KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diri. Sebagai person manusia memiliki keunikan yang membedakan dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami

PASTORAL DIALOGAL. Erik Wahju Tjahjana

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latarbelakang Masalah

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup maupun benda (objek) yang ada di dunia ini

BAB I PENDAHULUAN UKDW

KONSEP RELASI MANUSIA BERDASARKAN PEMIKIRAN MARTIN BUBER

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN. Ada tiga hal dari realitas hidup bersama secara khusus dalam teks

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan

RESPONS - DESEMBER 2009

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

Pendidikan Agama Katolik

MENJADI MANUSIA OTENTIK

UKDW BAB I PENDAHULUAN

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG

FILSAFAT MANUSIA. Historisitas Manusia. Firman Alamsyah, MA. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti memiliki tujuan hidup. Tujuan tersebut menjadi salah

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

BAB IV ANALISIS DATA. dalam penelitian maka peneliti menggunakan crosstab agar dapat menjawab

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB V PENUTUP. Pemilihan suatu gagasan yang diwujudkan kedalam karya seni berawal

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara sastra berarti berbicara manusia. Terlebih lagi sastra membicarakan

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA KEHENDAK & KEBEBASAN. Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA. Fabianus Selatang 1

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi.

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Kelima butir sila yang

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar. Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia.

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

RELASI GURU-MURID-BIDANG STUDI BAGI GURU SEJATI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

etika sederhana teologi ekonomi

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

"HUMANISME DAN GERAKAN ZAMAN BARU"

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

ONTOLOGI PENDIDIKAN MENURUT BERAGAM FILSAFAT DUNIA: IDEALISME, REALISME, PRAGMATISME, EKSISTENSIALISME

UKDW BAB I : PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bawah bumi dan di atasnya. Manusia ditempatkan ke dalam pusat dunia. 1 Pada masa itu budi

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB II TELAAH EKSISTENSI SECARA UMUM. berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kelompok sosial yang terdiri dari sejumlah individu di dalamnya tentu memiliki

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Definisi Filsafat. lahir. Super-sadar. bawah-sadar. tua. muda. dewasa. 1 Noh Pengantar Filsafat

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

RELEVANSI FILSAFAT MANUSIA DALAM KEHIDUPAN. Oleh Dr. Raja Oloan Tumanggor

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

et{tá t et{tá t V Çàt 1

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA. khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan

RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

MENJADI PRIBADI RELIGIUS DAN HUMANIS

Persembahan, Bukan Sumbangan! Ditulis oleh Pancha W. Yahya Rabu, 29 April :24

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bab 1. Pendahuluan UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM MEMBANGUN KEBERSAMAAN

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENGERTIAN FILSAFAT (1)

1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Emily Pia & Thomas Diez, Conflict and Human Rights: A Theoretical Framework, SHUR Working Paper Series, 1/07, 2007, h. 1.

@UKDW BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH

Transkripsi:

KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto) 1. Pengantar Manusia tidak bisa hidup seorang diri. Ia adalah Homo Socius. Ia hidup di dalam realitas yang saling berkaitan antara pribadi satu dengan lainnya. Hidupnya ada karena orang lain dan untuk orang lain. Manusia berusaha mencari kepenuhan hidupnya di dalam setiap perjumpaan yang dialaminya bersama dengan orang lain. Kepenuhan itu memuncak pada saat manusia mengalami perjumpaan yang ia bangun bersama dengan realitas Absolut, yakni Tuhan sendiri. Melalui relasi I and thou (manusia), manusia berziarah menuju kepenuhan hidupnya dalam relasi I and Eternal Thou (Tuhan). 2. Manusia yang Berdialog Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Keberadaan manusia menjadi sangat berarti ketika ia mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang individu di dalam kehidupan sosial di mana berbagai individu dengan segala kekhasan dan keunikan bercampur di dalamnya. Kehidupan sosial inilah yang kemudian membawa manusia mengalami perjumpaan satu dengan yang lain. Sebuah perjumpaan yang membawa manusia kepada pemurnian identitas diri, karena ia selalu berdialog dengan orang yang dijumpainya, dan terlebih lagi ia berdialog terus menerus dengan dirinya atas peristiwa dan pengalaman hidup yang sudah ia lalui. Kebergantungan manusia dengan manusia yang lain menjadi tampak di dalam upaya untuk berkembang secara pribadi. Dalam upaya tersebut, manusia membutuhkan sebuah komunikasi sebagai sarana untuk mengungkapkan dan menangkap nilai terdalam yang diperlukan manusia untuk perkembangannya. Manusia tidak dapat hidup dan berkembang sebagai pribadi di dalam isolasi atau keterasingan dari masyarakat manusia. Ia menghayati kehidupan bersama yang sifatnya komunikatif. 2 Maka, keberadaan manusia, bahkan awal mula beradanya di dunia, merupakan 1 2 Relasi I and Thou merupakan konsep pemikiran Martin Buber dalam filsafat dialogisnya. Dr. P. Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 116. 47

buah dari hubungan antar pribadi, 3 bersama dengan manusia lainnya. sehingga eksistensi manusia ada Arah dialog manusia Dialog menjadi dasar realitas hidup manusia, sehingga dialog tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Dialog menjadi sebuah kewajiban yang harus dimiliki manusia mengingat eksistensinya sebagai manusia. Berdasarkan dialog, manusia membangun sebuah komunitas-komunitas, bahkan masyarakat yang didiaminya. Dialog itu terjadi di dalam sebuah perjumpaan yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia hadir dengan seluruh pengalaman hidupnya. Dialog membawa manusia kepada sebuah pengenalan diri dan pribadi orang lain ke arah yang lebih dalam. Dialog semakin mendekatkan, bila terjadi kesinambungan atas apa yang terungkap. Dialog bisa saling menjauhkan jika terjadi sebuah kemandekan di dalam komunikasi yang dibangun. Kuncinya adalah manusia bisa mengungkapkan apa yang dimaksudkannya dengan baik, sehingga manusia lain bisa menangkap maksud itu dengan baik dan memberikan timbal balik atas maksud tersebut. Komunikasi di dalam dialog akan mampu menjadi sarana untuk membangun komunitas yang berlandaskan kekayaan dan keunikan setiap pribadi manusia. Pada titik inilah manusia membangun sebuah relasi; relasi yang mempertemukan I and Thou, Aku dan Engkau. All real living is meeting 4. Demikianlah Martin Buber menilai sebuah relasi dalam kehidupan manusia. Baginya perjumpaan merupakan sebuah kehidupan yang nyata. Buber memandang manusia sebagi makhluk yang terus menerus berjumpa dengan aneka manusia lain dengan aneka pengalaman yang dibawanya serta dan di dalam perjumpaan itu dialog terjadi. Dalam kaca mata inilah, Buber menamakan perjumpaan ini dengan Aku-Engkau. Aku tidak pernah tanpa relasi, 5 sehingga manusia sebagai seorang pribadi selalu berelasi dengan aku-aku yang lain, yang disebut dengan Engkau. 3 4 5 Ibid., hlm. 117. Martin Buber, I and Thou (Second Edition), terj. Ronald Gregor Smith, New York: Charles Scribener s Son, 1958, hlm. 11. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981, hlm. 164. 48

Aku-Engkau bukan memaksudkan things melainkan sebuah relasi-relasi kesadaran dan komunikasi kedekatan. 6 Relasi-relasi kesadaran dan komunikasi kedekatan ini merupakan gambaran perjumpaan yang terjadi di dalam relasi Aku-Engkau. Kesadaran mengandung arti bahwa manusia hadir dengan keseluruhan dirinya, bukan hanya secara fisik tetapi juga pengalaman suka-duka yang dialaminya. Kedekatan yang juga ditampilkan dalam sebuah komunikasi Aku-Engkau semakin menguatkan realitas manusia sebagai aku subjek. Dialog Aku-Engkau Buber melihat relasi manusia dengan bertitik tolak pada keberadaan manusia dalam relasi Aku-Engkau. Relasi ini menandaskan bahwa hubungan antara manusia satu dengan lainnya bukan merupakan relasi subjek-objek, yang disebut Buber dengan relasi I and It; Aku-Itu. Buber berpegang pada prinsip pokok relasi Aku-Engkau, di mana manusia berada pada posisi sebagai subjek. Orang lain bukan lagi objek bagi subjek yang bersangkutan, tetapi orang lain adalah aku yang lain, yakni engkau. Dengan demikian, Aku-Engkau menghadirkan diri sebagai subjek yang saling berdialog di dalam relasi yang dibangun manusia satu dengan lainnya. Keberadaan subjek-subjek yang saling berjumpa membawa arti lain jika dibandingkan dengan perjumpaan subjek-objek. Aku-Engkau sebagai realitas subjek-subjek mengisyaratkan adanya cinta yang hadir di dalam perjumpaan tersebut. Buber mengatakan,... Love is between I and Thou. 7 Adanya cinta ini membawa Aku-Engkau kepada perwujudan diri yang sebenarnya. Manusia hadir dengan segala suka-duka pengalaman yang ada pada dirinya, sehingga tidak ada kepalsuan di dalamnya. Cinta membawa manusia kepada keterbukaan dan keberanian untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan subjek lainnya. 3. Manusia Menuju ke Kedalaman Pada dasarnya, manusia mengejar kesempurnaan di dalam hidupnya. Kesempurnaan ini dikejar, karena manusia memiliki idealisme di dalam dirinya. 8 Melalui akal budi, perasaan, dan segenap kemampuan yang 6 7 8 Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Filsafat Aku, dalam Aku dan Liyan. Kata Filsafat dan Sayap, Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Marcellius Ari Christy, Paulus Punjung., (ed.), Malang: Widya Sasana Publication, 2011, hlm. 20. Martin Buber, op. cit., hlm. 14-15. Dr. P. Hardono Hadi, op. cit., hlm. 125. 49

dimilikinya, manusia berusaha menjadi sempurna. Berdasarkan pemikiran ini, Buber pun ingin mengajak manusia untuk mengejar kesempurnaannya melalui relasi Aku-Engkau yang dibangunnya. Cinta telah mendasari dialog yang terjadi antara Aku-Engkau. Cinta inilah yang melahirkan manusia-manusia yang terus menyempurnakan dirinya. Relasi yang dibangun Aku-Engkau tidak lagi memikirkan apa, siapa, atau bagaimana manusia itu berada, melainkan relasi ini menyempurnakan manusia untuk menemukan identitas dirinya, tanpa adanya keraguan, rasa malu, atau perasaan-perasaan sentimentil yang terwujud di dalam sisi luar manusia. Adalah Gabriel Marcel yang juga mendasarkan relasi yang dibangun manusia berdasarkan cinta. Cinta membawa manusia kepada keterbukaan diri dan kemampuan diri untuk terbuka dengan sapaan atau bahkan teguran dari orang lain. Cinta itu membawa manusia keluar dari dirinya sendiri, tanpa membalik lagi. 9 Keberadaan cinta di tengah-tengah relasi yang kemudian manusia bangun semakin menunjukkan otentisitas masing-masing pribadi yang berjumpa. Dalam hal ini, Marcel dan Buber memiliki pemikiran yang sejalan tentang fondasi yang mengeratkan relasi manusia. Kekhawatiran Buber terhadap relasi-relasi yang terjadi di zaman modern ini adalah relasi Aku-Itu. Artinya, relasi didasarkan pada subjekobjek. Tidak ada kedekatan di antara keduanya. Yang ada hanyalah sikap untuk menguasai, memperalat, atau bahkan memosisikannya sebagai It sebagai bagian yang terpisah dari Aku. Maka, kesatuan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan hanya sebatas angan-angan belaka. Relasi Aku-Itu ini juga bisa terjadi di dalam relasi Aku-Engkau yang sudah dibangun. Ini dinamakan dengan kemerosotan Aku-Engkau. 10 Dialog yang sejati pun tidak terjadi Dialog yang sejati akan terjadi ketika Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku. 11 Aku tidak memperalat atau memanfaatkan Engkau, melainkan, Aku berjumpa dengan Engkau dengan segala sukaduka hidupnya. Kekhawatiran Buber terhadap kemerosotan relasi dunia modern menandakan perlakuan terhadap orang lain bukan sebagai Engkau. Engkau bagi Aku tidak lagi dipandang sebagai sesama manusia. 12 Situasi semacam ini menyebabkan tidak adanya cinta yang 9 10 11 Dr. Harun Hariwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 176. Pancha Wiguna Yahya, Mengenal Martin Buber dan Filsafat Dialogisnya, dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan edisi 2/1 (April 2001), hlm. 44. K. Bertens, op. cit., hlm. 164. 12 Ibid. 50

melandasi relasi yang terjadi. Cinta sebagaimana digambarkan Marcel dan Buber tidak menjiwai relasi dalam hidup manusia. Aku-Itu mematikan upaya manusia di dalam menyelami kedalaman hidupnya. Satu-satunya cara untuk mencapai kedalaman hidupnya, manusia harus kembali kepada kesadaran relasi hidup manusia, yakni Aku-Engkau. 4. The Eternal Thou Relasi Aku-Engkau (manusia) membawa manusia kepada proses pencarian hidupnya untuk semakin meneguhkan kesadaran eksistensinya. Pencarian itu membuat manusia semakin mengenal kesejatian dirinya. Manusia akan semakin memperdalam pencarian hidupnya ketika ia masuk ke wilayah Aku-Engkau (Tuhan). Buber menyebut relasi ini dengan I and Eternal Thou. Deskripsi tentang Eternal Thou disebut Buber dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa Tuhan dalam deskripsi manusia memiliki banyak nama. 13 Nama-nama yang merujuk kepada Tuhan merupakan wujud dari pengakuan bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi, di mana manusia berjalan dan berjuang untuk menuju ke sana. Kendati manusia berusaha memberi nama kepada realitas tertinggi ini, manusia tetap tidak bisa membatasi deskripsi terhadap-nya, karena pada dasarnya Ia tidak terbatas. Yang bisa dilakukan manusia adalah menjalani perziarahan di dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan hidupnya, yakni bersatu dengan Eternal Thou yang tak lain adalah Tuhan. Puncak Perziarahan Hidup Manusia Posisi Tuhan dalam relasi Aku-Engkau merupakan arah yang hendak dicapai manusia di dalam relasi Aku-Engkau (manusia). Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam relasi Aku-Engkau (Tuhan) menandakan tingkat religiusitas manusia tersebut. 14 Inilah puncak religiusitas manusia. Dialog yang ditumbuhkan antara manusia dengan Tuhan membawa manusia kepada sebuah titik tujuan perziarahan manusia di dalam upaya menemukan kesejatian dirinya. Dalam Tuhanlah manusia menemukan kesejatian hidupnya. Perjumpaan yang terjadi antara manusia dengan Tuhan bukan merupakan sebuah perjalanan singkat. Manusia tidak langsung berjumpa dengan Tuhan dan mendapatkan jawaban atas penemuan kesejatian dirinya. Manusia melakukan perziarahan di dalam hidupnya. Dari sinilah manusia 13 Martin Buber, op. cit., hlm. 75. 14 Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, op. cit., hlm. 21. 51

mengalami aneka perjumpaan yang pada akhirnya membawa manusia kepada titik di mana ia berjumpa dengan Tuhan, Sang Eternal Thou. Perjumpaan Aku-Engkau (Tuhan) menjadi berarti ketika manusia datang dengan keseluruhan hidupnya. 15 Manusia datang kepada Tuhan dan menjalin dialog dengan-nya. Manusia tidak datang dalam kepalsuan, karena ia tidak mungkin melakukan itu di hadapan-nya. Manusia datang kepada Tuhan tanpa ada sekat atau batas yang membuat manusia menunjukkan kepalsuan-kepalsuan dirinya. Manusia hanya bisa membawa dirinya dengan segala pengalaman suka-duka yang dimilikinya. Dari Tuhan Menuju Tuhan Manusia sebagai makhluk ciptaan ada karena Sang Pencipta. Ia berada di dunia untuk mengalami perziarahan hidup guna menemukan kesempurnaan hidupnya. Buber menilai bahwa sebagai pencipta, Tuhan tetap membutuhkan manusia. 16 Mungkin hal ini kurang disadari manusia, karena Tuhan dianggap manusia sebagai kesempurnaan itu sendiri, sehingga manusialah yang membutuhkan Tuhan. Manusia memang membutuhkan Tuhan. Jiwa yang terdapat dalam diri manusia adalah bagian dari milik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Dalam hal ini manusia terikat dengan Tuhan, karena ia adalah milik Tuhan yang telah menciptakannya. Antara manusia dengan Tuhan telah mengalami sebuah keterikatan sejak adanya manusia. Manusia membutuhkan Tuhan dan Tuhan juga membutuhkan manusia. Pertanyaannya, apa yang dibutuhkan Tuhan dari manusia? Manusia berada di antara ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Ia tidak terhindar dari kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia ini, bahkan manusia sendiri melakukan kejahatan terhadap Tuhan dengan memperlakukan Tuhan sebagai objek. 17 Dari manusia, Tuhan menghendaki agar manusia bisa menjalin relasi yang menimbulkan harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta ini. Keharmonisan inilah yang menimbulkan cinta di antara manusia, alam, dan Tuhan. Cinta itu menjadi daya bagi siapa pun yang saling berjumpa untuk menciptakan kedamaian di dalam setiap relasi. Maka, kehadiran cinta menjadikan Aku-Engkau meresapi setiap kehidupan yang terjadi di dunia ini. 15 Maurice S. Friedman, Martin Buber The Life of Dialogue, New York: Harper Torchbook, 1960, hlm. 70. 16 Ibid., hlm. 71. 17 K. Bertens, op. cit., hlm.165. 52

Kepenuhan Hidup Manusia Manusia telah mengalami perjumpaan dengan manusia yang lain. Relasi Aku-Engkau yang dibangun manusia telah membuat manusia mengalami keterbukaan untuk memberikan keaslian dirinya dan menerima keterbukaan Engkau. Pada taraf ini, manusia belum mengalami kepenuhan di dalam hidupnya. Ia sedang berjalan pada tahap akhir menuju kepenuhan itu. Ia berjalan menuju Eternal Thou yang adalah kesempurnaan sejati. Gambaran perziarahan manusia ini mengisyaratkan bahwa relasi Aku-Engkau (manusia) menjadi jalan bagi manusia menuju puncak perziarahan hidup manusia, yakni relasi Aku-Engkau (Tuhan). Dengan demikian, manusia memiliki tugas yang tidak mudah, karena ia harus menjalin relasi yang baik di dalam relasi Aku-Engkau (manusia). Ia harus menjalin relasi perdamaian dengan sesamanya. 18 Syarat yang kemudian menjadi tugas manusia adalah kesadaran manusia akan keberadaannya sebagai aku. Kesadaran ini juga menjadi syarat bagi setiap orang yang menjalin sebuah relasi. Dengan adanya kesadaran ini, manusia akan memahami bahwa mereka adalah satu kesatuan aku yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Pada tingkat relasi Aku-Engkau (manusia), manusia memperoleh sebuah titik terang untuk mencapai kepenuhan hidupnya. Kedamaian relasi Aku-Engkau yang manusia bangun membuka jalan bagi perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam relasi Aku-Engkau (Tuhan). Dengan demikian, manusia telah mencapai puncak religiusitas di dalam hidupnya, di mana ia mengalami kepenuhan hidup melalui relasi yang ia bangun bersama dengan Tuhan. 5. Penutup Keberadaan manusia tidak bisa dipisahkan dari ciptaan-ciptaan yang lain, terlebih Sang Pencipta sendiri. Ia akan terus bergumul dengan hidup dan dunia sekitarnya untuk meraih kesempurnaan hidupnya. Perjumpaan demi perjumpaan manusia dengan semuanya itu akan membawanya kepadanya kesempurnaan hidupnya. Dari perjumpaanperjumpaan itulah manusia akan membangun sebuah relasi. Relasi yang mengandung banyak arti dan penuh kedalaman makna, karena manusia membangun relasi atas dasar I and Thou dan berpuncak pada pada I and Eternal Thou, sehingga manusia mengalami kepenuhan hidupnya. 18 Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, op. cit., hlm. 22. 53

KEPUSTAKAAN Bertens, K. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia. 1981. Buber, Martin. I and Thou (second edition). terj. Ronald Gregor Smith. New York: Charles Scribener s Son. 1958. Hadi, Hardono, Dr. P. Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. 1996. Hadiwiyono, Harun, Dr. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. 1980. Riyanto, Armada. Prof. Dr., dkk. Aku dan Liyan. Kata Filsafat dan Sayap. Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Marcellius Ari Christy, Paulus Punjung (ed.). Malang: Widya Sasana Publication. 2011. S. Friedman, Maurice. Martin Buber The Life of Dialogue. New York: Harper Torchbook. 1960. Jurnal Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Edisi 2/1 April 2001. 54