BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan kepada masyarakat saja akan tetapi dapat juga merugikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS


DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

Sistem pernapasan adalah sistem tubuh manusia yang menghasilkan energi yang diperlukan untuk proses kehidupan.

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

BATUK. Ebta Narasukma Anggraeny. etha's doc 1

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium sebelah luar dari rongga hidung. Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi tiga saluran oleh penonjolan turbinasi dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membrane mukosa yang sangat banyak mengandung vascular yang disebut mukosa hidung. Lender disekresi secara terusmenerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia (Brunner & Suddarth, hal; 508, 2001). Gambar 2.1.1 Anatomi Sinus Maksila Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006) Available from : http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview [Accessed 28 April 2013]

2.2 Embrio Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda, kedua bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronggarongga yang disebut sebagai sinus. Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris (George, 1997). 2.3 Persarafan Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion stenopalatinum. Ganglion stenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari nervus potrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari nervus profundus. Ganglion stenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media (Soetjipto & Wardani dalam Soepardi dkk, 2011). 2.4 Fisiologi hidung dan sinus 2.4.1 Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu, fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, refleks nasal (Soetjipto & Wardani dalam Soepardi dkk, 2011). 2.4.2 Fisiologi Sinus Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan beberapa teori mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan (air conditioning) seperti pada rongga hidung, Ternyata volume pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang lebih seperseribu dari volume sinus pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran napas bagian atas, karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh darah sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara, tidak banyak mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. Selain itu tidak ditemukan korelasi antara ukuran sinus dengan resonansi suara pada binatang tingkat rendah. Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung pengaruh panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal insilator), seperti mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus maksila sebagai sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan kepala, dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara sinus di ganti dengan tulang, pertambahan berat hanya 4 % dari berat kepala, sehingga mungkin tidak banyak pengaruhnya terhadap keseimbangan kepala. Sebagai pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi

lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan udara, peredam kejutan (shock absorbent), protector suara antara organ vokal dengan telinga, sebagai tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium dan wajah (Mangunkusumo, 2011). 2.4.3 Histologi Sinus Mukosa sinus maksila merupakan lanjutan mukosa saluran napas bagian atas, Mempunyai epitel torak bertingkat bersilia dengan sel-sel goblet diantaranya. Dibandingkan dengan mukosa rongga hidung, mukosa sinus maksila lebih tipis, epitelnya lebih kuboid, sel goblet dan pembuluh darah lebih sedikit, sehingga secara mikroskopis warnanya tampak pucat. Silia tampak semakin banyak ke arah muara (Mangunkusumo, 2011). Di bawah lapisan epitel terdapat stroma yang terdiri dari tiga lapisan Mangunkusumo dalam Soepardi dkk (2011) yaitu : 1. Membran basalis yang sangat tipis, jika terjadi penebalan akan tampak adanya lapisan hialin yang berwarna kuning. Kadang kadang di bawahnya terdapat lapisan tipis serabut elastin. 2. Tunika propria merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan ikat longgar, bentuknya seperti spons dan berisi cairan, sehingga mudah membengkak bila mendapat rangsangan. Jaringan ini berfungsi sebagai jaringan penunjang, alat nutrsi epitel diatasnya dan fagosit jika terjadi infeksi. Dinding medial sinus maksila mempunyai lamina propria yang paling tebal diantaranya dinding mukosa sinus maksila. Lapisan ini mengandung serabut kolagen dan fibril yang tipis dan mudah mengalami ruptur, sehingga mudah terbentuk kista. Ditemukan pula infiltrasi sel fibroblas dan histiosit yang bila terjadi peradangan akan berubah menjadi makrofag. Kelenjar seromusinogen dan sel goblet yang memproduksi mukus pada lapisan ini sangat jarang dan sedikit jumlahnya, serta hamper semuanya terdapat di daerah muara sinus maksila. 3. Lapisan periosteum tulang terdiri dari serat kolagen yang tebal dan serat elastin, sehingga tahan terhadap infeksi.

2.5 Sinusitis Maksilaris Kronis 2.5.1 Defenisi Sinusitis maksilaris kronis adalah pembengkakan selaput lendir dalam hidung dengan menyumbat ostium di sekitar daerah kompleks ostio meatal (Broek & Feestra, 2011). 2.5.2 Klasifikasi Menurut Adams dalam Mansjoer (2000), berdasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis terbagi atas tiga bagian yaitu : 1. Sinusitis akut ialah bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu 2. Sinusitis sub akut ialah bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan 3. Sinusitis kronik ialah bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun. 2.5.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi Etiologi dan faktor predisposisi dapat di bagi dalam 2 tipe: 2.5.3.1 Rhinogen Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997) Sinusitis merupakan suatu infeksi bakteri pada sinus paranasalis. Sinusitis digolongkan sebagai akut, subakut, atau kronik, didasarkan pada durasi gejala. Sinusitis bersifat akut jika infeksi telah terjadi selama kurang dari 4 minggu. Pada sinusitis subakut, gejala telah ada selama 1-3 bulan. Sinusitis dianggap kronik jika gejala telah ada selama lebih dari 3 bulan. Sinusitis timbul bila terjadi peradangan pada mukosa sinus paranalis, biasanya disebabkan oleh alergi atau infeksi virus. Peradangan menyebabkan edema mukosa, produksi mukus yang berlebihan, dan pertumbuhan bakteri berlebihan, dengan Streptococcus pneumonia ditemukan pada 30-66 % kasus, Haemophilus influenza pada 20-30%, Moraxella catarrhalis pada 12-30%, dan Streptococcus pyogens pada 3-7%. Jamur terkadang merupakan penyebab etiologi sinusitis akut pada penyakit diabetes dan pasien dengan jenis gangguan imun lain (Greenberg, 2004).

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan dan menyembuhkan sinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin, dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-kelamaan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo & soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). 2.5.3.2 Dentogen Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis maksilaris kronis,dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, ronga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan terkadang tanpa tulang pembatas. dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis, sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita, Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, disamping itu drainase melalui infundibulum yang sempit, dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Menurut Paramasivan (2010) penelitian yang di lakukan di RSUP. Haji Adam Malik Medan, menyatakan bahwa penyebab tersering terjadinya sinusitis maksilaris kronis adalah dikarenakan faktor rhinogenik sebanyak 328 penderita.

2.5.4 Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi osteum sinus dan lancarnya mukosiliar klirens di dalam KOM, mucus juga mengandung antimikrobial dan zat yang fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk dalam saluran pernafasan. Organ yang membentuk KOM sangat berdekatan letaknya dan bila terjadi edema, maka mukusa yang saling berdekatan akan bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak sehingga osteum akan tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang dapat menyebabkan terjadinya transudasi, kondisi ini disebut sebagai rinosinusistis non bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari. dan bila kondisi ini menetap, maka sekret yang terkumpul dalam sinus menjadi media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri, sekret akan berubah menjadi puluren dan keadaaan ini disebut rinosinusitis bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil, proses inflamasi akan berlanjut dan terjadi hipoksia, bakteri anaerob akan berkembang sehingga mukosa bertambah bengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar, sampai perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertofi, polipoid atau pembentukan kista. Sinusitis maksilaris kronik merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). 2.5.5 Gejala Klinis/ Tanda klinis Gejala sinusitis maksilaris kronik terdiri dari sekret nasal purulen persisten, batuk, nyeri dan rasa penuh di wajah unilateral, kongesti hidung, pembengkakan di maksila atau periorbita, dan nyeri kepala. (Greenberg, 2004). Pemeriksaan fisik pada sinusitis maksilaris kronik akan tampak adanya pus dalam hidung, biasanya dari meatus media, atau pus (secret mukopurulen) dalam nasofaring. Sinusitis maksilaris kronis terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transiluminasi berkurang bila sinus penuh vairan. Gambaran radiologik sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus (George, 1997).

Hidung tersumbat merupakan salah satu faktor presdiposisi terjadinya sinusitis maksilaris kronis. Hidung tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum terjadinya sinusitis maksilaris kronis. Penyebab lain hidung tersumbat bisa dikarenakan oleh deviasi septum, hipertrofi konka, polip kavum nasi, tumor hidung (Ballenger, 1994; Higler, 1997). Gejala lain adalah hiposmia atau anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Menurut Multazar (2008), pada penelitiannya di RSUP. Haji Adam Malik Medan, menyebutkan bahwa keluhan utama terbanyak yang di rasakan penderita sinusitis maksilaris kronis adalah hidung tersumbat. Dan menurut Kumala (2011) menyebutkan keluhan yang paling tersering dirasakan penderita sinusitis adalah hidung tersumbat. 2.5.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaa fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pada sinusitis maksilaris kronis dan etmoid anterior dan frontal tanda khas ialah adanya pus di meatus medius atau di meatus superior untuk sinusitis etmoid posterior dan sphenoid. Pemeriksaan yang terpenting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus besar seperti sinus maksila dan frontal (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Foto polos dianggap tidak mempunyai nilai pada sebagian besar pasien dengan kemungkinan sinusitis, dan CT scan harus digunakan terutama untuk pasien yang diagnosisnya tidak pasti, untuk pasien yang dicurigai mengalami komplikasi intracranial atau orbital, untuk pasien yang tidak menunjukkan respons terhadap terapi adekuat, dan untuk menetukan anatomi pada persiapan pembedahan (Greenberg, 2004).

2.5.7 Terapi 2.5.7.1 Farmakologi Terapi farmakologi sinusitis maksilaris adalah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan ostium meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis maksilaris bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotika yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amksisilin. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Sedangkan pada sinusitis maksilaris kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberiakan jika diperlukan, seperti mukolotik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Menurut Multazar (2008) pada penelitiannya di RSUP. Haji Adam Malik medan, menyebutkan bahwa penatalaksaan yang paling sering di lakukan adalah dengan farmakologi sebanyak 229 penderita. dan menurut Stephen (2011) menyebutkan bahwa penatalaksanaan paling sering di lakukan adalah farmakologi sebanyak 146 penderita. 2.5.7.2 Non Farmakologi Terapi non farmakologi sinusitis maksilaris kronis adalah dengan terapi radikal dilakukan untuk mengangkat mukosa patologik dan membuat drainase sinus yang terkena dengan cara operasi Caldwell-Luc. Bedah sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dilakukan dengan cara membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiometal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga sinus kembali normal (Manjoer, 2000)

2.5.8 Insiden Insiden sinusitis menurut data dari Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 menyatakan bahwa sekitar 102.817 penderita penyakit sinus dan hidung melakukan pengobatan rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011). Menurut Jones (2004) menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak terinfeksi sinusitis maksilaris kronis dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Hellgren (2008), meningkat kejadian sinusitis maksilaris kronis pada umur dewasa muda dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan (alergen, polutan), perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi. Menurut Multazar (2008) menyebutkan insidensi penyakit sinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan lebih banyak pada perempuan sebanyak 169 penderita dan pada laki-laki sebanyak 127 penderita. Dan menurut Kumala (2011) insidensi pada perempuan sebanyak 244 penderita, pada laki-laki sebanyak 179 penderita. Menurut Paramasivan (2010) di RSUP. Haji Adam Malik Medan, menyebutkan bahwa kelompok umur paling tersering terkena sinusitis adalah umur 30-39 tahun. Dan menurut Privina (2011), usia tersering adalah 31-45 tahun. 2.5.9 Komplikasi Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbital atau intrakanial. Komplikasi ini terdiri dari : 1. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus. 2. Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.

3. Kelainan paru, seperti bronkritis dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkritis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sbelum sinusitisnya disembuhkan (Manjoer, 2000). 2.5.10 Prognosis Prognosis dari sinusitis maksilaris kronis, jika dilakukan pencegahan dan pengobatan dini maka akan mendapatkan hasil yang baik (Greenberg, 2004). Prognosis sinusitis maksilaris kronis sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).