I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang bagus untuk mengembangkan sektor pertanian, termasuk sektor perkebunan sebagai sektor pertanian yang terletak di daerah tropis sekitar khatulistiwa. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, kondisi iklim yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, dan curah hujan rata-rata per tahun yang cukup tinggi. Semua kondisi ini merupakan faktor-faktor ekologis yang cukup baik untuk membudidayakan tanaman perkebunan (Rahardi,dkk, 1995). Perkebunan adalah usaha tani yang mengusahakan tanaman perkebunan yang luasnya lebih besar dari 25 Ha. Jenis tanaman perkebunan umumnya adalah tanaman keras (karet, kelapa sawit, kopi, teh dan kakao) sedangkan tanaman setahun jarang. Perkebunan mempunyai luas minimum beberapa ratus Ha dengan alasan effisiensi agar dapat menutupi ongkos-ongkos tetap (Overhead Cost) (Simanjuntak, 2007). Sub sektor perkebunan kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah untuk beberapa hal : a. Menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan b. Sumber perolehan devisa dan sekaligus untuk penghematan devisa (Tim Penulis PS, 1997).
Tujuan pembangunan perkebunan besar negara (Perusahaan Negara/Perseroan Terbatas Perkebunan, PN/PTP) untuk menjadikannya pendukung usaha perkebunan rakyat, yakni menularkan pengetahuan teknologi budidaya dan pengolahan,juga ikut membantu pengolahan serta pemasaran hasil dari perkebunan rakyat (Tim Penulis PS, 1997). Diketahui bahwa tujuan PNP/PTP dan perusahaan perkebunan lain adalah seperti tercantum dalam TRI DHARMA perkebunan, yaitu : 1. Menghasilkan devisa dan rupiah bagi negara dengan seefisien-efisiennya; 2. Melaksanakan fungsi sosial dalam arti kata yang luas, antara lain memberikan lapangan kerja pada penduduk, terutama masyarakat sekitarnya; dan 3. Memelihara kekayaan alam, khususnya mempertahankan serta meningkatkan kesuburan tanah (Reksohadiprojo, 1987). Ditinjau dari segi kontribusi subsektor, maka perkebunan merupakan penyumbang terbesar dalam sektor pertanian. Kontribusi subsektor ini terhadap sektor pertanian masih paling tinggi dibandingkan subsektor-subsektor lainnya (www.antara.co.id, 2007). Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi di bidang pertanian yang cukup tinggi. Dengan topografi yang bervariasi dari mulai datar, landai berombak, berbukit hingga bergunung merupakan tempat yang sesuai untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman, seperti tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura. Tingginya potensi sektor pertanian ini
menyebabkan sektor ini masih merupakan penyumbang terbesar dalam Produk Domestik Bruto Sumatera Utara (Balitbangsumut, 2005). Dari berbagai potensi sektor pertanian yang dimiliki Sumatera Utara, subsektor perkebunan merupakan salah satu potensi yang cukup besar yang dimiliki daerah ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya perkebunan-perkebunan yang lokasinya berada di daerah ini baik yang dimiliki oleh rakyat, BUMN, dan swasta asing maupun nasional (PMA maupun PMDN). Subsektor perkebunan dengan komoditi andalannya kelapa sawit dan karet dapat dikatakan sebagai potensi primadona daerah, karena memberikan devisa yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi daerah maupun nasional (Balitbangsumut, 2005). Tingginya kontribusi subsektor perkebunan di Sumatera Utara adalah oleh karena perkebunan di Sumatera Utara memang sudah mulai diusahakan secara komersial sejak zaman kolonial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai produksi kelapa sawit di Sumatera Utara pada tahun 2003 menurut harga berlaku adalah Rp10,15 triliun, dengan kontribusi terhadap perkebunan, pertanian dan PDB seluruh sektor berturut-turut adalah 87%, 37% dan 11% (www.antara.co.id, 2007). Pada PTP Nusantara IV sebagai sebuah persero yang bergerak di sektor pertanian sub-sektor perkebunan, pemanfaatan tenaga kerja memegang perananan dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi untuk mencapai sasaran dan tujuan perkebunan, sebagaimana jelas dinyatakan dalam TRI DHARMA perkebunan, yakni sub-sektor perkebunan merupakan salah satu sumber devisa non-migas, menyerap tenaga kerja yang banyak, dan sekaligus melestarikan sumber daya alam yang ada.
Dalam produksi maka produksi fisik dihasilkan oleh bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus yaitu tanah, modal dan tenaga kerja. Pembagian faktorfaktor produksi ke dalam tanah, tenaga kerja dan modal adalah konvensional. Tetapi untuk memungkinkan diperolehnya produksi diperlukan tangan manusia yaitu tenaga kerja (labor) (Mubyarto, 1989). Perkebunan termasuk usaha yang banyak mengeluarkan tenaga kerja (labor intensive). Klasifikasi tenaga kerja yang dilakukan di tingkat kebun umumnya adalah sebagai berikut : 1. Tenaga Staff (Adm dan para asisten) 2. Tenaga Non Staff (Sub Staff) para pembantu staff yang memiliki ketrampilan khusus seperti para mandor, dll 3. Tenaga Karyawan Tetap Bulanan (Syarat Kerja Umum/SKU Bulanan) 4. SKU Harian (Karyawan Tetap Harian) 5. Buruh Harian Lepas (BHL) (Simanjuntak, 2007). Karyawan Tetap Harian adalah karyawan yang telah diangkat sebagai karyawan tetap, sehingga mendapat gaji tetap yang dihitung per hari diluar mangkir dan ijin tidak dibayar. Umumnya, kepada karyawan ini dapat diberlakukan sistem kerja borongan dan premi karena kapasitasnya rata-rata dapat diukur. Karyawan ini misalnya terdapat pada pekerjaan panen, pemeliharaan, dll (Lubis, 1994). Perbedaan antara Karyawan Tetap Harian (SKU Harian) dan Buruh Harian Lepas (BHL) adalah bahwa Karyawan Tetap Harian bisa digunakan sepanjang tahun, sedangkan BHL lebih bersifat musiman. Kebijaksanaan kebun tidak
mengangkat SKU Harian sebagai Karyawan Tetap Bulanan adalah untuk mengurangi beban gaji karena tidak perlu membayar tunjangan dan menyediakan perumahan. Di pihak lain SKU Harian dipilih karena cukup tersedia suplai tenaga kerja dan ketrampilan yang dibutuhkan relatif lebih rendah dari Karyawan Tetap Bulanan (Simanjuntak, 2007). Dengan demikian di perusahaan perkebunan, khususnya di kebun dibutuhkan cukup banyak tenaga kerja yang membutuhkan beban cukup besar terhadap Biaya Produksi. Seluruh kegiatan memerlukan biaya yang setiap hari harus disediakan atau dikeluarkan. Tidak banyak yang dapat ditunda-tunda. Pembayaran gaji/upah terhadap karyawan dilakukan 2 kali sebulan atau 1 kali sebulan (Lubis, 1994). Untuk menghitung biaya kebun maka seluruh gaji dari pegawai staff dan non staff juga harus dimasukkan sehingga terdapat keluaran biaya eksploitasi kebun yang terkait langsung (Lubis, 1994). Sistem penggajian ataupun teknis pelaksanaan penggajian terhadap para karyawan sendiri berbeda-beda tergantung pada jenis tenaga kerja, apakah golongan staf, non staf, maupun karyawan tetap harian/bulanan. Sedangkan buruh harian lepas menggunakan sistem borongan, jadi pembayaran langsung pada pihak penyalur buruh tersebut. Sistem penggajian dan pemberian incentive adalah salah satu hal penting untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan effisiensi penggunaan tenaga kerja. Keadilan dalam sistem penggajian dan pemberian penghargaan yang setimpal pada tenaga kerja yang berprestasi adalah inti daripada pembuatan Sistem Penggajian yang baik (Simanjuntak, 2007).
Kinerja karyawan ataupun tenaga kerja akan tinggi apabila ia memiliki kemampuan yang baik dan motivasi yang tinggi. Dalam hal ini motivasi yang paling kuat mendorong karyawan memiliki kinerja yang baik serta produktivitas yang tinggi adalah motivasi upah (www.antara.co.id, 2007). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa apabila imbalan yang diperoleh karyawan memuaskan maka otomatis output yang dihasilkan karyawan akan tinggi, sehingga jelas terlihat bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kinerja maupun produktivitas tenaga kerja adalah dengan memperbaiki sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dianalisa mengenai hubungan antara sistem penggajian karyawan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja terhadap biaya produksi pada perkebunan kelapa sawit. Bagaimana proporsi biaya tenaga kerja dalam total biaya produksi, serta bagaimana pencapaian target perusahaan melalui kinerja karyawan tersebut. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah penggunaan Karyawan Tetap Harian (SKU Harian). Hal inilah yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini, dan yang akan dibahas selanjutnya dalam pembahasan.
1.2 Identifikasi Masalah Bedasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1) Bagaimana sistem dan teknis penggajian karyawan tetap harian PTPN IV? 2) Bagaimana kinerja karyawan tetap harian dengan sistem penggajian yang ada? 3) Apa target yang diharapkan perusahaan terhadap sistem penggajian yang ada? 4) Berapa besar bagian biaya penggajian karyawan tetap harian di kebun terhadap biaya produksi? 5) Permasalahan apa saja yang dihadapi sekarang dengan sistem penggajian yang ada? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan identifikasi masalah tersebut maka tujuan penelitian sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui sistem dan teknis penggajian karyawan tetap harian PTPN IV. 2) Untuk mengetahui kinerja karyawan tetap harian dengan sistem penggajian yang ada. 3) Untuk mengetahui target perusahaan terhadap sistem penggajian yang ada. 4) Untuk mengetahui besar bagian biaya penggajian karyawan tetap harian di kebun terhadap biaya produksi. 5) Untuk mengetahui permasalahan apa saja yang dihadapi sekarang dengan sistem penggajian yang ada.
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Menjadi bahan masukan dalam penentuan efisiensi biaya pada perkebunan kelapa sawit. 2) Menjadi bahan estimasi kedepan dalam penyerapan Tenaga Kerja, terutama Karyawan Harian Tetap, dalam perkebunan kelapa sawit. 3) Sebagai bahan pengembangan disiplin ilmu dan pengetahuan yang diperoleh, serta sebagai bahan referensi ataupun sumber informasi bagi berbagai pihak yang memerlukan.