BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. gambaran pengalaman psikososial remaja yang tinggal di panti asuhan.

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi perhatian serius bagi orang tua, praktisi pendidikan, ataupun remaja

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di masyarakat. Mahasiswa minimal harus menempuh tujuh semester untuk dapat

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I. empat dekade mendatang, proporsi jumlah penduduk yang berusia 60 tahun. 10% hingga 22% (World Health Organization, 2012).

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN EKSTROVERT DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FKIP PBSID UMS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasaya. perubahan penampilan pada orang muda dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme koping adalah suatu cara yang digunakan individu dalam

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

BAB I PENDAHULUAN. Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang sangat populer untuk

BAB I PENDAHULUAN. terapi lingkungan untuk pasien dengan depresi yaitu Plant therapy di mana tujuan dari

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Siswoyo (2007) mahasiswi adalah individu yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa penting karena memiliki dampak

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seorang individu, karena individu tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu sumber penyebab kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Padang, terdapat 24 panti asuhan yang berdiri di Kota Padang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan citra individual mengenai gambaran tubuh mereka. Salah satu tugas

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum remaja membutuhkan keluarga yang utuh untuk membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan sangat penting bagi perkembangan psikologis secara individu. Dukungan sosial adalah sumber-sumber yang diberikan oleh orang disekitarnya terutama keluarga. Salah satu sumber dukungan yang penting bagi remaja adalah teman sebaya. Hubungan yang terjalin antara remaja dengan lingkungan sebayanya memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan keterampilan sosial, berkembangnya berbagai potensi kehidupan, serta berbagai fungsi di masa remaja (La Greca & Lopez, 1998). Tidak semua remaja cukup beruntung untuk memiliki dukungan keluarga secara utuh yang dapat menemani mereka melewati fase-fase perkembangannya. Banyak remaja yang karena berbagai macam alasan atau peristiwa akhirnya harus berpisah dengan kedua orang tuanya bahkan dari keluarga besarnya hingga akhirnya harus menjalani kehidupannya tanpa dukungan dan kasih sayang keluarganya (Kurniawaty, 2005). Salah satu kondisi utama yang memungkinkan remaja pada akhirnya ditempatkan di panti asuhan adalah karena orang tua sudah tidak ada atau meninggal. Namun demikian, bentuk pelembagaan dari pengasuhan remaja ini tidak terlepas dari resiko terhadap perkembangan remaja.

2 Remaja memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu lingkaran sosial, termasuk remaja yang tinggal di panti asuhan. Keterbatasan interaksi remaja panti asuhan dengan lingkungan luar juga menjadi masalah yang mana ketika remaja panti asuhan keluar dari panti asuhan dia akan mengalami kebingungan dan kecemasan. Melihat kondisi ini sudah seharusnya remaja perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi dari berbagai pihak seperti keluarga, masyarakat maupun pemerintah terutama remaja yang tinggal di panti asuhan karena mereka rentan mengalami masalah psikososial. Upaya intervensi dan perhatian yang sudah dilakukan untuk remaja di panti asuhan lebih fokus kepada bantuan pendidikan. Kenyataan dilapangan, pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang, semua fokus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara kebutuhan emosional dan pertumbuhan anak-anak tidak dipertimbangkan. Padahal pada masa remaja kebutuhan emosional sangat perlu diperhatikan seperti yang dinyatakan oleh Erikson (dalam Santrock, 2007). Perhatian pada remaja harus lebih holistik, komprehensif, dan dapat menyentuh semua aspek perkembangannya, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan perkembangan mereka terutama identitas dirinya menjadi lebih optimal. Sebelum dilakukan survey awal, dilakukan wawancara terhadap pengasuh dan 2 remaja di panti asuhan, ada beberapa permasalahan yang di alami oleh para remaja di asuhan. Diantara permasalahan yang terjadi adalah banyak remaja panti asuhan yang mengalami ke arah ciri-ciri kecemasan sosial.

3 Mereka merasa malu, takut bila ketemu dengan orang yang baru dikenalnya, kurang mampu mengekspresikan diri dan cenderung pasif, kurang mampu memecahkan permasalahannya sendiri. Pada remaja yang lainnya juga merasa tidak percaya diri waktu di sekolah ketika harus maju di depan kelas Survey dilakukan pada 2 panti asuhan di Surakarta yaitu Pakym dan Nur hidayah. Berdasarkan hasil survey menggunakan metode angket terkait dengan ciri-ciri kecemasan sosial tinggi mununjukkan bahwa ada 60% dari 38 remaja mengarah ke ciri-ciri kecemasan sosial. Beberapa alasan timbulnya kecemasan sosial pada remaja panti asuhan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling mendasar yang memunculkan kecemasan sosial pada remaja panti adalah status sosial ekonomi, menurut Jenkins & Bell, 1992 dalam Santrock, 2003 beberapa ciri kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya masalah psikososial remaja. Selain faktor tersebut ada faktor lain yaitu pola asuh dari pengasuh panti asuhan. Pengasuh sebagai peran utama terhadap perkembangan sosial remaja panti asuhan. Tetapi manajemen pengawasan dan keberadaan remaja panti asuhan dan melaksanakan disiplin yang terkadang berlebihan akan berdampak pada kondisi psikologis remaja panti asuhan. Remaja panti tidak sedikit yang akan melanggar peraturan-peraturan yang diterapkan dan juga tidak sedikit remaja panti asuhan yang akan mengalami masalah sosial seperti menjadi pendiam, menghindari situasi sosial, tidak asertif, menjauhi masalah, muncul perasaan khawatir tentang penilaian orang terhadap dirinya.

4 Berikut hasil angket ciri-ciri kecemasan sosial dilihat dari aspek fisik, afeksi dan kognitif. Tabel 1. Hasil angket survei ciri-ciri kecemasan sosial tinggi No Pernyataan Opsi jawaban Jumlah Prosentase 1. Tangan saya gemetar ketika Ya 26 68% mengerjakan tugas di depan kelas. Tidak 12 32% 2. Ketika menunggu giliran untuk Ya 23 60% presentasi di depan kelas, keringat Tidak 15 40% saya mulai bercucuran. 3. Saya malu bertemu dengan orang Ya 20 52% baru. 4. Saya merasa rendah diri dengan penampilan saya ketika berada dilingkungan baru. 5. Saya tidak mampu berbicara dengan lancar ketika bertemu dengan orang baru. 6. Selama menunggu giliran untuk presentasi, tangan saya terasa dingin. 7. Saya khawatir akan masa depan saya kelak. 8. Saya takut mendahului berkenalan dulu dengan orang baru. Tidak 18 48% Ya 21 55% Tidak 17 45% Ya 18 47% Tidak 20 53% Ya 28 73% Tidak 10 27% Ya 30 78% Tidak 8 22% Ya 31 81% Tidak 7 19% Jumlah remaja yang mengalami kecemasan sosial cukup tinggi pada tahun 2007 di Amerika Serikat terdapat 15 juta jiwa (U.S Department of Health and Human Services, 2007). Prevalensi kecemasan sosial pada remaja lebih perempuan sebanyak 5,27% sedangkan pada laki-laki 4,2% (Manfro, 2006). Di Indonesia, hasil penelitian kecemasan sosial di Univesitas Muhammadiyah Malang menunjukkan dari 211 partisipan mahasiswa 22,27% mengalami gangguan kecemasan sosial (21,28% sangat membutuhkan bantuan), 20,85%

5 terindikasi memunculkan gejala gangguan, 56,87% tidak dapat diagnosis mengalami gangguan kecemasan sosial (Suryaningrum, 2006). Situasi yang dapat menyebabkan kecemasan sosial seperti tampil di depan publik atau panggung (Leary & Kowalski, 1997; Dee asso,rucci, Ducci, Ciaparelli, Vivaselli, Carlini, dkk, 2003), bertemu dengan orang asing, mengemukakan pendapat, diperhatikan orang lain ketika bekerja, menulis, atau makan (Leary & Kowalski, 1997), menyatakan cinta (Dell osso dkk, 2003). Sebuah rubrik konsultasi yang diasuh oleh Sarwono (2006) ditemukan beberapa klien dengan gejala kecemasan sosial. Salah seorang dintaranya mengaku kecemasan yang paling kuat dirasakan adalah ketika mendapatkan tugas untuk melakukan presentasi di depan kelas, badannya akan selalu gemetar dan berkeringat dingin. Dalam sebuah rubrik konsultasi psikologi lainnya yang diasuh Hassan (2006), seorang pria berusia 25 tahun mengaku sifatnya yang pemalu dan selalu rendah diri membuatnya tertekan, ia tidak mempunyai banyak teman, bahkan satu teman dekat pun tidak ia miliki. Data di atas menunjukkan bahwa permasalahan kecemasan sosial bukanlah fenomena baru yang ada di masyarakat, masih banyak kasus serupa yang dapat kita temui. Namun demikian belum banyak yang memahami bahwa gejala-gejala tersebut pada dasarnya adalah gejala-gejala kecemasan yang timbul ketika seseorang berhadapan dengan berbagai situasi sosial, yang jika tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan sosial atau fobia sosial.

6 Penelitian lain menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan sosial lebih banyak menilai negatif tentang dirinya. Penilaian lain menyatakan Penilaian negatif ini mendominasi pada aspek kognitif (Burns, Hope, Herbert & Warner, 2007). Ketika kognitif mengalami disfungsional maka akan menyebabkan interpretasi yang menyimpang tentang suatu peristiwa (Freeman & Szentagotai, 2007). Individu yang mengalami kecemasan memikirkan harapan yang buruk dan penilaian negatif dari orang lain ketika meghadapi suatu kejadian (Leary & Kowalski, 1997). Penelitian Santrock (1998) mengemukakan bahwa remaja mulai memiliki kesadaran publik, seperti perhatian orang lain akan penampilan dan perilakunya. Prevalensi simptom kecemasan untuk individu berusia 9-60 tahun menemukan bahwa, ketakutan akan perasaan malu dan penilaian orang lain mencapai tingkat prevalensi yang maksimal pada remaja. Gangguan kecemasan sosial beresiko mengalami gangguan afektif, gangguan yang berhubungan dengan substansi, dan gangguan kecemasan lain (Fehm, Beesdo, Jacobi & Fieldler, 2007). Tingginya tingkat kecemasan sosial juga dapat menyebabkan timbulnya gangguan kecemasan yang biasanya muncul ketika remaja, dan dapat mengarah pada gangguan yang lebih serius seperti depresi, penggunaan narkoba, atau alkohol (Harrison, La Greca & Siegel, dkk, 2007), menderita psikosis, percobaan bunuh diri (Anna dkk, 2007), fobia sosial (Horrison, La Greca& Siegel, 2009; Anna dkk, 2007). Kecemasan sosial tinggi yang dialami oleh remaja di panti asuhan dapat diminimalisir dengan memiliki keterampilan bersosialisasi dengan baik

7 terhadap lingkungannya, memiliki penerimaan diri yang positif terhadap dirinya. Seperti yang dikatakan La Greca & Lopez (1998) hubungan yang terjalin antara remaja dengan lingkungan sebayanya memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan keterampilan sosial, berkembangnya berbagai potensi kehidupan, serta berbagai fungsi di masa remaja. Ramdhani (1992) mengatakan bahwa remaja dapat menjalin hubungan sosial dengan mudah bila sedari awal mereka memiliki keterampilan bersosialisasi. Remaja yang tidak memiliki keterampilan sosial dapat menimbulkan kecemasan-kecemasan sosial pada remaja panti asuhan untuk melakukan interaksi sosial. Keterampilan sosial menjadi semakin penting saat masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosialnya akan sangat menentukan. Kegagalan remaja di panti asuhan dalam menguasai keterampilanketerampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif. Dalam perkembangan yang lebih ekstrim kegagalan ini bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, maupun tindakan kekerasan (Mu tadin, 2002). Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berbagi, saling membantu, berinisiatif, meminta tolong, dan mengucapkan terima kasih. Individu yang keterampilan sosialnya kurang, akan menyebabkan masalah

8 yang berhubungan dengan pekerjaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, hubungan sosial dan kualitas hidup (Hosteter & Miller, 2000). Stuart & Laraia (2008) menyatakan latihan keterampilan sosial didasarkan pada keyakinan bahwa keterampilan dapat dipelajari oleh karena itu dapat dipelajari bagi seseorang yang tidak memilikinya. Pelatihan keterampilan sosial bisa diaplikasikan untuk individu yang pasif, kurang inisistif, kasus isolasi sosial, penolakan, agresifitas, bullying, kecemasan sosial, dan ketakutan sosial (Hosteter & Miller, 2000). Berdasarkan uraian di atas maka kami menyimpulkan bahwa perhatian dalam penanganan terhadap remaja panti selama ini hanya sebatas materi dan pendidikan saja tanpa memberikan penanganan yang bersifat psikologi dan kehidupan sosialnya. Maka dari itu penting untuk memberikan sebuah pelatihan yang berfokus pada perkembangan remaja dan perkembangan psikologis remaja panti untuk menghadapi dunia luar kelak. Pelatihan yang diberikan adalah Pelatihan keterampilan sosial pada remaja panti asuhan untuk mengurangi kecemasan sosial. Permasalahannya adalah apakah ada pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap penurunan kecemasan sosial pada remaja di panti asuhan? B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap penurunan kecemasan sosial pada remaja dipanti asuhan.

9 C. Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian ini memberikan informasi dan data-data empiris bagi kepentingan akademis khususnya mengenai pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap kecemasan sosial pada remaja di panti asuhan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: a. Bagi remaja di panti asuhan. Penelitian ini memberikan gambaran informasi bagaimana kondisi kecemasan sosial para remaja di panti asuhan secara umum dan secara khusus bagi peserta. Program pelatihan keterampilan sosial ini diharapkan dapat menurunkan kecemasan sosial. b. Bagi pengasuh panti asuhan, khususnya di Panti Asuhan Pakym Surakarta dan Panti Asuhan Nur Hidayah, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu usaha untuk mengurangi kecemasan sosial remaja di panti asuhan. Selain itu penelitian ini juga sebagai wacana pemikiran bagi pengasuh untuk mengatasi permasalahan kecemasan-kecemasan sosial yang dihadapi remaja panti asuhan melalui pelatihan keterampilan sosial. c. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan pemikiran dan pengembangan pada penelitian yang sejenis, khususnya pelatihan keterampilan sosial dan kecemasan sosial. D. Keaslian Penelitian Kecemasan sosial merupakan salah satu gangguan psikologis yang banyak diteliti karena dampaknya yang luas dalam kehidupan sosial. Metode yang digunakan beraneka ragam.

10 Penelitian mengenai kecemasan sosial sudah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah: 1. Swasti (2010) tentang: Terapi Naratif untuk Menurunkan Kecemasan Sosial. Hasil penelitiannya adalah terapi naratif mampu membantu untuk mengurangi kecemasan sosial. Terapi ini diterapkan pada subjek yang memenuhi kriteria partisipan, dalam 8 sesi terapi individual. Subjek diseleksi menggunakan Skala Kecemasan Sosial-Revisi (SKS-R). SKS-R diberikan pada awal dan akhir terapi, dengan 2 kali tindak lanjut. Skor SKS- R menunjukkan penurunan kecemasan sosial yang signifikan, dari skor awal 226 (sangat tinggi) menjadi 112 (sangat rendah) diakhir terapi. 2. Hapsari (2007) tentang: Efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial pada Remaja dengan Kecemasan Sosial. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan ada perbedaan penurunan dari kelompok kontrol dan eksperimen. Subjek dari penelitian ini adalah siswa siswi kelas VII SMPN 1 Kalasan (4 orang laki-laki dan 12 perempuan), yang memiliki gejala kecemasan sosial. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hasilnya adalah pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol mengalami penurunan yang signifikan (-2533; p < 0,05) sedangkan kelompok kontrol juga mengalami penurunan, namun tidak signifikan (- 1,405) ; p> 0,05). 3. Dewi (2012) tentang : Pelatihan keterampilan Sosial untuk Mahasiswa Universitas Indonesia dengan Distres Psikologis Tinggi. Dari penelitian

11 yang telah dilakukan maka diperoleh perbandingan pengukuran pra dan pasca intervensi, ditemukan bahwa tidak ada partisipan yang memiliki skor rendah pada tiap dimensi keterampilan sosial. Tujuh dari delapan partisipan memiliki keseimbangan akor antar dimensi yang lebih baik. Seluruh partisipan mengalami penurunan skor HSCL-25 4. Wulandari (2004) tentang: Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi. Dari penelitian yang telah dilakukan maka terbukti bahwa Teknik modifikasi perilaku ternyata dapat digunakan dan hasilnya efektif untuk menurunkan kecemasan komunikasi antar individu. Perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah berfokus pada subjek penelitian yaitu peneliti lebih mengkhususkan pada remaja dipanti asuhan karena dengan mempertimbangkan banyak gejala-gejala yang muncul yang dialami oleh subjek penelitian yang mengarah kepada kecemasan sosial. Selain itu pada metode pelaksanaan pelatihan yang dilakukan dengan beberapa hari pelatihan karena mempertimbangkan faktor lebih efektifnya remaja bisa menerima ilmu baru yang disampaikan dalam waktu 2 jam selama sehari sehingga diharapkan subjek bisa benar-benar mendapatkan ilmu dan menerapkannya pada hari berikutnya.

12 Dengan demikian penelitian tentang Pengaruh Pelatihan Keterampilan Sosial untuk Menurunkan Kecemasan Sosial Remaja di Panti Asuhan yang dilakukan oleh penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.