kejadian DBD pada balita yang tertinggi. Puskesmas Wedi menaungi 19 desa
4 dengan 86 posyandu. Berdasarkan data kunjungan di Puskesmas Wedi, tercatat bahwa angka kunjungan tertinggi pada balita disebabkan oleh demam. Penyakit DBD dapat menyerang anak-anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya memburuk setelah hari pertama. Demam tinggi terjadi secara mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung secara terus menerus selama 2-7 hari (Depkes, 2005). Demam seringkali menimbulkan adanya perdarahan dan mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian. Sedangkan menurut Suaya (2008), rata-rata lama rawat pasien DBD di rumah sakit adalah 11 hari dengan durasi demam rata-rata selama enam hari. Gejala demam ini seringkali dianggap gejala yang tidak membahayakan, padahal rejatan dapat terjadi pada saat demam tinggi antara hari 3-7 sejak anak mulai sakit. Rejatan yang terjadi saat demam biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih buruk. Morbiditas dan mortalitas DBD bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imun, kondisi vektor nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi virus dan kondisi geografi setempat. Secara keseluruhan, tidak terdapat perbedaan angka kejadian berdasarkan jenis kelamin penderita, tetapi kematian akibat penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. Pencegahan terhadap DBD dapat dilakukan dengan mengontrol vektornya yaitu Aedes aegepty. Manajemen lingkungan, kontrol biologi dan kontrol kimia merupakan cara yang efektif dalam memberantas perkembangbiakan dari Aedes aegepty. Keberhasilan pencegahan DBD membutuhkan partisipasi masyarakat.
5 Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kematian anak akibat penyakit infeksi atau penyakit lain yang umumnya terjadi pada anak adalah dengan meningkatkan pengetahuan orangtua khususnya ibu, menjaga kebersihan rumah tangga dan lingkungan, pendapatan serta akses ke pelayanan kesehatan. Perilaku yang tidak tepat dan kurangnya pengetahuan dapat berkontribusi terhadap kematian anak. Sebelumnya WHO telah mengembangkan program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang berfokus pada deteksi dini terhadap penyakit-penyakit mematikan yang sering terjadi pada anak tetapi dikhususkan bagi petugas kesehatan yang berada pada tingkat pelayanan dasar atau puskesmas. Akan tetapi penerapan program MTBS ini belum efektif dimana disebutkan bahwa banyak anak mengalami kematian bahkan sebelum mereka dibawa ke klinik atau pelayanan kesehatan terdekat. Misalnya, di Tanzania sebanyak 40% anak-anak yang meninggal adalah anak-anak yang tidak pernah mendapat perawatan dari fasilitas kesehatan sedangkan di Bolivia yang angka kematiannya meningkat sampai 74% juga mengalami hal yang sama (CORE Group, 2009). Di Puskesmas Wedi sendiri sudah menerapkan program MTBS ini tetapi dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan pendekatan MTBS yang ditetapkan. Berdasarkan data yang disampaikan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2012, bahwa sebagian besar kematian anak terjadi di rumah sebelum mencapai fasilitas kesehatan sehingga diperlukan pencegahan yang dapat mengatasi hal tersebut. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sendiri
6 memiliki tiga bidang fokus utama yaitu meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, meningkatkan sistem kesehatan serta meningkatkan praktek keluarga dan masyarakat (Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis Masyarakat). Mengingat masih banyaknya daerah yang belum memiliki tenaga kesehatan atau akibat demografi sebagian masyarakat sulit untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan, maka kader diberdayakan agar mampu melakukan deteksi dini terhadap gejala-gejala demam serta memberikan penanganan yang tepat saat balita mengalami demam. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010, profesi keperawatan sebagai salah satu profesi dibidang kesehatan berkontribusi melalui pengembangan pelayanan kesehatan yang diharapkan dapat mendukung terciptanya kemandirian keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya. Keluarga dapat dipandang sebagai satu unit terkecil dari masyarakat dan keluaraga juga sebagai unsur yang dapat mempengaruhi status kesehatan individu dan anggota keluaraga, oleh sebab itu pelayanan keperawatan keluarga merupakan salah satu strategi yang efektif untuk mewujudkan pelaksanaan upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat secara terintergrasi. Di Indonesia juga sudah dikembangkan pilot project yang diprakarsai oleh WHO dan UNICEF di Provinsi Papua yang dikenal dengan MTBS-M (Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis Masyarakat). Di negara berkembang MTBS-M ini dikenal dengan sebutan C-IMCI (Community Integrated Management of Childhood Illness). Tujuan dari program ini adalah untuk melibatkan masyarakat sebagai
7 komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Pendekatan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita terintegrasi dengan melibatkan masyarakat sesuai standar MTBS. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan manajemen terpadu balita sakit berbasis masyarakat, disebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan MTBS-M dilakukan melalui kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, dan/atau kuratif terbatas. Pelayanan MTBS-M dilakukan oleh kader setempat yang telah mendapatkan pelatihan sebagai pelaksana. Untuk itu perlu adanya pelatihan kader yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Pelatihan tersebut berguna untuk kader agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga nantinya dapat memandirikan kader baik dari segi berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang akan mereka lakukan. Pelaksanaan pelatihan ini akan senantiasa dibimbing oleh tenaga kesehatan setempat khususnya perawat. Fokus utama kegiatan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keperawatan, mmbimbing dan mendidik individu, keluarga dan kelompok, masyarakat untuk menanamkan pengertian, kebiasaan dan perilaku hidup sehat sehingga mampu memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan di Puskesmas Wedi, angka kunjungan balita dengan demam menempati urutan pertama, serta sebagian besar balita yang sudah pernah datang untuk memeriksakan sakitnya akan kembali lagi karena demam yang belum sembuh. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya
8 untuk menurunkan angka kejadian tersebut. Kader kesehatan merupakan orang yang tepat sebagai perantara pemberian infomasi kepada masyarakat. Kader sebaiknya mendapatkan pelatihan yang nantinya dapat diajarkan kembali kepada masyarakat. Tujuan pelatihan tersebut adalah untuk membantu mengenalkan penanganan pertama yang dapat dilakukan masyarakat apabila terjadi demam pada balita. Dengan demikian diharapkan masyarakat dengan dibantu kader setempat dapat melakukan penanganan yang efektif pada balita dengan demam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Tingginya angka kejadian demam pada balita. 2. Pemberian pengobatan yang masih belum sesuai dengan pendekatan MTBS. 3. Kader kesehatan belum pernah mendapatkan pelatihan manajemen anak sakit dengan demam. 4. Keikutsertaan masyarakat yang masih rendah dalam upaya penatalaksanaan demam.
9 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen anak sakit dengan demam terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan kader dalam tatalaksana demam. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui pengetahuan kader sebelum dan sesudah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. b. Untuk mengetahui sikap kader sebelum dan sesudah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kontrol. c. Untuk mengetahui keterampilan kader sesudah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kontrol. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi kader kesehatan Dengan diberikannya pelatihan manajemen demam terkait tatalaksana anak dengan demam maka akan memberikan pengetahuan baru kepada kader mengenai tindakan preventif dan promotif yang dapat dilakukan keluarga. Kader dapat memandirikan keluarga sehingga nantinya keluarga dapat melakukan pencegahan serta menjaga lingkungan tetap sehat dan terhindar dari penyakit DBD.
10 2. Bagi Puskesmas dan pelayanan kesehatan lainnya a. Dapat meningkatkan kemitraan antara fasilitas kesehatan yang ada dengan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. b. Meningkatkan akses terhadap pelayanan perawatan kesehatan dan menyediakan fasilitas pemberian informasi yang berbasis masyarakat. 3. Bagi Keperawatan Dengan terlaksananya pelatihan ini, maka perawat dapat senantiasa mengamalkan ilmu pengetahuan yang sudah dimiliki untuk membantu masyarakat agar semakin mandiri dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan serta demi kemajuan ilmu keperawatan. Kesadaran masyarakat yang baik akan menciptakan derajat kesehatan yang optimal. 4. Bagi masyarakat Dengan mendapatkan informasi dari kader setempat, maka akan menambah pengetahuan dan informasi terkait penanganan terhadap demam. Keluarga juga dapat menilai, menganalisis dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kesehatan anaknya.
11 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penelitian yang berjudul Pengaruh Pelatihan Manajemen Anak Sakit dengan Demam Terhadap Pengetahuan, Sikap Dan Keterampilan Kader dalam Tatalaksana Demam belum pernah dilakukan tetapi terdapat beberapa penelitian dengan topik yang hampir sama sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.1.
12 Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian lain No. Nama Peneliti dan Judul penelitian 1. Peneliti: Harerimana, et al (2014) Judul penelitian Effect of shortened Integrated Management of Childhood Illness training on classification and treatment of under-five children seeking care in Rwanda Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan Untuk mengetahui perbedaan dari efektivitas pelatihan MTBS yang dilakukan selama 11 hari dengan pelatihan yang dilakukan selama 6 hari Penelitian ini merupakan metode penelitian crosssectional dengan menggunakan 121 sampel perawat yang terdiri dari 55 perawat yang menyelesaikan pelatihan MTBS dalam waktu 11 hari dan 66 perawat yang menyelesaikan pelatihan MTBS selama 6 hari. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan untuk melakukan klasifikasi penyakit dalam program MTBS antara perawat yang mendapatkan pelatihan selama 11 hari dan perawat yang mendapatkan pelatihan selama 6 hari. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama melakukan pelatihan yang berkaitan dengan manajemen balita sakit Perbedaannya adalah pelatihan diberikan kepada kader kesehatan dengan program MTBS-M dan pelatihan yang diberikan terkait tatalaksana demam pada DBD 2. Peneliti: Harwood, et al (2009) Judul penelitian Experiences of training and implementation of integrated management of Untuk mengeksplorasi pengalaman petugas kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan MTBS Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode FGD untuk mengeksplorasi pengalaman partisipan yang telah mendapatkan Hasil dari penelitian ini adalah petugas kesehatan merasa telah mendapatkan pelatihan yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola balita sakit Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama memberikan pelatihan tetapi dengan subyek yang berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode penelitian. Penelitian ini menggunakan
13 No. Nama Peneliti dan Judul penelitian childhood illness (IMCI) in South Africa: a qualitative evaluation of the IMCI case management training course Tabel 1.1 Lanjutan Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan pelatihan MTBS Pada penelitian ini subjek penelitian adalah petugas kesehatan sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, subjek penelitiannya adalah kader kesehatan. pendekatan kualitatif tetapi pada penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan menggunakan metode kuantitatif. 3. Peneliti: Sukiarko (2007) Judul penelitian pengaruh pelatihan dengan metode belajar berdasarkan masalah terhadap pengetahuan dan keterampilan kader gizi dalam kegiatan posyandu Untuk mengetahui pengaruh pelatihan dengan metode BBM terhadap pengetahuan dan keterampilan kader gizi dalam kegiatan posyandu Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian quasi eksperimental dengan rancangan penelitian Nonrandomized control group pretest post test design. Penelitian dilakukan terhadap 33 kader gizi yang mendapatkan pelatihan BBM sebagai kelompok Hasil dari penelitian ini adalah metode BBM meningkatkan rerata skor pengetahuan saat post test 1 dan post test 2, sedangkan metode konvensional hanya meningkatkan pengetahuan saat post test 1. Rerata skor keterampilan kelompok BBM lebih tinggi dibandingkan kelompok konvensional saat Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama memberikan pelatihan pada kader posyandu untuk mengukur pengetahuan dengan menggunakan dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada materi yang akan diberikan. Pada pelatihan yang akan peneliti lakukan, materi yang diberikan adalah mengenai tatalaksana
14 No. Nama Peneliti dan Judul penelitian Tabel 1.1 Lanjutan Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan perlakuan dan 33 kader gizi mendapatkan pelatihan konvensional Sebagai kelompok control post test 1 dan 2. Terjadi peningkatan skor keterampilan kader gizi dari post test 1 ke post test 2 pada kelompok BBM sedangkan pada kelompok konvensional tidak kelompok kontrol. Penelitian ini sama-sama menggunakan rancangan Nonrandomized control group pretest post test design. demam 4. Peneliti: Mukunya, et al (2014) Judul penelitian Knowledge of integrated management of childhood illnesses community and family practices (C-IMCI) and association with child undernutrition in Northern Uganda: a crosssectional study Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan praktek dari C- IMCI antara pengasuh dan hubungannya dengan gizi pada anak-anak antara 6 dan 60 bulan di Kabupaten Gulu Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian cross sectional dengan jumlah 442 orang anak dengan usia 6-60 bulan. Penelitian dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan anak. Penelitian ini meggunakan kuesioner dan lembar panduan wawancara yang berfungsi untuk Hasil dari penelitian ini adalah masih rendahnya tingkat penegetahuan dan pelaksanaan ibu dalam praktek C- IMCI yang berhubungan dengan pemberian gizi yang baik pada anak terkait empat kompenen yaitu ASI, imunisasi, suplementasi mikronutrien dan makanan pendamping ASI Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama akan memberikan materi mengenai C-IMCI dan mengukur tingkat pengetahuan dan pelaksanaan C- IMCI dengan menggunakan kuesioner dan lembar wawancara yang proses MTBS Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada rancangan penelitian dimana daslam penelitian ini menggunakan jenis penelitian cross sectional sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan rancangan Non-
15 No. Nama Peneliti dan Judul penelitian Tabel 1.1 Lanjutan Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan mengukur pengetahuan dan pelaksanaan C- IMCI oleh pengasuh (ibu). Empat pelaksanaan dasar seperti ASI, imunisasi, suplementasi mikronutrien dan makanan pendamping ASI randomized control group pretest post test design.
16