IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis,

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

BIODELIGNIFIKASI TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN FUNGI PELAPUK PUTIH (WHITE ROT FUNGI) Oleh: CUCU RINA PURWANINGRUM F

II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG B. LIGNOSELULOSA

I. PENDAHULUAN. Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. satu sektor penting dalam mendukung perekonomian, sehingga bidang pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

DAFTAR TABEL. 7. Tabel Rendemen etanol dari uulp pada berbagai kandungan lignin

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti

TINJAUAN PUSTAKA. Komponen Kimia Kayu

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN A. HASIL 1. Laju pertumbuhan miselium Rata-rata Laju Perlakuan Pertumbuhan Miselium (Hari)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas)

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sampah merupakan salah satu permasalahan utama di Indonesia yang sampai saat ini

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. selulosa dan lignin yang terdapat pada dinding sel tumbuhan. Oleh karena

I. PENDAHULUAN. seiring dengan meningkatnya konsumsi di masyarakat. Semakin pesatnya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Protein merupakan suatu senyawa yang dibutuhkan dalam tubuh. manusia sebagai zat pendukung pertumbuhan dan perkembangan.

PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN PROSES FUNGAL TREATMENT

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm.

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

TINJAUAN PUSTAKA. fungi kelompok tertentu yang memiliki kemampuan enzimatik sehingga. kekuatan kayu dan mengakibatkan kehancuran (Zabel, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

TINJAUAN PUSTAKA. Nenas merupakan anggota dari famili Bromeliaceae yang terdiri dari 45 genus serta 2000

BAB I PENDAHULUAN. Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak. peternakan. Gulma tanaman pangan mempunyai potensi untuk dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

I. PENDAHULUAN. zat kimia lain seperti etanol, aseton, dan asam-asam organik sehingga. memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi (Gunam et al., 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Limbah merupakan sampah sisa produksi yang mengandung bahan

TINJAUAN PUSTAKA. Nama Botani dari Eucalyptus grandis adalah Eucalyptus grandis Hill

1.3 TUJUAN PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Tongkol Jagung a. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kondisi awal tongkol jagung. Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis proksimat tongkol jagung Komponen % b.b % b.k Air 10.71 - Abu 1.69 1.89 Protein 0.60 0.67 Lemak 2.34 2.62 Serat Kasar 79.15 88.64 Karbohidrat (by difference) 5.51 6.18 Keterangan: % b.b = Persentase berdasarkan bobot basah % b.k = Persentase berdasarkan bobot kering Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya simpan bahan selama menunggu proses pengolahan. Hasil analisis kadar air tongkol jagung awal yaitu 10.71%, menunjukkan bahwa tongkol jagung yang digunakan memiliki kadar air yang rendah. Kadar air yang rendah menyebabkan bahan lebih tahan terhadap serangan mikroba selama penyimpanan. Tongkol jagung memiliki kadar abu sebesar 1.69% (b.b) dan 1.89% (b.k). Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan bahan anorganik dan kandungan unsur mineral dalam suatu bahan. Menurut Chang dan Miles (1989), mineral merupakan komponen yang penting bagi pertumbuhan fungi. Mineral utama yang dibutuhkan bagi pertumbuhan fungi yaitu fosfor, kalsium dan magnesium. Kadar protein tongkol jagung menunjukkan hasil yang sangat kecil, yaitu 0.60% (b.b). Hal ini menunjukkan bahwa tongkol jagung yang 25

digunakan memiliki kandungan nutrisi (protein) yang kurang mencukupi khususnya jika akan dipergunakan langsung untuk bahan pakan ternak. Tongkol jagung memiliki kadar lemak sebesar 2.34% (b.b) dan 2.62% (b.k). Lemak merupakan zat ekstraktif yang larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, dan lain-lain (Fengel dan Wegener, 1995). Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih dan terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan pentosan (Apriyantono et al., 1989). Kadar serat kasar tongkol jagung yang tinggi, yaitu 79.15% (b.b) menunjukkan bahwa bahan tersebut merupakan sumber karbon yang baik yang berguna sebagai nutrisi bagi pertumbuhan mikroba, khususnya bagi mikroba yang dapat menguraikan komponen serat (ligninolitik dan selulolitik). Hasil analisis karbohidrat (by difference) menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki kandungan karbohidrat sebesar 5.51% (b.b) dan 6.18% (b.k). Kandungan karbohidrat tongkol jagung yang cukup tinggi memiliki peluang yang cukup besar sebagai sumber karbon (C) bagi pertumbuhan mikroba. b. Analisis Komponen Lignoselulosa Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui (Sjostrom, 1995). Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Hasil analisis komponen lignoselulosa awal tongkol jagung manis yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan hasil kadar lignin 19.74%, kadar selulosa 41.45% dan hemiselulosa 33.91%. Sedangkan tongkol jagung yang digunakan oleh Iswanto (2009) mempunyai kandungan lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45% dan kadar hemiselulosa 35%. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap jenis tongkol jagung mempunyai komposisi komponen lignoselulosa yang berbeda. Perbedaan komposisi kimia tongkol jagung tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perbedaan varietas, tempat tumbuh, kelembaban dan cuaca saat pemanenan (Shofiyanto, 26

2008). Hasil analisis komponen lignoselulosa tongkol jagung sebelum didelignifikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi komponen lignoselulosa tongkol jagung sebelum didelignifikasi Komponen % b.k Zat Ekstraktif 4.92 Lignin 19.74 Selulosa 41.45 Hemiselulosa 33.91 Keterangan: % b.k = Persentase berdasarkan bobot kering Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa dan hemiselulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi produk turunannya. Berdasarkan hasil analisis kandungan komponen lignoselulosa, dapat dikatakan bahwa lignin yang terkandung dalam tongkol jagung cukup tinggi. Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis (Hofrichter, 2002). Lignin dapat didegradasi oleh fungi pelapuk kayu tetapi hanya dapat didegradasi secara sempurna oleh fungi pelapuk putih (white rot fungi). Fungi ini dapat mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim ekstraseluler yang terdiri atas selulase, xilanase, hemiselulase, serta enzim pendegradasi lignin yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). 27

2. Penentuan Fungi Terbaik Parameter utama yang digunakan untuk penilaian jenis fungi pelapuk putih terbaik yang akan terpilih dari ketiga jenis fungi yaitu Schizophyllum commune, Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9 berdasarkan kemampuan fungi dalam mendegradasi lignin paling tinggi pada tongkol jagung selama 30 hari inkubasi. Persentase penurunan kadar lignin oleh masing-masing fungi selama 30 hari inkubasi dapat dilihat pada Gambar 16. 26.07% 14.15% 1.66% Gambar 16. Persentase penurunan kadar lignin tongkol jagung (PC*: Phanerochaete chrysosporium, SC*: Schizophyllum commune, EB9*: isolat Pleurotus EB9) Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan bobot lignin awal dan bobot lignin setelah perlakuan inkubasi fungi pada tongkol jagung telah terjadi penurunan lignin (Gambar 16). Setelah 30 hari inkubasi, tongkol jagung yang diinkubasi dengan P. chrysosporium mengalami penurunan kadar lignin paling tinggi diantara ketiga jenis fungi lainnya, yaitu 26.07% (Gambar 16 dan Lampiran 1). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fadilah (2008), selama inkubasi pada suhu 38 o C selama 30 hari, P. chrysosporium mampu menurunkan kadar lignin batang jagung sebesar 81.4 %. Hasil penurunan kadar lignin yang kecil pada penelitian ini diduga terjadi karena P. chrysosporium tidak diinkubasi pada suhu optimumnya yang berkisar antara 38 40 o C. Penurunan kadar lignin oleh isolat Pleurotus EB9 setelah diinkubasi selama 30 hari sangat kecil yaitu 1.66%. Tidak seperti pada P. chrysosporium 28

yang dapat menghasilkan enzim pendegradasi komponen fenolik (MnP) dan komponen non fenolik (LiP) sekaligus, Pleurotus EB9 hanya menghasilkan satu jenis enzim pendegradasi lignin yaitu enzim laccase. Menurut Kimura et al. (1990), usaha untuk mendeteksi aktivitas enzim lignin peroksidase pada P.ostreatus di bawah beberapa kondisi kultur tidak menunjukkan hasil yang positif. Sannia et al. (1991) menemukan bahwa pada fungi pelapuk putih Pleurotus terdapat aktivitas enzim laccase. Laccase merupakan fenol oksidase yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H 2 O 2 tetapi menggunakan molekul oksigen (Thurston, 1994). Laccase dapat mengoksidasi komponen non fenolik jika terdapat mediator seperti ABTS (2,2- azinobis (3-etilbenzthiazolin-6-sulfonat)) atau HBT (hidroksibenzotriazol) (Bourbonnais dan Paice, 1990). Padahal sekitar 90% struktur lignin tersusun atas unit non fenolik (Srebotnik et al., 1994). Hal inilah yang menyebabkan kecilnya persentase penurunan lignin pada substrat yang diinkubasi oleh Pleurotus dibandingkan substrat yang diinkubasi oleh P. chrysosporium. Seperti halnya pada Pleurotus, fungi S. commune diketahui dalam mendegradasi lignin fungi ini hanya menghasilkan enzim laccase. Lebih rendahnya bobot lignin akhir yang dialami oleh substrat setelah diinkubasi dengan S. commune disebabkan oleh lebih besarnya penurunan bobot kering yang dialami oleh substrat tersebut. Namun pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa persentase kadar lignin substrat yang diinkubasi selama 30 hari oleh kedua jenis fungi tersebut hampir sama yaitu 22.55% pada S. commune dan 22.36% pada isolat Pleurotus EB9. Menurut Herliyana (1997), setelah 6 minggu inkubasi pada media padat dengan kondisi diberi aerasi, pemberian S. commune dapat menurunkan kadar lignin pada pulp kayu Acacia mangium sebesar 69.3% dan pada pulp kayu Pinus merkusii sebesar 10%. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan S. commune dalam mendegradasi lignin pada masingmasing substrat berbeda-beda, termasuk pada substrat tongkol jagung. Hal ini terjadi karena perbedaan komposisi kimia dari substrat tersebut. 29

Lignin merupakan senyawa polimer aromatik yang sulit didegradasi dan hanya sedikit organisme yang mampu mendegradasi lignin, diantaranya fungi pelapuk putih. Fungi mendegradasi lignin menjadi produk yang larut dalam air dan CO 2 (Boyle et al., 1992). P. chrysosporium mempunyai kemampuan mendegradasi komponen lignin tongkol jagung paling besar diantara yang lain. Oleh karena itu, P. chrysosporium digunakan sebagai fungi terpilih untuk mendelignifikasi tongkol jagung pada penelitian utama. Selain penurunan kadar lignin, tongkol jagung setelah diinkubasi dengan fungi juga mengalami penurunan bobot kering. Seperti halnya penurunan lignin, tongkol yang diinkubasi dengan P. chrysosporium memiliki tingkat penurunan bobot kering paling tinggi yaitu 28.22% (Gambar 17). 28.22% 27.32% 15.79% Gambar 17. Persentase penurunan bobot kering tongkol jagung (PC*: Phanerochaete chrysosporium, SC*: Schizophyllum commune, EB9*: isolat Pleurotus EB9) Persentase penurunan bobot kering tongkol jagung merupakan salah satu ukuran adanya biodegradasi oleh fungi. Berdasarkan Gambar 15 dapat diketahui bahwa P. chrysosporium mempunyai kemampuan menurunkan bobot kering tongkol jagung terbesar diantara ketiga jenis fungi. Terjadinya penurunan bobot kering selama waktu inkubasi diduga karena adanya degradasi tongkol jagung oleh enzim yang dikeluarkan oleh fungi. Menurut Hatakka (2001), white-rot fungi menghasilkan berbagai jenis enzim yang terlibat dalam proses degradasi lignin, juga menghasilkan selulase, xilanase dan hemiselulase. 30

B. PENELITIAN UTAMA 1. Struktur Mikroskopis Tongkol Jagung Struktur mikroskopis serat tongkol jagung awal dengan struktur serat tongkol jagung yang telah diinkubasi dengan P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 18. (a) (b) (c) (d) Gambar 18. Struktur mikroskopis serat tongkol jagung (perbesaran 400x): tanpa polarisasi (a) sebelum didelignifikasi, (b) diinkubasi 30 hari oleh P. chrysosporium; dengan cahaya terpolarisasi; (c) sebelum didelignifikasi, (d) diinkubasi 30 hari oleh P. chrysosporium Pada Gambar 18 tampak struktur seperti benang yang disebut fibril. Fibril merupakan kumpulan molekul-molekul selulosa dan mengandung bagian yang teratur dan kurang teratur. Struktur tongkol jagung awal Gambar 18 (a) tampak struktur fibril yang masih tersusun lurus. Namun, setelah inkubasi 30 hari (Gambar 18 (b) ) dapat dilihat bahwa struktur serat tampak lebih renggang. Hal ini terjadi karena selama waktu inkubasi terjadi degradasi oleh enzim yang dikeluarkan oleh fungi, sehingga menyebabkan dinding-dinding sel semakin lama semakin keropos dan menghasilkan struktur sarang lebah. Zona lisis fibril selulosa tidak terlindungi dan melonggar (Fengel dan Wegener, 1995). Pada penampakan tongkol jagung dengan cahaya yang terpolarisasi (Gambar 18 (c), (d) ), terdapat warna kebiruan yang menunjukkan struktur 31

kristalin selulosa. Pada struktur tongkol jagung awal (sebelum didelignifikasi), tampak struktur kristalin selulosa yang ditandai dengan warna kebiruan. Pada inkubasi 30 hari warna kebiruan pada cahaya terpolarisasi semakin sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa lignin yang dikandung semakin sedikit dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Menurut Knauf dan Moniruzzaman (2004), perubahan yang terjadi pada struktur lignoselulosa yang telah diberi perlakuan awal dapat berupa pemisahan antara selulosa dengan materi yang melindunginya (hemiselulosa dan lignin). Perubahan struktur selulosa yang pada awalnya berbentuk kristal menjadi amorf, sehingga mudah untuk dihidrolisis. 2. Biodelignifikasi oleh P. chrysosporium a. Bobot Kering Setelah Inkubasi Perlakuan inkubasi fungi P. chrysosporium pada tongkol jagung telah menyebabkan penurunan dan kenaikan bobot kering. Hasil perhitungan bobot kering tongkol jagung sebelum dan sesudah delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 19 dan Lampiran 3. Bobot kering (g) Gambar 19. Bobot kering tongkol jagung sebelum (awal) dan setelah delignifikasi (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) Degradasi komponen lignoselulosa tongkol jagung ditandai oleh penurunan bobot kering bahan. Enzim yang dikeluarkan oleh fungi mampu mengkatalis reaksi biokimia pada media lignoselulosa, sehingga holoselulosa dan lignin dapat dirombak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. 32

Senyawa-senyawa ini selanjutnya dapat diabsorpsi dan dimetabolisme oleh fungi (Herliyana, 1997). Akan tetapi, dari hasil yang didapatkan terjadi peningkatan bobot kering pada dua perlakuan. Kenaikan ini terjadi karena adanya pertumbuhan komponen miselia fungi yang cepat. Menurut Fadilah (2009), penambahan nutrisi berupa glukosa dalam media mempunyai dua keuntungan, salah satunya adalah pertumbuhan fungi yang cepat pada media. Oleh karena adanya penambahan komponen miselia fungi, terjadilah kenaikan bobot kering substrat setelah delignifikasi. Penampakan pertumbuhan miselia P. chrysosporium pada media tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20. Penampakan pertumbuhan miselia Phanerochaete chrysosporium pada media tongkol jagung b. Kadar Zat Ekstraktif Zat ekstraktif terdiri dari beberapa komponen senyawa organik seperti asam, resin, asam lemak, terpena dan alkaloid (Sjostrom, 1995). Zat ekstraktif memiliki bobot molekul yang bervariasi. Zat ini terdapat pada bahan berlignoselulosa tetapi tidak menyusun dinding sel. Kemampuan P. chrysosporium mendegradasi komponen ekstraktif tongkol jagung dipengaruhi oleh sifat ekstraktif yang terkandung. Menurut Lewin dan Goldstein (1991), pada beberapa spesies kayu terdapat zat ekstraktif yang merupakan racun yang menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga meningkatkan ketahanan kayu. Bahan dengan kandungan zat ekstraktif tinggi, degradasinya akan berlangsung lebih lambat. Pada tongkol jagung terdapat komponen ekstraktif berupa lemak 0.7% dan asam uronat sebesar 3.36% (Parajo et al., 2003). 33

Pemberian fungi pada serbuk tongkol jagung menyebabkan turunnya kadar zat ekstraktif. Kadar zat ekstraktif merupakan bobot zat ekstraktif per bobot keing oven substrat (BKO). Hasil perhitungan kadar zat ekstraktif yang larut dalam etanol:benzene (1:2) sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 21. Zat ekstraktif pada tongkol jagung setelah perlakuan mengalami penurunan yang bervariasi. Penurunan terbesar terjadi pada sampel dengan nomor percobaan 7 yaitu dari 0.0492 (g/g BKO) menjadi 0.0064 (g/g BKO) atau sekitar 86.75% (Lampiran 3). Menurut Rayner dan Boddy (1995) keberadaan zat ekstraktif pada kayu dapat mempengaruhi pertumbuhan fungi, yaitu berperan sebagai sumber karbon, sebagai stimulan pertumbuhan dan sebagai penghambat pertumbuhan. Penurunan zat ekstraktif pada tongkol jagung diperkirakan zat ekstraktif yang terkandung dalam tongkol jagung tersebut dipergunakan sebagai sumber karbon oleh fungi. Gambar 21. Kadar zat ekstraktif (g/g) yang larut dalam etanol:benzene (1:2) sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi(*urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) c. Kadar Lignin Biodegradasi lignin dapat terjadi jika fungi pelapuk putih menghasilkan enzim degradasi lignin ekstraselular, yaitu lignin peroksidase dan Mn peroksidase yang disebut sebagai keadaan ligninolitik. Lignin peroksidase dan Mn peroksidase diketahui merupakan ekstraselular enzim yang mengkatalisis oksidasi suatu senyawa aromatik. Keadaan ligninolitik P. 34

chrysosporium akan teraktivasi saat metabolisme sekunder pertumbuhan fungi dan diatur oleh tersediaanya nutrisi, oksigen, trace logam, dan ph (Fadilah, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inkubasi 37.8 hari (No. Percobaan 10) menyebabkan penurunan kadar lignin yang paling tinggi yaitu dari 0.187 (g/g BKO) menjadi 0,136 (g/g BKO) 32.82 % (Lampiran 3). Dari data juga diperoleh bahwa semakin lama waktu inkubasi, maka penurunan kadar lignin tongkol jagung semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa fungi P. chrysosporium memang merupakan organisme ligninolitik yang efisien. Kadar lignin sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi oleh P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Kadar lignin (g/g) sebelum (awal) dan sesudah didelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) Tingginya laju degradasi lignin pada hari ke 37.8 mungkin disebabkan oleh masih cukupnya nutrisi untuk pertumbuhan fungi. Dalam percobaan ini ditambahkan glukosa sebagai nutrisi tambahan bagi fungi. d. Kadar Selulosa Selain mendegradasi komponen lignin, fungi P. chrysosporium juga menyebabkan terjadinya degradasi selulosa. Degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Fungi P. chrysosporium menghasilkan enzim selulase dengan aktivitas menyerupai endogluconases (EGs) dan exocellobiohydrolases 35

(CBHs) tergantung sumber karbon yang tersedia (Broda et al., 1996). Enzim endoglucanases menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya unjung rantai baru. Enzim Exoglucanases bekerja terhadap ujung pereduksi dan nonpereduksi rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glucanohydrolases atau selobiosa yang dilakukan oleh enzim cellobiohydrolases sebagai produk utama (Lynd et al., 2002). Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa kadar selulosa mengalami penurunan selama inkubasi oleh fungi P. chrysosporium. Penurunan ini membuktikan bahwa selama waktu inkubasi fungi P. chrysosporium telah melakukan degradasi komponen selulosa oleh enzim-enzim selulolitik yang dihasilkan. Kadar selulosa (g/g BKO) sebelum (awal) dan setelah delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 23 dan Lampiran 3. Gambar 23. Kadar selulosa (g/g) sebelum (awal) dan setelah perlakuan inkubasi oleh Phanerochaete chrysosporium (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) Selulosa akan diuraikan oleh fungi menjadi senyawa yang sederhana yang dipergunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Selanjutnya, senyawa yang lebih sederhana tersebut akan dipergunakan fungi dalam siklus metabolismenya. Penambahan nutrisi berupa glukosa merupakan faktor yang memperkecil degradasi selulosa oleh fungi. Semakin banyak glukosa yang ditambahkan, laju degradasi selulosa semakin kecil. Hal ini dikarenakan fungi akan mengkonsumsi glukosa terlebih dahulu sebelum merombak 36

struktur selulosa menjadi gula yang lebih sederhana untuk kebutuhan hidupnya. e. Kadar Hemiselulosa Hemiselulosa mengalami biodegradasi menjadi monomer gula dan asam asetat dengan bantuan enzim hemiselulase. Hemiselulase seperti kebanyakan enzim lainnya yang dapat menghidrolisis dinding sel tanaman merupakan protein multi-domain. Xilan merupakan karbohidrat utama penyusun hemiselulosa dan Xilanase merupakan hemiselulase utama yang menghidrolisis ikatan β-1,4 rantai xilan. Fungi P. chrysosporium menghasilkan endoxylanase yang berperan dalam pemecahan xilan menjadi oligosakarida (Perez et al., 2002). Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa beberapa sampel mengalami peristiwa kenaikan jumlah komponen hemiselulosa. Peningkatan kandungan hemiselulosa pada substrat dapat diakibatkan oleh ikut terhitungnya komponen miselia fungi sebagai bagian dari hemiselulosa. Hal ini kemungkinan terjadi karena pada beberapa sampel kecepatan pertumbuhan miselia lebih tinggi daripada kecepatan degradasi komponen lignoselulosa. Menurut Chang dan Miles (1989), rata-rata miselia fungi memiliki kandungan serat mulai 7.4%-24.6%. Gambar 24. Kadar hemiselulosa (g/g) sebelum (awal) dan setelah perlakuan inkubasi oleh Phanerochaete chrysosporium (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.) 37

3. Pengaruh Faktor Terhadap Nisbah Kadar Lignin/Holoselulosa Proses biodelignifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu waktu inkubasi dan jumlah miselia yang ditambahkan dalam media. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas delignifikasi. Peningkatan efektifitas delignifikasi ini dapat dilihat dari tingkat degradasi lignin oleh P. chrysosporium. Selain mendegradasi lignin, P. chrysosporium juga melakukan degradasi komponen holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa). Hal ini dilakukan karena fungi tersebut memerlukan gula yang lebih sederhana untuk pemenuhan nutrisinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan gula sederhana (glukosa) pada media untuk mengurangi tingkat degradasi komponen polisakaridanya. Proses delignifikasi yang ideal adalah ketika lignin terurai dalam jumlah yang besar namun komponen holoselulosa terurai dalam jumlah yang kecil. Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dari zat ekstraktif dan lignin, terdiri dari semua komponen selulosa dan hemiselulosa (Chang dan Alan, 1971). Oleh karena itu, parameter utama untuk menilai efektifitas delignifikasi adalah dari penurunan kadar lignin dan kadar holoselulosa tongkol jagung. Menurut Goenadi et al. (1996), untuk menghitung efektifitas biodelignifikasi dihitung nisbah lignin/holoselulosa. Nisbah terendah menyatakan bahwa kondisi tersebut adalah kondisi optimum untuk pertumbuhan fungi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian pengaruh faktor waktu inkubasi, jumlah miselia yang ditambahkan serta jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa serta interaksi ketiga faktor terhadap nisbah lignin/holoselulosa. Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui serangkaian percobaan yang sistematis yang diuji melalui analisis statistik. a. Waktu Inkubasi Hasil analisis statistik (Tabel 6) menunjukkan bahwa baik efek linier maupun kuadratik dari waktu inkubasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah lignin/holoselulosa. 38

Tabel 6. Pengaruh linier dan kuadratik faktor waktu inkubasi terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 1 <.0001 Nyata x 1 * x 1 <.0001 Nyata Notasi x 1 : Efek linier waktu inkubasi; x 1 * x 1 : Efek kuadratik waktu inkubasi Gambar 25. Pengaruh waktu inkubasi (hari) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; (a) Kombinasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan (ml/10 g substrat); (b) Kombinasi dengan jumlah glukosa (g/10 g substrat). Gambar 25 (a) dab (b) menunjukkan bahwa sampai sekitar hari ke-24 respon terus mengalami penurunan. Akan tetapi setelahnya, terlihat bahwa telah terjadi kenaikan nilai nisbah lignin/holoselulosa. Nilai nisbah lignin/holoselulosa yang semakin menurun dapat disebabkan terdegradasinya lignin yang nilainya lebih tinggi dari tingkat degradasi komponen holoselulosanya. Hal ini dikarenkan masih tersedianya glukosa pada media sehingga fungi akan mengkonsumsi glukosa tersebut terlebih dahulu sampai 39

glukosa yang tersedia habis. Setelah hari ke 24 nisbah lignin/holoselulosa cenderung naik. Kenaikan tersebut dapat terjadi karena cadangan glukosa pada media kemungkinan telah habis, sehingga fungi melakukan degradasi holoselulosa menjadi gula yang lebih sederhana untuk pemenuhan nutrisinya. Adanya degradasi komponen holoselulosa tersebut membuat kandungan holoselulosa menurun, sehingga nisbah lignin/holoselulosa akan cenderung naik. Meskipun faktor waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap nisbah lignin/holoselulosa, namun pengaruh interaksi antara waktu inkubasi dengan jumlah miselia dan jumlah glukosa yang ditambahkan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai nisbah lignin/holoselulosa. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 25 a dan b) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi antara waktu inkubasi dengan faktor penambahan miselia dan glukosa. Hal ini dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak nyata (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh interaksi antara waktu inkubasi dengan jumlah miselia dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 1 -x 2 0.8117 Tidak Nyata x 1 -x 3 0.6916 Tidak Nyata Notasi x 1 -x 2 berarti interaksi waktu inkubasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan dan seterusnya. b. Jumlah Miselia yang Ditambahkan Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa bobot kering miselia Fungi P. chrysosporium adalah 0.03 g/ml suspensi yang ditambahkan. Siahaan (1997) menyatakan bahwa semakin banyak penambahan jumlah isolat FFP pada sampel, terjadi kecenderungan penurunan lignin yang meningkat. Namun, pada penelitian ini penambahan jumlah miselia (x 2 ) dalam proses 40

delignifikasi menunjukkan bahwa penambahan jumlah miselia tidak menurunkan nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa secara nyata. Tabel 8. Pengaruh linier dan kuadratik faktor jumlah miselia yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 2 0.8335 Tidak nyata x 2* x 2 0.7999 Tidak Nyata Notasi x 2 : Efek linier jumlah miselia yang ditambahkan; x * 2 x 2 : Efek kuadratik jumlah miselia yang ditambahkan. Gambar 26. Pengaruh jumlah miselia yang ditambahkan (ml/10 g substrat) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa; (a) Kombinasi dengan waktu inkubasi (hari); (b) Kombinasi dengan jumlah glukosa (g/10 g substrat). Penambahan jumlah miselia (x 2 ) dalam proses delignifikasi menghasilkan grafik respon nisbah lignin/holoselulosa pada Gambar 26 (a) dan (b). Grafik yang cenderung datar tersebut menunjukkan bahwa penambahan jumlah miselia tidak menurunkan nisbah kadar lignin terhadap 41

holoselulosa secara nyata. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis efek linier dan kuadratik (Tabel 8) yang menunjukkan bahwa penambahan jumlah miselia memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap respon. Ini berarti bahwa penambahan jumlah miselia paling rendah (2.5 ml/10 g substrat) telah memenuhi kebutuhan proses delignifikasi. Pengaruh interaksi antara jumlah miselia dengan waktu inkubasi dan jumlah glukosa yang ditambahkan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai nisbah lignin/holoselulosa. Ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 26 a dan b) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 9). Tabel 9. Pengaruh interaksi antara jumlah miselia dengan waktu inkubasi dan jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 2 - x 1 0.8117 Tidak Nyata x 2 - x 3 0.9754 Tidak Nyata Notasi x 2 -x 1 berarti interaksi waktu inkubasi dengan jumlah miselia yang ditambahkan dan seterusnya. c. Jumlah Glukosa yang Ditambahkan Penambahan glukosa pada media (x 3 ) yang diamati menghasilkan grafik respon nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa pada gambar 27 (a) dan (b). Meskipun tampak dari grafik (b) bahwa nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa mengalami sedikit penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah glukosa yang ditambahkan, tetapi dari analisis efek linier maupun kuadratik menunjukkan bahwa pengaruh faktor jumlah glukosa adalah tidak nyata terhadap respon (Tabel 10). 42

Tabel 10. Pengaruh linier dan kuadratik faktor jumlah glukosa yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 3 0.6172 Tidak nyata x 3* x 3 0.4023 Tidak nyata Notasi x 3 : Efek linier jumlah glukosa yang ditambahkan; x * 3 kuadratik jumlah glukosa yang ditambahkan. x 3 : Efek Gambar 27. Pengaruh jumlah glukosa (g/10 g substrat) terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa kombinasi dengan: (a) Waktu inkubasi (hari); (b) Jumlah miselia yang ditambahkan (ml/10 g substrat). Pengaruh interaksi antara jumlah glukosa yang ditambahkan dengan waktu inkubasi dan jumlah miselia yang ditambahkan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai nisbah lignin/holoselulosa. Ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 27) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain. Hal ini dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 11). 43

Tabel 11. Pengaruh interaksi antara jumlah glukosa dengan waktu inkubasi dan jumlah miselia yang ditambahkan terhadap nisbah lignin/holoselulosa Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan x 3 -x 1 0.6916 Tidak Nyata x 3 - x 2 0.9754 Tidak Nyata Notasi x 3 -x 1 berarti interaksi waktu inkubasi dengan jumlah glukosa dan seterusnya. C. KONDISI TERBAIK PROSES BIODELIGNIFIKASI Hasil pengolahan data nisbah lignin/holoselulosa pada berbagai perlakuan menghasilkan persamaan optimasi nisbah lignin/holoselulosa untuk proses delignifikasi sebagai berikut. LH * N = 0.314541-0.007922 x 1-0.000709 x 2-0.061692 x 3 + 0.000168 x 2 1 + 0.000046 x 2 2 + 0.194656 x 2 3 + 0.000020 x 12-0.001181 x 13 + 0.000246 x 23...(2) Notasi LH * N adalah nisbah lignin/holoselulosa (g/g), x 1 adalah waktu inkubasi (hari), x 2 adalah jumlah miselia yang ditambahkan (ml), dan x 3 adalah jumlah glukosa yang ditambahkan (g). Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon diketahui bahwa model permukaan respon adalah minimum. Hal tersebut menyebabkan nilai optimum dapat ditentukan dari permukaan respon. Penentuan kondisi terbaik proses biodelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium dengan menggunakan persamaan mendapatkan kondisi seperti pada Tabel 13. Tabel 12. Kondisi terbaik proses biodelignifikasi oleh Phanerochaete chrysosporium Faktor* Kode Nilai x 1 0.22 24.25 x 2-0.85 1.89 x 3 0.18 0.23 * x 1 : Waktu Inkubasi (Hari); x 2 : Jumlah Miselia (ml/10 g substrat) ; x 3 : Jumlah Glukosa (g/10 g substrat). 44

Pada kondisi tersebut, diperkirakan memberikan hasil nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa sebesar 0.210689 g/g. Artinya, terdapat lignin sebesar 0.210689 g tiap 1 g holoselulosa. Nilai nisbah ini didapatkan pada kondisi waktu inkubasi fungi Phanerochaete chrysosporium selama 24.25 hari, jumlah miselia yang ditambahkan 1.89 ml/10 g substrat dan jumlah glukosa 0.23 g/10 g substrat. Hasil analisis statistik optimasi faktor waktu inkubasi, jumlah miselia dan jumlah glukosa terhadap respon nisbah lignin terhadap holoselulosa dapat dilihat pada Lampiran 4. 45