BAB I P E N D A H U L U A N (AKHIR) Bimbingan dan konseling memiliki peran yang sangat strategis dalam

dokumen-dokumen yang mirip
PELATIHAN KONSELING KOLABORATIF UNTUK KONSELOR SMA. Oleh : Ayi Najmul Hidayat

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BELAJAR SISWA SMA MELALUI MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF. Ayi Najmul Hidayat. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dara Pricelly Rais,2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KEDUDUKAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM SITEM PENDIDIKAN NASIONAL BERORIENTASIKAN BUDAYA

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN. di tengah-tengah pergaulan masyarakat, warga bangsa, serta warga dunia. Melalui

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BELAJAR SISWA MELALUI LAYANAN PENGUASAAN KONTEN

BAB I PENDAHULUAN. manusia karena setiap manusia membutuhkan pendidikan sampai kapanpun dan

BAB II PEMBINAAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA. A. Pengertian Pembinaan dan Konsep Pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Berpikir kritis untuk menganalisis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja menurut Elizabeth B Hurlock, (1980:25) merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. yang signifikan. Beberapa penerapan pola peningkatan kualitas pendidikan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kondisi internal, di mana kondisi internal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya dengan menempuh perbaikan di bidang pendidikan. Pendidikan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan temuan hasil

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. belajar mengenali kemampuan diri dan lingkungan.

BAB I PENDUHULUAN. masa depan bangsa, seperti tercantum dalam Undang-Undang RI. No 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology big bang), tuntutan

I. PENDAHULUAN. yang terjadi. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik

I. PENDAHULUAN. manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sri Murni, 2014 Program bimbingan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. perhatian anak didik agar terpusat pada yang akan dipelajari. Sedangkan menutup

BAB I PENDAHULUAN. remaja berkembang gejala yang menghawatirkan bagi para pendidik yaitu krisis

2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI TULISAN DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI SISWA KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

PENDEKATAN PERKEMBANGAN DALAM BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa Indonesia untuk menciptakan manusia yang berilmu, cerdas dan terampil di lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa depan. Hal tersebut diamanatkan dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar menuntut seseorang untuk berpikir ilmiah dan mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat menuntut sumber

BAB I PENDAHULUAN. dan nilai-nilai. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan karir merupakan salah satu aspek yang penting dalam. perkembangan karir individu. Kecakapan dalam mengambil keputusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. ini memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ihsan Mursalin, 2013

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan ilmu pengetahuan dari guru dalam proses belajar-mengajar. membimbing dan memfasilitasi siswa dalam kegiatan belajar.

BAB I PENDAHULUAN. sikap mental siswa (Wiyanarti, 2010: 2). Kesadaran sejarah berkaitan dengan upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN TEORETIS. 2.1 Pengertian Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling

PENILAIAN KINERJA BIMBINGAN DAN KONSELING AMIN BUDIAMIN. Oleh JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI

BAB I PENDAHULUAN. sitematis ke arah perubahan tingkah laku menuju kedewasaan peserta didik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Seorang Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar

guna mencapai tujuan dari pembelajaran yang diharapkan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas salah satunya dapat

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan yang lainnya. Keterampilan berbahasa yang dimiliki manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, mengembangkan gagasan dan perasaan serta dapat digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan investasi yang paling utama bagi setiap bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN. khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dasar sebagai jenjang pendidikan formal pertama sistem pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. Bimbingan dan konseling merupakan bagian penting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIK. NCTM (2000) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang selalu menjadi suatu paradigma yang sangat kental bagi setiap orang tua.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian tentang bimbingan belajar berbasis teknik mind map untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan

Transkripsi:

BAB I P E N D A H U L U A N (AKHIR) A. Latar Belakang Masalah Bimbingan dan konseling memiliki peran yang sangat strategis dalam memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan konseli di sekolah, serta membantu mereka mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya seperti masalah pribadi, sosial, belajar, dan karir. Keberadaan bimbingan dan konseling di Indonesia saat ini telah mendapat pengakuan secara legal dari pemerintah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 yang menyatakan: Konselor adalah sebagai salah satu kualifikasi pendidik yang berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan. Demikian pula dalam berbagai dokumen yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan secara formal telah digariskan bahwa bimbingan dan konseling merupakan bagian terpadu dari pendidikan. Kartadinata (2005: 105) mengemukakan bahwa Kini sudah saatnya dilakukan penegasan ulang bahwa bimbingan dan konseling adalah bagian terpadu dari pendidikan, dan kini saatnya pula untuk meletakkan prinsip kebijaksanaan itu di dalam praktek. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sciarra (2004:3) bahwa School counselors are an integral part of the education program as important to the school as teachers and administrators, and as essential to the main function of the school, academic success. Peran bimbingan dan konseling dalam keberhasilan program pendidikan secara keseluruhan tidak dapat diragukan lagi, sebagaimana American Counseling Association (ACA) (2006) menjelaskan bahwa bimbingan dan konseling 1

2 membantu konseli memecahkan masalah emosi dan sosial, memahami hidup yang terarah, menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan bagian krusial untuk meningkatkan prestasi siswa. Hasil penelitian Cook dan Kaffenberger (ACA, 2006), menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling memiliki pengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa sekolah menengah. Hasil penelitian Hayes, et al. (ACA, 2002), Morey, et al. (ACA, 2006) dan Praport (ACA, 2006) menyimpulkan bahwa bimbingan dan konseling turut mengurangi kekacauan di dalam kelas. Hasil penelitian Omizon & Omizon (ACA, 2006) menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling membantu konseli menyelesaikan masalah keluarga. Demikian pula temuan Verduyn, et al. (ACA, 2006) menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling dapat membantu meningkatkan keterampilan sosial. Ditinjau dari sisi karir, temuan Peterson, et al. (ACA, 2006), menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling bermanfaat untuk pengembangan karir. Lebih lanjut temuan Student Poll (ACA, 2006) menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling berperan dalam memilih jurusan pada lembaga pendidikan tinggi. Bimbingan dan konseling juga hendaknya memberikan peran terhadap keterampilan belajar siswa, sebab muara akhir dari keberhasilan program pendidikan pada umumnya dan program bimbingan dan konseling pada khususnya adalah pada saat konseli berhasil dalam bidang akademik yang ditunjukkan dengan dikuasainya keterampilan belajar sehingga konseli mampu mengembangkan diri dan merencanakan masa depan. Nurhayati (2010) menjelaskan bahwa keterampilan belajar adalah kecakapan berpikir kritis dan berpikir kreatif konseli dalam belajar yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah belajar dan masalah kehidupan pada umumnya. Keterampilan berpikir

3 kritis konseli merupakan kecakapan dalam menggunakan pemikiran untuk menilai kesesuaian suatu ide, berdasar atau tidak, kebaikan dan kelemahan sesuatu alasan dan membuat pertimbangan yang wajar dengan menggunakan alasan dan bukti yang sesuai (masuk akal). Keterampilan berpikir kreatif konseli merupakan kecakapan menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang tidak diduga, dan memiliki keberanian untuk mencoba sesuatu yang tidak biasa. Konseli yang memiliki keterampilan belajar rendah akan berdampak pada kehidupannya misalnya akan menghadapi kesulitan dalam membuat catatan waktu guru mengajar, membuat ringkasan dari bahan yang dibaca, membuat laporan observasi, diskusi, mengembangkan cara menjawab/memecahkan soal-soal ulangan/ujian, menyusun makalah, membaca, berbahasa lisan dan tulisan, serta bertanya. Jika keterampilan berpikir kritis konseli rendah, maka konseli akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi dan mereduksi ketidakpastian di masa depan, misalnya menentukan informasi penting yang harus dipilih, diubah dan dipertahankan. Mereka juga akan menemui kesulitan dalam mengatur, menyesuaikan, memperbaiki pikirannya sehingga sulit bertindak lebih cepat, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan menghadapi tantangan. Demikian pula jika keterampilan berpikir kreatif konseli rendah, mereka tidak akan mampu mengembangkan sifat ingin tahunya, kurang mandiri, kurang percaya diri, kurang berani mengambil resiko, kurang berani mengemukakan pendapat, kurang humoris, dan takut dikritik. Keterampilan belajar yang meliputi keterampilan berpikir kritis dan kreatif merupakan keterampilan yang perlu dimiliki oleh siswa SMA, karena

4 keterampilan belajar erat kaitannya dengan pencapaian prestasi belajar. Sekaitan dengan pernyataan di atas, Costa (1985: 1) menyatakan bahwa membantu konseli menjadi pemikir yang efektif diakui sebagai tujuan utama pendidikan saat ini. Perkembangan pengetahuan yang demikian pesat menuntut konseli untuk mampu mencari dan memproses pengetahuan lebih dari sekedar mengingat fakta. Hasil survey terhadap guru, orang tua, dan konseli yang dilakukan Goodlad (Costa, 1985: 1) menemukan bahwa pengembangan keterampilan berpikir diakui sebagai salah satu tujuan persekolahan yang sangat penting. Selain berbagai pendapat para ahli McTighe dan Schollenberger (Costa, 1985: 4-5) mengungkapkan hasil-hasil penelitian yang secara konsisten menunjukkan bahwa persentase konseli yang mampu mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi sangat rendah. Laporan tentang evaluasi pemahaman membaca yang dilakukan oleh National Assesment of Education Progress (1979-1980) menyimpulkan temuan yang paling signifikan bahwa apabila para konseli mempelajari bahan-bahan bacaan, mereka hanya mengembangkan keterampilan yang sangat rendah untuk menguji gagasan yang mereka ambil dari bacaan tersebut. Konseli tampak merasa puas dengan interpretasi yang dangkal tentang apa yang mereka baca dan sedikit sekali konseli yang menunjukkan respon-respon yang lebih baik dari strategi pemecahan masalah dan keterampilan berpikir kritis yang dikembangkan. Demikian pula data National Commission on Excellence in Education menunjukkan bahwa sebagian besar konseli yang berusia 17 tahun tidak memiliki keterampilan intelektual yang lebih tinggi. Hanya 1-5% yang dapat menulis essay persuasive, 1-3% yang dapat memecahkan soal matematika, dan hampir 40% tidak dapat membuat kesimpulan dari bahan-bahan tertulis (Costa, 1985: 2).

5 Keterampilan berpikir kritis dan kreatif konseli dalam belajar sangat penting untuk ditingkatkan, didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: 1. Berpotensi untuk mengembangkan daya berpikirnya, konseli mampu berpikir operasional formal, yaitu mampu mengoprasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Perilaku kognitif yang tampak antara lain: kemampuan berpikir hipotesis-deduktif, kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada, kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui, dan kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari berbagai kategori objek yang beragam (Piaget dalam Makmun, 2004:103-104). Dengan perkembangan berpikir operasional formal, konseli mampu memecahkan masalah belajar saat ini dan pada masa depan. 2. Memasuki masa perkembangan yang menuntut banyak mengambil keputusan dari beberapa pilihan dan pada umumnya konseli tidak mau diperlakukan seperti anak-anak masih kecil, didikte, dikendalikan, diatur, dinasehati, dan disalahkan oleh orang dewasa (Fasick dalam Rice, 1996:336). 3. Berpotensi untuk mampu belajar mandiri, yaitu mampu merancang program dan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan minat dan cita-citanya (Meriam & Caffarella dalam Nurhayati, 2010: 5). Konseli mampu menentukan kebutuhan, materi, cara, program, sumber, strategi, jadwal, proses dan evaluasi dalam melakukan kegiatan belajar. 4. Tertuntut untuk mampu belajar sendiri, mencari, memperdalam, dan mengkaji sendiri bahan yang dipelajari tidak banyak meminta bantuan kepada orang lain, serta menentukan manfaat yang dipelajari bagi dirinya.

6 5. Meningkatnya arus informasi, terutama teknologi internet menuntut untuk mampu berpikir kritis dan kreatif dalam belajar. Siswa perlu menguasai keterampilan-keterampilan untuk memperoleh, mengatur, dan memanfaatkan informasi untuk kemajuan dalam belajar dan hidupnya. 6. Memasuki jenjang pendidikan tinggi yang menuntut mereka memiliki keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif dalam belajar, begitu juga bagi konseli yang akan terjun memasuki dunia kerja, harus mampu menghadapi dan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata di masyarakat. 7. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pihak sekolah, khususnya pihak guru untuk meningkatkan keterampilan belajar konseli misalnya dengan menyelenggarakan pemantapan belajar, memberikan remedial, dan tugastugas tambahan lainnya, sayangnya upaya sistematis seperti itu belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Peningkatan keterampilan belajar pada siswa SMA tidak akan efektif jika hanya dilakukan oleh pihak yang mempunyai peran langsung melaksanakan proses pembelajaran yaitu guru, tetapi juga perlu ada kolaborasi dengan pihak lain khususnya konselor dan kepala sekolah, untuk itu diperlukan solusi lain yang didesain secara khusus. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melalui layanan model bimbingan dan konseling yang relevan untuk meningkatkan keterampilan belajar. Model konseling yang mampu memberdayakan pihak-pihak terkait secara kolaboratif yang meliputi konselor, guru, dan kepala sekolah, serta memandang proses bimbingan dan konseling sebagai hubungan kemitraan antara konselor dengan konseli dan upaya bantuan terarah untuk mengatasi masalah

7 keterampilan belajar konseli perlu diupayakan di SMA. Model bimbingan dan konseling yang dipandang relevan adalah bimbingan dan konseling kolaboratif. Model bimbingan dan konseling kolaboratif dilandasi oleh filsafat konstruktivisme dan konstruksionisme sosial. Konstruktivisme memandang bahwa terdapat berbagai kenyataan selama manusia berhubungan dengan lingkungan, sebagai bahan untuk menemukan masalah yang sesuai dengan faktorfaktor lingkungan, tetapi tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, ras, kelas, etnis, agama, dan latar belakang keluarga. Konstruksionisme sosial memandang bahwa kebermaknaan terbentuk melalui interaksi, hubungan dan proses sosial. Kebermaknaan itu terjadi secara terus-menerus jika individu berinteraksi dan berbicara dengan orang lain atau dengan dirinya sendiri. Kebermaknaan itu dibentuk melalui bahasa dan terjadi dalam realitas sosial yang selalu mengalami perubahan.(berger & Luckmann, Gergen dalam Bertolino dan O Hanlon,2002: 4). Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar di sekolah. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah (1) kemampuan berkomunikasi konselor dengan kepala sekolah, guru, (2) kegiatankegiatan personil terkait dengan bimbingan dan konseling, serta (3) lingkungan sosial budaya sekolah. Komunikasi dan kolaborasi antara konselor dengan kepala sekolah, guru, dan konseli yang tidak terlaksana dengan baik, akan menghambat terlaksananya upaya peningkatan keterampilan belajar konseli dan pada gilirannya berdampak terhadap tercapainya tujuan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Kartadinata (2005:109) mengemukakan bahwa kepala sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung pelaksanaan program bimbingan dan

8 konseling, kerja sama yang baik antara konselor dan kepala sekolah akan sangat menentukan keberhasilan bimbingan dan konseling. Pelaksanaan bimbingan dan konseling juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan pelaksanaan pembelajaran di sekolah dalam rangka memfasilitasi perkembangan dan memberikan layanan kepada konseli, karena itu personil yang terlibat dalam kedua bidang kegiatan tersebut perlu saling mendukung dan saling melengkapi, dengan arti lain dalam melaksanakan tugasnya, konselor dengan guru harus bekerja sama dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukmadinata (2005:404) bahwa terdapat hubungan yang saling mendukung antara bimbingan dan konseling dengan pengajaran karena kedua program tersebut bermuara pada pengembangan aspek kepribadian konseli. Dengan demikian ketiga unsur personil sekolah yaitu kepala sekolah, guru dan konselor merupakan tim bimbingan dan konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kerja sama konselor dengan kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di SMA belum menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Afri (1994:93) melaporkan hasil studinya bahwa kepala sekolah dan guru kurang peduli terhadap bimbingan dan konseling, kepala sekolah sering tidak merespon terhadap program bimbingan dan konseling yang diajukan konselor. Demikian pula guru sering merasa kewalahan dengan berbagai tugas pengajaran yang harus dilakukannya, terlebih jika harus ditambah dengan tugas membimbing dan mengatasi masalah konseli sebagaimana dikemukakan Natawidjaja (1988:43) bahwa dalam melaksanakan peran bimbingan pada proses belajar mengajar, seringkali guru dihadapkan dengan berbagai tugasnya sehari-hari karena harus menangani jumlah

9 siswa yang begitu banyak, sehingga tugas bimbingan dianggap sebagai tugas amat berat. Hasil studi pendahuluan di enam buah SMA Negeri Kabupaten Bandung Barat yang terdiri atas SMAN I Cisarua, SMAN I Padalarang, SMAN I Batujajar, SMAN II Padalarang, SMAN I Parongpong, SMAN I Ngamprah, menunjukkan bahwa: (1) profil keterampilan belajar siswa SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat adalah 46,67% berada pada kategori tinggi dan sisanya sebesar 53,33% berada pada kategori rendah; (2) komunikasi antara konselor dengan kepala sekolah, guru dan siswa masih belum optimal, (3) konselor, kepala sekolah dan guru belum menunjukkan kinerja yang optimal dalam memfasilitasi dan mendukung upaya peningkatan keterampilan belajar konseli, (4) kondisi lingkungan sosial budaya sekolah belum mendukung terlaksananya pelaksanaan bimbingan dan konseling. Temuan ini merupakan bukti yang menunjukkan masih lemahnya keterampilan belajar siswa, serta kondisi objektif tentang layanan bimbingan dan konseling di SMA. Karena itu melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan solusi untuk memperbaiki kondisi tersebut yaitu berupa model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa di sekolah menengah. Uraian di atas, menunjukkan bahwa kerjasama (kolaborasi) antara konselor dengan kepala sekolah, guru dan konseli memiliki peranan penting dalam meningkatkan keterampilan belajar siswa, karena itu melalui penelitian ini diharapkan akan muncul suatu solusi yang dapat memperbaiki kondisi tersebut yaitu berupa model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa di sekolah menengah. Dipilihnya penelitian dan

10 pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa, didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. Model bimbingan dan konseling kolaboratif pada hakikatnya merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada konseli untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa melalui proses kolaborasi antara konselor dengan kepala sekolah, guru dan konseli yang menekankan pada perubahan pandangan, tindakan, dan suasana secara terintegrasi, sehingga dapat menyelesaikan masalah keterampilan belajar siswa saat ini dan di masa depan. 2. Model bimbingan dan konseling kolaboratif adalah salah satu bentuk motivasi konselor dalam merancang dan melaksanakan peningkatan keterampilan belajar siswa dengan banyak menghampiri, mendengarkan, menghargai, memvalidasi, membina hubungan dan melibatkan konseli dalam mengatasi masalah keterampilan belajar. 3. Model bimbingan dan konseling kolaboratif merupakan bantuan yang memperhatikan perubahan-perubahan sebelum diberi bantuan, hubungan, model dan teknik yang akan digunakan, latar belakang dan sosial budaya sekolah, mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam memahami konseli, menggunakan dialog dan interaksi sebagai wahana untuk meningkatkan keterampilan belajar dan kebermaknaan hidup konseli. 4. Bimbingan dan konseling kolaboratif berasumsi bahwa tujuan membantu konseli adalah memberikan jalan dan memfasilitasi dalam menentukan pemecahan masalah keterampilan belajar, membangun hubungan yang harmonis akan banyak menyumbangkan hasil, perlakuan yang efektif selalu

11 berorientasi pada perubahan dan masa depan, konseli mempunyai kemampuan, keunggulan dan pengalaman dalam memecahkan masalah keterampilan belajar, dan gagasan yang mendasar akan lebih efisien dalam membantu konseli. B. Identifikasi Masalah Beberapa fenomena sebagaimana digambarkan di atas mengadung makna bahwa: (1) Di sekolah ada tiga unsur personil yang memiliki peran penting dalam rangka memberikan layanan kepada konseli. Hal ini berimplikasi terhadap perlunya kerja sama sebagai landasan untuk menyusun kerangka kerja dan meningkatkan keterampilan belajar siswa di sekolah; (2) Adanya kesenjangan antara kerja sama yang diharapkan dari konselor, kepala sekolah, guru dan konseli dengan kondisi aktual di lapangan, yang berimplikasi terhadap perlunya penyusunan kerangka kerja bimbingan dan konseling kolaboratif yang sesuai dengan kondisi sosial budaya di mana bimbingan dan konseling tersebut diselenggarakan, (3) Untuk memberikan kontribusi yang jelas terhadap keberhasilan akademik siswa dalam bidang keterampilan belajar di SMA, maka konseling kolaboratif perlu dikembangkan menjadi model bimbingan dan konseling yang komprehensif, sistematis, dan profesional. Atas dasar itulah model bimbingan dan konseling kolaboratif dipilih sebagai suatu model bimbingan dan konseling untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa di SMA. C. Pertanyaan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

12 1. Bagaimana profil keterampilan belajar siswa SMA di Kabupaten Bandung Barat? 2. Bagaimanakah kondisi objektif kerja sama konselor, kepala sekolah dan guru ditinjau dari aspek komunikasi, lingkungan sosial budaya, dan kegiatan personil di SMA yang ada di Kabupaten Bandung Barat? 3. Bagaimana bentuk model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA? 4. Apakah model bimbingan dan konseling kolaboratif dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA secara efektif? D. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA. Secara operasioanl tujuan penelitian ini adalah menemukan hal-hal berikut: (1) profil keterampilan belajar siswa SMA, (2) kondisi objektif kerja layanan bimbingan dan konseling di SMA ditinjau dari komunikasi konselor dengan kepala dan guru, lingkungan sosial budaya sekolah, dan kegiatan personil sekolah terkait dengan bimbingan dan konseling, (3) model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA, dan (4) model bimbingan dan konseling kolaboratif yang efektif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA. E. Manfaat Penelitian Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan berupa konsep, prinsip bimbingan dan konseling kolaboratif di SMA, serta konsep

13 keterampilan belajar siswa. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para konselor sebagai salah satu model alternatif bimbingan dan konseling untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa. Bagi guru-guru, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam rangka melaksanakan pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa. Demikian juga bagi kepala sekolah, model bimbingan dan konseling ini dapat menjadi bahan masukan untuk meningkatkan dukungannya terhadap peningkatan keterampilan belajar siswa sehingga tujuan pendidikan sekolah tercapai secara efektif. Bagi para pakar bimbingan dan konseling, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan kajian untuk mengembangkan model-model bimbingan dan konseling lainnya. Bagi Lembaga Pendididikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan kemampuan para calon konselor di bidang layanan bimbingan dan konseling. F. Asumsi Penelitian Penelitian dan pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar ini bertolak dari asumsi sebagai berikut: 1. Keterampilan belajar adalah salah satu aspek kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan. 2. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif perlu dan dapat dikembangkan secara seimbang sebagai alat belajar (tools of learning) yang menunjang keberhasilan dalam menyelesaikan masalah belajar dan masalah kehidupan pada umumnya (Nurhayati, 2010).

14 3. Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi mutu personil bimbingan dan konseling, mutu proses bimbingan dan konseling, serta mutu manajemen bimbingan dan konseling, sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan sosial sekolah, di antaranya mutu personil sekolah, mutu manajemen sekolah, mutu pengajaran, mutu alat, dan fasilitas yang memadai (Juntika Nurihsan, 1998:13). 4. Bimbingan dan konseling kolaboratif menekankan pada berbagai kemampuan, keunggulan, potensi, dan pengalaman yang dimiliki individu. Sumber pemecahan masalah ada di masyarakat dan dalam jaringan kerja sosial yang diciptakan oleh konselor (O Hanlon, 1994:23). 5. Model bimbingan dan konseling kolaboratif memandang bahwa konselor bukan satu-satunya sumber untuk membantu memecahkan masalah. Personil sekolah merupakan sumber daya manusia yang potensial untuk meningkatkan keberhasilan bimbingan dan konseling di sekolah. ( O Hanlon, 1994:23 ). 6. Konselor secara sistematis harus melaksanakan hubungan kolaboratif dengan kepala sekolah selaku pimpinan lembaga dan guru sebagai pelaksana pengajaran sehingga dapat memberikan bantuan dan dukungan terhadap layanan bimbingan dan konseling. Hubungan kerja sama antara konselor dengan kepala sekolah dan guru dalam layanan bimbingan dan konseling sangat vital. Tanpa kerja sama antara konselor dengan kepala sekolah dan guru, kegiatan bimbingan dan konseling akan banyak mengalami hambatan (Prayitno, 1997: 196).