Dimensi Kelembagaan Pariwisata Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (Studi Kapabilitas kelembagaan Obyek Wisata Pulau Tidung)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. September Matriks Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah per Kementerian/Lembaga.

BAB I PENDAHULUAN. ditengarai terdapat pergeseran orientasi, dari mass tourism menuju ke alternative

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB I PENDAHULUAN. 2007). Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar yang memiliki

Arahan Pengembangan Pariwisata di Kawasan Tanjung Lesung Berdasarkan Partisipasi Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadi agenda utama pemerintah Indonesia.

RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN ,05 Juta ,23 Juta ,75 Juta ,31 Juta ,23 Juta

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

2 Pada tahun 2010, Provinsi Bangka Belitung menyelenggarakan Tahun Kunjungan Bangka Belitung yang disebut dengan Visit Babel Archipelago 2010 untuk me

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar didunia. Memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. World Travel and Tourism Council mencatat bahwa Australia memiiki

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. dimana pariwisata dapat menunjang sektor lainnya. Dimana dari Pariwisata negara atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

Mengembangkan Ekowisata Hutan Mangrove Tritih Kulon Cilacap

RISET PENGEMBANGAN PARIWISATA: PENILAIAN POTENSI ALAM DAN BUDAYA PULAUFLORES SEBAGAI DESTINASI WISATA DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat seyogianya terlibat dalam usaha pengelolaan dan pengembangan

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

2015 ANALISIS POTENSI EKONOMI KREATIF BERBASIS EKOWISATA DI PULAU TIDUNG KEPULAUAN SERIBU

PENDAHULUAN Latar Belakang

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sangat membutuhkan devisa untuk membiayai pembangunan Nasional. Amanat

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

BAB 1. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UPAYA PENGEMBANGAN EKOTURISME BERBASIS PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DI KABUPATEN CILACAP

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY

BAB I LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. UMUM. Sejalan...

V. KONDISI UMUM PULAU PARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

GUBERNUR LAMPUNG KEPUTUSAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR: G/ ;0 /V.23/HK/2017 TENTANG

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB III ISU - ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

Transkripsi:

Dimensi Kelembagaan Pariwisata Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (Studi Kapabilitas kelembagaan Obyek Wisata Pulau Tidung) Nur Sakti Pratama, Sri Susilih 1. Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia Email: diaulami.pratama@gmail.com Abstrak Kegiatan kepariwisataan yang ada di Pulau tidung merupakan wisata nelayan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan perekonomian dengan mengandalkan potensi bahari. Dalam kurun waktu yang tidak lama, wisata nelayan Pulau Tidung menjadi destinasi yang digemari wisatawan. Masyarakat lokal meresponnya dengan gencar membuka beragam jasa wisata namun justru bersifat ekploitasi atas potensi yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivistik yang dilandasi teori kapabilitas kelembagaan yang dikemukakan oleh Shabbir Cheema (1981). Hasil penelitian menunjukan bahwa ambisi besar masyarakat sangat didasari motif ekonomi dan kurang memperhatikan kualitas jasa wisata itu sendiri. Pada sisi lain pemerintah yang seharusnya melaksanakan strategi pembangunan ekonomi pariwisata masyarakat dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan profesionalisme, belum memiliki masterplan yang jelas sehingga setiap program Pemerintah yang bersentuhan dengan pembangunan pariwisata Pulau Tidung belum terintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Institutional Dimension of Kepulauan Seribu Tourism Province DKI Jakarta (Institutional Capabilities Study in Tidung Island Tourism) Abstract Tourism activities in Tidung Island called fisherman tourism which held to improve the economy by relying on maritime potential. In a short times, Tidung Island became a popular tourist destination and local responded with opening various of tourist servisces highly but it was exploitation of local potentials. The study uses postpositivist approach which based on institutional capability theory by Shabbir Cheema (1981). The result showed that local ambitions based on economic motives and given less attention to tourist services quality. On the other hand, government whom should to implement development strategy of local tourism by focusing on sustainability and professionalism, it doesn tgiven a clear master plan, so regional tourism program in Tidung Island are not integrated with each other. Key words: institutional capabilities; tourism development master plan; Tidung Island tourism Pendahuluan Sektor pariwisata tidak hanya berperan memberikan sarana dan fasilitas bagi masyarakat atau sekedar peningkatan perolehan devisa negara, akan tetapi lebih jauh diharapkan pariwisata dapat berperan sebagai kasalitator pembangunan suatu wilayah (agent of development) (Yoeti, 2008). Begitu pula halnya bagi Indonesia, di mana di tahun 2011 sektor pariwisata berada di

urutan keempat sebagai penyumbang devisa terbesar (KPN, 2011). Hal ini tidak terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara Kepulauan yang memiliki potensi wisata bahari yang sangat besar seperti Bali, Raja Ampat, Derawan, Lombok dan Karimun Jawa. Provinsi DKI Jakarta juga memiliki destinasi wisata bahari yang cukup potensial yang terletak pada gugusan Kepulauan Seribu di mana terdapat 130 jenis terumbu karang, 242 jenis karang, 141 makrobentos dan sejumlah spesies langka biota laut endemik seperti kima raksasa, kimapasir, kuda laut, ikan fishir, kelinci laut, penyu dan udang mantis (Adriani, 2000). Pulau Tidung adalah salah satu Pulau Di Kepulauan Seribu yang mengembangkan sektor pariwisata dan memperoleh respon positif dari para wisatawan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah, Tabel 1.1 Data Penumpang Kapal Kerapu (Dishub) Bulan April- September 2012 Berdasarkan Tujuan No Pulau April Mei Juni Juli Agustus September 1 Tidung 34 1269 1167 1225 926 1196 2 Pari 4 169 140 184 80 100 3 Untung Jawa 7 352 187 185 137 339 4 Lancang 6 178 111 69 64 54 Sumber: Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dalam angka, 2013 Jumlah wisatawan yang terus-menerus meningkat semakin mendorong masyarakat lokal Pulau Tidung untuk turut serta dalam sektor pariwisata. Akan tetapi keturutsertaan tersebut mulai memiliki dampak negatif terhadap keberlanjutan pulau. Hasil penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa pola perilaku masyarakat mulai mengancam keanekaragaman hayati di ekosistem terestrial, peralihan dan laut (Andam, 2012). Sebagaian besar disebabkan oleh pembukaan hutan, pengerukan pasir dan karang laut, pembukaan pantai baru dan berbagai eksploitasi lainnya yang merupakan kegiatan pengembangan kepariwisataan di Pulau Tidung. Jika dilihat dari kualitas pelayanan, jasa pariwisata yang diberikan masih sangat minim. Kapal ferry tradisional sebagai sarana transportasi seringkali dioperasikan melebihi kapasitas kapal itu sendiri dan tidak dilengkapi peralatan safety sesuai jumlah penumpang. Begitu pula dengan penginapan (homestay) yang sering kali dipaksakan kapasitasnya melebihi jumlah daya tampung normal. Demi keuntungan yang besar, proporsi antara wisatawan dengan tourguide juga didesain tidak seimbang. Dalam beberapa kasus, seorang tourguide bertanggung jawab atas 30 wisatawan, sangat jauh diatas normal yaitu 10 wisatawan. Di antara para tourguide pun, tidak ada yang

memiliki sertifikasi usaha pariwisata sebagaimana yang termuat dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Fakta-fakta tersebut berujung pada pertanyaan besar mengenai posisi dan peran Pemerintah di dalam pengelolaan dan pengembangan Kepariwisataan di Pulau Tidung. Daya tarik (attracttions), amenitas (amenities), dan aksesibilitas (accessibility), menurut Michael Hall (2000) merupakan alat ukur dari kualitas sebuah destinasi wisata yang menjadi daya tarik wisatawan. Ketiga unsur kualitas tersebut dipengaruhi kapabilitas kelembagaan di mana Shabbir Cheema mengemukakan bahwa kapabilitas institusional (kelembagaan) dalam pembangunan lokal dan regional mencerminkan kapasitas struktur administrasi nasional, regional dan lokal termasuk organisasi non-pemerintah serta semi governmental organization dalam mengoptimalisasikan sumber ekonomi, dan optimalisasi kemampuan masyarakat dalam akselerasi pembangunan melalui pertimbangan spasial dan distribusi sumber daya (Cheema, 1981). Terkait dengan Pulau Tidung, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kapabilitas kelembagaan dalam pengelolan dan pengembangan obyek wisata nelayan Pulau Tidung. Tinjauan Teoritis Kinerja pembangunan regional sebuah negara pada dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berkaitan dan hal ini merupakan sebuah tantangan. Faktor pertama adalah keberadaan kemampuan teknis, nilai, sikap dan kepercayaan individu dalam kelompok masyarakat. Kedua, struktut sosiopolitik yang memberikan sebuah lingkungan di mana individu-individu didalamnya tampil melakukan peran mereka sebagai agen perubahan. Ketiga, ketersediaan berbagai sumber yang menghasilkan ide-ide dan program. Keempat, institusional machinery di mana perencanaan dan implementasi pembangunan regional tersebut berada (Cheema, 1981). Terdapat dua komponen dari institusional machinery dalam perencanaan dan implementasi pembangunan regional/lokal yaitu governmental dan non-governmental(cheema, 1981). Institutional machinery berperan menyediakan saluran di mana beragam pembangunan regional yang telah selesai berhasil dilaksanakan, diantaranya mengartikulasi isu sosial yang relevan dan yang diprioritaskan, memformulasi perencanaan jangka penjek dan panjang, impelementasi proyek-proyek pembangunan regional, pelibatan masyarakat di luar pemerintah dalam aktifitas pembangunan, mengintegrasikan proses perencanaan dan implementasi pembangunan (Inayatullah, 1979). Menurut Cheema (1981), Intittutional

capability for regional development thus, implies the capacity of national, regional and subregional or local level administrative structures as well as non-governmental and semigovernmental organizations to optimeze economic resource and human skill utilization in the process of development acceleration within the society through consideration of spatial and distributive dimensions (Cheema, 1981: 5). Terdapatat 6 (enam) komponen yang mempengaruhi kapabilitas kelembagaan yaitu; (1) mekanisme koordinasi, (2) desentralisasi fungsi pemerintahan dan finansial, (3) Partisipasi masyarakat, (4) kemampuan monitoring, (5) eksisstensi prosedur, dan (6) sumber daya manusia (Cheema, 1981). Pengelolaan suatu obyek wisata alam merupakan bagian dari strategi perlindungan alam dengan tujuan pengelolaannya harus sejalan dengan tujuan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Hal ini berarti, bahwa pengelolaan harus dilandasi peraturan ketat perihal konservasi alam (Ko, 2001: 129). Zulkifli (1999) menggutip pernyataan terkait konteks pengelolaan sumber daya alam yang dikemukakan oleh David Korten (1987) dan Peter Oakley (1992) di mana pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas (communitybased resource management) ditandai dengan adanya partisipasi yang tingggi dari anggota atau warga komunitasnya baik dari tahap perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil (Zulkifli, 1999: 55). Konsep tersebut serupa dengan community based tourism yang hakekatnya membutuhkan pelibatan masyarakat secara aktif, selain didalamnya juga terdapat pihak-pihak lainnya yang memiliki kepentingan seperti stakeholder, pengelola maupun pemerintah. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist karena penelitian beranjak dari sebuah teori dan kemudian menguji keterkaitan antara temuan lapangan dengan teori tersebut. Peneliti berangkat dari sebuah teori yang dikemukakan oleh G.Shabbir Cheema mengenai kapabilitas kelembagaan yang disertai pengamatan empiris dalam rangka melihat kapabilitas kelembagaan pengembangan obyek wisata Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Data dikumpulkan secara kualitatif melalui observasi, studi literatur, dan wawancara mendalam terhadap sepuluh informan terkait, yaitu (1) Wakil Lurah Pulau Tidung, (2) Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), (3) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Tidung (FKDM), (4) Kepala Seksi Penindakan bagian Pengawasan dan Pengendalian Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta, (5) Staf Bidang Pengawasan dan Pengemdalian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, (6) staf seksi pariwisata Suku Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, (7) Akademisi, (8) pemilik travel wisata Tidung, (9) Koordinator Lapangan (Korlap) Pariwisata Tidung, (10) Tokoh masyarakat Pulau Tidung. Hasisl Penelitian Pulau Tidung terletak di Kelurahan Pulau Tidung Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan merupakan Pulau yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Pulau Pemukiman, dan bukan merupakan Pulau Wisata, namun beberapa regulasi tingkat regional DKI Jakarta menjustifikasi aktivitas pariwisata di pulau pemukiman. Salah satunya termuat dalam pasal 165 Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta yang menyebutkan, Untuk mendukung perwujudan kawasan permukiman sebagai kawasan wisata nelayan sebagai objek tujuan wisata dapat dibangun wisma dan/atau penginapan, serta sentra usaha rakyat termasuk pusat pelayanan jasa wisata. Jika dibandingkan, Kelurahan PulauTidung merupakan Kelurahan terpadat di antara Kelurahan lain di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan No Kelurahan Luas Penduduk Kepadatan Sex (Km2) Laki-laki Perempuan Jumlah penduduk Ratio 1 Pulau Tidung 1,07 2.187 2227 4414 4.126 99 2 Pulau Pari 0,95 1237 1164 2401 2528 107 3 Pulau Untung Jawa 1,03 1078 1004 1082 2022 108 Sumber: BPS Kepulauan Seribu, 2014 Sebelum maraknya aktifitas pariwisata, mayoritas mata pencarian masyarakat Pulau Tidung adalah Nelayan. Seiring berkembangnya sarana pendukung pariwisata di Pulau Tidung, sebanyak 98 persen unit usaha yang terdapat di Pulau tersebut (Pulau Tidung Besar) tergolong dalam sektor pariwisata. Jenis usaha diantaranya adalah, sebanyak 64 persen penduduk menggeluti jasa penginapan (homestay), 11 persen memiliki usaha kios, 6 persen memiliki usaha catering, 5 persen usaha warung makan, 4 persen usaha penyewaan alat (boat, snorkeling, dll.), 3 persen menjadi pemandu wisata, 2 persen memiliki usaha transportasi kapal, dan 1 persen menjual souvernir. Agen travel dapat dikatakan menduduki posisi tertinggi di industri pariwisata Pulau Tidung, pasalnya mayoritas wisatawan yang mengunjungi Pulau Tidung difasilitasi melalui agen travel. Berikut adalah tabel fungsi dari setiap pemeran di industri pariwisata Tidung.

Tabel 1.3 Pemeran dalam kegiatan wisata di Pulau Tidung No Subyek Fungsi Keterangan 1 Agen wisata (travel) Pemasaran (publikasi, menentukan Mayoritas dimiliki dan biaya, berkomunikasi dengan dikelola oleh masyarakat wisatawan, berkomunikasi dengan daratan Jakarta korlap dan memiliki link terhadap pemilik fasilitas) 2 Koordinator lapangan Menghubungkan travel dengan Penduduk asli Pulau pemilik fasilitas 3 Tour guide Menemani wisatawan sejak tur dimulai dan sebagai help desk 4 Pemilik fasilitas Memberikan pelayanan (jasa) atas Pemilik home stay, perahu fasilitas yang dimiliki tradisional, kapal ferry, catering, penyewaan sepeda, penyewaan alat-alat snorkeling, penyewaan watersport (banana, donut boat, speed boat, dll.) Sumber: data olahan peneliti, 2014 Berdasarkan hasil observasi, masyarakat memegang penuh kendali pengelolaan kegiatan wisata di Pulau Tidung. Pemerintah hanya mendorong masyarakat melalui perbaikan pembangunan infrastruktur Pulau seperti jalan, pelabuhan, sanitasi, dan taman. Disamping itu, Pemerintah juga melakukan beberapa pelatihan dan bimbingan teknis kepada masyarakat mengenai standar-standar pelayanan wisata, meliputi: Tabel 1.4. Program Pelatihan Kepariwisataan No. Kegiatan Penyelenggara Anggaran 1 FGD pengelolaan pariwisata Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Rp 250.000.000,- Kec. Kepulauan Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2 Pelatihan kepariwisataan Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Rp 100.000.000,- 3 Bimbingan teknis kepariwisataan masyarakat 4 Bimbingan teknis pemandu wisata (guide) Kepulauan Seribu 5 Bimbingan teknis hygen dan sanitasi bagi pengusaha catering/ makanan dan pengusaha homestay Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Rp 150.000.000,- Rp 175.000.000,- Rp 137.000.000,- Sumber: data olahan peneliti, 2014

Pembahasan kapabilitas kelembagaan obyek wisata Pulau Tidung berdasarkan teori dimensi kelembagaan dapat ditinjau melalui enam indikator kapabilitas kelembagaan yaitu mekanisme koordinasi, desentralisasi, partisipasi masyarakat, kemampuan monitoring, eksistensi prosedur, dan SDM. A. Mekanisme Koordinasi pembangunan regional/lokal memerlukan eksistensi teori dan praktik dari mekanisme perangkat administrasi dalam melakukan kordinasi horizontal dan vertikal agar membangun harmonisasi dan integrasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang didasari aspirasi masyarakat (Cheema, 1981:5). Berdasarkan hasil penelitian, koordinator tertinggi di dalam pengembangan kepariwisataan di Pulau Tidung adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif karena Pulau Tidung masih berada di bawah Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (RIPPARNAS) yang mengelompokan Kepulauan Seribu sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pada level teknis, kepariwisataan di Kepulauan Seribu berada di bawah tanggung jawab Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Di samping Sudin, Pemerintah Kabupaten Adm. Kep. Seribu juga memiliki andil besar dalam pengembangan kepariwisataan. Sementara dilihat dari pengembangan insfrastruktur, Sudin Pembangunan Umum, Sudin Perumahan, dan Sudin Perhubungan juga memiliki peranan bagi prasarana kepariwisataan di Pulau Tidung. Analisa mekanisme koordinasi dapat dilihat dalam dua bentuk yaitu (1) koordinasi perencanaan dan (2) koordinasi pelaksanaan. Koordinasi pembangunan kepariwisataan pada level perencanaan dapat dilihat melalui musyawarah perencanaan pembangunan sebagai refleksi bagi koordinasi Pemerintah dengan masyarakat pada ahap perencanaan. Hal ini diungkapkan oleh Suku Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Kepulauan Seribu,...sebelumnya ada musyawarah pembangunan daerah, jadi menangkap aspirasi masyarakat dulu, melihat apa keingingnan masyarakat.. (wawancara dengan Bapak Alex selaku Staf bagian Pariwisata Sudin Parbud Kep. Seribu, April 2014). Musrenbang tersebut dimulai dari rembuk RW, musrenbang Kelurahan, musrenbang Kecamatan, hingga musrenbang Kabupaten, di mana pada level ini, musyawarah dihadiri oleh perwakilan dari instansi vertikal terkait seperti dinas pariwisata, perhubungan dan lain-lain. Sementara itu, koordinasi yang dilakukan antara instansi pemerintah terjadi ketika penyusunan dan pengesahan program tahunan dalam bentuk APBD.

Pada tahap pelaksanaan, koordinasi yang dilakukan antar peerintah berupakoordinasi pelaksaan sautu program dan dalam bentuk pelaporan kegiatan kepariwisataan tertentu. Sementara koordinasi Pemerintah dengan masyarakat pada ahap pelaksanaan hanya berupa pleatihan-pelatihan mengani standar jasa pariwisata. Untuk melakukan pelatihan tersebut, LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Pulau Tidung adalah jembatan diantara Pemerintah dengan masyarakat. Berikut ini dapat dilihat bentuk koordinasi dan hubungan vertikal kelembagaan pariwiwsata Pulau Tidung Keterangan Gambar: Hubungan Vertikal Hubungan Koordinasi Pemerintah Pusat Kemenparekaf Pemprov DKI Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab. Adm. Kep. Seribu Sudin Pariwisata & Kebudayaan Kep. Seribu Sudin Perumahan dan Gedung Kep. Seribu Kecamatan Kep. Seribu Selatan Kelurahan Pulau Tidung (LPM) Sudin Pembangunan Umum Kep. Seribu Masyarakat Pelaku Usaha Pariwisata Sudin Perhubungan Kep. Seribu Gambar 1.1. Bentuk Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2014 B. Desentralisasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Nasional menyebutkan beberapa poin kewenangan yang diemban oleh Pemerintah Provinsi dalam rangka desentralisasi fungsi yang terkait dengan kepariwisataan. (1) Provinsi wajib memiliki

Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) sebagai turunan teknis RIPPARNAS. Namun hingga saat ini Pemprov DKI Jakarta belum memiliki masterplan tersebut sehingga pengembangan kepariwisataan di Jakarta belum memiliki arah dan masih dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh SKPD dan UKPD yang memeiliki keterkaitan dengan pariwisata. (2) Pemprov juga memiliki kewenangan untuk melakukan pendataan atas usaha pariwisata. Kewenangan ini telah dilaksanakan oleh Dinas Parbud Pemprov, namun industri usaha pariwisata di Pulau Tidung belum sama sekali terdata oleh sehingga tidak ada sama sekali pelaku usaha pariwisata di Pulau Tidung yang memiliki izin usaha. (3) Terdapat pulau kewenangan mengatur, penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan. Satu-satunya peraturan Pemerintah Provinsi DKI terkait aktivitas pariwisata di Tidung adalah pasal 165 RTRW Jakarta yang memperbolehkan dibentuk penginapan, sentra usaha dan jasa pelayanan pariwisata. Ketentuan lebih lanjut tetnang teknis dari pasal tersebut belum ada sehingga penyelenggaraan kepariwisataan masih berjalan sekehendak masyarakat saja sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua FKDM Tidung Emang memang wisata disini berjalan sekehendak masyarakat saja gitu (wawancara dengan Bapak Selamet Ketua FKDM Tidung, April 2014). (4) selanjutnya Pemprov juga diberikan kewenangan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata. Dilihat dari anggaran Sudin Parbud. Kep.Seribu, alokasi untuk biaya promosi mencapai 1,975 miliar di tahun 2014, sementara Dinas Parbud. DKI menganggarkan 68 miliar di tahun yang sama. Dari semua kegiatan promosi tersebut, tidak ada yang secara langsung memasarkan pariwisata Pulau Tidung. Justru publikasi pariwisata Tidung lebih gencar dilakukan oleh pengelola-pengelola travel wisata melalui situs online dan jejaring sosial. (5) Kewenangan daya tarik wisata baru sudah terwujud melalui penelitian dan pengembangan Pulau Tidung Kecil sebagai destinasi wisata Tidung yang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten dan Initut Teknologi Bandung dan PT Delima Laksana Tata. (6) kewenangan penyelenggaraan pelatihan dan penelitian juga sudah dilakukan dalam konteks kepariwisataan di Pulau Tidung sebagaimana yang termuat di dalam tabel 1.4 diatas. (7) Terdapat pula kewenangan melestarikan dan memelihara daya tarik wisata, di mana bagi Pulau Tidung telah dilakukan khususnya oleh Pemerintah Kabupaten dan LPM dalam pengelolaan kebersihan kawasan jempatan cinta dan pantai-pantai lainnya. Disamping itu, Wakil Lurah Tidung juga mneyebutkan adanya keterlibatan pihak lain seperti Sudin PU, Sudin Perumahan dan Gedung, dan Sudin pehubungan dalam rangka pemeliharan infrastruktur, sektor lain kayak PU perumahan untuk sektor prasarana infrastruktur lah, menunjang sarana kepariwisataan salah satunya (wawancara dengan Bapak Mashud Wakil

Lurah Tidung, April 2014). (8) Terdapat pula kewenangan sosialisasi sadar wisata yang diterjemahkan ke dalam bimbingan teknis dan pelatihan, dan (9) kewenangan mengalokasikan anggaran kepariwisataan dimana beberapa SKPD telah menganggarkan kegiatan penunjang dan pengembangan infrastruktur guna meningkatkan kepariwisataan di Tidung. C. Partisipasi Masyarakat Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengelolaan kegiatan wisata dipegang penuh oleh masyarakat sehingga banyak pihak yang menyatakan bahwa partisipasi masyarat dalam pengembangan kepariwistaan sudah tinggi. hal ini juga disebutkan oleh staf Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Administrasi kepulauan seribu, partisipasinya sudah tinggi karena dengan banyaknya pengunjung dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil (wawancara dengan Bapak Alex Sudin Parbud, Mei 2014). Begitu juga Mashud Hamid selaku Wakil Lurah Tidug yang mengatakan hal yang sama. Akan etapi pandangan berbeda diberikan oleh salah satu koordinator lapangan pariwisata Tidung yang menyebutkan, kalo dari masyarakatnya belum terlalu ini lah, partisipasi. Msih rendah... Sebennarnya e di sektor pariwisata disana tentang mm lokasi wisatanya gitu engga di sangkutpautin dengan kehidupan mereka. Paling mereka hanya menyewakan rumahnya jadi homestay jadi Cuma nunggun bookingandari travel-travel (wawancara dengan Yusuf (korlap Wisata Tidung, Mei 2014). Kutipan di atas menunjukan bahwa ambisi besar masyarakat terkait pariwisata sangat terbatas pada motif ekonomi, sementara kepedulian mereka terhadap spot-spot wisata Tidung seperti kawasan Jembatan Cinta, Pantai Utara, pelabuhan, dan terumbu-terumbu karang, masih sangat kurang. Hal ini dibuktikan dari fafkta bahwa banyak lokasi yang kotor, banyak terumbu karang yang rusak, pengundulan hutan bakau dan padang lamun untuk pembangunan homestay. Kualitas pelayanan pun minim sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan bahwa tidak ada sertifikasi dan seringkali memaksakan pelayanan yang melebihi kuota standar. D. Kemampuan Monitoring Kegiatan pengawasan kepariwisataan di Pulau Tidung dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, pengawaan pemerintah kepada masyarakat. Pengawasan ini dapat dikatakan tidak sama sekali berjalan karena pendataan terhadap usaha pariwisata di Tidung belum ada. Bahkan beberapa Pulau Resort seperti Pulau Anyer, Pulau Bidadari, dan Pulau Matahari

dimana pengeolaan kepariwisataannya dilakukan oleh pihak swasta yang telah berbadan hukum, pun Dinas Parbud DKI melalui seksi pengawasan dan pengendalian pariwisata dan kebudayaan belum dilakukan. Akibatnya kualitas pelayanan pariwisata di Tidung masih berjalan seadanya meski sudah ada patokan standar dari Pemerintah yang diberikan melalui pelatihan dan bimbingan teknis. Pajak homestay (penginapan) yang diberlakukan Pemkab adm. Kepulauan Seribu juga belum berjalan sama sekali di Tidung sehingga pembangunan penginapan kurang terkontrol. Kedua, pengawasan Pemerintah kepada Pemerintah. hal ini dilakukan dalam bentuk pelaporan setiap kegiatan kepariwisataan yang dilakukan oleh sebuah instansi dimana harus dilaporkan kepada instansi di atasnya. Ketiga, pengawasan masyarakat kepada masyarakat. Pada jenis pengawasan ini, terdapat Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) yang berfungsi melakukan pengawasan terutama atas kegiatan kepariwisataan Tidung yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Namun fungsi FKDM kurang berjalan dengan baik bahkan tidak sedikit masyarakat lokal yang mengetahui FKDM. Para pelaku usaha pariwisata Tidung justru lebih mengenal LPM sebagai lembaga swadaya yang cukup dekat dengan masyarakat. Permasalahan diantara pelaku usaha biasanya dimusyawarahkan di forum yang diadakan oleh LPM seperti masalah perbedaan harga diantara agen travel. E. Eksistensi Prosedur Cheema meyebutkan komponen kapabilitas kelima adalah eksistensi prosedur, The existence of procedures and then actual extent of practice, given environmental uncertainties, for operationally lingking planning and budgeting decisions. (Cheema, 1981: 5). Dapat dikatakan hal ini adalah pokok permasalahan dari keterbatasan pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan di Kepulauan Seribu khususnya di Tidung. Pasalnya pelaksanaan program yang seharusnya secara aktual dilakukan masih belum terkordinir dengan baik karena regional Jakarta belum memiliki masterplan pembangunan pariwisata daerah (RIPPDA sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Kepariwisataan Nasional. Pembangunan kepariwisataan meski di satu tempat seperti di Pulau Tidung, tetap merupakan pembangunan lintas sektor dan konsekuensinya melibatkan berbagai pihak. keterlibatan banyak pihak inilah yang seharusnya memiliki satu arah tertentu sehingga terwujud pembangunan kepariwisatan yang terintegrasi. Secara keseluruhan, pembangunan pariwisata di Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan extensive development sebagaimana klasifikasi pembangunan yang dikemukakan oleh Douglas Foster (1985). Foster menyebutkan, if project is in undeveloped areas the major

criteria are the net benefit that would accure tothe country and the damage, if any to the ecology (Foster, 1985: 180). Oleh karena itu pada pengembangan pariwisata di Kepulauan Seribu khususnya di Pulau Tidung, belum ada benefitnya kepada daerah kecuali kepada para pengusaha pariwisata setempat. Sementara lingkungan justru memperoleh dampak negatif atas benefit yang mereka peroleh. F. Sumber Daya Manusia Pemeran utama penyeleggaraan pariwisata di Pulau Tidung yang tergolong ke dalam wisata nelayan adalah masyarakat. Kondisi ketika masyarakat memiliki partisipasi yang tinggi baik dalam tahap perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil, David Korten dan Peter Oakley mengklasifikasikan fenomena tersebut sebagai community based resource management atau juga disebut community based tourism. Sehingga kompetensi jasa wisata masyarakat adalah pihak yang seharusnya memperoleh perhatian yang besar. Shabir Cheema juga menyebutkan enam indikator mobilisasi, alokasi, dan pemanfaatan sumber daya manusia yaitu: adanya standar kompetensi, peningkatan kompetensi, ekrutmen profesional dari luar, ukungan finansial bagi SDM, menghadirkan komitmen, mobilisasi komunitas, dan adanya landasan utama manajemen SDM. Kompetensi standar usaha pariwisata pada dasarnya telah termuat dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi di Bidang Usaha Pariwisata. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada satupun pelaku usaha pariwisata Tidung yang telah memiliki sertifikasi. Dalam rangka menjaga kualitas jasa wisata Pemerintah memberikan bimbingan teknis kepariwisataan yang di dalamnya memuat standar kompetensi usaha pariwisata. Meskipun demikian, prakteknya dilapangan, kompetensi dalam penyediaan jasa wisata masih sangat minim, misalnya untuk menentukan tourguide, kriterianya hanya mampu berenang dan harus penduduk lokal. Salah satu informan menyebutkan bahwa travel yang dimilikinya seringkali menggunakan siswa SMP dan SMA sebagai tourguide. Penggunaan tenaga profesional tidak dilakukan dalam kegiatan wisata, namun lebih kepada penggunaan para ahli dalam rangka mengembangkan pariwisata baru di Pulau Tidung Kecil melalui kegiatan kajian dan penelitian serta pembuatan masterplan pariwisata Pulau Tidung Kecil. Dari sisi mempertahan finansial, masyarakat lokal seringkali melakukan pinjaman kepada Bank sebagai tambahan modal, atau dengan berprofesi sebagai nelayan pada weekdays. Sementara untuk menghadirkan komitment SDM, jsutru cukup sulit karena motif ekonomi dari masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Berdasarkan

tujuannya, sebagaimana yang dimaksud di dalam RTRW yang berlaku, pengembangan wisata nelayan di Pulau Tidung ditujukan dalam rangka pembangunan perekonomian masyarakat Kesimpulan Destinasi wisata Pulau Tidung merupakan obyek wisata yang cukup merketable jika dilihat dari antusias dan intensitas wisatawan yang berkunjung. Konsep wisata nelayan menyebabkan pengelolaan kepariwisataan dipegang penuh oleh masyarakat. Namun berdasarkan hasil penelitian, kapabilitas kelembagaan pariwisata Pulau Tidung dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Ditinjau dari sisi mekanisme koordinasi, hubungan di antara instansi yang terlibat dalam pembangunan kepariwisataan Pulau Tidung belum jelas. Hal ini disebabkan belum terdapat dasar hukum yang jelas mengenai perencanaan kepariwisataan di Provinsi DKI Jakarta, dibuktikan dari program kepariwisataan dan pendukung pariwisata belum terintegrasi dan masih dijalankan sendiri-sendiri oleh lembaga yang bersangkutan. b. Dilihat dari sisi desentralisasi, undang-undang Kepariwisataan Jakarta menuliskan beberapa poin kewajiban setiap level pemerintahan dalam pengelolaan dan pembanguan pariwisata seperti kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan, pendataan, pemeliharaan, pemberian bimbingan kepada masyarakat dan penyusunan anggaran. Faktanya, fungsi pengelolaan, pengembangan, pemeliharaan termasuk penganggaran wisata nelayan di Pulau Tidung, dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat tanpa ada dukungan secara langsung dari pemerintah, meskipun terdapat sejumlah program Pemerintah terkait pelatihan dan bimbingan teknis kepariwisataan kepada masyarakat. Masyarakat memperoleh dukungan finansial dalam pengelolaan pariwisata melalui pungutan tertentu yang difasilitasi Lembaga pemberdayaan Masyarakat, terutama untuk menunjang pemeliharaan sarana wisata Pulau Tidung. c. Ditinjau dari sisi partisipasi masyarakat, hampir 80 persen penduduk Pulau Tidung turut serta dalam kegiatan jasa pariwisata karena sektor pariwisata dianggap memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Namun partisipasi tersebut bersifat semu karena pengembangan yang dilakukan masyarakat adalah pengembangan usaha jasa wisata

mereka masing-masing, bukan dalam konteks pengembangan obyek wisata Pulau Tidung. d. Ditinjau dari sisi kemampuan monitoring, fungsi pengawasan kepariwisataan masih berjalan dalam tataran normatif seperti penyerahan laporan program kegiatan Pemerintah. Sementara itu, pengawasan atas penyelenggaraan jasa wisata nelayan belum memiliki platform yang jelas, meskipun pemerintah telah menetapkan beberapa standar minimal pelayanan wisata. Akibatnya, kegiatan kepariwisataan berpotensi menimbulkan hal-hal yang tidak dinginkan, mengingat pelayanan wisata diselenggarakan seadanya. e. Dilihat dari segi eksistensi prosedur, Pemprov DKI Jakarta belum memiliki RIPPDA sehingga keberadaan prosedur tersebut hanya berupa program kegiatan kepariwisataan masing-masing instansi. Padahal prosedur yang dimaksudkan adalah masterplan pembangunan kepariwisataan regional (RIPPDA) sehingga hingga saat ini pembangunan kepariwisataan di Tidung dan Jakarta secara umum, belum memiliki arah. f. Ditinjau dari sisi penglolaan sumber daya manusia, kompetensi dan komitmen SDM sebagai personil dalam pembangunan kepariwisataan di Pulau Tidung juga belum maksimal. Hal ini tercermin dari jasa wisata masyarakat yang kurang memperhatikan standar pelayanan minimal dan tidak didasari sertifikasi kompetensi jasa pariwisata. Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa rekomendasi mengenai Kepariwisataaa di Pulau Tidung agar terbentuk kelembagaan pembangunan yang memiliki kapabilitas yang efektif mulai dari kejelasan koordinasi, wewenang setiap pihak yang terkait, peranan masyarakat, pengaturan pengelolaan pariwisata masyarakat, pengawasan pembangunan terutama standar kompetensi dan kelayakan jasa wisata serta pengelolaan SDM kepariwisataan. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang peneliti berikan terkait kapabilitas kelembagaan pariwisata Pulau Tidung: 1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengesahkan kebijakan menganai perencanaan pembangunan pariwisata regional sehingga arah program kerja satuan perangkat daerah yang berhubungan dengan kepariwisataan terbentuk dan terwujud

pembangunan kepariwisataan yang terintegrasi dan menciptakan koordinasi pembangunan yang jelas serta tidak berjalan sendiri-sendiri. 2. Pada tingkat Kelurahan Pulau Tidung, di bentuk organisasi kemasyarakatan yang berfungsi sebagai wadah bagi para pelaku usaha di bidang pariwisata seperti travel, penyewaan alat, catering dan tourguide. 3. Segera dilakukan pendataan dan pencatatan atas penyedia jasa wisata seperti pendataan pemilik agen perjalanan (travel), pemilik wahana air (banana boat), dan pemilik penyewaan sepeda dan alat-alat snorekling. Di data pula domisili mereka mengingat sangat banyak penduduk non-pulau yang juga turut membuka usaha pariwisata Tidung. 4. Selain adanya bimbingan teknis dan pelatihan, sebaiknya kompetensi jasa wisata masyarakat lokal Pulau Tidung juga diberikan sertifikasi dalam rangka menjaga kualitas dan keamanan wisatawan meskipun usaha pariwisata masyarakat tersebut tidak berbadan hukum. 5. Pemerintah Kabupaten secara tegas menjalankan kebijakan pajak homestay dan izin mendirikan bangunan sehingga pembangunan tidak mengancam keberlangsungan lingkungan dan intensitas pembangunan homestay yang tinggi juga berdampak pada input daerah. 6. Pemerintah Kabupaten sebaiknya menetapkan standar harga tertentu bagi jasa pariwisata nelayan karena perbedaan harga diantara penyedia jasa wisata berpotensi menimbulkan konflik diantara masyarakat. 7. Selain melakukan pembangunan fisik sarana penunjang pariwisata, Pemerintah membuat pula program kepariwisataan yang melibatkan masyarakat, bukan sebagai peserta melainkan masyarakat sebagai pemeran di dalam program tersebut. Hal ini penting dilakukan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat secara nyata di dalam pembangunan kepariwisataan di Pulau Tidung. 8. Adanya kejelasan koordinasi dan tugas serta kegiatan dari Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, maupun Provinsi. 9. Pemerintah segera menindaklanjuti pungutan atau retribusi kapal ferry melalui pemberian legalitas maupun larangan dan menentukan untuk apa dan siapa yang mengelola dana kemasyarakatan tersebut. Hal ini dikarenakan ada kecemburuan sosial dari banyak lembaga masyarakat termasuk Kelurahan kepada LPM selaku pengelola pungutan tersebut.

10. Pemerintah memeberikan kebijakan yang berbeda terhadap penambangan pasir dan karang laut yang diperuntukan bagi pembangunan kegiatan komersial, karena tingkat eksplorasi material tersebut sudah mulai berdampak pada kerusakan ekosistem laut. Daftar Referensi Adriani, Y. 2000. Pariwisata Kepulauan Seribu: Potensi Pengembangan dan Permasalahannya. http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view= article&id=113%3apengembangan-ekowisata-bahari-berbasis-masyarakat-di- kelurahan-pulau-panggang-kepulauan-seribu-2004-2009&catid=58%3aekowisata&itemid=54&lang=id diakses pada 5 Mei 2014 pukul 1.48 Andam, Dewi. 2012. Pulau Tidung Bermasalah? Ini Solusinya. http://www.republika.co.id/ berita/rol-to-campus/umj/12/12/28/mfqrj9-pulau-tidung-bermasalah-ini-solusinya diakses pada 29 Januari 2014 pukul 1:48 Cheema, G. Shaabir. 1981. Institutional Dimensions of Regional Development. Tokyo: Maruzen Asia Foster, Douglas. 1985. Travel and Tourism Management. London: Macmillan Press Ltd Hall, Colin Michael. 2000. Tourism Planning Policies, Processes and Relationships. Singapore: Pearson Education Asia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2014. Kecamatan Kepulauan Seribu selatan dalam Angka 2013. KO.R.K.T. 2001. Obyek Wisata Alam, Pedoman Indentifikasi, Pengembangan Pengelolaan, Pengembangan, Pemeliharaan dan Pemasaran. Cisarua: Yayasan Boena Vista Pangestu, Mari Elka. 2011. Pengembangan Pariwisata Nasional. Konferensi Pariwisata Nasional Desember 2011 Yoeti, Oka.A. 2008. Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi, dan Implementasi. Jakarta: Kompas Zulkifli. 1999. Pengembangan investasi modal sosial dalam pembangunan. Jurnal antropologi indonesia. FISIP UI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Th. XXIII, No. 59 Mei-Agustus Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Daeah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 44 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata Peraturan Gubernur Nomor 80 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pemungutan Retribusi Daerah Pelayanan Kepariwisataan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 tahun 2007 tentang Sertifikasi Profesi Kepariwisataan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 118 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Penyelenggaraan Industri Pariwisata di Provinsi DKI Jakarta Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 kepariwisataan