HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur karena

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Rataan Tebal Cangkang telur puyuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh

PENGARUH PENAMBAHAN BROMELIN,

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan telur yang tidak mengenal musim, keunggulan gizi dari telur dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil perhitungan skor warna kuning telur puyuh disajikan pada Tabel 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Menurut Whitaker and

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. telurnya. Jenis puyuh yang biasa diternakkan di Indonesia yaitu jenis Coturnix

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. unggas yang lain. Itik mampu mempertahankan produksi telur lebih lama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

TINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

PENDAHULUAN. Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Puyuh mengkonsumsi ransum guna memenuhi kebutuhan zat-zat untuk

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Performa Ayam Petelur Strain ISA-Brown Umur Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Tabel 8. Rataan Konsumsi Ransum Per Ekor Puyuh Selama Penelitian

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Telur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 28 April 2016 di CV.

II. TINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia berasal dari Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler tidak dibedakan jenis kelamin jantan atau betina, umumnya dipanen

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. japanese quail (Coturnix-coturnix Japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) ada juga yang menyebut siput

Kualitas Telur Pertama Burung Puyuh (Coturnix coturnix javonica) Dengan PemberianTepung Daun Pepaya (Carica papaya L) Dalam Ransum

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara khusus untuk diambil

III BAHAN DAN METODE. dan masing-masing unit percobaan adalah lima ekor puyuh betina fase produksi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

I. PENDAHULUAN. dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Wiharto (2002) a yam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk

PENDAHULUAN. semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong.

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi menyebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aaaaapuyuh secara ilmiah dikelompokkan dalam kelas Aves, ordo Galliformes,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PEMBERIAN TINGKAT PROTEIN DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix-coturnix japonica)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur. telur dihasilkan bobot telur berkisar antara 55,73-62,58 gram.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan menggunakan bahan pakan sumber kalsium (ISA, 2009). kerabang maka kalsium dapat diserap sampai 72% (Oderkirk, 2001).

1. PENDAHULUAN. Telur itik adalah salah satu pilihan sumber protein hewani yang memiliki rasa

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercapainya kecukupan gizi masyarakat (Sudaryani, 2003). Telur sebagai sumber

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang Peralatan dan Perlengkapan Pakan dan Air Minum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB III METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Alat yang Digunakan dalam Penelitian.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kampung Teras Toyib Desa Kamaruton

Pengaruh Suplementasi Selenium Organik (Se) dan Vitamin E terhadap Performa Itik Pegagan

PEMBERIAN JUS BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP KUALITAS FISIK TELUR BURUNG PUYUH SKRIPSI. Oleh ARIF PUJIYONO

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur yang digunakan adalah ayam petelur yang berumur 27

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS AWAL PENELURAN BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yaitu tipe pedaging, tipe petelur dan tipe dwiguna. Ayam lokal yang tidak

Gambar 1. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan tempat asal dari itik ini. Itik Tegal memiliki kelebihan dibanding

BAB I PENDAHULUAN. untuk mensejahterakan kehidupan makhluknya termasuk manusia agar dapat

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian delapan ekor puyuh. Faktor perbedaan cuaca dan jenis pakan serta stres transportasi mungkin menjadi penyebab kematian tersebut. Hal ini karena puyuh penelitian didatangkan dari Kota Sukabumi sehingga masih menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di Kota Bogor. Pengambilan data dilakukan setelah masa adaptasi. Pada saat pengambilan data dilakukan, terjadi kematian 2 ekor puyuh pada perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan karena puyuh mengalami pickouts/prolapse di mana ukuran telur yang terlalu besar sehingga tidak mampu keluar dari saluran reproduksi. Rataan suhu kandang selama penelitian 26,68 ºC pada pagi hari, 30,46 ºC pada siang hari, dan 29,03 ºC pada sore hari. Suhu tersebut kurang sesuai dengan kebutuhan puyuh. Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2004), suhu yang ideal bagi puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu lingkungan kandang yang tinggi dapat menyebabkan puyuh stres sehingga lebih banyak mengkonsumsi air minum dibandingkan dengan ransum yang diberikan serta dapat menurunkan produksi telur. Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Puyuh Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi pakan, energi, protein dan konversi ransum puyuh selama 10 minggu penelitian disajikan dalam Tabel 5. Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan ransum yang dimakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi pakan puyuh dengan pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan kontrol. Konsumsi pakan pada setiap perlakuan dapat dikatakan sama. Rataan konsumsi pakan pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masingmasing yaitu 22,76±2,12; 22,22±1,59; 22,84±1,89; 24,00±3,22; dan 23,16±6,07 g/ekor/hari. Dalam penelitian ini, pemberian perlakuan dalam ransum tidak mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan atau penurunan konsumsi pakan tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Setiap 20

ransum perlakuan memiliki warna, aroma, dan rasa yang disukai oleh puyuh sehingga memiliki tingkat palatabilitas yang sama. Konsumsi pakan pada hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Triyanto (2007) yang memperoleh konsumsi pakan puyuh umur 6-13 minggu berkisar antara 20,96 gram/ekor/hari sampai 23,82 gram/ekor/hari. Achmanu et al. (2011) mencatat konsumsi pakan puyuh adalah 21,05-21,23 g/ekor/hari sedangkan hasil penelitian Sijabat (2007) konsumsi pakan puyuh umur 6 minggu ke atas berkisar antara 24,30-25,18 g/ekor/hari. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh besarnya tubuh ternak, aktivitas ternak, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum (NRC, 1994). Kandungan energi dalam ransum dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990) bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan harian pada unggas adalah suhu lingkungan, kandungan energi pakan dan kapasitas tembolok. Pada penelitian ini, ransum setiap perlakuan memiliki kandungan energi dan protein kasar hampir sama. Puyuh yang digunakan juga mempunyai umur yang sama sehingga kapasitas temboloknya tidak jauh berbeda. Hal tersebut menyebabkan konsumsi pakan pada setiap perlakuan menjadi tidak berbeda. Tabel 5. Rataaan Konsumsi Pakan, Energi, Protein dan Konversi Ransum Puyuh Selama 8 Minggu Penelitian Peubah Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) Perlakuan Ransum P0 P1 P2 P3 P4 22,76±2,12 22,22±1,59 22,84±1,89 24,00±3,22 23,16±6,07 Konversi ransum 7,67±1,71 7,32±1,99 7,95±1,95 8,17±1,82 7,31±2,94 Konsumsi Protein (g/ekor/hari) 5,13±0,37 5,02±0,36 5,16±0,43 6,18±0,83 5,23±1,37 Konsumsi Energi (kkal/ekor/hari) 64,86±4,94 62,77±4,48 65,23±5,39 72,42±9,72 66,65±17,49 Keterangan : P0 : Ransum kontrol P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45% P3 : P0 + tepung daun katuk 10% P4 : P0 + tepung bawang putih 1% 21

Konversi Ransum Konversi ransum pada hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Konversi ransum pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 7,67±1,71; 7,32±1,99; 7,95±1,95; 8,17±1,82; dan 7,31±2,94. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pakan yang digunakan untuk menghasilkan tiap satuan produksi kurang efisien karena konversi ransum yang dihasilkan tinggi. Konversi pakan yang tinggi akan membutuhkan lebih banyak pakan untuk berproduksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan konversi ransum yang dihasilkan Suprijatna et al. (2009) bahwa konversi ransum puyuh umur 7-14 minggu berkisar antara 8,38-6,41. Mawaddah. (2011) memperoleh konversi ransum puyuh berkisar antara 5,6-15,2. Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan hasil penelitian Handarini et al. (2008) bahwa konversi ransum puyuh umur 6-16 minggu berkisar antara 5,80-8,03. Pakan yang diberikan efisien apabila pakan tersebut dapat dikonsumsi secara maksimal oleh unggas. Kemampuan puyuh dalam menyerap zat makanan pada setiap perlakuan tidak berbeda, sehingga tidak mempengaruhi konversi ransum. Pemberian perlakuan dalam ransum tidak mempengaruhi konversi ransum dikarenakan konsumsi pakan dan produksi telur dalam penelitian tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widjastuti dan Kartasudjana (2006) bahwa adanya keseimbangan antara ransum yang dikonsumsi dengan produksi telur yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan menyebabkan konversi ransum tidak berbeda. Konsumsi Protein dan Konsumsi Energi Konsumsi energi metabolis dan protein pada puyuh penelitian menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Konsumsi energi metabolis dan protein tidak dipengaruhi oleh pemberian perlakuan dalam ransum. Nilai konsumsi energi metabolis dan protein yang mendapatkan perlakuan kontrol masing-masing 64,86±4,94 kkal/ ekor/hari dan 5,13±0,37 gram/ekor/hari. Nilai konsumsi energi metabolis dan protein yang mendapatkan perlakuan penambahan bromelin masingmasing 62,77±4,48 kkal/ekor/hari dan 5,02±0,36 gram/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein yang mendapatkan perlakuan penambahan tepung limbah udang masing-masing 65,23±5,39 kkal/ekor/hari dan 5,16±0,43 gram/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein yang mendapatkan perlakuan penambahan 22

tepung daun katuk masing-masing 72,42±9,72 kkal/ekor/hari dan 6,18±0,83 gram/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein yang mendapatkan perlakuan penambahan tepung bawang putih masing-masing 66,65 ± 17,49 kkal/ ekor/hari dan 5,23 ± 1,37 gram/ekor/hari. Tidak adanya perbedaan pada konsumsi energi metabolis dan protein karena dipengaruhi oleh konsumsi ransum yang juga tidak berbeda nyata. Selain itu, tingkat energi dan protein pada kelima ransum perlakuan juga relatif sama. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Zahra et al. (2012) yang memperoleh konsumsi energi burung puyuh umur 9-12 minggu berkisar antara 49,74-54,61 kkal/ ekor/ hari dan konsumsi protein berkisar 6,78-5,80 g/ ekor/ hari. Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan hasil penelitian Diwayani et al. (2012) yang memperoleh rata-rata konsumsi protein puyuh umur 7-10 minggu yaitu 5,52-6,25 gram/ekor/hari dan konsumsi energi antara 54,98-61,34 kkal/ekor/hari. Konsumsi protein dan energi metabolis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur (Widjastuti dan Kartasudjana, 2006). Besarnya bobot telur yang dihasilkan oleh perlakuan penambahan bromelin juga dapat disebabkan karena konsumsi protein dan energi metabolis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan sudah tercukupi, sehingga sisanya digunakan untuk menghasilkan telur yang besar. Kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan pada perlakuan kontrol yang belum tercukupi mengakibatkan konsumsi protein dan energi metabolis tidak banyak digunakan untuk produksi telur, sehingga bobot telur yang dihasilkan menjadi rendah. Produksi Telur Quail Day Nilai produksi telur pada setiap perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan dalam ransum puyuh tidak mempengaruhi produksi telur. Selama kebutuhan hidup pokoknya terpenuhi, kelebihan nutrisi yang dimakan akan diarahkan untuk bertelur. Rasyaf (1993) mengemukakan bahwa selama lingkungan mendukung maka produksi telur yang sesuai dengan genetisnya akan terpenuhi. Produksi telur quail day pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan 23

bawang putih masing-masing yaitu sebesar 32,25 ± 3,86%; 34,61 ± 6,88%; 36,16 ± 2,41%; 40,04 ± 8,91%; dan 39,50 ± 5,90%. Kandungan nutrisi antar perlakuan yang mencukupi kebutuhan puyuh sehingga tidak mempengaruhi proses pembentukan telur dan produksi telur. Hal ini didukung oleh hasil konsumsi pakan pada setiap perlakuan yang sama sehingga kandungan zat makanan yang diserap juga tidak berbeda. Produksi telur dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dan kandungan zat makanan di dalamnya. Tabel 6 menunjukkan nilai rataaan produksi telur quail day dan produksi massa telur yang diberi perlakuan selama penelitian. Tabel 6. Rataaan Produksi Telur Quail Day dan Produksi Massa Telur yang diberi Perlakuan Selama 8 Minggu Penelitian Peubah Produksi Telur Quail Day (%) Perlakuan Ransum P0 P1 P2 P3 P4 32,25±3,86 34,61±6,88 36,16±2,41 40,04±8,91 39,50±5,90 Produksi Massa Telur (g/ekor) 172,38±39,22 176,20±31,67 165,74±26,99 173,85±59,21 184,13±25,02 Keterangan : P0 : Ransum kontrol P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45% P3 : P0 + tepung daun katuk 10% P4 : P0 + tepung bawang putih 1% Selama penelitian, umur puyuh berada dalam fase produksi sehingga memungkinkan untuk mencapai puncak produksi yang tinggi. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Handarini et al. (2008) bahwa produksi telur puyuh umur 6 16 minggu berkisar antara 38,86% - 47,94%. Zahra et al. (2012) memperoleh nilai produksi telur puyuh umur 9-12 minggu yang rendah yaitu 14% - 22%. Pada hasil penelitian Triyanto (2007) produksi telur puyuh umur 6-13 minggu mencapai 52% - 72,22%. Produksi telur yang berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan yang diberikan, lama pencahayaan, komposisi pakan, dan lama pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur masih rendah dari standar produksi telur puyuh sebesar 70% - 80%. Hal ini dikarenakan selama pemeliharaan kondisi temperatur lingkungan kandang yang kurang cocok dengan kebutuhan puyuh sehingga menyebabkan produksi telur menjadi terganggu. 24

Listiyowati dan Roospitasari (2004) menyatakan bahwa suhu yang ideal bagi puyuh adalah 20-25 ºC. Produksi Massa Telur Nilai produksi massa telur pada hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Produksi massa telur puyuh diperoleh dengan membagi jumlah telur yang ada (gram) selama penelitian dengan dengan jumlah puyuh yang masih hidup pada saat itu. Produksi massa telur dipengaruhi oleh bobot telur dan jumlah produksi telur quail day. Produksi massa telur digunakan untuk menyatakan produksi telur dalam bentuk bobot. Nilai produksi massa telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih selama 8 minggu penelitian masing-masing yaitu sebesar 172,38±39,22; 176,20±31,67; 165,74±26,99; 173,85±59,21 dan 184,13±25,02 gram/ekor. Hal ini disebabkan jumlah telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan dan jumlah puyuh yang ada selama penelitian tidak berbeda nyata sehingga menghasilkan massa telur yang sama. Produksi massa telur yang diperoleh pada penelitian lebih rendah dengan hasil penelitian Muslim (2010) bahwa produksi massa telur puyuh sampai 8 minggu produksi mencapai 278,88 gram/ekor. Perbedaan ini disebabkan oleh bobot telur dan produksi telur yang dihasilkan juga lebih tinggi masing-masing yaitu sebesar 9,67 gram/butir dan 78% sehingga produksi massa telur yang dihasilkan menjadi lebih besar. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Suprijatna et al. (2009) bahwa massa telur fase produksi (umur 7 14 minggu) berkisar antara 110,25 144,06 gram/ekor. hal ini disebabkan karena pada penelitian tersebut memiliki bobot telur yang tinggi namun produksi telurnya rendah sehingga massa telur yang dihasilkan menjadi rendah. Jumlah konsumsi energi dan protein ransum pada setiap perlakuan tidak berbeda juga menyebabkan produksi massa telur yang sama. Kandungan zat makanan pada setiap pakan perlakuan yang digunakan untuk membentuk telur hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa produksi massa telur tidak dipengaruhi oleh pemberian perlakuan di dalam ransum sehingga tidak mengganggu penyerapan zat makanan. 25

Kualitas Telur Kualitas telur merupakan kumpulan faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian dan selera konsumen terhadap mutu telur. Kualitas telur yang baik akan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Menurut Yuwanta (2010) konsumen selalu mencari telur segar, dengan berat standar, kualitas kerabang baik, warna kuning telur menarik (kuning) dan putih telur relatif kental. Nilai kualitas telur yang digunakan meliputi bobot telur, persentase bobot komponen telur puyuh, indeks telur, skor warna kuning telur, tebal kerabang telur, dan nilai Haugh unit. Bobot Telur Rataaan bobot telur dan persentase bobot komponen telur puyuh yang diberi perlakuan selama penelitian secara lengkap disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataaan Bobot Telur dan Persentase Bobot Komponen Telur Puyuh yang diberi Perlakuan Selama Penelitian Peubah Perlakuan Ransum P0 P1 P2 P3 P4 Bobot Telur (g) 7,84 c ±0,82 9,09 a ±0,31 8,47 ab ±0,53 8,15 b ±0,84 8,60 ab ±0,37 Putih Telur (%) 58,45±1,80 59,86±0,35 59,40±0,44 59,32±0,29 59,37±0,81 Kuning Telur (%) 30,02±0,62 29,56±0,76 30,45±0,70 30,63±0,54 30,50±0,97 Kerabang (%) 9,79±0,10 9,81±0,39 9,47±0,21 9,75±0,21 9,78±0,08 Keterangan : P0 : Ransum kontrol P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45% P3 : P0 + tepung daun katuk 10% P4 : P0 + tepung bawang putih 1% Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Nilai rataan bobot telur puyuh pada setiap perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Bobot telur pada semua perlakuan nyata lebih besar (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Pemberian bromelin menghasilkan bobot telur yang paling besar dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 9,09±0,31g. Bromelin adalah enzim proteolitik yang merupakan protein sederhana. Bromelin mampu memecah molekul-molekul protein menjadi bentuk asam amino. Hal ini 26

menunjukkan bahwa pemberian bromelin mampu meningkatkan kandungan asam amino dalam pakan sehingga membantu meningkatkan berat telur. Penyerapan protein di dalam ransum yang tinggi mengakibatkan pembentukan telur yang tinggi. Bobot telur puyuh tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas ransum yang dikonsumsi akan tetapi kualitas ransum berperan penting, khususnya kandungan proteinnya (Mozin, 2006). Kebutuhan protein sangat penting dalam pembentukan telur. Kekurangan protein akan mengakibatkan menurunnya besar telur dan jumlah albumen telur (Amrullah, 2003). Bobot telur pada perlakuan penambahan tepung bawang putih dan tepung limbah udang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dan masing-masing memiliki bobot telur yaitu 8,60±0,37g dan 8,47±0,53g. Pada perlakuan penambahan tepung daun katuk menunjukkan nilai bobot telur yang kecil dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 8,15±0,84g tetapi perlakuan kontrol memiliki bobot telur yang paling kecil yaitu 7,84±0,82g. Bobot telur yang rendah dapat disebabkan karena rendahnya penyerapan protein di dalam ransum yang digunakan untuk produksi telur, sehingga bobot telur yang dihasilkan menjadi rendah. Selain itu, kandungan asam amino di dalam pakan yang diserap tubuh tidak sebanyak pada perlakuan bromelin sehingga bobot telur yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hasil penelitian ini memiliki nilai bobot telur yang lebih rendah dari hasil penelitian Kul dan Seker (2004) yang memperoleh bobot telur sebesar 11,28 ± 0,06g. Hal ini dapat disebabkan karena umur puyuh yang digunakan juga berbeda yaitu umur 20 minggu. Meskipun demikian, bobot telur puyuh hasil penelitian masih pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1995) bahwa telur puyuh mempunyai berat 7% - 8% dari berat induk, yaitu berkisar antar 7-11 gram per butir. Terdapat hubungan antara produksi telur dengan bobot telur puyuh. Pada saat puyuh memiliki bobot telur yang rendah, produksinya meningkat. Demikian sebaliknya, pada saat bobot telur puyuh tinggi maka produksinya menurun. Menurut Widjastuti dan Kartasudjana (2006), pada saat telur tidak dibentuk pada hari-hari tertentu, terjadi akumulasi protein sehingga ketersediaan protein untuk membentuk satu butir telur pada hari berikutnya menjadi lebih banyak yang pada gilirannya telur yang dihasilkan menjadi lebih besar. 27

Persentase Bobot Komponen Telur Puyuh Komponen telur puyuh terdiri dari bahan pembentuk sebutir telur yang meliputi putih telur, kuning telur, dan kerabang telur. Putih telur merupakan sumber protein utama dalam telur. Nilai persentase putih telur pada semua perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Putih telur memiliki porsi terbesar dari telur. Persentase putih telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu sebesar 58,45±1,80; 59,86±0,35; 59,40±0,44; 59,32±0,29; dan 59,37±0,81%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kul dan Seker (2004) bahwa persentase putih telur puyuh adalah 59,83±0,14%. Pemberian perlakuan pada ransum tidak mempengaruhi proses pembentukan putih telur di magnum. Persentase putih akan menurun seiring dengan meningkatnya persentase kuning telur, sehingga tidak ada perbedaan yang nyata antara persentase kuning telur dengan persentase putih telur. Kuning telur dibungkus oleh membran vitelin dan kaya akan lemak, terutama lipovitelin sebagai bahan penyusun trigliserida, fosfitin, dan fosfolipid (Yuwanta, 2004). Proses pembentukan kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan dalam ransum. Nilai rataan persentase kuning telur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Rataan persentase kuning telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 30,02±0,62; 29,56±0,76; 30,45±0,70; 30,63±0,54; dan 30,50±0,97%. Hasil penelitian Kul dan Seker (2004) memperoleh persentase kuning telur sebesar 32,71± 0,12%. Pada hasil penelitian ini, nilai persentase yang tidak berbeda dapat disebabkan karena tingkat konsumsi pakan yang sama sehingga penyerapan asam amino terutama metionin dan asam lemak linoleat dari pakan juga tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leeson dan Summers (2005) bahwa asupan asam amino terutama metionin dan asam lemak linoleat yang tidak berbeda akan menghasilkan bobot kuning telur yang sama. Kerabang telur terdiri atas beberapa lapisan yang meliputi kutikula, lapisan bunga karang, lapisan mamilaris, dan membran telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Nilai rataan persentase kerabang telur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Dalam penelitian ini, nilai rataan persentase kerabang telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing- 28

masing yaitu sebesar 9,79±0,10; 9,81±0,39; 9,47±0,21; 9,75±0,21; dan 9,78±0,08%. Kandungan kalsium maupun fosfor masing-masing ransum telah memenuhi kebutuhan, sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap persentase kerabang telur. Pemberian perlakuan pada ransum tidak mempengaruhi proses pembentukan kerabang telur di uterus, proses penyerapan, dan proses deposisi kalsium yang dibutuhkan untuk pembentukan kerabang telur. Hasil penelitian Kul dan Seker (2004) memperoleh nilai persentase kerabang lebih rendah yaitu 7,47±0,04%. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan mineral yang digunakan dalam pakan yang tidak sama sehingga menghasilkan tebal kerabang yang berbeda. Menurut Yuwanta (2004) mineral yang paling banyak terdapat pada kerabang telur adalah CaCO 3 (98,43%); MgCO 3 (0,84%) dan Ca 3 (PO 2 ) 2 (0,75%). Rataan persentase bobot komponen telur puyuh tidak berbeda nyata menunjukkan penyerapan energi dan protein dalam ransum tidak mengalami gangguan akibat penambahan perlakuan. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Song et al. (2000) bahwa puyuh memiliki presentase bagian kuning telur 29,42% - 33,38%, putih telur 58,88% - 63,52%, dan kerabang 6,61%- 7,99%. Indeks Telur Indeks telur menunjukkan nilai kesegaran mutu telur yang diperoleh dengan cara membagi ukuran lebar telur (mm) dengan panjang telur (mm). Nilai indeks telur yang kecil menunjukkan bahwa telur tersebut berbentuk lonjong dan telur yang bulat memiliki nilai indeks telur yang besar. Pada hasil penelitian, indeks telur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pada ransum puyuh tidak mempengaruhi indeks telur. Nilai indeks telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 0,79±4,36; 0,80±0,71; 0,81±1,19; 0,80±1,11; dan 0,81±1,11. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Song et al. (2000) bahwa indeks telur puyuh sebesar 0,79±3,79. Bentuk telur pada setiap perlakuan lebih bulat dibandingkan hasil penelitian Kul dan Seker (2004) yaitu dengan indeks telur sebesar 0,75±0,22. Menurut Yuwanta (2010), variasi indeks telur diakibatkan dari perputaran telur di dalam alat reproduksi karena ritme dari tekanan reproduksi atau ditentukan oleh diameter lumen alat reproduksi. 29

Rataan indeks telur, skor warna, tebal kerabang, dan haugh unit telur puyuh yang diberi ransum kontrol, bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih secara lengkap disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Indeks Telur, Skor Warna, Tebal Kerabang, dan Haugh Unit Telur Puyuh yang diberi Ransum Kontrol, Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih* Peubah Perlakuan Ransum P0 P1 P2 P3 P4 Indeks Telur 0,79±4,36 0,80±0,71 0,81±1,19 0,80±1,11 0,81±1,11 Skor Warna Kuning Telur Tebal Kerabang (mm) 4,13 b ±0,91 4,10 b ±0,20 4,17 b ±0,21 6,10 a ±0,43 4,24 b ±0,27 0,168 a ±0,01 0,167 a ±0,01 0,155 b ±0,01 0,158 ab ±0,01 0,165 ab ±0,01 Haugh Unit 92,64±1,01 91,67±0,49 91,95±1,58 91,24±1,02 91,67±1,04 Keterangan : P0 : Ransum kontrol P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45% P3 : P0 + tepung daun katuk 10% P4 : P0 + tepung bawang putih 1% Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) *delapan kali pengukuran selama penelitian Skor Warna Kuning Telur Nilai skor warna kuning telur pada penelitian menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan pemberian tepung daun katuk. Perlakuan pemberian tepung daun katuk memiliki skor warna kuning telur yang paling tinggi dibandingkan yang lain yaitu 6,10±0,43. Hal ini dapat disebabkan kandungan karotenoid pada tepung daun katuk yang tinggi sehingga meningkatkan skor warna pada kuning telur. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Subekti (2007) bahwa penggunaan tepung daun katuk mampu meningkatkan skor warna kuning telur menjadi lebih tua (7,27). Hulshoff et al. (1997) mengemukakan bahwa pigmen penguning yang terdapat pada daun katuk sangat berperan dalam meningkatkan skor warna kuning telur. Pigmen karotenoid yang dikandung dalam bahan pakan akan meningkatkan warna kuning telur. Pigmen pemberi warna kuning telur yang ada dalam ransum 30

secara fisiologi akan diserap oleh organ pencernaan usus halus dan diedarkan ke organ target yang membutuhkan (Sahara, 2011). Pada perlakuan pemberian bromelin, tepung limbah udang, bawang putih, dan kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Tepung limbah udang memiliki pigmen astaxanthin yang mampu memberikan warna pada kuning telur, tetapi karena penggunaannya dalam ransum sedikit, sehingga tidak memberikan pengaruh pada skor warna. Tepung bawang putih dan bromelin tidak memiliki pigmen warna sehingga tidak mempengaruhi skor warna. Kandungan pigmen pemberi warna pada ransum tersebut tidak sebanyak pada perlakuan pemberian tepung daun katuk, sehingga tidak mempengaruhi skor warna kuning telur. Warna yang dihasilkan pada kuning telur berasal dari bahan pakan dalam ransum, yaitu jagung yang memiliki pigmen karotenoid. Perbedaan skor warna juga dapat disebabkan keragaman pada setiap individu puyuh dalam menyerap dan menyimpan pigmen warna berbeda-beda serta kandungan bahan pakan yang diberikan. Tebal Kerabang Nilai rata-rata tebal kerabang menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada setiap perlakuan. Pemberian perlakuan bromelin menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan kontrol dan pemberian bromelin memiliki kerabang yang paling tebal, masing-masing yaitu 0,168±0,01 mm dan 0,167±0,01 mm. Kerabang telur yang tebal ini dapat disebabkan karena penggunaan kalsium di dalam ransum yang cukup untuk pembentukan telur sehingga kelebihan kalsium digunakan untuk menghasilkan tebal kerabang yang tinggi. Perlakuan pemberian tepung limbah udang memiliki kerabang yang paling tipis dari yang lainnya yaitu 0,155±0,01 mm. Pada perlakuan pemberian tepung limbah udang tidak menunjukkan adanya kelebihan kalsium sehingga tebal kerabang menjadi rendah. Rendahnya tebal kerabang dapat disebabkan kandungan kalsium dalam ransum sebagian besar masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehingga yang digunakan untuk pembentukan telur menjadi tidak optimal. Tebal kerabang yang baik dicapai apabila kandungan kalsium dan fosfor dalam ransum seimbang. Menurut Haryono (2000), kerabang yang tipis dipengaruhi beberapa faktor, yaitu umur atau tipe puyuh, zat-zat makanan, peristiwa faal dari organ tubuh, stress dan komponen lapisan kulit telur. 31

Tebal kerabang pada perlakuan pemberian tepung bawang putih dan daun katuk hampir sama dengan pemberian bromelin dan kontrol yaitu masing-masing 0,165±0,01 mm dan 0,158±0,01 mm. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Song et al. (2000) bahwa rata-rata tebal telur puyuh sebesar 0,174 mm. Kul dan Seker (2004) memperoleh nilai tebal kerabang yang lebih tinggi yaitu 0,231±0,001 mm. Adanya perbedaan kandungan kalsium dalam pakan dapat menyebabkan ketebalan kerabang yang tidak sama. Perbedaan penyerapan kalsium ke dalam tubuh yang digunakan sebagai pembentukan kerabang telur juga dapat menghasilkan tebal kerabang yang berbeda. Haugh Unit Haugh unit merupakan parameter mutu kesegaran telur yang dihitung berdasarkan tinggi putih telur dan bobot telur. Nilai haugh unit pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata dan telur tergolong pada kualitas AA (terbaik) yang ditunjukkan dengan nilai HU di atas 72 (USDA, 2000). Nilai haugh unit pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 92,64±1,01; 91,67±0,49; 91,95±1,58; 91,24±1,02; dan 91,67±1,04. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pada ransum puyuh tidak mempengaruhi nilai haugh unit. Hal ini terjadi karena belum banyak karbondioksida dan air yang menguap akibat adanya lapisan tipis kutikula yang masih melapisi pori-pori kerabang telur. Dengan demikian, permukaan putih telur belum banyak mengalami pengenceran. Menurut Haryono (2000), haugh unit ditentukan berdasarkan keadaan putih telur, yaitu merupakan korelasi antara bobot telur (gram) dengan tinggi putih telur (mm). Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi albumen, maka tinggi pula nilai HU dan semakin bagus kualitas telur. Telur yang diukur pada penelitian ini adalah telur yang baru dihasilkan sehingga menghasilkan nilai HU yang tinggi. Pengukuran haugh unit digunakan untuk mengetahui kekentalan putih telur. Kekentalan putih telur yang semakin tinggi ditandai dengan tingginya putih telur kental. Hal ini menunjukkan bahwa telur puyuh masih berada pada kondisi segar. Kul dan Seker (2004) mengukur rataan haugh unit telur puyuh pada hasil penelitiannya juga berada pada kualitas AA yaitu sebesar 32

85,73. Telur yang lama disimpan kekentalan putih telur akan mengalami penurunan dan menyebabkan kualitas haugh unit telur menurun. 33