Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.18, No.1 Juni 2013, hlm. 51 58 e-mail: fhukum@yahoo.com MODEL PENATAAN YURIDIS TANAH TERLANTAR (STUDI KASUS TANAH-TANAH TERLANTAR DI KABUPATEN MALANG) Diah Aju Wisnuwardhani Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang Abstrak Kejelasan konsep hukum tanah terlantar yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dijumpai ada dua istilah tanah terlantar dan ditelantarkan. Konsep tanah terlantar lebih tepat dipakai untuk menyatakan keadaan fisik sebidang tanah adalah: tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya, tidak dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, dan tidak dipelihara dengan baik. Konsep tanah ditelantarkan lebih menekankan pada perbuatan pemegang hak atas tanah yang sengaja menelantarkan tanah sehingga tanah menjadi terlantar. Dalam hal ini perbuatan menelantarkan tanah harus dibuktikan terlebih dahulu dengan meneliti keadaan fisik dan kriterianya. Untuk menjawab atau menjelaskan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan penertiban tanah terlantar ada hambatan yuridis dan yang non-yuridis sifatnya. Kata kunci: Tanah Terlantar, Model Penataan Yuridis, Hambatan Yuridis dan Non Yuridis. Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai penjabaran dari pasal 33 UUD 1945 merupakan upaya dalam rangka mewujudkan hukum agraria nasional yang dapat menjamin kepastian hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga untuk mewujudkan bumi, air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai sumber kesejahteraan lahir dan batin, adil dan merata untuk sepanjang masa. Penjelasan UUPA lebih lanjut menerangkan bahwa hak apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bila tanahnya itu dipergunakan (atau tidak diperkenankan) sematamata untuk kepentingan pribadi, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat dan negara. Sehingga tanah juga harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburannya dan dicegah kerusakannya. Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau ditelantarkan yang sesuai dengan pasal 27 (a). butir 3, pasal 34 (e), dan pasal 40 (e) UUPA hak atas tanah akan hapus dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan. Fakta di lapangan bahwa pertumbuhan jumlah tanah terlantar di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Secara keseluruhan jumlah tanah terlantar di Indonesia mulai dari tahun 1986 sampai tahun 2005 sebesar 100.687,276 Ha. Di Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jawa Timur jumlah tanah terlantar sampai dengan tahun 2005 mencapai 1931,276 Ha. Fakta tanah yang diduga terlantar tidak dapat dilepasakan dari akibat peyimpanan peruntukan lahan 51
Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 51 58 menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) terhadap penggunaan tanah saat ini. Adapun data lahan yang dialihfungsikan tidak sesuai dengan peruntukan berdasarkan RTRW Propinsi Jawa Timur. Semakin meningkatnya jumlah tanah terlantar mendorong pemerintah untuk kembali menertibkan tanah terlantar dengan mengeluarkan PP. No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, setelah sebelumnya (tahun 1996) pemerintah mengeluarkan PP. No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai. Keberadaan tanah terlantar yang semakin bertambah sangat merugikan kehidupan manusia pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada khususnya. Bahkan kerugian itu sampai menyentuh seluruh aspek kehidupan baik itu sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan, kesejahteraan dan sebagaimana. Kerusakan tanah karena tanah terlantar pada akhirnya menjadikan generasi penerus bangsa ini tidak dapat menikmati hidup yang layak, bahkan jauh dari kemakmuran. Sedangkan dalam Rancangan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tertanggal 19 Januari 2005 menyatakan penegasan kembali bahwa tanah sebagai sumber daya yang potensial tanah menepati posisi sentral dalam Negara Indonesia dan dikelola oleh Negara dalam wadah Negara Kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 serta dijabarkan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan adanya rancangan ini jelaslah salah satu masalah yang perlu untuk ditangani dengan segera adalah masalah tanah terlantar, karena masalah ini sangatlah rumit dan bila tak ditangani secara serius atau secara professional maka masalah ini akan terus berkembang yang sampai akhirnya akan menghambat pembangunan itu sendiri. Berpijak pada uraian di atas, maka dalam tulisan ini dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana konsep tanah terlantar diterapkan pada penertiban tanah-tanah di wilayah Kabupaten Malang? 2) Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Pemerintah dalam melakukan penertiban tanah terlantar di wilayah Kabupaten Malang? Konsep Tanah Terlantar Menurut Hukum Adat Memahami pemikiran masyarakat adat tentang tanah yang dijelaskan oleh Para ahli hukum adat, menunjukkan bahwa keberadaan manusia tidak dapat dilepaskan dengan tanah, ia merupakan unsur yang esensi yang paling diperlukan selain untuk kebutuhan hidup yang lainnya. Ditegaskan pula bahwa tanahlah yang merupakan modal satu-satunya bagi manusia. Adapun ciri-ciri hukum adat dalam memandang tanah dapat diketahui dari para pakar dalam mengidentifikasinya yaitu: 1) Menurut I Gede Wiranata (2004, 224): Tanah mempunyai sifat yang tetap keadaannya tidak pernah berubah. Karena merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh anggotanya, sekaligus memberikan penghidupan kepada pemiliknya. maka merupakan suatu kesatuan dimana nantinya pemilik akan dikubur setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur; 2) Menurut Van Dijk yang diterjemahkan MR. A. Soehardi (1979, 56): Membahas tanah tidak dapat dilepaskan dari corak persekutuan-persekutuan hukum, karena itu tanah merupakan modal yang terutama dan satu-satunya. Campur tangan persekutuan itu sehingga kesatuan dengan menggunakan Kepala Persekutuan sebagai alatnya untuk mengutus hak-hak perorangan dalam suatu persekutuan. 3) Menurut B. Ter Haar Bzn yang diterjemahkan K. Ng Soebekti poesponoto: Tanah adalah tempat di mana mereka diam, tanah memberikan makan mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orangorang halus pelindungnya. 52
Model Penataan Yuridis Tanah Terlantar (Studi Kasus Tanah-Tanah Terlantar di Kabupaten Malang) Diah Aju Wisnuwardhani Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanah menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan moneter secara individu, maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum belaka. Tetapi yang utama suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal, dimana semua anggota masyarakat pada dasarnya mempunyai kewajiban mengolah tanah yang baik. Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan benar dari seseorang pemegang hack atas tanah adalah merupakan perwujudan prestasi dari sebuah hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan kewajiban didapati tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga kedapatan tanah tidak terpelihara, terawatt, bahkan tidak produktif, maka tanah itu disebut tanah terlantar. Maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan hukum. Hak pengelolaan diberikan kepada orang lain Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) Berdasarkan hakekatnya yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA) maka hal tanah terlantar menjadi focus yang perlu dimengerti oleh semua pihak dan untuk dijaga agar tidak terjadi adanya tanah terlantar. Dalam UUPA tanah terlantar dijelaskan dalam pasal berikut ini: 1) Pasal 27 poin a.3 UUPA yang berbunyi: Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan, dalam penjelasan, tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya; 2) Pasal 34c UUPA yang berbunyi: HGU hapus karena ditelantarkan dengan penjelasan; sama dengan penjelasan pasal 27 UUPA; 3) Pasal 40e UUPA yang berbunyi: HGB hapus karena ditelantarkan dengan penjelasan; sama dengan penjelasan pasal 27 UUPA. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa: setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara apabila ditelantarkan artinya ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pada haknya, maka itu artinya: menelantarkan tanah hak. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, dalam menimbang poin b menyebutkan: Bahwa oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud. Oleh karena itu pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak (HGU, HGB, dan Hak Pakai), obyek hak, jangka waktu dan lamanya suatu hak, diberikan oleh negara kepada subyek hak. Apabila kewajiban pemegang hak tidak dilaksanakan maka berdasarkan ketentuan dalam pasal 17e bahwa Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan; dalam penjelasannya sesuai dengan penjelasan yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan terdapat dalam pasal 35e yang menyatakan Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan. Untuk pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya Hak Pakai yaitu yang diatur dalam pasal 55e sebagai berikut: Hak pakai hapus karena diterlantarkan. Hapusnya hak pakai tidak diatur oleh UUPA. Dari ketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya hak atas tanah 53
Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 51 58 dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menggunakan istilah diterlantarkan, pengertian diterlantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA tentang hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai tidak diatur adanya tanah ditelantarkan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam bagian menimbang pada huruf b peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam uraian tesebut jelaslah semakin banyak jumlah tanah terlantar di Indonesia dan memerlukan tindakan penertiban. Definisi dari tanah terlantar yang tertuang dalam pasal 1 ayat (5) yang menyebutkan: Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya pengertian tanah terlantar juga terdapat pada pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang menyebutkan: Tanah Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Menurut Permendagri no. 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan/atau ditelantarkan di daerah propinsi Jawa Barat (A.P. Parlindungan, 1990, 16). Dalam Menimbang huruf a disebutkan bahwa dengan membiarkan tanah-tanah perkebunan dalam keadaan terlantar atau ditelantarkan pemegang haknya atau pengusahanya tidak mempergunakan atau menggunakan sebagaimana mestinya adalah merupakan pelanggaran terhadap fungsi sosial, disamping merupakan kelalaian dari pada pengusaha atau pemegang hak yang tidak mengindahkan kewajiban dalam mengusahakan perkebunannya secara baik dan layak. Dari beberapa pengertian tanah terlantar diatas, menunjukkan adanya pengertian yang bervariasi tergantung pada maca Hak Atas tanah dan itu menimbulkan persepsi yang berbeda-beda pula antara petugas, pejabat dan masyarakat. Konsep Tanah Terlantar yang Diterapkan pada Penertiban Tanah-Tanah di Wilayah Kabupaten Malang Setelah ditemukan mengenai konsep tanah terlantar dalam arti hukum maka melalui pendekatan konsep hukum dan pendekatan analisis, terhadap makna konsep hukum tanah terlantar tersebut akan diujikan pada kasus-kasus tanah yang teridentifikasi terlantar yang terjadi pada tanahtanah di Kabupaten Malang: 1) Desa Senggreng, Kecamatan Sumberpucung, tanah teridentifikasi dengan status hak erfpacht yang mana hasil perkebunan tidak optimal lagi dan tanah kemudian diduduki oleh warga untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Untuk langkah-langkah penanganan penertitaban tanah terlantar, lahan ini masih dalam proses penyelesaian; 2) Desa Maguan, Kecamatan Ngajum, tanah teridentifikasi lahan status Hak Milik dengan dimiliki oleh Mbok Saerah. Cerita dari warga setempat, Mbok saerah adalah selir dari Pejabat semasa penjajahan Belanda yang diberi tanah berhektar-hektar termasuk di Desa Maguan. Sepeninggalan Mbok Saerah tanah ini diwariskan pada anak dan cucunya, tetapi setelah bertahuntahun ditinggalkan oleh cucunya maka tanah ini dikerjakan oleh warga setempat dan sebagian lagi telah dijadikan fasilitas desa seperti Sekolah dan 54
Model Penataan Yuridis Tanah Terlantar (Studi Kasus Tanah-Tanah Terlantar di Kabupaten Malang) Diah Aju Wisnuwardhani Masjid. Untuk langkah penertiban tanah terlantar masih dalam proses dan sebagian lagi telah masuk dalam program redistribusi. Berdasarkan data di atas dapat diketahui karakter terlantarnya tanah di daerah Kabupaten Malang yaitu: 1) Teridenttifikasi produksi tidak maksimal, ini menunjukkan bahwa obyek hak tidak dikerjakan secara optimal; 2) Lahan ditinggalkan pemiliknya. Ini menunjukkan bahwa subyek hak meninggalkan hak atas tanahnya. Peneliti menambahkan pada poin ini, ada kemungkinan tanah yang seperti ini diidentifikasikan sebagai tanah absentee; 3) Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya diduduki oleh warga sekitar dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada kasus-kasus tanah terlantar yang terjadi di Kabupaten Malang tidak dapat diketahui berapa jangka waktu tertentu kapan tanah disebut terlantar. Di sinilah letak kekurangan konsep tanah terlantar. Itu sebabnya pada perbaikan konsep, ketetapan waktu diperlukan untuk menyatakan sebidang tanah adalah terlantar. Selanjutnya terhadap tanah terlantar perlu ada tindakan dari pejabat yang berwenang untuk menyatakan bahwa tanah adalah terlantar yang berakibat hapusnya hak atas tanah, kemudian tanah kembali dikuasai oleh negara. Adapun kriteria Tanah Terlantar dalam penerapannya pada Penertiban tanah terlantar di Kabupaten Malang yaitu: 1) Adanya subyek/pemegang hak atas tanah; 2) Adanay obyek (tanah) dengan hak tertentu; 3) Ada perbuatan yang sengaja tidak menggunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan dari pada haknya; 4) Pemegang mengabaikan kewajibannya dengan tidak memelihara kesuburan tanah, tanah tidak diusahakan secara produktif, tidak mengindahkan fungsi sosial hak atas tanah; 5) Adanya jangka waktu tertentu dimana pemegang hak mengabaikan kewajibannya. Dengan dipenuhinya kriteria tersebut diatas maka itu dapat dipakai untuk menetapkan bahwa tanah dengan hak tersebut adalah terlantar. Kemudian penetapan tanah terlantar itu dapat dipakai sebagai dasar pembatalan hak atas tanah, sehingga status tanah menjadi dalam penguasaan negara yang selanjutnya dapat diserahkan kepada orang lain. Kendala-Kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Melakukan Penertiban Tanah Terlantar di Wilayah Kabupaten Malang Tindakan penertiban terhadap lahan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diduga terlantar, merupakan upaya pemerintah menyelesaikan masalah pertanahan yang timbul yaitu, terdapatnya bidang-bidang tanah yang keadaannya terlantar, jika tidak ditangani akan akan mengganggu jalannya pembangunan, mengingat persediaan tanah yang semakin terbatas dari kebutuhan tanah untuk pembangunan semakin meningkat. Dari sisi hukum, setiap hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya mempergunakan tanah dalam arti permukaan bumi. Kewenangan itu dibatasi sesuai dengan hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Demikian juga ada pembatasan umum yang merupakan asas yang harus ditaati untuk dilaksanakan yaitu: penggunaan wewenang tersebut tidak boleh menimbulkna kerugian bagi pihak lain atau mengganggu pihak lain. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, hak atas tanah juga diberikan kewengan untuk menggunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus yang dimiliki setiap hak atas tanah (Hak Milik, HGU, HGB dsb) itu merupakan batasan atas kewenangan yang dimiliki oleh seseorang dalam menggunakan tanahnya. Itulah sebabnya apabila penggunaan tanah tidak sesuai penggunaannya tidak lagi sesuai dengan keadaan dan sifat dan tujuan haknya dan itu baru diperhatikan oleh pemerintah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan 55
Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 51 58 Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam PP tersebut ruang lingkup dan kriteria tanah terlantar secara rinci diatur, demikian juga tata cara identifikasi serta tim penilaiyang melaksanakannya. Jadi secara yuridis penertiban itu merupakan landasan berlaku sekaligus petunjuk tahapan tindakan-tindakan penertibannya. Secara garis besar tindakan penertiban dilaksanakan dalam 4 tahap yaitu 1) Tahap identifikasi, dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan; 2) Tahap penilaian, dibentuk oleh oleh Menteri dengan sebutan Panitia Penilai yang diketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan dan beranggotakan wakil dari instansi-instansi yang terkait dengan penggunaan tanah yang bersangkutan; 3) Tahap peringatan, dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak atau pihak lain yang memperoleh tanah diberi peringatan ada dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya; 4) Tahap penetapan sebagai tanah terlantar, dilaksanakan oleh Menteri yang menetapkan sebidang tanah adalah terlantar. Dalam upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan SK Nomor 24 Tahun 2002 tentang pelaksanaan PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, berdasarkan evaluasi yang dilakukan terhadap pelaksanaan PP tersebut ternyata belum dapat berjalan secara efektif. Dalam penertiban tanah terlantar di Satuan Wilayah Pengembangan Jawa Timur, banyak kendala yang dihadapi antara lain: 1) Dari konsep tanah terlantar, belum ada kesamaan persepsi di antara para petugas lapangan, hal itu terjadi ketika para petugas melakukan identifikasi, berhadapan dengan keadaan fisik tanah yang diduga terlantar; 2) Biaya untuk identifikasi terbatas; 3) Lemahnya koordinasi dengan instansi terkait lainnya; 4) Mekanisme sangat rumit mencapai tahap-tahap penertiban; 5) Penetapan jangka waktu penentuan terlantar tidak sama diantara para petugas; 6) Jangka waktu peringatan terlantar yang panjang (3x1 tahun). Dengan adanya kendala yang dihadapi dalam melakukan penertiban terhadap tanah terlantar maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Perbedaan persepsi mengenai konsep-konsep kriteria tanah terlantar artinya: a. Dalam kenyataannya tanah dipergunakan dengan ditanami tanaman pangan bukan tanaman kebun. Kondisi ini secara fisik tidak terlantar tetapi tidak sesuai dengan sifat dan tujuan haknya (dalam hal ini HGU untuk perkebunan); b. Penetapan jangka waktu agar dapat dinyatakan terlantar tidak dicantumkan dalam kriteria tanah terlantar; c. Secara fisik tidak ada pekerjaan kebun (tidak produktif) tetapi HGU masih punya nilai ekonomi sehingga sulit menetapkan sebagai tanah terlantar; 2) tidak cukup biaya atau kekurangan biaya dari Pemerintah untuk melakukan identifikasi. Itu sebabnya pekerjaan identifikasi berhenti hanya sampai membuat catatan saja belum meningkat sampai tahap penilaian. Pada tahap ini melibatkan dari instansi terkait; 3) Koordinasi belum terjalin dengan baik, sehingga fungsi kontrol dan bimbingan, penyuluhan, kepada pemegang hak tidak berjalan. Hal ini terjadi karena perubahan Pemerintahan Daerah, Kota/Kabupaten yaitu diterapkannya otonomi daerah. Jadi Pemerintah Kota dan Kantor Pertanahan masih mempelajari bagaimana bidang pertanahan ini diatur, mengingat Hukum Agraria Nasional bersifat sentralistik; 4) Mekanisme yang rumit ini digambarkan dalam uraian tahap-tahap penertiban yang tidak mudah dilakukan, kalau itu terjadi berarti suatu kepastian hukum tidak mudah dicapai. Tahap penertiban yang ada dalam PP No. 36 Tahun 1998 bukan merupakan tindakan hukum, tetapi lebih bersifat tindakan preventif. Demikian juga penetapan jangka waktu 1 tahun untuk peringatan pertama, kedua 1 tahun dan ketiga juga 1 tahun menunjukkan agar ada perbaikan pengguna- 56
Model Penataan Yuridis Tanah Terlantar (Studi Kasus Tanah-Tanah Terlantar di Kabupaten Malang) Diah Aju Wisnuwardhani an tanah, supaya tidak dinyatakan terlantar. Terlebih lagi apabila perbuatan menelantarkan karena faktor ekonomi, harus dibantu penyediaan dana untuk biaya memperbaiki usaha. Penutup Bertolak dari perumusan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, penulis memberikan beberapa kesimpulan: Kejelasan konsep hukum tanah terlantar yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dijumpai ada dua istilah tanah terlantar dan ditelantarkan. Konsep tanah terlantar lebih tepat dipakai untuk menyatakan keadaan fisik sebidang tanah adalah: tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya, tidak dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, dan tidak dipelihara dengan baik. Konsep tanah ditelantarkan lebih menekankan pada perbuatan pemegang hak atas tanah yang sengaja menelantarkan tanah sehingga tanah menjadi terlantar. Dalam hal ini perbuatan menelantarkan tanah harus dibuktikan terlebih dahulu dengan meneliti keadaan fisik dan kriterianya. Untuk menjawab atau menjelaskan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan penertiban tanah terlantar ada hambatan yuridis dan yang non-yuridis sifatnya. Hambatan-hambatan yang bersifat yuridis pada umumnya adalah: 1) Peraturan perundang-undangan yang ada belum aplikatif, menimbulkan banyak persepsi terutama tentang pengertian tanah terlantar dan kriterianya; 2) Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur (mulai peraturan tentang proses permohonan hak sampai pada penertiban tanah terlantar, membingungkan pejabat maupun masyarakat yang membutuhkan tanah. Sedangkan hambatan-hambatan non-yuridis dapat berupa: 1) Mekanisme sangat rumit mencapai tahap-tahap penertiban; 2) Penetapan jangka waktu penentuan terlantar tidak sama diantara para petugas; 3) Jangka waktu peringatan tanah terlantar terlalu panjang (yaitu 3x1 tahun). Daftar Pustaka Bzn, Haar, B. Ter, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dijk, R. van, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur, Bandung. Gouwgioksiong, 1967, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Kenta, Jakarta. Harsono, Budi, 1996, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Bandung. Harsono, Boedi, 1997, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Peranginan, Effendi, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Parlindungan A.P., 1983, Aneka Hukum Agraria, Bandung. Parlindungan, A.P., 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju, Bandung. Wignjosoebroto, Soetanyo, Perbedaan Konsep Tentang Dasar Hak Penguasaan Atas Tanah Antara Apa Yang Dianut dalam Tradisi Pandangan Pribumi, dan Apa yang Dianut dalam Hukum Postif Eropa, Arena hukum. Wiranata, I Gede, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung. Pedoman Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah di Indonesia, 2003, CV. Mitra Karya, Jakarta. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 2004, Bandung: Fokus Media Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (Amandemen Ke I, II, III, dan IV, 2002, PT. Tatanusa, Jakarta. Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan 57
Jurnal Cakrawala Hukum Vol.18, No.1 Juni 2013: 51 58 Peraturan Presidean RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, 2005, Fokusmedia, Bandung. SK Kepala BPN No. 24 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah beserta Peraturan Pelaksanaannya, 1999, Harvarindo, Jakarta. 58