BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode tatkala individu mengalami transisi dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. tanpa kehadiran orang lain. Dengan adanya kebutuhan untuk mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

Hubungan antara Social Support dengan Self Esteem pada Andikpas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan, di dalam suatu pembelajaran harus ada motivasi belajar, agar

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak akan bisa tahan untuk hidup sendiri di dunia ini. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sempurna. Ada sebuah. ungkapan yang mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan terus

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan formal maupun nonformal. mempermudah mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data dari Badan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang kritis karena terjadi peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yang

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan hal yang sangat penting, terutama untuk generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa. Pendidikan secara formal dimulai ketika seorang anak masuk ke dalam Taman Kanak-Kanak (TK), dilanjutkan ke Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dewasa ini, sudah menjadi hal yang umum bahwa setelah lulus SMA, para siswa melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun perguruan tinggi yang berlokasi di Pulau Jawa seringkali dinilai berbeda dibanding perguruan tinggi yang berlokasi di luar Pulau Jawa. Perguruan tinggi yang berlokasi di Pulau Jawa dikualifikasikan sebagai yang terbaik, sedangkan perguruan tinggi di luar Pulau Jawa dikualifikasikan sebagai perguruan tinggi kelas dua. Hal ini menyebabkan kesenjangan pengetahuan dan kualitas sumber daya manusia antara di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Guru besar Universitas Negeri Medan, Usman Pelly mengungkapkan, kesenjangan pengetahuan rata-rata di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dari tahun ke tahun semakin membesar. Bahkan sekitar 80% calon mahasiswa perguruan tinggi negeri terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Pulau Jawa. (www.kompas.com) 1

2 Pemikiran tersebut banyak dihayati oleh para siswa dari luar Pulau Jawa, sehingga mereka memilih Pulau Jawa sebagai tempat melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi setelah lulus SMA. Dari sekian banyak kota besar di Pulau Jawa, kota Bandung banyak dipilih karena memiliki perguruan tinggi negeri maupun swasta favorit di Indonesia yang menjadi sasaran bagi calon mahasiswa dari berbagai wilayah di seluruh pelosok Indonesia. (www.mvile.edu) Salah satu perguruan tinggi swasta favorit yang ada di kota Bandung adalah Universitas X. Tahun 2007 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional menetapkan Universitas X Bandung termasuk ke dalam 50 perguruan tinggi yang menjanjikan di Indonesia. Universitas X Bandung merupakan universitas swasta yang berdiri pada tahun 1965 dan hingga tahun 2008 telah meluluskan sebanyak 17.627 sarjana, memiliki tujuh Fakultas program sarjana, yaitu Psikologi, Kedokteran, Teknik, Sastra, Teknik Informatika, Ekonomi, dan Desain, serta tiga Fakultas program pasca sarjana, yaitu Magister Manajemen, Magister Psikologi, dan Akuntansi. Sekitar 469 (17,24%) mahasiswa dari 2.721 mahasiswa angkatan 2008 yang berkuliah di Universitas X Bandung berasal dari luar Pulau Jawa. Mahasiswa yang berasal dari luar Pulau Jawa (seperti dari Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dsb) dan memilih kuliah di Bandung berarti harus pergi jauh dari daerah asalnya. Mereka harus meninggalkan keluarga dan teman-temannya. Mereka harus mulai mencoba hidup seorang diri di daerah yang belum familiar dan berbeda dibanding daerah asalnya. Mereka yang selama ini tinggal bersama keluarganya sehingga semua hal terpenuhi oleh

3 keluarganya, kini harus tinggal sendiri di daerah yang masih asing. Mereka harus mengatur keuangan sendiri dan menyiapkan menu makan sendiri. Selain itu, mereka pun sempat merasa kehilangan teman-teman yang dulu selalu bersamasama karena tidak dapat meluangkan waktu dan bertemu secara langsung dengan teman-temannya tersebut. Setibanya di Bandung, mereka harus mempersiapkan diri untuk memulai menjalin relasi yang baru serta menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan memulai kebiasaan baru itu membutuhkan waktu. Selain itu, oleh karena jarak yang jauh dan biaya yang cukup besar untuk pulang-pergi ke daerah asal mereka yang berada di luar Pulau Jawa, meningkatkan kesulitan mereka untuk bertemu dengan keluarga dan teman di daerah asal. Ketika liburan tiba pun, mereka akan berpikir ulang untuk pulang ke daerah asal mereka karena jarak yang jauh dan biaya yang cukup besar tersebut. Dalam memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial, mahasiswa memiliki keinginan yang besar untuk dapat bergaul dengan orang lain. Namun terkadang keinginan tidaklah sesuai dengan kenyataan yang ada. Ada perasaan yang hilang atau tidak puas akibat munculnya kesenjangan antara jenis relasi sosial yang diinginkan dengan jenis relasi sosial yang ada. Hal ini dikenal dengan istilah loneliness (Perlman dan Peplau, 1981, dalam Brehm, et. al., 2002). Loneliness dapat terjadi pada saat orang berpindah dari satu daerah ke daerah lain tatkala tidak adanya dukungan dari keluarga serta teman dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun persahabatan yang baru. Loneliness pun dapat terjadi dalam situasi dimana seseorang mencoba menjalin relasi di sekolah

4 baru atau pekerjaan baru dan ketika seseorang bepergian seorang diri di kota/negara asing. Menurut De Jong Gierveld (2002, dalam Latifa, 2007), perasaan loneliness merupakan sebuah fenomena universal yang dapat terjadi pada setiap individu dalam ras mana pun, usia berapa pun, dan sepanjang sejarah manusia. Ketika seseorang lonely, orang tersebut akan merasa tidak puas, adanya perasaan hilang, dan distress. Mereka merasa sepi yang disebabkan oleh perasaan akan keterpisahan yang tidak dapat ditoleransi lagi. Bahkan pada orang-orang kota yang hidupnya dikelilingi segala fasilitas pun ternyata bisa memiliki rasa loneliness ini. Moustakas (1961, dalam Latifa, 2007) menyebutkan bahwa pada masyarakat urban (perkotaan) lebih mudah ditemukan sebuah kondisi perasaan loneliness daripada masyarakat yang tinggal di desa. Dalam kondisi tersebut sebenarnya masyarakat urban menemui individu lain tidak sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai bentuk dari tugas atau kewajiban dalam masyarakat saja, sehingga interaksi yang terjadi tidaklah mendalam dan lebih memungkinkan untuk merasakan loneliness. Beck dan Young (1982, dalam Latifa, 2007) menyatakan bahwa loneliness dapat dialami dalam jangka waktu bertahun-tahun (chronic loneliness), hanya dialami ketika mengalami perubahan besar dalam hidup (situasional loneliness), maupun yang terjadi secara singkat dan tidak mendalam (transient loneliness). Lebih lanjut, para ahli menyebutkan bahwa kondisi loneliness ini merupakan kondisi awal terjadinya bentuk-bentuk psikopatologi yang berat seperti depresi (Lauer dan Lauer, 2000, dalam Latifa, 2007), stres, agresi, bunuh diri, bahkan

5 dapat memicu terjadinya berbagai bentuk kecanduan obat-obatan yang awalnya dikarenakan individu ingin melarikan diri dari rasa lonelinessnya tersebut (Perlman dan Lamdolt, 1999, dalam Latifa, 2007). Beberapa studi/penelitian menunjukkan bahwa siswa yang loneliness memiliki kecenderungan untuk mencapai low grade (Burleson & Samter, 1992, dalam Brehm, et. al., 2002) dan drop-out dari sekolahnya (Rotenberg & Morrison, 1993, dalam Brehm, et. al., 2002). Meskipun sebenarnya siswa yang lonely memiliki banyak waktu untuk belajar, namun mereka mudah terpecah konsentrasinya (Cacioppo, 2000) dan tidak efektif dalam kebiasaan belajar mereka. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya loneliness, yaitu: self esteem, ketidakadekuatan relasi yang dibangun, perubahan dalam relasi yang diinginkan, dan tingkah laku interpersonal (McWhirter, 1997; Rubenstein & Shave, 1980, dalam Brehm, et. al., 2002). Dari faktor-faktor tersebut yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah self-esteem. Orang-orang yang menghayati loneliness cenderung menganggap dirinya tidak berharga dan tidak dicintai. Tidak berharga dan tidak dicintai merupakan bentuk self-esteem negatif. Oleh karena self-esteem yang negatif ini, maka orang yang loneliness menganggap situasi sosial yang dihadapinya sebagai situasi berbahaya sehingga memotivasinya untuk mengurangi kontak sosial dan karenanya akan membuat mereka lebih sulit untuk membangun persahabatan yang dibutuhkan agar ke luar dari perasaan loneliness. Perkembangan self-esteem ini terutama terjadi pada masa remaja. Menurut Santrock (2002), mahasiswa baru yang berusia sekitar 18-20 tahun, termasuk dalam masa remaja akhir. Masa remaja biasanya dirasakan sebagai masa sulit

6 karena periode ini terjadi perubahan fisik dan perkembangan psikologis yang pesat, sehingga masa ini sering disertai dengan gejala dan permasalahan baik fisiologis maupun psikologis (Pudigjogyanti, 1995, dalam Santrock, 2002). Hasilhasil studi yang longitudinal di berbagai negara menunjukkan bahwa masa yang paling penting dan menentukan perkembangan self-esteem seseorang adalah pada masa remaja. Pada masa ini seseorang akan mengenali dan mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya, sehingga menentukan apakah ia akan memiliki selfesteem yang positif atau negatif. Self-esteem yang positif ataupun negatif seringkali dikaitkan dengan berbagai tingkah laku khas remaja, seperti prestasi dalam bidang olah raga, pacaran, sampai penyalahgunaan obat-obatan. Perkembangan self-esteem pada seorang remaja akan menentukan keberhasilan maupun kegagalannya di masa mendatang (www.e-psikologi.com). Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang dibuat individu dengan penghargaan untuk dirinya dan mengindikasikan sejauhmana individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Self-esteem seseorang, khususnya mahasiswa baru, akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna, serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini yang akhirnya akan mempengaruhi apakah mahasiswa tersebut akan merasa loneliness atau tidak (www.e-psikologi.com). Mahasiswa yang memiliki self-esteem positif memandang dirinya berharga dan dapat menilai dirinya secara positif berdasarkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya daripada kekurangan yang dimilikinya. Mereka merasa bahwa dirinya

7 dapat mengendalikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, baik dalam mengendalikan dirinya atau mengatur orang lain. Mereka merasa prestasi yang diraihnya selama ini sudah memuaskan dan mereka bukan orang yang mudah putus asa. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki self-esteem negatif, mereka tidak memandang dirinya cukup berharga dan lebih melihat dirinya secara negatif berdasarkan kekurangan yang ada pada dirinya. Mereka pun terkadang belum dapat mengendalikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, mereka lebih sering dipengaruhi oleh pihak luar dalam menentukan hal-hal yang akan dilakukan. Mereka belum merasa puas dengan prestasi mereka, namun mereka merasa bingung bagaimana cara meraih prestasi yang lebih baik. Dalam melakukan pekerjaan sulit pun, mereka lebih mudah menyerah. Berdasarkan hasil survei awal terhadap 15 mahasiswa Universitas X Bandung yang berasal dari luar Pulau Jawa, dua mahasiswa (13,33%) di antaranya merasa tidak mengalami gejala loneliness sejak awal keberadaannya di Bandung, merasa dirinya berharga dan patut dihargai orang lain sehingga memiliki selfesteem positif, serta yakin akan memiliki teman yang sesuai harapan. Menurutnya, mereka senang dan punya banyak teman di Bandung. Mereka menyatakan bahwa gejala loneliness justru dirasakan ketika mereka berada di tempat asalnya. Di Bandung mereka telah memiliki beberapa teman yang cukup dekat dengan mereka. Mereka pun berpendapat bahwa sebagai manusia, semua orang pantas dihargai, sehingga dirinya sebagai manusia pun pantas dihargai oleh orang lain. Satu orang mahasiswa (6,67%) merasa tidak mengalami gejala loneliness sejak awal keberadaannya di Bandung, merasa dirinya berharga dan patut dihargai

8 orang lain sehingga memiliki self-esteem positif, namun kurang yakin kalau dirinya akan memiliki teman yang sesuai harapan karena terkadang suka dilupakan teman-temannya. Ia merasa kalau dengan segala yang dimilikinya, dirinya telah pantas dihargai oleh orang lain, selain itu dirinya pun selalu menghargai orang lain. Dua mahasiswa (13,33%) menghayati bahwa hingga 3 bulan setelah perkuliahan dimulai, mereka terkadang masih merasa loneliness, merasa dirinya cukup berharga sehingga cenderung memiliki self-esteem positif, namun kurang yakin akan memiliki teman yang sesuai harapan. Perasaan loneliness tersebut terutama terjadi pada saat malam hari bila mereka sedang sendiri dan tidak memiliki teman yang dapat dihubungi. Mereka kurang yakin akan memiliki teman yang sesuai harapan karena mereka menyadari sulitnya mencari teman yang cocok dengan mereka. Mereka merasa cukup pantas dihargai orang lain karena selama ini banyak teman yang meminta bantuan kepada mereka. Enam mahasiswa lainnya (40%) menghayati bahwa hingga 3 bulan setelah perkuliahan dimulai, mereka terkadang masih merasa loneliness, merasa dirinya kurang berharga sehingga cenderung memiliki self-esteem negatif, namun yakin akan memiliki teman yang sesuai harapan. Mereka merasa bahwa terkadang dirinya masih kurang dapat menghargai orang lain, sehingga merasa belum cukup pantas dihargai orang lain. Satu mahasiswa (6,67%) sering merasa loneliness, merasa dirinya cukup berharga sehingga cenderung memiliki self-esteem positif, namun kurang yakin akan memiliki teman yang sesuai harapan. Mahasiswa tersebut menghayati bahwa

9 dirinya merasa loneliness bila sedang sendiri dan tiba-tiba teringat akan daerah asalnya, sehingga terkadang membuatnya menangis dan sulit untuk tidur. Mahasiswa tersebut pun merasa kurang yakin akan mendapatkan teman seperti yang diharapkannya karena dirinya menyadari bahwa jaman sekarang ini banyak orang yang individualistis dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Tiga mahasiswa lainnya (20%) merasa bahwa mereka cukup sering merasa loneliness, merasa dirinya kurang berharga sehingga cenderung memiliki selfesteem negatif, namun cukup yakin akan memiliki teman yang sesuai harapan. Mereka merasa bahwa dirinya kehilangan teman untuk menceritakan masalahnya dan belum menemukan teman yang dapat dipercaya untuk menceritakan masalahnya. Walaupun mereka memiliki cukup banyak teman di Bandung, tapi sering merasa loneliness ketika sedang bersama teman-temannya. Bahkan jika perasaan tersebut muncul, mereka lebih suka berdiam diri di tempat yang tidak ada orang selama berjam-jam. Mereka merasa bahwa terkadang ketika bersama temannya, mereka tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Dari hasil survei awal tersebut, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa baru tersebut memiliki self-esteem yang berbeda-beda, ada yang positif dan ada yang negatif, demikian juga dengan perasaan loneliness yang dihayati oleh mereka. sebanyak 20% mahasiswa tidak mengalami loneliness sejak kedatangan mereka di bandung dan memiliki self-esteem cenderung positif. 40% mahasiswa terkadang mengalami loneliness dan memiliki self-esteem negatif, sedangkan 13,33% mahasiswa lainnya terkadang mengalami loneliness dan memiliki self-esteem positif. 20% mahasiswa sering mengalami loneliness dan memiliki self-esteem

10 negatif, sedangkan 6,67% mahasiswa sering mengalami loneliness namun memiliki self-esteem positif. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan self-esteem dan loneliness pada mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa Universitas X Bandung. Mahasiswa baru yang merupakan sampel penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2008 Universitas X Bandung, karena pada saat penelitian ini dilakukan (tahun 2008-2009), mahasiswa yang baru masuk atau mahasiswa termuda adalah angkatan 2008. 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana hubungan antara self-esteem dan loneliness pada mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa di Universitas X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai selfesteem dan loneliness pada mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa di Universitas X Bandung.. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

11 derajat hubungan antara self-esteem dan loneliness pada mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa di Universitas X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah - Menambah informasi bagi bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan, mengenai hubungan antara self-esteem dan loneliness pada mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa di Universitas X Bandung. - Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-esteem dan loneliness.. 1.4.2 Kegunaan Praktis - Memberikan informasi kepada para pengurus universitas X mengenai gambaran self-esteem dan loneliness pada mahasiswa baru yang berasal dari luar Pulau Jawa, sehingga para pengurus universitas X dapat menciptakan lingkungan universitas yang kondusif dan mengadakan kegiatan agar para mahasiswa baru tersebut dapat meningkatkan selfesteem dan tidak merasakan loneliness. - Memberikan informasi kepada para dosen, khususnya dosen wali universitas X mengenai gambaran self-esteem dan loneliness yang dialami mahasiswa baru yang berasal dari luar Pulau Jawa, sehingga para dosen dapat lebih memahami mahasiswa dan diharapkan lebih

12 memperhatikan mahasiswa sehubungan dengan self-esteem yang dimiliki dan penghayatan loneliness yang dialami anak didiknya. - Memberikan informasi kepada para mahasiswa baru yang berasal dari luar Pulau Jawa mengenai hubungan antara self-esteem dan perasaan loneliness yang mungkin terjadi pada diri mereka, agar para mahasiswa baru tersebut lebih dapat mamahami dan mencari cara agar self-esteem mereka lebih positif dan menurunkan perasaan loneliness yang mereka rasakan. 1.5 Kerangka Pikir Mahasiswa baru diperkirakan berada pada kisaran usia 18-20 tahun. Menurut Santrock, pada usia-usia tersebut mereka berada pada masa remaja akhir. Pada masa remaja, hubungan teman sebaya mengalami berbagai perubahan penting. Pada masa remaja, para remaja lebih memilih untuk memiliki persahabatan dalam jumlah sedikit, lebih mendalam, dan lebih akrab dibanding dengan anak-anak yang berusia lebih muda. Clique atau kelompok biasanya menjadi peran yang penting pada masa remaja, dimana para remaja mulai bergaul bersama. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun, agar dapat diterima sebagai anggota. Bagi mereka, dikucilkan berarti kesedihan, stres, dan frustrasi (Santrock, 2002). Salah satu konteks yang penting pada masa remaja adalah sekolah. Banyak pendapat bahwa sekolah adalah suatu tempat di mana proses belajar secara akademis mendominasi. Tetapi sekolah sebenarnya lebih dari sekedar kelas

13 akademis tempat siswa dapat berpikir, melakukan penalaran, dan mengingat. Sekolah juga merupakan suatu arena sosial yang penting bagi remaja, sehingga teman dan clique memiliki makna yang besar (Santrock, 2002). Ketika seorang anak menjadi remaja dan remaja berkembang untuk kemudian menjadi orang dewasa, akan mengalami banyak perubahan dalam dunia sekolahnya. Transisi menuju perguruan tinggi dari sekolah menengah merupakan suatu pengalaman yang normatif bagi remaja. Meskipun demikian, proses transisi tersebut sering menimbulkan stres. Perubahan-perubahan ini mencakup perubahan dari suatu struktur kelas yang kecil menjadi lebih besar dan lebih tidak personal, perubahan dari kelompok teman sebaya yang homogen dan kecil menjadi kelompok teman sebaya yang lebih besar dan heterogen. Hal-hal di atas juga melibatkan sejumlah sifat negatif dan menimbulkan stres, namun aspek dari transisi juga dapat bersifat positif. Siswa menjadi merasa lebih dewasa, memperoleh banyak mata pelajaran yang dapat dipilihnya, memiliki banyak kesempatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebaya dan untuk mendapat teman yang sesuai. Transisi dari sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi melibatkan suatu perpindahan menuju struktur sekolah yang lebih besar, lebih impersonal, yang interaksinya adalah interaksi dengan teman sebaya yang lebih beragam latar belakang geografisnya dan juga kadang beragam latar belakang etnisnya. Transisi sosial dari SMA ke perguruan tinggi pada mahasiswa baru dari luar Pulau Jawa yang bersekolah di Bandung memungkinkan terjadinya loneliness, yaitu ketika dirinya meninggalkan tempat tinggal, keluarga, teman-teman yang begitu dikenalnya dengan baik, kemudian bertemu dengan

14 lingkungan dan orang baru, dan bertugas membangun hubungan sosial yang sama sekali baru. (Santrock, 2002) Loneliness yang terjadi pada mahasiswa baru, tidaklah sama pengertiannya dengan keadaan dikucilkan. Dikucilkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti dikeluarkan atau dibuang dari lingkungan (keluarga, kelompok, dsb.). Seseorang dapat merasa bahagia di kesunyian, namun merasa loneliness di keramaian. Atau seseorang akan merasa loneliness ketika mereka sedang sendirian karena menginginkan ada orang lain didekatnya. Sebaliknya, seseorang dapat merasa loneliness ketika sedang bersama-sama dengan seorang teman, namun sebenarnya pada saat tersebut dirinya ingin bersama dengan teman yang lain. Ketika mahasiswa baru akan datang ke Bandung, mereka mempunyai harapan-harapan tertentu tentang relasi sosial yang akan dijalaninya di Bandung, teman yang akan mereka peroleh di Bandung. Namun kenyataannya, terkadang mereka memiliki relasi yang berbeda dengan harapan. Adanya perasaan yang hilang atau tidak puas akibat munculnya kesenjangan antara jenis relasi sosial yang diinginkan dengan jenis relasi sosial yang ada, dikenal dengan istilah loneliness (Perlman dan Peplau, 1981, dalam Brehm, et. al., 2002). Semakin besar kesenjangan yang dihayati, maka akan semakin besar pula peluang mahasiswa baru untuk merasa loneliness. Dalam suatu waktu, dapat saja mahasiswa baru merasa bahwa relasi sosialnya sudah memuaskan sehingga tidak merasa loneliness. Relasi ini mungkin saja berlanjut, namun di waktu yang sama, kepuasannya mungkin berkurang karena mereka menginginkan perubahan dalam relasi yang diinginkan dan tentu

15 saja relasi yang diinginkan tersebut berbeda dengan relasi yang telah ada sebelumnya, sehingga akan memunculkan perasaan loneliness. Weiss (1973, dalam Brehm, et. al,m 2002) mengatakan, ada dua tipe loneliness, yaitu sosial isolation dan emotional isolation. Dalam social isolation, individu merasa tidak puas dan loneliness karena mereka kekurangan jaringan sosial. Sedangkan dalam emotional isolation, individu merasa tidak puas dan loneliness karena kekurangan relasi yang mendalam. Jika konsep tersebut diterapkan dalam konteks mahasiswa baru, maka mahasiswa baru yang merasa tidak puas dan loneliness karena mereka kekurangan jaringan sosial akan teman dan kenalan akan mengalami social isolation. Sedangkan dalam emotional isolation, mahasiswa baru merasa tidak puas dan loneliness karena kekurangan relasi yang mendalam. Tidak mungkin terjadi bahwa kekurangan salah satu tipe loneliness dapat diganti dengan memenuhi tipe yang lain. Mahasiswa baru yang belum lama datang ke Bandung dari tempat asalnya di luar Pulau Jawa tentu tidak kenal siapapun. Akibatnya, sangat mungkin merasa loneliness dengan tipe social isolation meskipun mereka mempunyai relasi yang mendalam dengan seseorang. Selain itu, dapat saja terjadi bahwa mahasiswa baru mempunyai jaringan sosial yang luas dan merupakan mahasiswa yang aktif secara sosial, namun merasa loneliness karena tidak dapat mengembangkan relasi mendalam dengan teman yang diharapkan. Mahasiswa yang loneliness akan menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak loneliness. Mahasiswa yang loneliness akan menilai teman mereka secara lebih negatif, mereka tidak

16 menyukai teman-teman mereka, tidak mempercayai teman mereka, dan menunjukkan sikap bermusuhan. Mereka lebih pasif daripada mahasiswa yang tidak loneliness dalam berinteraksi, ragu-ragu dalam mengemukakan pendapat, dan cenderung tidak responsif. Mahasiswa baru yang loneliness akan memberi sedikit tanggapan terhadap lawan bicaranya, mengajukan sedikit pertanyaan kepada lawan bicaranya, lambat merespon apa yang dikatakan lawan bicaranya, dan tidak begitu suka untuk melanjutkan topik pembicaraan yang dibuat lawan bicaranya. (Jones, Hobbs, dan Hackenbury, 1982, dalam Brehm, et. al., 2002) Dalam hal pendidikan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang loneliness memiliki kecenderungan untuk mencapai low grade (Burleson & Samter, 1992, dalam Brehm, et. al., 2002) dan drop-out dari sekolahnya (Rotenberg & Morrison, 1993, dalam Brehm, et. al., 2002). Meskipun sebenarnya mahasiswa yang lonely memiliki banyak waktu untuk belajar, namun mereka mudah terpecah konsentrasinya (Cacioppo, et. al., 2000, dalam Brehm, et. al., 2002) dan tidak efektif dalam kebiasaan belajar mereka. Loneliness dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: self esteem, ketidakadekuatan relasi yang dibangun, perubahan dalam relasi yang diinginkan, dan tingkah laku interpersonal (McWhirter, 1997; Rubenstein & Shaver, 1980, dalam Brehm, et. al., 2002). Dari faktor-faktor tersebut yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah self-esteem. Mahasiswa baru yang menganggap dirinya loneliness cenderung menganggap dirinya tidak berharga dan tidak dicintai. Tidak berharga dan tidak dicintai merupakan bentuk self-esteem negatif. Oleh karena self-esteem yang

17 negatif ini, maka mahasiswa baru yang loneliness menganggap situasi sosial yang dihadapinya di perguruan tinggi sebagai situasi berbahaya dan memotivasi dirinya untuk mengurangi kontak sosial, sehingga akan membuat mereka lebih sulit untuk membangun persahabatan yang mereka butuhkan di universitas dan keluar dari perasaan loneliness. Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang dibuat individu dengan penghargaan untuk dirinya dan mengindikasikan sejauhmana individu tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Terdapat empat sumber self-esteem, yaitu : power, significance, virtue, dan competence. Pertama, power merupakan kemampuan mahasiswa baru untuk mempengaruhi dan mengontrol kondisi-kondisi yang berkaitan dengan dirinya. Mahasiswa baru dikatakan sukses dalam kriteria power jika mahasiswa baru mampu untuk mempengaruhi energi atau tindakannya dengan mengontrol tingkah lakunya dan kemudian mampu mengontrol orang lain. Dalam beberapa situasi, power dinyatakan dengan pengakuan dan penghargaan yang diterima mahasiswa baru dari orang lain dan seberapa besar pendapat dan kebenaran mahasiswa baru tersebut diakui dan dihargai (Coopersmith, 1967). Kedua, significance merupakan penerimaan, perhatian, dan kasih sayang yang diterima mahasiswa baru dari orang yang signifikan bagi dirinya. Ekspresi dari penghargaan dan perhatian digolongkan di dalam kata penerimaan dan popular, sementara lawan katanya adalah penolakan dan dikucilkan. Penerimaan ditandai dengan kehangatan, didengarkan, diperhatikan, dan disukai apa adanya.

18 Semakin banyak yang menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada mahasiswa baru, serta semakin sering pengekspresian perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar mereka, maka semakin besar kemungkinan mahasiswa baru untuk menilai dirinya secara menyenangkan (Coopersmith, 1967). Ketiga, virtue merupakan keterkaitan terhadap standar moral, etika, dan prinsip religi. Orang tua agaknya membentuk tradisi dan filosofi yang menuntun tingkah laku yang sebaiknya dilakukan mahasiswa baru. Hal ini dapat berubahubah dan dapat dilihat dari seberapa sering mahasiswa baru menghormati orang tua, melakukan kegiatan berdoa, dan kepatuhan. Mahasiswa baru yang mentaati standar etika dan religi, dapat menerima dan menginternalisasi sikap diri yang positif dengan memenuhi standar etika dan religi tersebut. Perasaan terhadap penghargaan diri dapat diwarnai dengan perasaan akan kebenaran, keadilan, kejujuran, ketulusan, dan pemenuhan spiritual (Coopersmith, 1967). Keempat, competence merupakan performance sukses dalam tuntutan untuk berprestasi. Mahasiswa baru dikatakan sukses dalam kriteria competence jika mahasiswa baru mempunyai level performance yang tinggi yang disesuaikan dengan level dan tugas yang sesuai dengan usianya. Sebagai contoh pada mahasiswa laki-laki sebagai remaja dapat dilihat bahwa performance secara akademis dan olahraga merupakan 2 area utama yang sering digunakan untuk menilai kriteria competence-nya. White (1959, dalam Coopersmith, 1967) menekankan pentingnya aktivitas untuk mendapatkan perasaan keyakinan diri dan menganjurkan bahwa pengalaman akan prestasi dapat ditingkatkan sesuai dengan

19 keyakinannya (unsur internal) dan tidak bergantung pada reward dari lingkungan (unsur eksternal) (Coopersmith, 1967). Mahasiswa baru yang tinggi dalam keempat sumber self-esteem, yaitu : power, significance, virtue, dan performance, akan memiliki self-eteem positif. Mereka akan mampu mengontrol kondisi yang berkaitan dengan diri mereka, diterima dan dikasihi oleh orang yang siginifikan bagi mereka, taat terhadap moral dan etika, dan menampilkan kesuksesan dalam prestasi. Keempat sumber selfesteem yang tinggi dalam diri mahasiswa baru tersebut akan mempengaruhi bagaimana menghadapi situasi baru untuk memperoleh relasi sosial agar terhindar dari rasa loneliness. Self-esteem yang positif akan berhubungan dengan selfrespect, keunggulan, kebanggaan, penerimaan diri, dan cinta diri. Self-esteem yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna, serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini. Mereka yang memiliki self-esteem positif akan aktif dalam kelompok sosial dan memberikan tanggapan dalam pembicaraan dengan kelompok sosialnya secara sering dan efektif. Walaupun mereka memasuki lingkungan yang baru dan asing, namun karena adanya rasa percaya diri, berguna, dan percaya bahwa kehadirannya diperlukan, akan memudahkan mereka untuk berinteraksi dan menjalin relasi dengan teman-teman barunya. Mereka akan aktif memulai perkenalan dengan orang-orang baru dan tidak merasa takut bahwa mereka akan ditolak oleh teman-temannya. Oleh karena itu, mereka tidak akan kesulitan untuk memiliki jaringan relasi yang luas dan tidak sulit bagi mereka untuk memiliki

20 hubungan yang mendalam dengan teman di tempat yang baru. Hal ini akan menghindarkan mereka dari perasaan loneliness. Penilaian diri yang negatif atau self-esteem yang negatif terjadi bila keempat sumber dari self-esteem rendah. Oleh karena self-esteem tidak hanya membicarakan mengenai penilaian seseorang terhadap dirinya, namun juga mencakup bagaimana orang tersebut mempersepsi penilaian orang lain terhadap dirinya, maka mungkin saja terjadi bahwa mahasiswa baru merasa dirinya kompeten, tetapi tidak disertai dengan penghargaan atau pengakuan dari lingkungan yang memadai, maka self-esteem yang terbentuk akan negatif. Selfesteem yang negatif seringkali sama dengan rendah diri, sifat takut-takut, benci diri, kekurangan dalam menerima diri, dan terlalu patuh. Mahasiswa baru dengan self-esteem negatif akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Mereka menjadi pasif dalam berelasi dengan orang-orang baru karena perasaan rendah diri mereka. Mereka memiliki ketakutan akan ditolak oleh lingkungan sehingga menjauhi interaksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Hal ini menyebabkan mereka lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri walaupun sebenarnya mereka memiliki keinginan untuk bersama teman, sehingga perasaan loneliness pun tidak terhindari. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan skema kerangka pikir sebagai berikut:

21 Skema Kerangka Pikir Empat sumber selfesteem : 1. Power 2. Significance 3. Virtue 4. Competence Mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa di Universitas X Bandung Self-esteem rs Loneliness Dua tipe loneliness: - social isolation - emotional isolation Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir 1.6 Asumsi - Tatkala seseorang memasuki lingkungan baru, lazim bila pada dirinya muncul peraaan loneliness. - Seorang mahasiswa baru yang memulai jenjang pendidikan tinggi dan memilih kuliah di lokasi berbeda dengan tempat asalnya, berpeluang menghayati perasaan loneliness baik secara sosial maupun emosional. - Cepat atau lambat, perasaan loneliness itu harus diatasi, di antaranya melalui kapasitas self-esteem yang ada pada diri mahasiswa baru.

22 - Self-esteem yang berisikan dan digerakkan oleh sumber-sumbernya, yaitu power-significance-virtue-competence, dalam kekuatan tertentu akan membantu mehasiswa baru beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga perasaan loneliness akan dapat dinetralisir. 1.7 Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan antara self-esteem dan loneliness pada mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Pulau Jawa di Universitas X Bandung.