BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu masalah besar di bidang kesehatan masyarakat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai terjadinya gejala klinis yang cepat berupa gangguan fungsi serebral dengan symptom yang berlangsung selama 24 jam atau lebih tanpa adanya kausa yang jelas selain yang berasal dari sistem vaskuler. Dari seluruh kondisi kronis, stroke dianggap sebagai kelainan yang paling menyebabkan ketidakberdayaan (disabling) (Suwantara, 2004). Menurut taksiran WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama penyebab kematian setelah jantung dan kanker. Setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa serangan stroke berulang (Sutrisno, 2007). Davenport, R & Dennis, M (2000) juga mengungkapkan bahwa 10-16% penderita stroke memiliki risiko untuk mengalami serangan ulang dan risiko kematian akibat stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Di Indonesia, stroke juga menempati posisi ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52% per 100.000 penduduk Indonesia berumur di atas 65 tahun ditaksir terkena stroke, sedangkan jumlah orang yang meninggal dunia akibat stroke diperkirakan 125.000 jiwa per tahun (Sutrisno, 2007). Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh Indonesia. Dari data epidemiologi di Indonesia diketahui bahwa beberapa rumah sakit di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia kurang lebih 50% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit saraf adalah pasien stroke dan kurang lebih 5 persennya meninggal karena stroke (Grehenson, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Situmorang (2010) di RSUD dr. Pirngadi Medan diketahui bahwa dari 298 orang penderita stroke yang dirawat inap pada tahun 2009, 114 orang diantaranya meninggal dunia dengan Case Fatality Rate (CFR) 38,25%. Penderita stroke yang meninggal tersebut 63% akibat serangan stroke pertama dan 37% lagi akibat stroke berulang (pernah mengalami stroke sebelumnya). Berdasarkan faktor risiko stroke yang dialami oleh penderita stroke tersebut diketahui tertinggi (55,3%) karena menderita hipertensi dan terendah (0,9%) karena hiperkolesterol. Berdasarkan hasil survei pendahuluan diketahui bahwa pada tahun 2010 terjadi peningkatan kasus stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu dari 298 kasus stroke tahun 2009 menjadi 363 kasus stroke tahun 2010. Menurut Amri Amir pada
Harian Online Sumut Pos Maret 2010, terdapat 10-20 pasien stroke yang datang berobat ke RSU dr. Pirngadi setiap harinya. Pada kasus stroke, akibat yang dialami oleh pasien dapat bervariasi. Pada kasus stroke berat dapat terjadi kematian, sedangkan pada kasus ringan (tidak meninggal) dapat terjadi beberapa kemungkinan seperti stroke berulang, dementia dan depresi. Stroke berulang merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan pasien stroke karena dapat memperburuk keadaan dan meningkatkan biaya perawatan. Pinzon & Asanti (2010) mengungkapkan bahwa serangan stroke berulang umum dijumpai. Serangan stroke berulang lebih berakibat fatal daripada serangan stroke yang pertama. Pinzon & Asanti (2010) mengutip beberapa hasil penelitian tentang stroke berulang antara lain; penelitian Xu tahun 2007 memperlihatkan bahwa serangan stroke berulang pada tahun pertama dijumpai pada 11,2% kasus, penelitian lain oleh Leira tahun 2004 pada 1.266 pasien stroke menunjukkan bahwa serangan stroke berulang pada tiga bulan pertama adalah sebanyak 4,9%, pengamatan Hardi, tahun 2005 selama 5 tahun pasca serangan stroke, serangan stroke berulang dijumpai pada 32% kasus. Hal ini berarti sepertiga pasien stroke akan mengalami serangan stroke dalam 5 tahun pasca serangan stroke pertama. Selanjutnya Siswanto (2005) juga mengungkapkan bahwa diperkirakan 25% orang yang sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke berulang dalam kurun waktu 5 tahun. Hasil penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa terjadinya risiko kematian pada 5 tahun pasca stroke adalah 45-61% dan terjadinya stroke berulang 25-37%. Menurut studi Framingham, insiden stroke berulang dalam
kurun waktu 4 tahun pada pria 42% dan wanita 24%. Makmur, T, Anwar, Y, dkk (2002) mendapatkan kejadian stroke berulang 29,52%, yang paling sering terjadi pada usia 60-69 tahun (36,5%), dan pada kurun waktu 1-5 tahun (78,37%) dengan faktor risiko utama adalah hipertensi (92,7%) dan dislipidemia (34,2%). Berdasarkan hasil penelitian Siswanto (2005) dengan menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol diketahui terdapat 4 faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang yaitu tekanan darah sistolik 140 mmhg (OR= 7,04), kadar gula darah >200 mg/dl (OR= 5,56), kelainan jantung (OR= 4,62) dan ketidakteraturan berobat (OR= 4,39). Untuk itu disarankan agar pasien pasca stroke untuk melakukan pengobatan secara rutin dan informasi tentang faktor-faktor risiko stroke berulang serta pengendaliannya penting untuk diberikan. Apabila tidak ada upaya penanggulangan stroke yang lebih baik maka jumlah penderita stroke pada tahun 2020 diprediksikan akan meningkat 2 kali lipat. Oleh karena itu upaya global yang bertaraf Internasional perlu dilakukan untuk melawan ancaman stroke yang mendunia (Hernowo, 2007). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan upaya pencegahan sekunder dengan mengendalikan faktor-faktor risiko stroke berulang dan upaya ini sangat berkaitan dengan perilaku kesehatan pasien pasca stroke. Penderita pasca terserang stroke harusnya menjalani 2 proses penyembuhan utama. Pertama adalah penyembuhan dengan obat-obatan di rumah sakit. Kontrol yang ketat harus dilakukan untuk menjaga agar kadar kolesterol jahat (LDL) dapat diturunkan dan tidak bertambah naik. Selain itu, penderita juga dilarang makan
makanan yang dapat memicu terjadinya serangan stroke berulang seperti junk food dan garam (dapat memicu hipertensi). Proses penyembuhan kedua adalah fisiotherapy, yaitu latihan otot-otot untuk mengembalikan fungsi otot dan fungsi komunikasi agar mendekati kondisi semula. Fisioterapi dilakukan bersama instruktur fisioterapi, dan pasien harus taat pada latihan yang dilakukan. Jika fisioterapi ini tidak dijalani dengan sungguh-sungguh, maka dapat terjadi kelumpuhan permanen pada anggota tubuh yang pernah mengalami kelumpuhan. Kesembuhan pada penderita stroke sangat bervariasi. Ada yang bisa sembuh sempurna (100 %), ada pula yang cuma 50 % saja. Kesembuhan ini tergantung dari parah atau tidaknya serangan stroke, kondisi tubuh penderita, ketaatan penderita dalam menjalani proses penyembuhan, ketekunan dan semangat penderita untuk sembuh, serta dukungan dan pengertian dari seluruh anggota keluarga penderita. Menurut survei nasional Gallop dalam Friedman (1998), menyatakan bahwa saat berhubungan dengan masalah kesehatan, kebanyakan individu mendapatkan lebih banyak bantuan dari keluarga mereka daripada pihak lainnya, bahkan petugas kesehatan sekalipun, sehingga keluarga harus mampu memodifikasi perannya serta mampu beradaptasi dengan status kesehatan keluarga yang didapat. Pada kenyataannya dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga tersebut tidaklah mudah karena keluarga kadang merasa malu dan berpandangan bahwa stroke merupakan penyakit yang merepotkan. Seringkali ditemui bahwa penderita stroke yang dapat pulih kembali menderita depresi hebat karena keluarga mereka tidak mau mengerti dan merasa sangat terganggu dengan penyakit yang dideritanya (seperti
sikap tidak menerima keadaan penderita, perlakuan kasar karena harus membersihkan kotoran penderita, menyerahkan penderita kepada suster yang juga memperlakukan penderita dengan kasar, dan sebagainya). Hal ini yang harus dihindarkan jika ada anggota keluarga yang menderita serangan stroke. Oleh karena itu, penerimaan keluarga terhadap penderita stroke sangat penting. Makin besar keterlibatan keluarga, makin besar pula peluang penderita untuk sembuh (Sutrisno, 2007). Terkait dengan permasalahan tersebut, teori Snehandu B. Kar menyebutkan ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan seseorang yaitu; niat seseorang untuk bertindak, dukungan sosial, ada tidaknya informasi, otonomi pribadi untuk bertindak, dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak (Notoatmodjo, 2007). Dari teori tersebut dapat diketahui bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang memengaruhi seseorang untuk berperilaku kesehatan, dalam hal ini dukungan sosial yang dimaksud adalah dukungan yang bersumber dari keluarga sehingga disebut sebagai dukungan sosial keluarga. Menurut Friedman dalam Setiadi (2008), dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial. Caplan dalam Friedman (1998) mengungkapkan bahwa bentuk dukungan sosial yang diberikan keluarga dapat berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Lebih lanjut Keliat (1996) menjelaskan bahwa keluarga memiliki peran sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit pasien. Bentuk dukungan itu dapat berupa kesempatan untuk bercerita, meminta
pertimbangan, bantuan nasehat, atau bahkan tempat untuk mengeluh. Selain itu dapat juga berupa perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi, pemberian penghargaan atau bentuk penilaian yang berupa pujian dari keluarga. Berikut ini beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan dukungan sosial keluarga kepada penderita stroke. Penelitian Astuti (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita pasca stroke di RSUD UNDATA di Surakarta menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita stroke. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diperoleh penderita stroke maka akan semakin tinggi kestabilan emosi, begitu pula sebaliknya. Penelitian Natalia (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dalam latihan fisik dengan derajat kekuatan otot pasien pasca stroke iskemik di RS Dirgahayu Samarinda menunjukkan adanya korelasi antara dukungan keluarga dan tingkat kekuatan otot pasien pasca stroke iskemik. Perawat atau pemberi perawatan dianjurkan untuk melibatkan keluarga sebagai dukungan dalam latihan fisik. Penelitian Wurtiningsih (2010) tentang dukungan keluarga pada pasien stroke di ruang B1 Saraf RSUP Dr. Kariadi Semarang menyimpulkan bahwa keluarga sudah memberikan dukungan informasional tentang penyakit stroke pada pasien, memberikan perhatian sebagai bentuk dukungan emosional, dukungan instrumental dilakukan dengan cara membantu pasien melakukan latihan rentang gerak sendi, memberikan makan melalui selang, membantu mengontrol obat jika habis dan dukungan penghargaan umumnya diberikan dalam bentuk sikap.
Penelitian Lindawati (2009) tentang hubungan dukungan keluarga dengan kejadian depresi pasien pasca serangan stroke di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. M. Djamil Padang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dukungan emosional dan dukungan penghargaan dengan kejadian depresi pasca serangan stroke. Penelitian Wulandari dalam Elfita (2009) berikut ini lebih menggambarkan bagaimana keluarga melakukan perawatan pada penderita pasca stroke di rumah, namun masih terdapat beberapa sikap dan tindakan keluarga yang bertolak belakang dalam memberikan dukungan yaitu; pada umumnya keluarga telah memahami bagaimana cara memberikan perawatan kepada penderita stroke karena mereka telah mendapatkan penjelasan pada saat di rumah sakit, tetapi tidak semua program perawatan penderita pasca stroke didukung oleh keluarga. Hal ini dapat dilihat dari sikap keluarga yang tetap memperbolehkan penderita minum kopi dan merokok. Selain itu, keluarga sudah menyetujui untuk melakukan latihan pada unit-unit fisioterapi, tetapi tidak melakukan action untuk membawa penderita ke unit fisioterapi. Keluarga memahami bagaimana melakukan latihan rentang gerak dan sendi pada penderita, tetapi keluarga tidak memberikan latihan secara rutin. Kemudian keluarga berpendapat bahwa pemberian obat antihipertensi tidak perlu diberikan secara rutin. Di sisi lain, keluarga sangat mendukung pemberian diet rendah garam pada penderita. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga penting dalam upaya pencegahan stroke karena sebagian besar faktor risiko serangan
stroke dapat dimodifikasi dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Dalam kehidupan pasien sehari-hari di lingkungan keluarga, anggota keluarga seharusnya memperhatikan bagaimana perilaku pasien terhadap pencegahan stroke, sehingga tidak menimbulkan kerugian yaitu dengan pengobatan teratur, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum alkohol, diet garam atau lemak dan memeriksakan anggota keluarga yang sakit. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011. 1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitiannya adalah bagaimana pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Rumah Sakit Sebagai bahan pertimbangan bagi RSUD dr. Pirngadi Medan dalam upaya promosi kesehatan dengan memberi informasi kepada keluarga penderita stroke tentang pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan terjadinya stroke berulang. 1.5.2. Tenaga Kesehatan Sebagai bahan masukan bagi dokter, perawat maupun terapis tentang pentingnya informasi bagi keluarga tentang pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan terjadinya stroke berulang. 1.5.3. Keluarga Dapat menambah pengetahuan keluarga tentang pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan kejadian stroke berulang. 1.5.4. Bagi Ilmu Pengetahuan Dapat memperkaya khasanah keilmuan dan pengembangan penelitian selanjutnya yang terkait dengan dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan kejadian stroke berulang.