BAB II KAJIAN PUSTAKA. Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983,

dokumen-dokumen yang mirip
PRAGMATIK. Disarikan dari buku:

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi antara penutur dan mitra tutur di

MAKSIM PELANGGARAN KUANTITAS DALAM BAHASA INDONESIA. Oleh: Tatang Suparman

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB II KAJIAN TEORI. Pragmatik merupakan bidang ilmu yang mempelajari tentang makna yang

BAB II KAJIAN TEORI. lambang (sign). Semantik pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

Rancangan Silabus BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKULIAH UMUM Suatu Tinjauan Pendekatan Pragmatik Oleh : Yuniseffendri. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

BAB I PENDAHULUAN. lain. Oleh karena itu komunikasi berperan penting dalam terciptanya kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Berbahasa merupakan aktivitas sosial bagi manusia. Seperti aktivitas

I. PENDAHULUAN. dalam mencari informasi dan berkomunikasi. Klausa ataupun kalimat dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata.

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB II LANDASAN TEORI. menganalisis data seperti teori pelanggaran maxim dan teori mengenai konteks.

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan dengan kajian

2015 FENOMENA PENGGUNAAN NAMA-NAMA UNIK PADA MAKANAN DI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 METAFORA DALAM TUTURAN KOMENTATOR INDONESIA SUPER LEAGUE MUSIM : KAJIAN SEMANTIK KOGNITIF

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pergeseran makna pada BT, oleh sebab itu seorang penerjemah harus

PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA. Kuswoyo Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Madiun

IMPLIKATUR, TEKNIK PENERJEMAHAN, DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN (Suatu Kajian Pragmatik Dalam Teks penerjemahan)

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat

FILSAFAT BAHASA DAN BAHASA MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN

BAB I PENDAHULUAN. wacana. Artinya, sebuah teks disebut wacana berkat adanya konteks.

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

A STUDY OF DEIXIS USED IN MICHAEL HEART S SONGS LYRIC ENTITLED WE WILL NOT GO DOWN AND WHAT ABOUT US THESIS BY DIAN SYLVIANA PUTRI NIM

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi antar sesama. Kridalaksana (dalam Chaer, 2003: 32)

BAB I PENDAHULUAN. yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

PENDAHULUAN. Saat ini, komunikasi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa secara sederhana merupakan produk budaya yang dihasilkan dan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang.

ANALISIS DEIKSIS DALAM CERPEN SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 KARANGANYAR

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan. Sejalan dengan itu, dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa

b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah yang turut memperkaya kebudayaan nasional.

DEIKSIS DALAM KAKILANGIT PADA MAJALAH HORISON EDISI 2012 DAN IMPLIKASINYA

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan secara lisan maupun tertulis. Melalui bahasa, manusia berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Menurut Chaer (2007) tuturan dapat diekspresikan melalui dua

BAB I PENDAHULUAN. mengekspresikan tulisanya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

II. LANDASAN TEORI. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang

BAB 2 IKHWAL PRAGMATIK, TINDAK TUTUR, PRINSIP KERJA SAMA, DAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara tanda - tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal yang

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PERCAKAPAN STAF FKIP UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk

2016 PEMEROLEHAN KALIMAT PASIF BAHASA SUND A PAD A ANAK USIA PRASEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong.

BAB I PENDAHULUAN. Tindak tutur merupakan tind yang dilakukan oleh penutur terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan-kebijakan tersebut. Di awal kemerdekaan republik ini, dunia pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting agar suatu maksud dari pembicara dapat sampai dengan baik

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Peranan bahasa sangat penting dalam kegiatan komunikasi di

INFERENSI DAN PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN ANALISIS WACANA

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,

BAB I PENDAHULUAN. Film The Great Gatsby adalah film visual 3D karya Baz Luhrmann yang

BAB I PENDAHULUAN. penting. Peranan tersebut, antara lain: untuk menyampaikan beragam informasi

PRAGMATIK. Penjelasan. Sistem Bahasa. Dunia bunyi. Dunia makna. Untuk mengkaji pragmatik... Contoh-contoh sapaan tersebut...

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide,

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Istilah address term adalah sebuah kata atau frasa yang ditujukan penutur

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lain. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Semantik merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk dapat berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa, seperti dikemukakan oleh para ahli, memiliki bermacam fungsi

PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA UNTUK MEMBENTUK PEMIKIRAN KRITIS IDEOLOGIS PEMUDA INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN PRAGMATIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Tuturan performative merupakan tuturan yang muncul pada saat

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.0 Pengantar Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983, 2006a-b), Fasold (2006), Mey (2001), Bohnemeyer (2006), Yule (1996), Huang (2007)) tidak menjadikan deiksis sebagai bahan pembicaraan tanpa menyertakan pragmatik lebih dahulu di dalamnya. Hal demikian beralasan mengingat bahwa salah satu aspek mendasar dalam kajian deiksis, yakni, inferensi makna, dilakukan dengan memperhitungkan konteks. Perubahan konteks penggunaan tuturan, termasuk yang dinyatakan sebagai ekspresi deiksis, akan berimplikasi pada perubahan makna ekspresi tersebut. Peranan konteks yang menentukan, seperti itu, menyebabkan kajian deiksis digolongkan sebagai sub-bidang kajian pragmatik. Analogi untuk pemahaman lebih lanjut tentang kajian deiksis sebagai subbidang pragmatik, contohnya, adalah antara afiksasi dengan morfologi bahasa. Perubahan bentuk morfem, termasuk disebabkan proses afiksasi, adalah kajian morfologi. Oleh karenanya, afiksasi adalah sub-bidang kajian morfologi. Lalu, sebagai apa pragmatik itu? 2.1 Pengertian Pragmatik Pemahaman konseptual arti suatu istilah tidak selalu diperoleh dari satu definisi. Malah satu definisi, ada kalanya, terasa tidak memadai untuk memberi gambaran utuh tentang yang didefinisikan. Untuk memahami arti pragmatik, pada

kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule (1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut. 1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study of speaker meaning). 2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1)) merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana, kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).

3. Melalui ancangan pragmatik menjadi pengamatan bagaimana mitra tutur menginferensi tuturan yang didengarnya, sehingga hasil tafsirannya terhadap tuturan itu sama dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Pada pengkajian makna seperti ini, diperhatikan juga berbagai hal yang terkait dengan tuturan tetapi tidak terungkap dalam tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Dengan cara pengkajian, seperti yang disebutkan, membuat kita mengenal adanya upaya pemahaman makna lain yang tidak terungkap dalam tuturan (invisible meaning). Dari deskripsi singkat (3) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian yang berupaya memperoleh informasi yang lebih banyak daripada sekedar yang diperoleh dari yang dituturkan ( Pragmatics is the study of how more gets communicated than is said). 4. Perspektif yang menyebut adanya informasi lain, di luar dari yang dituturkan, seperti yang disebut pada poin (3), ternyata memicu munculnya pertanyaan, apa sesungguhnya yang berperan dalam membuat adanya informasi lain di samping informasi yang diperoleh dari tuturan itu. Jawabannya, menurut Yule, menyangkut soal jarak (distance). Faktor kedekatan atau kejauhan secara fisik, sosial, ataupun konseptual, adalah bagian dari pengalaman manusia. Dengan memperhatikan kedekatan atau kejauhannya dengan mitra tutur, penutur dapat menentukan batasan terhadap apa yang perlu dituturkannya. Dari deskripsi singkat (4) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian terhadap ekspresi-ekspresi

yang menyatakan jarak relatif (Pragmatics is the study of the expression of relative distance). Deskripsi singkat yang dituangkan melalui keempat definisi di atas memberi pengertian serta gambaran tentang ranah kajian bidang pragmatik. 2.2 Historiografi Singkat Pragmatik Hingga kini (2009) tercatat bahwa pragmatik, sebagai salah satu sub-bidang linguistik, usianya sudah mencapai empat dasawarsa. Kepesatan perkembangan serta minat ahli bahasa untuk mengakrapinya, terutama dalam dua dekade terakhir ini (Huang, 2007:3), adalah sesuatu yang mungkin luput dari perkiraan pada waktu sebelumnya. Salah satu indikasi peningkatan minat banyak ahli terhadap pragmatik, dari penjelasan Mey (2001:3-4), dapat dilihat pada semakin pesatnya penerbitan jurnal ataupun buku teks bertaraf internasional tentang pragmatik, seperti Journal of Pragmatics, Pragmatics, Concise Encyclopedia of Pragmatics, yang masing-masing diterbitkan sejak tahun 1977, 1991, 1998, dan masih berlangsung hingga kini (lihat juga Rahardi, 2006:45-51). Jawaban antisipatif terhadap sebab kepesatan perkembangan kajian pragmatik seperti itu, sebelumnya, telah diberikan oleh Leech (1983:1) yang menyatakan bahwa orang tidak akan mengerti bahasa secara benar apabila orang yang bersangkutan tidak mengerti pragmatik, yaitu, bidang linguistik yang mengkaji bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Dengan mengikuti penjelasan Huang (2007:2-5), aspek kesejarahan pragmatik, secara singkat, diketahui sebagai berikut.

Pragmatik sebagai sub-bidang linguistik modern berawal dari adanya kajiankajian filosofis bahasa pada periode tahun 1930-an yang dilakukan oleh Charles Morris, Rudolf Carnap, dan Charles Pierce. Mendapat masukan dan atas pengaruh dari Pierce, Morris membuat adanya pembagian bidang semiotik (ilmu tentang tanda pada umumnya) atas tiga bagian, yaitu, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Menurut tipologi ini, sintaksis Morris maksudkan sebagai pengkajian terhadap hubungan formal antara sesama tanda. Artinya, bagaimana menyusun tautkan sesama bentuk-bentuk bahasa dan bentuk hasil susun taut mana yang berterima. Pengkajian semacam ini umumnya dilakukan tanpa memperhitungkan objek ril yang diacu atau orang yang menggunakannya. Semantik melakukan pengkajian terhadap hubungan tanda dengan acuannya, atau dapat juga dikatakan pengkajian hubungan antara bentuk-bentuk bahasa dengan maujud duniawinya. Pragmatik adalah pengkajian terhadap hubungan tanda dengan penutur atau penggunanya. Di antara ketiga bidang dalam trikotomi di atas, hanya pragmatik yang melibatkan manusia turut menjadi objek dalam kajiannya (lihat juga Yule, 1996:5). Terhadap trikotomi tersebut, Carnap, kemudian, membuat pengurutan atas dasar tingkat keabstrakan masing-masing. Sintaksis dan pragmatik masing-masing menempati posisi paling dan kurang abstrak, sedangkan semantik pada posisi antara keduanya. Hubungan hierarkis tersebut dimaknainya, bahwa sintaksis memberi masukan kepada semantik, yang selanjutnya, memberi masukan pula kepada pragmatik. Lalu, bagaimana respons ahli bahasa pada periode tahun 1930-an dan sesudahnya atas kehadiran trikotomi dari Charles Morris? Ternyata, dari penjelasan

Leech, kehadiran pragmatik tahun 1930-an tidak serta merta menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Bagi mereka, seangkatan Bloomfield, misalnya, liputan ilmu bahasa itu hanya di seputar fonetik, fonemik, dan morfofonemik (morfologi); sementara sintaksis masih dianggap bidang yang terlalu abstrak untuk dipahami dan dipelajari. Perubahan sikap dalam merespons kehadiran trikotomi semiotik di atas baru terlihat pada akhir tahun 1950-an, seiring dengan berkembangnya teori linguistik Chomsky, yang memposisikan sintaksis sebagai prioritas dalam pengkajian bahasa. Namun, karena pengaruh latar belakang struktural mentalis yang kuat pada Chomsky, membuatnya berpandangan bahwa kajian makna masih merupakan hal yang belum perlu ditekuni. Pada perkembangan linguistik yang semakin pesat antara 1960 dan 1970-an, sikap Chomsky dalam pengkajian makna mendapat tantangan dari mahasiswanya sendiri. Mereka (seperti Katz, Fodor, Ross, Lakoff, Postal) menunjukkan rasa ketidakpuasan dan ketidaksetiaan mereka kepada Chomsky yang mengkaji bahasa dari aspek mental yang abstrak itu, dan mulai meninggalkan tradisi mentalis dalam mengkaji penggunaan bahasa. Ketika itu, mereka telah menemukan cara bagimana mengintegrasikan kajian makna ke dalam teori linguistik. Lakoff (1971) bersama rekan lainnya, yang merasa tertarik dengan kajian-kajian filosofis bahasa Austin dan kawankawan (yang menjadikan bahasa alami (ordinary language) sebagai objek kajiannya), telah siap dengan argumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian penggunaan bahasa. Peristiwa itu tercatat sebagai mula terintegrasikannya pragmatik

ke dalam peta kajian linguistik. Terintegrasikannya pragmatik ke dalam kajian linguistik memberi arti bahwa lingkup bidang linguistik tidak hanya sebatas aspek fisik bahasa, melainkan meluas dengan liputan bentuk, makna, dan konteks di dalamnya. Penyebutan nama banyak ahli dari Amerika pada uraian historis singkat di atas mungkin dapat memberi kesan bahwa Amerika merupakan pionir dalam pemberhasilan pengintegrasian pragmatik ke dalam kerangka kajian bidang linguistik. Kesan semacam itu seyogianya tidak demikian apabila perkembangan linguistik dilihat dari wawasan kesejarahan yang lebih luas. Sepintas memang ada benarnya bahwa di antara banyak bidang kajian, linguistik banyak diwarnai oleh Amerika. Namun, perlu diingat pula bahwa tidak sedikit ahli bereputasi besar dari luar (aliran) Amerika yang relatif jauh sebelum tahun 1970-an telah menekankan perlunya kajian makna situasional dalam kajian linguistik. J.R. Firth, misalnya, adalah nama linguis kawakan dari Inggris yang memiliki pandangan seperti itu. Firth (1935) dengan jelas menyatakan bahwa semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna, dan semua makna merupakan fungsi dalam konteks (Halliday & Hasan, 1992:10). Demikian juga dengan Halliday (1969), secara komprihensif telah memaparkan teori sosialnya mengenai bahasa. Pelibatan teori sosial ke dalam pengkajian bahasa, seperti yang dikembangkan oleh Halliday, memberi kejelasan bahwa kajian makna bahasa tidak lepas dari dengan memperhitungkan manusia dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Nama-nama lain dari luar Amerika yang sudah cukup lama akrab dengan kajian pragmatik adalah, seperti: Austin, Searle, dan Grice. Malah, melalui perkenalan

dengan teori kebahasaan merekalah terinspirasinya linguis Amerika, seperti Lakoff, Ross, untuk memasuki ranah kajian pragmatik sebelum tahun 1970-an. Ketertarikan minat orang untuk mengetahui lebih jauh ihwal pragmatik disertai pula dengan upaya-upaya pengkajian intens dalam bidang yang sama, seperti yang dilakukan oleh Horn, Fillmore, dan Gazdar pada tahun 1970-an. Tampil dan terbitnya buku teks Levinson (1983) yang berjudul Pragmatics, tercatat sebagai proklamasi sekaligus, yang menandai the coming of age of pragmatics discipline in its own right. Semenjak itulah, penelitian di bidang pragmatik berkembang pesat dan terus berlanjut (Huang, 2007:3). Dengan demikan, jangkauan linguistik yang semakin luas akibat bertambahnya bidang pragmatik di dalamnya, sekaligus membuat berubahnya pula persepsi orang akan hakikat maupun batasan bahasa. Hingga kini, bidang liputan linguistik, berdasarkan urutan kronologis kehadirannya dalam sejarah linguistik, adalah sebagai berikut, 1. fonetik/fonologi; 2. morfologi; 3. sintaksis; 4. semantik; 5. pragmatik. 2.3 Antara Semantik dan Pragmatik Hal yang perlu mendapat pembicaraan pada 2.3 ini adalah pembedaan antara semantik dan pragmatik. Keduanya merupakan sub-bidang linguistik yang memiliki

keterkaitan bidang kajian yang bersifat komplementer. Masing-masing berurusan dengan pengungkapan makna, yang disampaikan melalui wahana bahasa. Untuk kejelasan perbedaan antara keduanya, dapat dilakukan, misalnya, dengan memperhatikan penggunaan pronomina persona dia dalam tuturan Sudah bangun dia? Setidaknya perlu dua hal terdapat pada mitra tutur (pendengar) agar dia disebut paham akan makna dia pada tuturan di atas. Pertama, mitra tutur mengetahui bahwa dia dalam tuturan bahasa Indonesia tersebut memiliki makna sebagai orang ketiga tunggal yang diacu, bukan penutur ataupun mitra tutur. Kedua, mitra tutur mengetahui siapa orang yang dimaksud dia oleh penutur pada tuturan tersebut. Dari kedua hal yang disebutkan, yang pertama adalah bagian dari pengetahuan semantik, dan yang kedua sebagai kompetensi pragmatik. Pada hal yang pertama, untuk sampai kepada mengetahui makna unsur bahasa (seperti dia saja), mitra tutur cukup dengan berbekal pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja (dalam hubungan ini, semantik); sedangkan pada yang kedua, untuk sampai pada mengetahui yang dimaksudkan oleh penutur dalam menggunakan unsur bahasa (seperti untuk acuan dia yang tepat dalam tuturan tersebut), mitra tutur tidak cukup hanya dengan bermodalkan pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja, melainkan juga dengan pengetahuan umum (encyclopaedic knowledge) dari luar bahasa. Pengetahuan umum itu, seperti, informasi yang diperoleh tentang yang dituturkan sebelum saat tuturannya (Saeed, 2000:17-19). Uraian dengan contoh penggunaan unsur bahasa (dia) di atas memberi pengertian bahwa mengkaji makna satuan lingual secara internal merupakan tugas

bidang semantik, sedangkan pengkajian makna satuan lingual secara eksternal menjadi tugas bidang pragmatik. Pemberian makna dalam kajian semantik dapat dilakukan tanpa pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan tentang bahasa, sedangkan dalam kajian pragmatik, makna dapat ditentukan melalui pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan bahasa. Pengertian lain yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa pengkajian unsur bahasa dalam semantik ditujukan untuk mengetahui makna semata dari satuan lingual itu, sedangkan pengkajian unsur bahasa dalam pragmatik tujuannya untuk mengetahui maksud penutur dengan menggunakan unsur bahasa yang dituturkannya. Pembedaan antara semantik dan pragmatik di atas sejalan dengan pembedaan yang dibuat oleh Leech (1993:8-9). Menurutnya, perbedaan bidang semantik dengan prangmatik terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean. Apabila to mean itu berasal dari unsur bahasa, berarti terdapat hubungan diadik (dyadic) antara unsur bahasa dengan maknanya, dan apabila to mean berasal dari penutur dalam menggunakan unsur bahasa, berarti terdapat hubungan triadik (triadic), yaitu, antara penutur, unsur bahasa, dan maknanya. Makna dalam hubungan diadik adalah makna unsur bahasa yang digunakan, lepas dari penafsiran kontekstual dari penuturnya. Apabila unsur bahasa yang digunakan diganti dengan X, misalnya, rumusan pertanyaan untuk memperoleh makna diadik, menurut Leech, adalah What does X mean? (Apakah makna X itu?).

Makna dalam hubungan triadik adalah makna unsur bahasa yang diberi melalui pertimbangan kontekstual dari penuturnya. Rumusan pertanyaan untuk memperoleh makna triadik, dengan demikian, adalah What did you mean by X? (Apakah yang Anda maksudkan dengan X itu?). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ranah kajian semantik berada dalam lingkupan hubungan diadik, sedangkan kajian pragmatik berada dalam lingkupan hubungan triadik. Pengulangan kedua rumusan pertanyaan di atas, jika dikaitkan dengan pembedaan antara semantik dengan pragmatik, dapat diskemakan sebagai berikut. (1) What does X mean? = semantik (Apakah makna X itu?) (2) What did you mean by X? = pragmatik (Apakah yang Anda maksudkan dengan X itu?) (Bandingkan dengan Leech (1983)) Dengan demikian, rumusan terhadap masing-masing istilah, antara semantik dan pragmatik, dapat diturunkan dari pemahaman uraian di atas sebagai berikut. Semantik adalah sub-bidang linguistik yang mengkaji tentang makna unsur bahasa lepas dari pemaknaan kontekstual penggunanya, sedangkan pragmatik adalah subbidang linguistik yang mengkaji tentang makna dalam hubungannya dengan konteks tuturan.

2.4 Konteks Tutur Penyebutan konteks tutur pemunculannya sering ditemukan dalam kajian bahasa (linguistik), terutama dalam kajian pragmatik. Membuat rumusan konteks tutur yang tepat untuk penggunaan yang luas tentu tidak mudah karena apa saja yang menjadi komponen konteks tutur itu dapat berbeda di antara para ahli. Namun, sebuah rumusan konteks tutur, yang penulis anggap bercorak relatif moderat, dimuat di sini. Secara umum dapat dikatakan bahwa konteks tutur adalah faktor lingkungan dinamis sekitar yang relevan terhadap pemilihan bentuk dan penafsiran satuan lingual yang digunakan. Bandingkan dengan Huang (2007:13) yang merumuskan konteks tutur sebagai any relevant features of the dynamic setting or environment in which a linguistic unit is systematically used. Tentang konteks tutur terdapat juga pembagiannya, seperti yang dikemukakan oleh Ariel (Huang, 2007:13-14). Melihat sumbernya, dia membagi konteks tutur atas tiga jenis. Yang pertama hingga yang ketiga, masing-masing adalah: (1) konteks fisik (physical context), (2) konteks lingual (linguistic context), dan (3) konteks pengetahuan umum (general knowledge context) seseorang. Konteks (1) adalah lingkungan dinamis yang melatari tuturan, seperi partisipan (penutur dan mitra tutur), lokasi, dan waktu tuturan (Gasser, 2003). Mitra tutur sebagai konteks fisik, yang berperan (relevan) dalam pemilihan bentuk dan penafsiran maknanya, dapat dilihat, misalnya, pada penggunaan pronomina persona orang kedua tunggal kau pada Jangan kau datang lagi! Terpilihnya bentuk kau (bukan Anda, Tuan, Ayah, dsb.) pada tuturan terakhir, di atas, telah melalui pertimbangan sebelumnya dari penutur, siapa orang

yang menjadi mitra tuturnya. Penutur tidak akan menggunakan kau sebagai pilihan apabila orang yang menjadi mitra tutur, misalnya, ayahnya. Jadi, dalam hubungan ini, mitra tutur adalah konteks fisik di sekitar tuturan, yang melatari dan berpengaruh terhadap dipilihnya penggunaan kau oleh penutur untuk menyapa mitra tuturnya. Dari aspek pemaknaan, kau tidak dapat diberi atau ditentukan maknanya sebelum mengetahui siapa yang menjadi mitra tutur bagi penutur pada saat tuturan tersebut berlangsung (atau, siapa yang dimaksud oleh penutur dengan menggunakan kau dalam tuturannya). Dengan mengetahui siapa orang yang menjadi mitra tutur, misalnya Budi (konteks fisik), barulah dapat ditentukan makna bentuk unsur lingual kau. Konteks jenis (2) adalah unsur-unsur lain dari bahasa itu sendiri yang melatari bentuk lingual yang digunakan. Apa yang disebut sebelum saat tuturan, misalnya, berpengaruh dalam pemilihan dan penentuan makna unsur bahasa yang digunakan. Unsur bahasa dia pada tuturan tanya dari Budi kepada Ali berikut ini, misalnya, pilihan penggunaannya, oleh Budi (sebagai mitra tutur), didasarkan pada konteks lingual yang dihasilkan oleh Ali (sebagai penutur) sebelum saat tuturan dia oleh Budi. Pilihan Budi menggunakan dia (bukan engkau, saya, dsb.) dipengaruhi oleh pertimbangan bahwa bentuk lingual yang sesuai untuk mengacu orang ketiga tunggal (Mira) yang dituturkan oleh Ali adalah dia. Dalam penentuan makna terhadap dia, konteks lingual yang sama, yang dituturkan oleh Ali sebelumnya, juga memiliki pengaruh. Terhadap dia, yang dituturkan Budi (sebagai penutur) dapat ditentukan maknanya oleh Ali (sebagai mitra

tutur) setelah mengetahui bahwa yang Budi maksudkan dengan dia adalah Mira, yang terdapat pada tuturan (konteks lingual) sebelumnya. Ali : Mira sudah datang. Budi : Mana dia? Konteks jenis (3) merupakan latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai anggota dari masyarakat yang sama. Dengan kesamaan latar belakang pengetahuan itu penutur mengasumsikan bahwa mitra tutur akan dengan persepsi yang sama dengan penutur terhadap yang hendak dituturkan. Atau, dengan kata lain, apa yang hendak dituturkan oleh penutur diyakini akan dapat dimaknai mitra tutur sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Terhadap uraian yang baru disebutkan, Gibbs (Saeed, 2000:185) membuat bentuk sebuah rumusan. Apabila S = Penutur (Speaker), P = Proposisi (proposition), dan A = Mitra Tutur (Addressee), rumusannya adalah sebagai berikut. S and A mutually know a proposition P, if and only if : S knows that P A knows that P S knows that A knows that P A knows that S knows that A knows that P,... and so on.

Sebagai bukti bahwa antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sebuah proposisi, dapat dilihat pada komunikasi antara A dengan B, yang Saeed contohkan sebagai berikut. A : B : A : Shall we go and get some ice cream? I m on a diet. Oh, okay. Dapat dikatakan bahwa proposisi (P) yang diketahui secara bersama oleh penutur dan mitra tutur itu adalah, Diet itu berpantang es krim (karena sarat lemak). Keberlangsungan komunikasi terakhir, di atas, menandakan bahwa B tahu akan proposisi itu, dan yakin bahwa A juga mengetahuinya. Oleh karena A dapat memaklumi alasan (penolakan) B, berarti A juga mengetahui proposisi itu. Lebih jauh adalah, A juga mengetahui bahwa B tahu bahwa A mengetahui P itu. Kesamaan latar belakang pengetahuan umum pada penutur dan mitra tutur, seperti yang disebutkan, berpengaruh terhadap keberlangsungan komunikasi antara partisipan tutur. Soal ada-tidaknya keberlangsungan komunikasi antara partisipan tutur, dalam bahasa populernya, masing-masing disebut dengan istilah nyambung dan tidak nyambung. Pada perkembangan selanjutnya, pengertian konteks tutur berupa latar belakang pengetahuan umum dibedakan oleh Clark (Huang, 2007:14) dengan membaginya kepada dua jenis pengetahuan, masing-masing, pengetahuan umum masyarakat (communal common ground) dan pengetahuan umum perorangan

(personal common ground). Pengetahuan jenis pertama merupakan pengetahuan yang sama yang melatarbelakangi setiap anggota suatu masyarakat, sedangkan pengetahuan jenis kedua berupa pengetahuan yang melatarbelakangi anggota-angota tertentu dari suatu masyarakat, yang mereka peroleh dari pengalaman masa lalu mereka. 2.5 Urgensi Deiksis Pada mulanya istilah deiksis (deixis), dari bahasa Yunani Kuno deiknymi (Saeed, 2000:173), dipersepsi sebagai pengacuan dengan isyarat. Bagian dan gerakan tertentu dari anggota tubuh penutur digunakan untuk mengacu sesuatu yang dimaksudkannya. Pengarahan (jari) tangan kepada sesuatu yang dimaksudkan adalah salah satu contoh cara pengacuan dengan menggunakan isyarat bagian tubuh. Pengacuan seperti itu, menurut Lyons (1995:303-304), boleh jadi merupakan cara alami manusia sejak dini (proto-form of reference (Bohnemeyer, 2006)) dalam mengidentifikasi apa yang dimaksudkannya. Ditambahkan bahwa cara pengacuan seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai budaya dunia. Dengan mengambil analogi dari kenyataan di atas, Lyons sampai kepada satu kesimpulan bahwa setiap ekspresi lingual yang memiliki fungsi yang sama dengan fungsi mengacu yang terdapat pada isyarat anggota tubuh, seperti disebutkan di atas, sifatnya deiktis. Bentuk-bentuk pronomina persona dan demonstrativa adalah termasuk ke dalam jenis ekspresi lingual yang jelas memiliki kesamaan fungsi dengan penggunaan bagian tubuh, seperti (jari) tangan, untuk mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dibuktikan, misalnya, dengan mengacukan tangan kita kepada diri sendiri sambil

menyebut merasa puas, tanpa menyebutnya secara lengkap, yakni dengan Saya merasa puas. Untuk tidak menyebut Gambar itu kabur secara lengkap, kita dapat menyampaikan maksud yang sama dengannya, hanya dengan menyebut Gambar kabur, seraya mengacu dengan menggunakan jari telunjuk, misalnya, ke arah gambar tertentu yang tergantung di dinding. Dari Yule (1996:9) diperoleh juga penjelasan terkait dengan fungsi deiksis. Menurutnya, salah satu hal yang amat penting sehubungan dengan penggunaan bahasa adalah deiksis. Istilah deiksis, secara bersahaja, dia maknai sebagai upaya pengacuan melalui penggunaan bahasa (pointing via language). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk lingual yang memiliki fungsi demikian (mengacu/menunjuk) disebut ekspresi deiksis. Kata itu dalam bentuk tuturan tanya Apa itu?, misalnya, adalah ekspresi deiksis, yang digunakan untuk mengacu kepada sesuatu yang relatif jauh dari penuturnya. Deiksis termasuk salah satu fenomena bahasa yang universal karena ekspresiekspresi deiksis dapat ditemukan pada semua bahasa manusia. Tentang mengapa demikian halnya dapat diperoleh jawabannya, misalnya dari Huang (2007:132), yang memberi penjelasan bahwa melakukan komunikasi melalui wahana bahasa di antara sesama penggunanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa kehadiran deiksis di dalamnya. Pendapat senada dengan Huang tentang urgensi deiksis dalam penggunaan bahasa terdapat juga dalam Bohnemeyer (2006). Guna menguat yakinkan orang akan urgensi tersebut, dia mengajak agar kita menentukan satu objek apa saja di sekitar kita,

kemudian mencoba menjelaskannya kepada mitra tutur tanpa melibatkan penggunaan deiksis. Apabila dalam upaya menjelaskan tersebut ternyata mengalami kendala, hal itu memberi bukti bahwa pendapat di atas benar. Artinya, penggunaan bahasa untuk menjelaskan sesuatu (dunia) dapat terkendala, contoh pada 1.4, apabila tidak disertai pelibatan penggunaan deiksis di dalamnya. Urgensi pelibatan penggunaan deiksis demikian dalam komunikasi lingual terkait dengan fungsi deiksis itu sendiri. Setidaknya, menurut Bohnemeyer, deiksis memiliki tiga fungsi dalam penggunaan bahasa. Ketiganya adalah, (1) menghadirkan acuan yang dimaksud (dengan versi yang berbeda) ke dalam tuturan, (2) membuat spesifikasi di antara sejumlah kemungkinan acuan dalam konteks tutur, dan (3) menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur. Fungsi (1) adalah fungsi yang juga dapat ditemukan pada unsur lingual pada umumnya (termasuk yang non-deiktis). Namun, dua fungsi yang terakhir ((2), (3)) hanya terdapat pada unsur lingual yang bersifat deiktis saja. 2.6 Deiksis Dari Sejumlah Ahli Pengertian deiksis telah banyak diberikan oleh para ahli bahasa yang akrab dengan kajian pragmatik. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan deiksis itu, sejumlah pengertian yang relevan dimuat pada bagian berikut ini. Dari penjelasan Levinson (1983:54) diperoleh pengertian bahwa sejatinya deiksis memperhatikan cara bahasa mengkodekan esensi konteks dan peristiwa tutur

ke dalam gramatika. Selain itu, deiksis juga memperhatikan bagaimana memaknai tuturan melalui pengkajian konteks tuturan tersebut. Selengkapnya, penjelasan Levinson itu dikutip sebagai berikut. Essentially deixis concerns the ways in which languages encode or grammaticalize features of the context of utterance or speech event, and thus also concerns ways in which the interpretation of utterances depends on the analysis of that context of utterance (Levinson, 1983:54). Penjelasan Levinson di atas menunjukkan terdapatnya tiga tahapan proses dalam deiksis. Prosesnya, pada tahapan pertama, adalah mengkodekan lebih dahulu esensi konteks ataupun peristiwa tutur ke dalam bentuk gramatika. Esensi konteks itu adalah makna atau apa yang dipersepsi oleh penutur dari konteks. Pada tahapan kedua, bentuk gramatikal dengan muatan makna direalisasikan dalam wujud ekspresi lingual, yang selanjutnya, sebagai tahapan ketiga, dimaknai oleh mitra tutur menurut pemahamannya terhadap konteks yang melatari dihasilkannya ekspresi lingual tersebut. Pemaknaan berdasarkan pemahaman konteks tutur tidak berlangsung acak, melainkan dengan keharusan melakukannya secara bersistem (systematically). Penegasan akan hal itu dikemukakan kemudian oleh Levinson dalam definisi deiksisnya, yang di dalamnya ditegaskan sekaligus bahwa deiksis adalah fenomena lingual, whereby some linguistic expressions are systematically dependent on the context for their interpretation (Levinson, 2006a:2). Ketergantungan pemahaman konteks tutur secara sistematis untuk memaknai ekspresi lingual dicontohkannya

dengan mengemukakan bentuk tuturan tulis Meet me here a week from now with a stick about this big. Dengan menemukan dan membaca tuturan tertulis itu saja, tanpa memahami konteks relevan dihasilkannya tuturan tersebut, kita tidak mengetahui siapa yang harus ditemui, di mana, kapan, serta sebesar apa tongkat yang harus dibawakan menurut orang yang menghasilkan tuturan itu. Demikian juga halnya dengan I ll be back in an hour. Tanpa mengetahui kapan tuturan tulis itu dihasilkan (dituliskan), kita tidak dapat mengetahui kapan akan kembalinya orang yang membuat tuturan tulis tersebut. Saeed, yang juga melihat peranan urgensif dari pemahaman konteks tutur dalam memaknai ekspresi lingual, menjelaskan adanya keterikatan ekspresi dengan konteks. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa unsur lingual yang terikat konteks seperti itu sifatnya deiktis. Elements of language that are so contextually bound are called deictic (Saeed, 2000:173). Dari pejelasan Saeed di atas dapat dikatakan bahwa unsur lingual, seperti me/i, here, now, this, in an hour, pada dua contoh tuturan tulis terakhir adalah ekspresi deiksis karena untuk memaknai unsur-unsur lingual tersebut diperlukan bantuan informasi kontekstual (seperti, siapa yang menghasilkan tuturan, di mana dan kapan unsur-unsur lingual tersebut dihasilkan). Berkenaan dengan konteks tutur, faktor terkait dan menentukan di dalamnya, menurut Gasser (2003), pada pokoknya adalah penutur, pendengar, tempat, dan waktu. Untuk mengilustrasikan maksud konteks tuturan, Gasser mengambil kalimat bahasa Inggris I like it sebagai contoh, yang dalam hubungan ini, dia sebut sebagai tuturan

yang berlainan apabila disampaikan pada saat yang berbeda. Hal ini memberi pengertian bahwa setiap penuturan memiliki konteks sendiri, dan pada setiap konteks yang berbeda unsur lingual yang sama hadir dengan makna yang berbeda pula. Singkatnya, makna akan selalu berubah dari konteks tuturan yang satu ke konteks tuturan yang lain. Pemahaman konteks tuturan, Gasser permudah dengan membagankan faktor-faktor yang berperan dalam terbentuknya konteks tutur, sebagai berikut. Bagan 01: Konteks tutur Utterance F o r m Speaker Hearer Location T i m e Sumber: Gasser (2003) Setiap bagian pada bagan 01, berupa kotak, pada bagan di atas adalah gatra peran (role) dalam konteks (lihat juga Jaszczolt, 2006) yang dapat ditempati oleh siapa atau apa saja dalam situasi yang berbeda-beda. Misalnya, gatra penutur ditempati oleh orang tertentu, dan gatra tempat oleh tempat tertentu.

Terkait dengan ihwal deiksis pada kalimat di atas ( I like it ), unsur I acuannya dapat ditentukan dari konteks tuturan, yang dalam hubungan ini, siapa yang mengisi kotak gatra peran penutur (speaker). Jika yang mengisi gatra tersebut, misalnya, Mara (pria), maka dapat ditentukan bahwa acuan unsur I adalah Mara. Acuan unsur I selanjutnya dapat juga berpindah, misalnya, pada Mawa (wanita), apabila yang mengisi kotak gatra peran pada bagian di atas adalah wanita dengan nama tersebut. Bergantinya acuan ekspresi lingual yang sama disebabkan perubahan konteks terdapat juga pada it. Acuan it dapat berupa benda atau hal yang tidak sama apabila pengisi gatra peran tempat (location) terdiri dari tempat yang berbeda secara bergantian. Dukungan peranan konteks dalam penentuan makna ekspresi lingual tidak terbatas hanya dari satu faktor konteks tuturan tertentu saja, melainkan dapat juga dari kombinasi dua faktor atau lebih. Untuk penentuan acuan ekspresi lingual it di atas, misalnya, dapat dilakukan dengan mengetahui faktor konteks berupa penutur dan tempat sekaligus, yang dalam hubungan ini, siapa yang menjadi penutur serta di mana penutur mengekspresikan it tersebut. Dari contoh pemaknaan I dan it, dalam kaitannya dengan konteks tutur, Gasser memadai penjelasannya dengan memberi pengertian tentang (ekspresi) deiksis. Ekspresi deiksis, menurutnya, adalah ekspresi yang maknanya diperoleh langsung dari konteks tuturan. Artinya, makna ekspresi dapat ditentukan setelah mengetahui faktor relevan yang diacu dalam konteks tutur, yang terdiri dari: penutur, mitra tutur, lokasi, dan waktu. Adapun istilah deiksis, adalah merupakan bentuk nomina dari deiktis.

Tentang ekspresi deiksis dan istilah deiksis tersebut, Gasser menjelaskan sebagai berikut. [... ] deictic expression, an expression that gets its meaning directly from the utterance context, that make reference to one or more of the roles in the utterance context: the speaker, the hearer, the location, or the time. The noun form of the word is deixis (Gasser, 2003). Ahli lain yang memberi pengertian tentang deiksis adalah Huang (2007:132). Dalam bukunya Pragmatics, dinyatakan bahwa deiksis, secara langsung, memperhatikan hubungan antara struktur bahasa dengan konteks penggunaannya. Dari pernyataan singkatnya Huang selanjutnya merumuskan deiksis sebagai fenomena yang menunjukkan bahwa esensi konteks atau peristiwa tutur dikodekan melalui bentuk leksikal ataupun satuan gramatikal lain dari suatu bahasa. Penjelasan singkat dan rumusan Huang itu selengkapnya dikutip sebagai berikut. Deixis is directly concerned with the relationship between the structure of language and the context in which the language is used. It can be defined as the phenomenon whereby features of context of utterance or speech event are encoded by lexical and/or grammatical means in a language (Huang, 2007:132).

Terdapat hal implisit dan eksplisit dalam penjelasan dan rumusan deiksis Huang di atas. Dari keimplisitannya, tidak terlihat adanya tahapan proses deiksis setelah pengkodean makna ke dalam bentuk gramatika. Setelah penggramatikalan makna, seyogianya terdapat proses perealisasian bentuk-bentuk gramatikal ke dalam wujud ekspresi lingual, yang selanjutnya diikuti oleh upaya pemaknaan berdasarkan pemahaman konteks tuturan (bandingkan dengan Levinson, 1983:54). Keeksplisitannya terdapat pada pembedaan kemungkinan pengkodean makna ke dalam bentuk leksikal di samping bentuk-bentuk gramatikal lain dari satuan bahasa. Hal terakhir memberi pengertian bahwa kedeiktisan ekspresi lingual dapat terjadi pada tataran kata atau frasa (Kridalaksana, 1982:98), dan mungkin juga pada tataran satuan lingual lainnya yang lebih tinggi, seperti kalimat. Pengertian mendasar yang dapat diambil dari penjelasan dan rumusan keempat ahli di atas, antara lain, adalah: (1) deiksis merupakan fenomena lingual, (2) dalam deiksis terdapat pelibatan konteks dalam pemilihan bentuk ekspresi lingual yang akan dituturkan, (3) dalam deiksis terdapat pelibatan pemahaman konteks dalam penentuan makna bentuk ekspresi lingual yang telah dituturkan, (4) pemilihan bentuk ekspresi lingual dan pemaknaannya berlangsung secara sistematis, (5) pemahaman konteks adalah dalam arti luas untuk menentukan makna ekspresi lingual yang dituturkan. Dari kelima pengertian yang menjadi ciri deiksis di atas masih terlihat belum adanya pembedaan yang jelas antara deiksis dengan referensi (reference) sebab kelima

ciri yang terdapat dalam deiksis para ahli tersebut juga merupakan ciri yang dimiliki referensi. Oleh karena itu, untuk memperoleh rumusan deiksis atau ciri lain yang dapat dioperasikan sebagai penjaring ekspresi deiksis dari tuturan, perlu pembedaan lebih dahulu antara referensi dan deiksis. 2.7 Antara Referensi dan Deiksis Dalam kajian pragmatik, referensi dan deiksis dipandang sebagai fenomena pengacuan secara lingual terhadap sesuatu agar mitra tutur atau pembaca dapat mengidentifikasinya. Sebatas itu, antara referensi dengan deiksis, belum terlihat perbedaan. Letak perbedaan keduanya justru terdapat pada keluasan ranah pengacuan masing-masing. Referensi memiliki ranah pengacuan yang lebih luas, yang meliputi sesuatu yang tentu (definite referent), yang tidak tentu (indefinite referent), dan yang umum (generic referent); sedangkan deiksis pengacuannya terbatas hanya terhadap yang tertentu saja (Kreidler, 1998:130-144; Cruse, 2004:317-328). Dari penjelasan di atas terlihat bahwa deiksis adalah bagian dari pengacuan (reference). Benar demikian halnya, tetapi pengacuan dalam deiksis adalah pengacuan yang terikat kepada konteks penutur. Untuk memaknai atau mengetahui acuan ekspresi deiksis (deictic expression) yang digunakan sebagai pengacu sesuatu yang tertentu itu, perlu pemahaman konteks yang lebih luas, yakni konteks socio-personal maupun spatio-temporal-lingual penutur yang senantiasa dapat berubah (lihat juga Levinson, 1983:65). Dalam hubungan ini, dapat dimengerti jika terdapat sebutan bahwa makna

ekspresi deiksis adalah makna menurut perspektif penutur yang dapat berubah-ubah menurut keberadaan penutur dalam konteks yang baru disebutkan. Untuk mengetahui makna atau acuan kata sapaan paman, misalnya, kita harus memperhatikan terlebih dahulu terhadap siapa penutur mengacukan kata sapaan tersebut pada saat dituturkan dalam konteks sosial penutur berada. Jika penutur mengacukan kata sapaan tersebut terhadap C pada saat tuturan, maka makna atau acuan kata sapaan paman adalah C, dan jika penutur, pada kesempatan lain, menggunakannya terhadap X, maka acuannya adalah X. Kata engkau juga demikian, acuannya dapat berubah-ubah sesuai maksud penutur menggunakannya dalam konteks antar-personalnya yang berbeda. Jika mitra tutur atau orang kedua tunggal yang diacunya dengan engkau adalah A, maka pada saat tuturan tersebut, acuannya adalah A, dan apabila pada kesempatan lain penutur menggunakannya terhadap Y, maka pada saat tuturan tersebut acuannya adalah Y. Adverbia sekarang, juga dapat berubah-ubah acuannya sesuai maksud penutur dalam konteks temporalnya. Apabila penutur, misalnya, menuturkan adverbia tersebut pada tanggal 14 Mei 2010, acuannya pada saat tuturan adalah hari yang sama atau waktu tertentu pada hari yang sama, dan jika penutur menggunakannya pada dua hari sesudahnya, acuannya adalah hari yang berbeda, yakni hari Ahad, tanggal 16 Mei 2010. Demikian seterusnya terhadap pemaknaan ekspresi deiksis dari jenis lain. Pemaknaannya tetap dengan memperhatikan maksud penutur pada saat menuturkan ekspresi deiksis tersebut dalam konteks penggunaan masing-masing.

Adanya keharusan pemahaman konteks tutur untuk dapat ditetapkannya acuan suatu ekspresi memberi pengertian pula bahwa setiap ekspresi lingual yang acuannya dapat diketahui tanpa keharusan pemahaman konteks tutur sifatnya tidak deiktis, walaupun ekspresi pengacu yang digunakan tersebut termasuk ke dalam kategori ekspresi deiksis. Hal demikian yang terdapat, misalnya, pada demonstrativa ini pada tuturan Ini boleh Anda ambil. Unsur ini pada tuturan tersebut adalah ekspresi lingual yang bersifat deiktis karena untuk mengetahui acuannya perlu pemahaman konteks tuturnya. Dalam hubungan ini, perlu diketahui siapa penutur serta apa yang dimaksudkannya dengan ini pada saat menuturkan tuturan tersebut. Ekspresi yang sama dapat juga tidak deiktis. Hal demikian terjadi apabila, seperti yang disebutkan di atas, acuannya dapat diketahui tanpa pelibatan pemahaman konteks tuturnya, seperti terdapat pada Anak berparut di kening ini saya temukan di simpang jalan tadi. Tanpa pelibatan pemahaman konteks tuturnya dapat ditetapkan bahwa acuan ekspresi lingual ini pada tuturan terakhir tidak lain adalah anak berparut di kening. Dari pemahaman penggunaan ekspresi lingual ini pada dua tuturan di atas diperoleh informasi bahwa kedeiktisan suatu ekspresi tidak dapat ditetapkan hanya dari kategori atau kepotensialannya sebagai ekspresi deiksis saja. Ekspresi lingual yang dikategorikan sebagai ekspresi deiksis pun sifatnya dapat berubah menjadi non-deiktis karena acuannya dapat diketahui tanpa ketergantungan kepada pelibatan pemahaman konteks tutur, seperti yang terjadi pada ini dalam tuturan terakhir di atas.

Hal lain yang membuat ekspresi deiksis dapat berubah sifat menjadi non-deitis, dengan mengikut penjelasan Levinson (1983:65-67), adalah, apabila ekspresi tersebut (1) tidak mengacu secara khusus kepada acuan tertentu, (2) tidak digunakan sebagai pengacu sesuatu. Atas dasar itu kedua ekspresi yang dikategorikan sebagai ekspresi deiksis dalam bahasa Inggris, you dan that, misalnya, masing-masing sifatnya nondeiktis, menurut Levinson, pada tuturan You can never tell what sex they are nowadays dan Oh, I did this and that. Pada tuturan pertama, unsur you tidak mengacu secara khusus kepada acuan tertentu, berupa mitra tutur tunggal, melainkan kepada semua orang. Oleh karenanya, you pada tuturan pertama tersebut bersifat non-deiktis. Pada tuturan kedua, unsur that tidak digunakan sebagai pengacu sesuatu yang berjarak relatif jauh kepada penutur, melainkan sebagai bagian dari rangkaian idiom this and that, yang menyatakan volume kerja atau tugas yang telah dilakukan oleh penuturnya. Oleh karenanya, that pada tuturan kedua, juga, non-deiktis sifatnya. Berbeda halnya dengan ekspresi you dan that pada kedua tuturan di atas, pada kedua tuturan What did you say? dan That s a beautiful view, masing-masing dari kedua unsur tersebut bersifat deiktis karena digunakan untuk mengacu secara khusus kepada sesuatu yang tertentu. You pada tuturan tanya di atas, oleh penuturnya, diacukan kepada orang kedua tunggal, yang menjadi mitra tutur baginya; sedangkan that pada tuturan terakhir penuturnya gunakan untuk mengacu yang tentu, yakni, pemandangan yang lokasinya relatif jauh dari penuturnya berada pada saat tuturan. Sejauh ini, tentang siapa orang kedua tunggal tertentu yang menjadi acuan you dan

pemandangan tertentu mana yang diacu dengan that belum diketahui secara jelas. Hal itu disebabkan oleh berbagai kemungkinan acuan berupa orang dan pemandangan yang dapat diacu dengan masing-masing ekspresi tersebut. You dan that, dalam hubungan ini, adalah ekspresi yang acuannya dapat berpindah-pindah. Untuk mengetahui dan dapat menetapkan acuannya diperlukan pemahaman konteks lagi, yakni terhadap konteks tutur masing-masing. Untuk you termasuklah, di antaranya, siapa orang kedua tunggal yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menuturkan ekspresi pengacu tersebut; sedangkan untuk that, pemandangan mana yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menuturkannya. Ketergantungan kepada pemahaman konteks tutur untuk dapat menetapkan acuan yang jelas kedua ekspresi you dan that menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa keduanya adalah ekspresi lingual yang bersifat deiktis pada masing-masing tuturan terakhir di atas. Jika dielaborasi, hal yang menjadi ciri deiksis dari penjelasan di atas adalah: (1) deiksis adalah fenomena pengacuan bersifat lingual, (2) dalam deiksis terdapat ekspresi pengacu (referring expression) terhadap acuan yang dimaksud, yang disebut ekspresi deiksis, (3) acuan ekspresi deiksis dapat berpindah-pindah, (4) perpindahan acuan ekspresi deiksis disebabkan oleh perubahan konteks sosio-personal maupun spasio-temporal, dan lingual penuturnya. Dari keempat ciri deiksis di atas penulis dapat mengambil satu kesimpulan berupa rumusan deiksis yang dapat dijadikan sebagai kriteria dasar dalam melihat deiktis-tidaknya ekspresi lingual. Rumusannya, deiksis adalah fenomena pengacuan

secara lingual yang acuan ekspresi pengacunya dapat berpindah-pindah sesuai konteks sosio-personal maupun spasio-temporal-lingual penutur atau penulisnya. Berkenaan dengan keperluan akan kriteria penentuan deiktis-tidaknya ekspresi lingual, ciri lain deiksis yang dinilai relevan dan bermanfaat dalam penelitian ini, turut dimuat pada bagian berikut ini. 1. Ekspresi deiksis pemaknaannya bergantung konteks (Levinson, 1983:66). 2. Ekspresi deiksis bersifat speaker-oriented. Makna atau acuannya adalah yang dimaksudkan oleh penutur (Huang, 2007:11). 3. Ekspresi deiksis tidak dapat diparafrasekan (Levinson, 2006b:14) 4. Ekspresi deiksis dapat digunakan untuk mengacu dengan zero comple- ment (Cruse, 2004:338). 2.8 Kajian Sebelumnya Pengkajian deiksis telah tergolong lama. Tercatat bahwa sejak periode Yunani deiksis sudah menjadi objek kajian, utamanya oleh bidang filsafat. Namun, sebagai objek kajian ilmiah dari perspektif linguistik, deiksis baru beroleh tempat pada periode Buhler (1930). Mulanya, terdapat tiga jenis deiksis liputan yang oleh Buhler (Calcagno, 2003) dipandang sebagai jenis deiksis utama (main kinds of deixis). Ketiga

jenis deiksis itu, masing-masing, adalah deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu (temporal deixis), dan deiksis persona (personal deixis). Dalam perkembangan selanjutnya, Levinson (1983:85-94) memperkenalkan dua lagi jenis deiksis, yang masing-masing berupa deiksis sosial (social deixis) dan deiksis wacana (teks) (discourse (text) deixis) (Imai, 2003:6). Di Indonesia, sejauh pengamatan penulis, hingga periode tahun sembilan puluhan, liputan kajian deiksis masih berada pada seputar tiga jenis deiksis, berupa deiksis orang (personal deixis), deiksis tempat (spatial deixis), dan deiksis waktu (temporal deixis). Kenyataan itu terindikasi pada dua hasil penelitian tentang deiksis yang masing-masing dilakukan oleh Purwo (1984) dan Rahyono (1992). Pada hasil penelitian Purwo, yang termuat dalam disertasinya Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, dan Rahyono dalam tesisnya Makna Invarian Ekspresi Deiktis Dalam Bahasa Jawa, bahasan yang dilakukan pada pokoknya masih berada pada seputar tiga jenis deiksis pertama yang tersebut di atas. Antara Purwo dengan Levinson, yang menunjukkan bahwa yang pertama tampil kurang lebih setahun kemudian setelah yang kedua, dapat memberi tafsiran, seyogianya dalam disertasi Purwo tersebut terliput juga hasil kajian tentang dua jenis deiksis terakhir (deiksis sosial dan deiksis wacana) yang termuat dalam Levinson (1983). Namun, tidak terdapatnya Levinson (1983) dalam rujukan pustaka Purwo (1984) menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa dua jenis deiksis terakhir belum

dikenal, atau informasinya tidak selengkap untuk tiga jenis deiksis pertama di masa Purwo (1984). Adapun yang menyusul kemudian, Rahyono (1992) dalam penelitian tesisya, tampak belum seutuhnya menambahkan kedua jenis deiksis terakhir yang disebutkan ke dalam liputan kajiannya, sekalipun dalam daftar kepustakaan tesisya tersebut tercantum Levinson (1983). Dalam hubungan ini, menurut hemat penulis, tidak terintegrasikannya kedua jenis deiksis terakhir sebagai liputan pengkajian dalam Rahyono (1992) tidak lagi disebabkan oleh tidak ada atau minimnya informasi tentang keduanya, tetapi oleh pengambilan sikap yang termotivasi oleh disertasi Purwo (1984) -- untuk menerapkannya dalam penulisan semantik bahasa Jawa (Rahyono, 1992:2). Dua jenis deiksis tambahan Levinson yang disebutkan dapat dikatakan penerapannya tergolong relatif masih baru dalam literatur kajian linguistik Indonesia. Hal itu dapat dilihat setelah tahun dua ribuan, seperti pada yang dilakukan oleh Harahap dalam penelitian tesisnya yang berjudul Analisis Deiksis dalam Bahasa Jerman, di bawah bimbingan Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.. Pada tesisnya tersebut, Harahap telah memasukkan deiksis sosial dan deiksis wacana sebagai bagian integral dari liputan penelitiannya. Hingga sekarang ini pengintegrasian kedua jenis deiksis tersebut ke dalam kajian deiksis secara menyeluruh bersama ketiga jenis deiksis yang disebut sebelumnya, atau dengan menetapkan salah satu di antaranya sebagai objek kajian belum pernah dilakukan dalam wujud penelitian disertasi. Dalam penelitian ini penulis menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di atas sebagai objek

penelitian dalam bahasa Mandailing. Penulis tidak membatasinya hanya pada tiga jenis deiksis liputan, yang oleh Buhler dipandang sebagai main kinds of deictics atau sebagai basic categories of deixis (Huang, 2007:136), yakni deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu, tetapi terliput juga di dalamnya deiksis sosial dan deiksis wacana. Dari kedua jenis deiksis yang tergolong masih baru tersebut, di samping deiksis wacana, pengintegrasian deiksis sosial dalam kerangka penelitian ini sifatnya tampak amat relevan. Aspek sosial bahasa Mandailing dengan keunikannya, terutama yang menyangkut sistem sapaan, adalah ranah yang cukup menarik untuk dikaji melalui deiksis tersebut. Di samping penggunaan kata ganti persona sebagai kata sapaan pada umumnya, dalam bahasa Mandailing, ditemukan juga jenis kata sapaan lain yang dapat menunjukkan sekaligus relasi sosial atau pertalian kekerabatan yang terdapat antara penutur dengan sesama orang yang disapa. Penggunaan kata sapaan demikian dapat terlaksana sedemikian rupa, sehingga peserta yang terlibat dalam komunikasi pertuturan mengetahui posisi masing-masing dalam konstalasi sistem sosial yang berlaku. Selain itu, dengan memahami penggunaan kata sapaan tertentu, masing-masing peserta yang terlibat dalam pertuturan akan dapat menjadikannya sebagai dasar untuk bersikap tertentu pula terhadap sesama peserta tutur yang lain. Implikasi penggunaan kata sapaan semacam itu pada kenyataannya tidak terhenti dan terbatas hanya pada saat komunikasi percakapan, melainkan berlanjut sampai kepada kegiatan atau upacara

lain yang bernuansa sosial. Bagi masyarakat penutur bahasa Mandailing unsur bahasa yang demikian adalah termasuk sesuatu yang syarat ideologi, karena kata sapaan mengandung nilai atau pengetahuan tertentu yang dapat dipedomani dalam kehidupan sosial, baik di luar maupun dalam lingkup keluarga (lihat juga Poynton, 1985:17; Kress, 1985:82-84). Dengan demikian, jenis deiksis liputan serta urutannya dalam penelitian ini dapat diperjelas melalui bagan 02. Penelitian ini berada pada tataran kata atau frasa dengan fokus perhatian, bagaimana masing-masing digunakan. Bagan 02: Jenis deiksis liputan penelitian DEIKSIS DEIKSIS PERSONA 1 DEIKSIS TEMPAT 2 DEIKSIS WAKTU 3 DEIKSIS SOSIAL 4 DEIKSIS WACANA 5 2.9 Kerangka Teori Kerangka teori yang digunakan untuk masing-masing jenis deiksis pada subbagian (2.9.1 s/d 2.9.5) dimaksudkan sebagai perangkat bantu dalam memandu penulis dalam proses mewujudkan hasil penelitian ini. Kerangka teorinya berciri eklektif, tidak

berasal dari satu sumber yang sama. Hal demikian penulis lakukan mengingat bahwa kumulasi ilmu atau teori tentang deiksis, yang dapat diperoleh, bukan merupakan sumbangan kiprah ilmiah seorang ahli atau peneliti. Kerangka teori dari masingmasing jenis deiksis pada sub-bagian 2.9 dan definisi deiksis pada 2.7 beserta ciri-ciri deiksis dari para ahli yang dimuat di bawahnya saling terkait dan berinteraksi dalam penelitian ini. Tentang ekspresi lingual mana yang dapat digolongkan ke dalam kategori masing-masing jenis deiksis penentuannya dapat juga dilakukan, antara lain, melalui pemahaman penjelasan ahli relevan untuk itu. Sebelum sampai ke bagian teori masing-masing jenis deiksis ada baiknya penulis kemukakan lebih dahulu pendapat Kearns (2000:272-273) yang menyebutkan bahwa ekspresi deiksis adalah ekspresi-ekspresi yang penentuan acuannya dilakukan melalui pemahaman konteks tuturnya secara sistematis. Indexical expressions, also called deictic expressions are expessions which depend on the context of utterance in some systematic way for their inerpretation (Kearns, 2000:272). Ihwal terkait menurutnya yang perlu diperhatikan dalam pemahaman konteks tutur adalah informasi tentang penutur, mitra tutur, waktu dan tempat penuturan, serta posisi sang penutur; karena masing-masing bagian konteks tutur tersebut merupakan titik taut terhadap acuan yang dimaksud dalam tuturan. Artinya, untuk mengetahui acuan ekspresi lingual dilakukan dengan cara menautkannya dengan titik taut tersebut.