BAB III METODOLOGI. bagian penting untuk dapat mengetahui sifat aliran fluida pada medium berpori.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV DATA, HASIL, DAN PEMBAHASAN

Pada Bab III akan dijelaskan metode untuk memperoleh besaran fisis dari citra

Data eksperimen didapat melalui pengolahan data skala centimeter dan skala

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian secarageografisterletakpada107 o o BT

Batuan berpori merupakan media dengan struktur fisik yang tersusun atas bahan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PERANCANGAN SISTEM. Pada dewasa sekarang ini sangat banyak terdapat sistem dimana sistem tersebut

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

ESTIMASI TORTUOSITAS 3D UNTUK BATUAN SAMPEL DENGAN MENGGUNAKAN METODE SERIAL SECTIONING

BAB III METODE PENGUKURAN PERMEABILITAS. berupa rangkaian sederhana dengan alat dan bahan sebagai berikut :

BAB III PEMBUATAN MODEL BATUAN DAN PERHITUNGAN BESARAN FISIS MODEL. 3.1 Pengujian Model dengan Menggunakan Metode Selular Automata

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Intensitas cahaya ditangkap oleh diagram iris dan diteruskan ke bagian retina mata.

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab III Perangkat Pengujian

SISTEM PENJEJAK POSISI OBYEK BERBASIS UMPAN BALIK CITRA

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III REKONTRUKSI 3D MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK PHOTOMODELER.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Gambar 3.1 merupakan desain penelitian yang akan digunakan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah. seperti timah, emas, tembaga, hingga uranium dapat ditambang di tanah

Pertemuan 2 Representasi Citra

Model Citra (bag. 2)

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

III. METODE PENELITIAN. menggunakan matlab. Kemudian metode trial dan error, selalu mencoba dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. pada permukaannya digoreskan garis-garis sejajar dengan jumlah sangat besar.

BAB III METODE PENELITIAN. tracking obyek. Pada penelitian tugas akhir ini, terdapat obyek berupa bola. Gambar 3.1. Blok Diagram Penelitian

BAB IV ANALISA DAN PERANCANGAN

Sistem Informasi Geografis. Model Data Spasial

III. METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai analisis pola interferensi pada interferometer Michelson

BAB 2 LANDASAN TEORI

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

PENGANTAR APLIKASI KOMPUTER

BAB IV IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

PERANCANGAN APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE FILTER GAUSSIAN

BAB III. Metode Penelitian

SAMPLING DAN KUANTISASI

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PERANCANGAN SISTEM

Rancang Bangun Sistem Pengujian Distorsi Menggunakan Concentric Circle Method Pada Kaca Spion Kendaraan Bermotor Kategori L3 Berbasis Edge Detection

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

Pemanfaatan Himpunan Dalam Seleksi Citra Digital

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pensil berbentuk lurus, berwarna biru, dan berbahan kayu. Kedua objek ini

PENGKONVERSIAN IMAGE MENJADI TEKS UNTUK IDENTIFIKASI PLAT NOMOR KENDARAAN. Sudimanto

Pendekatan Statistik Pada Domain Spasial dan Frekuensi untuk Mengetahui Tampilan Citra Yustina Retno Wahyu Utami 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISASI MIKROSTRUKTUR BATUAN KARBONAT PADA BERBAGAI UKURAN: MILI SAMPAI CENTIMETER

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II TEORI DASAR. yang cukup banyak mendapatkan perhatian adalah porositas yang

OPTIMASI ALGORITMA IDENTIFIKASI STRABISMUS

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA MENGGUNAKAN METODE KECERAHAN CITRA KONTRAS DAN PENAJAMAN CITRA DALAM MENGHASILKAN KUALITAS GAMBAR

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo

Analisis Pengaruh Automatic Thresholding dalam Pemrosesan Citra Batupasir Berea

Algoritma Brute Force dalam Pattern Matching pada Aplikasi Pendeteksian Potongan Citra

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan November 2013 s/d Mei 2014.

BAB 3 PERALATAN DAN PROSEDUR PENELITIAN

Pengembangan Perangkat Lunak Pembangun G-Code dengan Masukan Data 3 Dimensi Benda

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab IV Analisis dan Diskusi

Bab II Teori Dasar 2.1 Representasi Citra

SISTEM REKOGNISI KARAKTER NUMERIK MENGGUNAKAN ALGORITMA PERCEPTRON

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN PERANGKAT DAN PENGUJIAN TAPIS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pengolahan citra (image processing) telah banyak dipakai di berbagai

Kontrol Mesin Bor PCB Otomatis dengan Menggunakan Programmable Logic Controller

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Elemen Elemen Desain Grafis

BAB IV PENGUJIAN SISTEM. mendeteksi tempat parkir yang telah selesai dibuat. Dimulai dari pengambilan

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB II LANDASAN TEORI

Gambar 4.7. Diagram alir dari proses inversi.

Pengenalan Bahasa Isyarat Tangan Menggunakan Metode PCA dan Haar-Like Feature

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI Kajian Pustaka a. Penerapan Algoritma Flood Fill untuk Menyelesaikan Maze pada Line Follower Robot [1]

DASAR PENGUKURAN FISIKA

PROSES DIGITAL II mendesain dengan digital, half tone screen, scanner

Transkripsi:

16 BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Serial Sectioning Pengetahuan tentang struktur pori tiga dimensi secara komputasi menjadi bagian penting untuk dapat mengetahui sifat aliran fluida pada medium berpori. Kemajuan resolusi struktur tiga dimensi hingga ukuran mikro telah memberikan hasil prediksi yang lebih akurat mengenai struktur pori dari beberapa jenis batu seperti batu pasir. Berbagai jenis metode telah digunakan untuk membentuk citra gambar tiga dimensi, termasuk diantaranya adalah serial sectioning [Dullien, 1992], focused ion beam [Ishida, 1997; Tomutsa, 1999], laser scanning [Fredrich, 1999], dan X-ray computed tomography [Dunsmoir, 1991; Spanne, 1994]. Namun, pada banyak kasus struktur pori yang ada pada batuan sampel biasanya berada dalam ukuran mikro sehingga sangatlah sulit untuk melakukan prediksi secara langsung. Oleh karena itu, penggunaan metode rekonstruksi citra dua dimensi menjadi sebuah gambar tiga dimensi adalah alternatif yang sangat baik untuk mengetahui struktur pori batuan sampel mengingat setiap lapisan yang diiris merupakan bagian dari batu utuh.

17 Rekontruksi data dua dimensi menjadi citra tiga dimensi ini disebut juga sebagai metode serial sectioning. Metode serial sectioning merupakan suatu metode dengan menggunakan irisan melintang dua dimensi dari suatu sampel atau model. Setiap irisan melintang dua dimensi dari sampel atau model tersebut direkonstruksi menjadi sebuah citra tiga dimensi. Perekonstruksian dua dimensi menjadi tiga dimensi ini harus dilakukan dengan cermat dan tepat karena jarak dari setiap irisan melintang ini akan menentukan citra tiga dimensi yang dihasilkan nantinya. Skema rekonstruksi tiga dimensi dari citra dua dimensi dapat dilihat sebagai berikut : Gambar 3.1. Gambar rekonstruksi tiga dimensi dari citra dua dimensi 3.2 Gambar Digital Gambar digital dari batuan berpori dapat digambarkan dalam bentuk data array dua dimensi atau data array tiga dimensi. Penggambaran ini membagi ruang kosong (pori) dan ruang padat (matriks) menjadi dua warna yang berbeda. Warna tersebut dapat berupa warna putih untuk pori dan warna hitam untuk matriks.

18 Gambar digital dipetakan sebagai grid titik atau elemen gambar (pixels). Setiap pixel merupakan nilai warna (hitam, putih, abu-abu atau warna) yang merepresentasikan kode biner (nol atau satu). Nilai setiap pixel juga memiliki makna nilai tingkat energi gelombang mikro yang dipantulkan oleh objek. Binary digits (bits) untuk setiap pixel dikirim secara berurutan oleh komputer dan selalu direduksi menjadi representasi matematik. Kemudian bits diinterpretasi dan dibaca oleh komputer untuk menghasilkan versi analog untuk kepentingan tampilan (display) atau cetak (print). Misal sebuah gambar digital dua dimensi memiliki ukuran 10 x 10 pixel memiliki nilai warna biner (0 atau 1). Satu pixel digambarkan dengan satu buah persegi, nilai pixel 0 merepresentasikan warna putih, sedangkan nilai pixel 1 merepresentasikan warna hitam. Kehalusan sebuah bentuk gambar dipengaruhi oleh ukuran (dalam pixel) gambar. Semakin besar ukuran pixel, maka gambar digital yang dihasilkan menjadi semakin halus dan tajam. Ketika gambar digital diambil dari sebuah kamera digial, nilai setiap pixel memiliki makna nilai tingkat energi gelombang mikro yang dipantulkan oleh objek. Pixel dengan nilai nol berarti berwarna hitam dan jika pixel bernilai 255 berarti berwarna putih, sedangkan nilai di antara 0 sampai 255 akan bergerak dari hitam-abuputih. Perubahan, warna dari hitam menjadi putih dibagi-bagi menjadi 256 skala. Dengan demikian, representasi warna pada gambar digital cukup diwakili oleh nilai pixel.

19 3.3 Kalibrasi Data Dua Dimensi Kalibrasi data dua dimensi dilakukan untuk mengurangi nilai error yang didapatkan dari pengambilan data. Kalibrasi dilakukan untuk mengukur jarak antara sayatan agar tidak ada bagian sampel atau model yang hilang ketika dilakukan rekonstruksi. Jarak sayatan antara objek (sampel batuan) dikalibrasi dengan membandingkan besar ukuran objek terhadap besar ukuran digital. Dalam hal ini besar ukuran digital bernilai n pixel, sedangkan besaran ukuran objek berupa ukuran tiga dimensi yaitu (a x b x c) dalam satuan panjang (milimeter atau centimeter). Dengan a adalah panjang objek, b adalah lebar objek, dan c adalah tinggi objek. Sebagai contoh, suatu objek memiliki ukuran sebesar (20 x 20 x 20) mm. Pada jarak 10 mm besaran ukuran objek digitalnya adalah 30 pixel sehingga setiap pixel gambar mewakili 30/10 yaitu 3 mm. Nilai 3 mm ini menandakan jarak antara satu sayatan dengan sayatan berikutnya. 3.4 Batuan Sampel Pada penelitian ini batuan sampel yang digunakan adalah batu karbonat dan batu apung. Batu karbonat yang digunakan memiliki kriteria sebagai berikut : bentuk pori batu jenis ini cukup besar sehingga dapat terlihat dengan jelas walaupun tanpa bantuan lensa pembesar dan memiliki warna batuan merata yaitu coklat kehitaman sehingga ketika dilakukan pengecatan, kontras warna terlihat jelas. Berikut ini adalah gambar batua karbonat yang digunakan sebagai sampel.

20 pori matriks Gambar 3.2 Batu karbonat yang digunakan sebagai sampel. Batuan sampel yang kedua adalah batu apung. Batu ini memiliki kriteria sebagai berikut : bentuk porinya cukup besar meskipun ada beberapa pori yang berukuran kecil namun masih terlihat jelas ketika difoto, struktur batuan tidak terlalu keras dan tidak terlalu rapuh sehingga proses penyayatan bisa dilakukan lebih mudah, dan warna batuan merata yaitu coklat muda yang berguna memberikan kekontrasan warna ketika dicat. Berikut ini adalah gambar batu apung yang digunakan sebagai sampel pada penelitian. pori matriks Gambar 3.3 Batu apung yang digunakan sebagai sampel. Sebelum dilakukan pengambilan gambar, masing-masing batu sampel diukur terlebih dahulu. Batu karbonat yang dijadikan sampel memiliki ukuran sebesar (5.4 x

21 4.1 x 10) cm. Sedangkan batu apung yang digunakan memiliki tebal 16 mm. Setelah dilakukan pengukuran, sisi yang akan diambil gambarnya diberi tanda dengan menggunakan pilox berwarna putih. Pemberian warna ini bertujuan untuk memberikan kekontrasan warna batuan sampel. Kekontarasan ini menyebabkan matriks dan pori yang dihasilkan akan memiliki warna yang berbeda. Setelah dilakukan pengecatan dengan pilox, tahap berikutnya adalah penyayatan. Penyayatan dilakukan dengan cara mengampelas atau mengikir dengan jarak antara tiap sayatan sebesar 0,1 milimeter. Setiap sayatan antar lapisan diukur dengan menggunakan jangka sorong yang memiliki nilai skala terkecil sebesar 0.05 mm. Kemudian dilakukan pengambilan citra bagian yang telah diiris tersebut. 3.5 Rancangan Alat Rancangan alat yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut : Gambar 3.4. Skema rancangan alat penelitian.

22 Keterangan gambar : kamera digital dengan resolusi 6 Megapixel. Pengambilan data dilakukan dengan menu digital macro yanga ada di kamera. A merupakan jarak antara kamera dengan batuan. B merupakan panjang alat yang digunakan. sekrup berfungsi sebagai penahan kamera. Jarak B pada kedua batuan sampel adalah 61 cm. Sedangkan jarak A untuk kedua batuan sampel berbeda. Untuk batu karbonat jarak A yang digunakan adalah 16.8 cm. Sedangkan untuk batu apung jarak A yang digunakan adalah 5.6 cm. Pada jarak tersebut, citra gambar yang dihasilkan maksimal (tidak kabur). 3.6 Pengolahan Citra Batuan Sampel 2 Dimensi Citra dua dimensi (2D) batuan sampel yang didapatkan dari hasil pemotretan relatif cukup bagus. Kamera yang digunakan mempunyai resolusi 6 Mega pixels dengan pilihan menu digital macro. Menu ini memiliki kelebihan dapat melihat benda-benda dengan jelas pada jarak yang dekat. Namun, untuk mengetahui kontras warna antara matriks dan pori maka format gambar dirubah menjadi black and white. Setiap gambar dua dimensi yang diambil memiliki ukuran (432 x 340) pixels untuk batu karbonat dan (188 x 166) pixels untuk batu apung. Kemudian dilakukan pemotongan (croping) dengan ukuran yang sama yaitu 75x75 pixel untuk batu

23 karbonat dan 50 x 50 pixel untuk batu apung. Berikut ini adalah skema pengolahan data dua dimensi. citra batu asli citra batu asli yang telah di crop citra batu asli black and white Gambar 3.5. Skema proses pengolahan data 2 dimensi 3.7 Konstruksi 3 Dimensi dari Citra 2 Dimensi Rekonstruksi data dua dimensi menjadi tiga dimensi dengan metode serial sectioning untuk sampel batuan dilakukan dengan menyusun sayatan citra 2D dengan ukuran pixel yang sama. Matriks (ruang padat) digambarkan dengan warna abu, warna transparan digambarkan sebagai pori (ruang kosong), dan warna biru merupakan dinding pori. Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan rekonstruksi citra dua dimensi menjadi model tiga dimensi adalah algoritma yang digunakan harus sesuai dengan metode yang dipakai, format gambar, dan bahasa pemograman. Berikut ini adalah algoritma rekonstruksi citra tiga dimensi dari data dua dimensi.

24 Input : (dimensi, jumlah gambar) for i = 1:jumlah baca filename ke i baca image ke i konversi image to bw ke i copy ke BwImage (ukuran, i) Rekonstruksi gambar output Gambar 3.6. algoritma rekonstruksi 3D dari citra 2D Sebelum mamasukkan data citra ke batuan sampel, program tersebut diuji terlebih dahulu dengan menggunakan citra gambar bola pejal. Bentuk citra dua dimensi dari boal pejal adalah lingkaran. Setelah dilakukan pengujian, ternyata program yang digunakan sudah menghasilkan citra 3D berbentuk bola pejal. Berikut ini adalah data setiap sayatan bola pejal dua dimensi dengan jumlah sayatan sebanyak 60 buah.

25 Gambar 3.7. data dua dimensi bola pejal sebanyak 60 sayatan. Dengan menggunakan algoritma pada 3.6 dan nilai alpha 0.2 maka akan didapatkan citra tiga dimensi dari bola pejal sebagai berikut : Gambar 3.8. bola pejal tiga dimensi dengan nilai alpha 0.2 Nilai alpha merupakan nilai transparansi dari objek yang ditampilkan. Semakin kecil nilai alpha, maka akan semakin transparan objek tersebut ditampilkan. Berikut ini adalah citra bola pejal dengan nilai alpha 0.5.

26 Gambar 3.9. bola pejal tiga dimensi dengan nilai alpha 0.5 3.8 Perhitungan Besaran-besaran Fisis Batuan Pada penelitian ini, besaran fisis batuan yang diestimasi adalah porositas dan tortuositas. Estimasi kedua besaran ini, memanfaatkan bahasa pemograman Matlab dengan memberikan nilai warna pada batuan. Nilai warna tersebut adalah 0 untuk pori dan 1 untuk matriks. Nilai warna ini akan memberikan gambaran keberadaan pori dan keterhubungan pori dalam suatu batuan sampel. Sehingga apabila gambaran ini dianalisis lebih lanjut lagi dengan rumusan yang tepat maka besaran fisis batuan seperti porositas dan tortuositas dapat diketahui nilainya. 3.8.1 Perhitungan porositas Perhitungan porositas dilakukan dengan menjumlahkan setiap pori (0) yang ditemui pada batuan sampel dan menambahkan nilai 1 untuk setiap penemuan pori

27 tersebut. Sedangkan nilai matriks (1) yang ditemui pada batuan sampel akan ditambahkan nol. Sehingga banyaknya nilai pori yang ditemukan akan dijumlahkan (jumlah pori yang terhubung) dan kemudian akan dibagi dengan volume batuan sampel (d 3 ). Hal ini terlihat dari rumusan perhitungan pori untuk batuan sampel tiga dimensi sebagai berikut : jumlah pori yang terhubung porositas efektif = (3.1) 3 d 3.8.2 Diagram alir perhitungan tortuositas Berikut ini merupakan diagram alir [Gambar 3.10] program perhitungan tortuositas. Perhitungan tortuositas dilakukan sesuai dengan prioritas jalur pori yang akan dijelaskan pada subbab 3.8.3.

28 Mulai Input : - dimensi batuan sampel (d) - data batuan sampel - koordinat entry point (id,jd,kd & i,j,k) Deklarasi nilai-nilai awal Panjang awal tortuositas pjg = 0 while i>0,i<=d,j>0, j<=d-1, k>0, k<=d Pencarian elemen pori Elemen pori ditemukan? Proses pergeseran pointer ke elemen pori yang ditemukan Pemberian nilai pada koordinat pointer = 0.5 pjg = pjg + Δ pjg Tortuositas = pjg/d Output: tortuositas Selesai Gambar 3.10. algoritma perhitungan tortuositas [Tungky, 2006].

29 Perhitungan tortuositas dimulai dengan mendefinisikan suatu titik awal perhitungan sebagai Entry point. Entry point ini diibaratkan sebagai pointer. Pointer memiliki tugas mencari sel pori terdekat yang saling terhubung. Kemudian setelah menemukan sel pori baru, maka pointer akan berpindah ke sel pori tersebut. Sedangkan sel pori yang lama akan diberi nilai 0.5. Pemberian nilai ini dimaksudkan agar tidak terjadi perhitungan tortuositas pada elemen yang sama. Hal ini terus dilakukan hingga pointer berada pada sisi yang berhadapan dengan awal perhitungan. Kemudian panjang sel pori yang saling terhubung dibagi dengan dimensi batuan sampel, yang nantinya akan menghasilkan nilai tortuositas. 3.8.3 Perhitungan tortuositas Pada penelitian ini, perhitungan tortuositas dilakukan pada batuan sampel tiga dimensi. Perhitungannya dimulai dengan membagi blok pengecekan menjadi tiga bagian yaitu blok pengecekan bagian depan, tengah, dan belakang. Pembagian ini digunakan untuk mempermudah pendeskripsian perhitungan tortuositas yang dilakukan di program. Berikut ini adalah gambar pembagian blok pengecekan keberadaan pori [Gambar 3.11].

30 Gambar 3.11. Pembagian blok pengecekan pori [Tungky, 2006]. Arah pencarian tortuositas berada pada arah sumbu j. Perhitungan tortuositas diprioritaskan pada arah sumbu j positif. Sehingga apabila diurutkan berdasarkan gambar diatas maka priorotas jalur pori adalah sebagai berikut : - Prioritas 1 : pencarian jalur pori ke blok bagian depan : 9 4 8 2 6 5 7 3 1 - Prioritas 2 : pencarian jalur pori ke blok bagian tengah : 13 17 11 15 12 14 10 16

31 - Prioritas 3 : pencarian jalur pori ke blok bagian belakang : 21 25 19 23 20 22 18 24 26 Pemilihan jalur di atas dikarenakan jalur tersebut merupakan jalur terpendek aliran yang dapat dilewati oleh fluida. Pada gambar 3.11 di atas, pointer dimisalkan sebagai huruf P sedangkan angka-angka yang mengelilingi pointer tersebut merupakan sel pori pada suatu sampel. Apabila pointer bergerak ke angka 9, 11, 13, 15, 17, dan 26 maka nilai pertambahan panjang porinya adalah 1 sehingga rumusan panjang pori menjadi pjg = pjg +1. Sedangkan apabila pointer bergerak ke angka 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 19, 21, 23, dan 25 maka nilai pertambahan panjang pori akibat pergerakan diagonal bidang pointer adalah 2 sehingga rumusan panjang pori menjadi pjg = pjg + 2. Dan apabila pointer bergerak ke angka 1, 3, 5, 7, 18, 20, 22, dan 24 maka pertambahan panjang pori akibat pergerakan diagonal ruang pointer adalah 3 sehingga rumusan panjang pori menjadi pjg = pjg + 3.