I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi energi terbesar berasal dari listrik (24%), industri (14%), transportasi (14%), bangunan (8%) dan energi lainnya (5%). Sementara emisi dari non energi, terbesar berasal dari perubahan penggunaan lahan kehutanan (18%), pertanian (14%) dan limbah (3%) (Stern, 2007). Deforestasi merupakan salah satu bentuk perubahan penggunaan lahan kehutanan yang berkontribusi terhadap emisi karbon dan perubahan iklim global, dan hal ini juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2000, emisi GRK total Indonesia untuk tiga GRK utama (CO 2, CH 4 dan N 2 O) tanpa penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF) dan kebakaran gambut mencapai 556.499 Gg CO2e. Dengan masuknya LULUCF, total emisi GRK dari Indonesia meningkat secara signifikan sampai sekitar 1,377,753.41 Gg CO2e (SNC, 2010). Dalam rangka mengurangi permasalahan efek rumah kaca, Indonesia telah ikut berperan aktif melalui ratifikasi Protokol Kyoto (PK), pelaksanaan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), sampai kepada pembuatan Bali Action Plan (BAP) dalam COP 13. Salah satu keputusan dari BAP adalah pengurangan emisi global untuk mengatasi perubahan iklim dengan tindakan kerjasama jangka panjang, saat ini, hingga dan setelah 2012 (Bali Action Plan, 2007. UNFCCC), termasuk didalamnya adalah upaya untuk mengurangi emisi dari degradasi dan deforestasi, sustainable forest management (SFM), sink enhancement (REDD+). Usaha pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi telah giat dikembangkan baik melalui peraturan perundangan, tahapan pilot project, maupun pengembangan model pengelolaan hutan yang berkelanjutan diantaranya dengan penerapan sistem TPTI Intensif pada areal konsesi.
2 Penerapan TPTI Intensif sebagai salah satu teknik dalam pengelolaan kawasan hutan, telah mulai dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang pengusahaan hutan. Prinsip dasar dari sistem ini adalah adanya penanaman secara intensif melalui sistem jalur tanam pada areal bekas tebangan (LOA). Penerapan sistem TPTI Intensif ini diharapkan dapat menekan laju degradasi hutan. Dampak positif kegiatan TPTII yang diikuti dengan pembinaan masyarakat sekitar hutan dapat mengurangi laju deforestasi, memberikan manfaat secara ekonomi, sosial budaya dan perlindungan fungsi ekologis kawasan hutan.. Salah satu perusahaan yang merupakan pioner dalam mengembangkan sistem silvikultur Intensif adalah PT. Sari Bumi Kusuma (PT. SBK) yang sejak tahun 1999/2000 telah melakukan kegiatan penanaman sistem jalur tanam secara intensif pada areal LOA. Adanya kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan diduga berdampak positif dalam mencegah laju perubahan kawasan hutan ke bukan hutan (deforestasi), serta mengurangi laju degradasi kawasan hutan dalam jangka panjang. Hal ini terjadi sebagai apresiasi dari masyarakat atas kegiatan tebang jalur yang diikuti kegiatan penanaman dan pemeliharaan membuktikan bahwa areal tersebut sudah ada yang mengusahakannya. Oleh sebab itu, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas sistem TPTI Intensif (TPTII) dalam mencegah deforestasi dan mengurangi degradasi hutan sehingga dapat mengurangi peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, maka perlu dilakukan penelitian secara komprehensif, terutama mengenai potensi pemanfaatan sistem TPTI Intensif dalam mendukung penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD). 1.2. Kerangka Pemikiran Emisi gas rumah kaca (GRK) telah meningkat sejak pertengahan abad ke-19, yang menyebabkan perubahan signifikan dan berbahaya dalam iklim global. Tingkat emisi yang lebih tinggi akan menimbulkan masalah pemansan global, perubahan iklim serta meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti
3 kekeringan, banjir, badai dan kenaikan muka air laut. Diperkirakan kondisi ini akan mempengaruhi milyaran penduduk pantai, kualitas lingkungan global dan kemampuan negara untuk mempertahankan dan keberlanjutan pembangunan ekonomi di masa depan. Salah satu GRK yang paling signifikan peningkatannya adalah karbon dioksida (CO 2 ) yang saat ini telah meningkat sekitar 35%, dan diperkirakan 2/3 merupakan akibat langsung dari penggunaan bahan bakar fosil untuk produksi energi. Sementara menurut laporan Stern, (2006), perubahan iklim akibat dari deforestasi dan degradasi hutan diperkirakan lebih dari 18% memiliki konsentrasi di atmosfer. Untuk mencegah meningkatnya emisi dari sektor kehutanan akibat perubahan penggunaaan lahan kehutanan maka perlu adanya tindakan pengurangan emisi deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Pengertian REDD adalah sebuah mekanisme pembayaran kompensasi atas penghindaran pemanfaatan lahan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan, sehingga mampu menahan emisi karbon (Ministry of Forestry, 2008). Berdasarkan BAP paragraf 1b (iii), REDD+ merupakan pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang (Bappenas, Departemen Kehutanan, Departemen Kehutanan dan UN-REDD, 2010). Kegiatan REDD+ ini akan berjalan efektif jika kondisi aksi terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan terpenuhi. Salah satu kegiatan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi adalah dengan melaksanakan pengelolaan hutan dalam bentuk konservasi melalui Sistem Silvikutur Intensif pada Tegakan Meranti atau TPTII. Kegiatan TPTII yang dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan pembangunan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan akan berkontribusi secara secara nyata terhadap REDD+.
4 Model konservasi karbon melalui TPTII Pada Tegakan Meranti dapat digunakan sebagai salah satu adaptasi dalam mendukung skema perdagangan karbon. Sistem TPTII diterapkan di dalam areal hutan alam diduga memiliki peran untuk mengurangi degradasi hutan. Kegiatan TPTII dibangun sebagai suatu aktivitas mencegah degradasi dan deforestasi hutan melalui kegiatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan pengembangan sistem silvikultur terbaik, pemberian benefit (manfaat) kepada masyarakat dan sektor kehutanan melalui kegiatan social forestry atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Aplikasi TPTII sebagai sistem silvikultur terbaik, karena memperhatikan kepentingan konservasi, kelestarian keanekaragaman hayati, keberlanjutan kehidupan masyarakat sekitar dan ke dalam hutan, dan kelangsungan industri. Salah satu kegiatan yang termasuk kedalam kegiatan sistem silvikultur Intensif adalah adanya usaha nyata untuk mengurangi emisi GRK dan degradasi hutan. Selain itu, kegiatan TPTII juga akan bermanfaat dalam mengurangi terjadinya deforestasi kawasan hutan, dengan cara melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan agar alih fungsi kawasan berkurang melalui kegiatan penanaman jenis-jenis pohon dengan kombinasi usahatani masyarakat dikenal dengan istilah social forestry. Namun pengembangan program social forestry ini harus didukung oleh adanya sistem pembinaan intensif dan mekanisme insentif dan diinsentif kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kegiatan pembinaan dan insentif yang dapat dilakukan antara lain dengan mengembangkan sistem pendanaan untuk membangun tanamantanaman unggulan diantaranya adalah gaharu (Aquilaria mallaccensis), Karet (Hevea braziliensis), Jarak (Jatrophacucas), dan Meranti (Shorea spp.). Pemberian benefit bagi masyarakat dibangun dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu efek dari peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah terjaminya kelestarian ekosistem hutan. Jika tidak dapat memberikan benefit maka jelas kelestarian hutan akan terancam dan laju deforestasi akan meningkat. Menurut Elias (2008) tingkat laju deforestasi mengalami peningkatan sejak tahun 1990-1997 sebesar 1,8 juta
5 ha/thn, 1997-2000 sebesar 2,8 juta ha/thn dan 2000-2005 sebesar 1,08 juta ha/tahun. Jika dapat memberikan benefit maka kelestarian hutan akan terjamin Kelestarian ekosisitem hutan akan memberikan dampak positif dalam mempertahankan fungsi ekologis hutan, fungsi ekonomis hutan, dan fungsi sosial. Salah satu fungsi hutan yang terjamin adalah fungsi hutan untuk memitigasi karbon emiter. Hal ini disebabkan karena ekosistem hutan mempunyai kemampuan dalam menyimpan dan menyerap karbon. Kemampuan tanaman dalam menyerap karbon akan berdampak pada pengurangan pencemaran karbon, yang pada akhirnya dapat berdampak pada pengurangan efek rumah kaca. Untuk itu perlu dilakukan kajian sistem pengelolaan kawasan hutan yang mampu mengurangi terjadinya degradasi dan deforestasi. Dalam kaitan ini ialah dengan mengkaji penerapan sistem TPTII pada tegakan meranti yang telah dilakukan di areal hutan PT Sari Bumi Kusuma (PT. SBK) Kalimantan Tengah, dengan sistem silivikultur lainnya. Aspek yang dikaji meliputi; (a) dinamika karbon, (b) manfaat ekonomi karbon, (c) pola keterlibatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta kebutuhan lahan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar areal PT. SBK, dalam upaya mengurangi terjadi deforestasi dan degradasi hutan. Kerangka pemikiran kegiatan penelitian potensi karbon tegakan meranti dalam kaitannya dengan pengurangan degradasi dan deforestasi hutan disajikan pada Gambar 1.
Pencemar oleh CFC, CH4, N2O, HFC, SF8 Degradasi & Deforestasi Potensi pencemar karbon Konservasi Efek rumah kaca terjadi peningkatan Model Dinamika Karbon Model Dinamika pertumbuhan Model biomassa Model karbon Konsep ingrowth, up growth, growth stage Destruktif dan alometrik data fit Model Pertumbuhan Logistik Data Fit SKEMA PERDAGANGAN KARBON (REDD+) 6 Membangun model pengelolaan TPTII Masyarak at Sekitar Kawasan Manfaat Ekonomi Taman Nasional hujan Dipterocarpaceae adalah vegetasi Meranti (Shorea spp) Kontribusi Penurunan Emisi Model Ekonomi Karbon Potensi Nilai Manfaat C Nilai Biaya Karbon Cash Flow Analisis Dan Sensitivitas Dinamika Sosial Ekonomi Pengakuan Adat Kepastian Usaha Penyerapan Tenaga Kerja Analisis Ekonomi dan Biaya Real AHP, Analisis Deskriptif, Wilcoxon, Regresi tidak KONT RIBUSI ya Benefit (manfaat) Mengurangi Degradasi & Deforestasi Bagi Masyarakat Bagi Ekosistem Bagi sistem pengelolaan Bagi Pengusaha tidak KONT RIBUSI ya Kelestarian Terjamin Pembangunan Berkelanjutan Degradasi & Deforestasi Menurun Fungsi Ekologi, Ekologi dan Sosial Terjaga Kebutuhan Hidup Minimal GRK Menurun Pemilihan Komoditas Unggulan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Potensi Pemanfaatan Sistem TPTII Untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi (REDD)
7 1.3. Perumusan Masalah Pertanyaan mendasar yang dikaji dalam kegiatan penelitian adalah 1. Berapa potensi cadangan karbon pada hutan yang dikelola dengan sistem TPTII dan TPTI? 2. Bagaimana model dinamika karbon hutan pada sistem Silvikultur TPTII berdasarkan kajian ekologi, ekonomi dan sosial untuk menjawab penyelamatan hutan melalui sistem REDD? 3. Sejauh mana keunggulan sistem TPTII dibanding TPTI sebagai model pengelolaan hutan produksi dalam upaya untuk menekan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan?. 4. Bagaimana konsep kebutuhan lahan bagi masyarakat untuk kegiatan ekonomi dan pembangunan hutan dengan sistem TPTII dalam REDD?. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menghitung potensi karbon yang tersimpan didalam ekosistem hutan yang dikelola melalui sistem silvikultur TPTII dibanding dengan sistem TPTI 2. Membangun dan menganalisis model dinamika karbon hutan pada sistem Silvikultur TPTII berdasarkan kajian ekologi, ekonomi dan sosial untuk menyelamatkan karbon hutan melalui sistem REDD 3. Menganalisis keunggulan sistem TPTII dibandingkan sistem TPTI sebagai model pengelolaan hutan produksi dalam upaya untuk menekan emisi karbon akibat adanya proses deforestasi dan degradasi hutan. 4. Menganalisis konsep kebutuhan lahan bagi masyarakat untuk kegiatan ekonomi dan pembangunan hutan dengan sistem TPTII dalam kerangka REDD.
8 1.5. Hipotesis Pelaksanaan sistem pengelolaan hutan melalui sistem TPTII yang disertai pengembangan model sosial ekonomi masyarakat dapat mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan berpotensi untuk berpartisipasi dalam skema perdagangan karbon. 1.6. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya (1) model dinamika karbon dalam sistem TPTII dan TPTI yang dapat digunakan untuk menentukan penurunan emisi dari degradasi hutan. (2) Model pengelolaan hutan produksi yang terintegrasi dengan model ekonomi dan sistem sosial budaya masyarakat yang dapat berkontribusi secara signifikan dalam menekan laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. 1.7. Novelty Novelty dari penelitian ini adalah bahwa model pengelolaan hutan produksi melalui sistem TPTII yang terintegrasi dengan model ekonomi dan sosial budaya masyarakat dengan tujuan untuk mencegah laju deforestasi dan degradasi hutan dalam konteks perdagangan karbon merupakan model yang baru pertama kali dikembangkan.