I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42

BAB 4 METODE PENELITIAN

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

Transkripsi:

Laporan Penelitian GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG Oleh: Putu Dian Ariyanti Putri, Sari Wulan Dwi Sutanegara Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rinosinusitis adalah peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Penyakit ini hingga saat ini masih merupakan tantangan di bidang THT-KL, karena berdampak besar dalam berbagai aspek antara lain aspek kualitas hidup dan aspek sosioekonomi masyarakat. Penyebabnya bermacam macam, antara lain alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur, perubahan cuaca, hormonal, obat - obatan. 1 Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan sebagai cermin dari peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah keuangan yang besar untuk masyarakat. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50-59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 1,2,3 Kualitas hidup merupakan konsep yang mencakup karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran kualitas hidup juga 1

sangat terkait dengan status kesehatan. Dewasa ini aspek kualitas hidup mulai dipertimbangkan sehubungan dengan pengambilan keputusan untuk penatalaksanaan pasien. Adanya penilaian kualitas hidup terkait status kesehatan berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap penderita dan untuk mengevaluasi efek terapi. Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. 4 Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20) merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas hidup dari penderita dengan rinosinusitis. SNOT 20 terdiri dari 20 poin yang dinilai secara personal oleh penderita rinosinusitis. Hingga saat ini belum ada data tentang karakteristik penderita rinosinusitis berdasarkan kuisioner SNOT-20, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT-20. 5 I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT-20? I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT 20. I.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui karakterisktik penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. 2. Mengetahui dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. 2

I.4. Manfaat Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. Disamping itu hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar strategi manajemen penyakit secara holistik, terapi dan edukasi, sehingga diharapkan dapat mencegah rekurensi dari penyakit ini. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang diantara konka. Meatus media terletak diantara konka media dan inferior yang mempunyai peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus anterior berhubungan dengan hidung. 6,7 Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis. 6,7 3

Gambar 1. Penampang sagital dari hidung dan sinus paranasal. 6 Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis diantara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksina nervus trigeminus. 6,7 Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi, humidifikasi, penghangat udara dan resonansi suara. Saat inspirasi udara masuk ke vestibulum dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai nasal valve terjadi turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak dengan permukaan mukosa hidung yang luas. Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi. 6,7 Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung 4

dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung. 7 Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di atas konka media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal. 8 Gambar 2. Penampang Koronal 4 pasang sinus paranasal. 6 Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus. 6,7,9 5

Gambar 3. Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal. 6 Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua, gigi molar pertama dam kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses supuratif di sekitar gigi tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang nasal lateral, a.palatina descendens, a.alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n. infraorbital. 6,7 Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal. Perdarahan dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika, sedangkan vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh cabang 6,7 supratrokhlear dan supraorita n. V 1. Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus superior. Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2 dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1. 6,7 6

Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2. 6,7 Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport mukosiliar. 5,6 2.2. Definisi dan Epidemiologi Rinosinusitis Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. 10,11 Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50-59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 1,2,3 7

2.3. Etiologi Rinosinusitis Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan infeksi dari hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi pada sinus paranasal dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti faktor mikrobial, lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi, genetik fisiologi dan imunitas. 11 2. 4. Patogenesis Rinosinusitis Patogenesis sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus dan kelancaran pembersihan mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk ke saluran pernafasan. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya. 10,11 Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan menyebabkan penurunan ph dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lainlain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukus 8

dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi. 10,11 Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik. 10,11 Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 10,11 2. 5. Gejala dan Tanda Klinis Berdasarkan anamnesis, penderita biasanya mengeluh adanya nyeri terutama pada daerah sinus yang terkena disertai dengan sakit kepala, hidung buntu, hidung berair atau gangguan penghidu. Keluhan lain yang antara lain adanya rasa dahak di tenggorok, nyeri gigi, nafas berbau, nyeri telinga atau telinga terasa penuh, nyeri pada gigi dan demam. 1,10,11 Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat terjadinya edema atau perubahan warna pada daerah disekitar wajah. Bila terdapat sinusitis pada saat di palpasi maka bagian disekitar pipi dan sekitar mata akan terasa sakit. Pemeriksaan 9

intraoral dilakukan untuk mengevaluasi keadaan gigi, dimana gigi yang terjadi ganggren atau karies dapat menjadi penyebab terjadinya sinusitis dentogen. 10,11 Rinoskopi anterior dilakukan utnuk mengevaluasi keadaan mukosa hidung, menilai adakah inflamasi, sekret pada mukosa hidung dan meatus media, deformitas atau deviasi pada septum. 10,11 2. 6. Pemeriksaan Penunjang Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan edema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus. Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya air fluid level pada foto dengan posisi tegak. 10,11 Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT- Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah. CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas. 10,11 CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, 10

Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit. 10,11 Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor. 10,11 2. 7. Diagnosis Berdasarkan Task Force on Rhinosinusitis yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS) diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan 2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu. 10,11 2.8. Penatalaksanaan Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, karies atau ganggren gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan. 1,10,11 Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya. Antibiotika dapat diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika 11

alternatif seperti siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole. Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan. 1,10,11 Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hatihati.dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa. 1,10,11 Alergi berperan sebagai penyebab rinosinusitis kronis pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine. 1,10,11 Kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata. 1,10,11 Rinosinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, 12

Caldwell-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwell-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali. 1,10,11 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah dengan penggunaan endoskop yang memiliki pencahayaan yang terang, sehingga lapangan operasi lebih jelas dan rinci. Bila terdapat kelainan patologi dironggarongga sinus, jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal dapat teratasi. 1,10,11 2.9. Komplikasi Kompikasi rinosinusitis telah menurun sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses subperiostal yang paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anakanak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu kelainan orbita yang disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Penyebaran infeksi dapat terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Kelainan paru seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial. 11 13

2.10. Efek Rinosinusitis Terhadap Kualitas Hidup Kualitas hidup merupakan pengalaman personal yang merefleksikan bukan hanya status kesehatan tetapi faktor lain yang mempengaruhi kehidupan penderita yang hanya bisa dideskripsikan oleh penderita tersebut sendiri. Salah satu bagian dari kualitas hidup adalah kualitas hidup yang berhubungan dengan status kesehatan, yang dapat didefinisikan sebagai pengalaman individu yang subjektif baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat kesehatan, penyakit, dan disabilitas. Hal tersebut diatas sangat tergantung pada usia penderita, kebiasaan, ekspektasi dan kemampuan fisik serta mental. 4 Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Hal tersebut disebabkan karena gejala yang ditimbulkan seperti hidung tersumbat yang diikuti oleh rinore, gangguan penciuman, nyeri pada wajah dan nyeri kepala yang dapat memberikan dampak terhadap aktivitas harian penderita. Gejala tersebut mengakibatkan penurunan prodiktifitas dan kehilangan hari kerja yang cukup signifikan yaitu sekitar 3% hari kerja penduduk produktif atau 73 juta hari kerja. Jika terjadi pada anak sekolah maka akan menurunkan kemampuan belajar anak tersebut. Masalah yang lebih kompleks seperti gangguan tidur, gangguan psikologis seperti perubahan suasana hari, depresi, cemas, lemas, dan disfungsi seksual merupakan hal yang bisa muncul karena gejala rinosinusitis yang timbul. 4,12,13,14 Saat ini penilaian penatalaksanaan rinosinusitis menyangkut kualitas hidup terkait kesehatan menjadi sangat penting. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan terhadap rinosinusitis terus dikembangkan yang ditandai dengan banyaknya alat ukur yang telah di validasi antara lain nasal symptom questionnare, Rhinosinusitis Outcome Measure (RSOM-31), Sinonasal Outcome Test-16 (SNOT-16), SNOT-20, SNOT-22, Chronic Sinusitis Survey (CSS), Rhinosinusitis Disability Index (RSDI), Rhinosinusitis Symptom Inventory (RSI), Rhinosinusitis Quality of Life survey (RhinoQoL). 4 14

2.11. Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20) SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 20 poin penilaian yang diisi secara personal dengan memberikan skor pada masing-masing poinnya. Instrumen ini menilai masalah kesehatan yang berkaitan dengan sinusitis dengan hubungannya ada masalah fisik, keterbatasan fungsional dan kondisi emosional. SNOT-20 merupakan modifikasi dari 31-item Rhinosinusitis Outcome Measure. Validitas SNOT-20 untuk menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan dengan konsistensi internal, reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis. SNOT-20 merupakan instrumen yang mudah dilengkapi oleh penderita dan dapat digunakan pada praktek klinik sehari-hari. SNOT-20 juga dapat membantu menilai derajat dan efek dari rinosinusitis terhadap status kesehatan, kualitas hidup dan mengukur respon terapi yang diberikan. 5,16,17,18 Total skor SNOT-20 dihitung sebagai nilai rata-rata untuk semua 20 item. Kisaran skor SNOT-20 adalah 0-5, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan terkait rinosinusitis beban kesehatan yang lebih besar. 4 SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan gejala hidung, gejala hidung dan wajah, fungsi dan gangguan tidur dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis. Poin pertanyaan yang berhubungan dengan gejala rinologi yaitu hidung buntu, bersin, hidung berair, sekret kental dan post nasal drip. Poin yang berkaitan dengan gejala telinga dan wajah yaitu telinga terasa penuh, pusing, nyeri telinga dan nyeri pada wajah atau nyeri tekan. Susah tidur, terbangun pada malam hari dan tidur kurang berkualitas merupakan poin yang berkaitan dengan gangguan tidur. Lemas, penurunan produktifitas, penurunan konsentrasi, frustasi atau kurang istirahat atau iritabel, sedih dan malu merupakan poin yang berkaitan dengan masalah psikologis. Dua pertanyaan lain yaitu batuk dan terbangun dengan lelah tidak diklasifikasikan sebagai salah satu dari 4 konstruksi mayor diatas. 15 15

III. KERANGKA KONSEP Infeksi (bakteri, virus, jamur) Lingkungan Host Obstruksi KOM Rinosinusitis Kualitas hidup IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Yeh Embang Negara pada tanggal 25 Oktober 2014, Desa Tamblang Kubutambahan tanggal 23 November 2014 dan Desa Tihingan Klungkung tanggal 5 Desember 2014. 4.2. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan potong lintang. Kuisioner SNOT-20 digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis. 4.3. Penentuan Sumber Data 4.3.1. Populasi penelitian Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan Klungkung. 4.3.2. Sampel penelitian Seluruh penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang, Desa Tihingan Klungkung dan Desa Tamblang Kubutambahan yang datang pada saat dilakukan 16

pemeriksaan kesehatan di balai desa setempat. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling berdasarkan ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah penderita yang memenuhi kriteria mayor dan minor berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria Eksklusi adalah penderita dengan keganasan pada kepala leher dan penderita tidak kooperatif. 4.4. Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel bebas : rinosinusitis Variabel tergantung : kualitas hidup 4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan 2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu. 2. Kualitas hidup adalah komponen penilaian terhadap kesehatan, dan kualitas hidup yang dipengaruhi oleh kesehatan yang terdiri dari aspek problem fisik, keterbatasan fungsional dan emosional. Variabel ini diukur menggunakan kuisioner Sino Nasal Outcome Test-20 (SNOT-20). 3. Jenis kelamin adalah karakteristik baik secara biologi maupun fisiologi yang dikategorikan sebagai perempuan dan laki-laki. 4. Usia adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran. 17

4.5. Kerangka Penelitian Populasi Kriteria Inklusi dan eksklusi Anamnesis Pemeriksaan THT Sampel SNOT-20 Hasil Analisa Data 4.6. Analisis Data Hasil penelitian disajikan secara desriptif dalam bentuk tabel dan narasi. V. HASIL PENELITIAN Penelitian telah dilakukan di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. Pada penelitian ini didapatkan total sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 68 orang. Data karakteristik sampel berdasarkan masing-masing desa disajikan dalam tabel 1. Total sampel dari Desa Yeh Embang yaitu 35 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 19 orang (54,3%) dan 16 orang (45,7%) perempuan. Rentang usia terbanyak yaitu 25-45 tahun sebanyak 16 orang (45,7%). Sampel Desa Tamblang terdiri dari 10 orang (58,8%) laki-laki dan 7 orang (41,2%) perempuan. Rentang usia terbanyak yaitu 25-45 tahun sebanyak 6 orang (35,3%). Dari Desa Tihingan didapatkan sampel laki-laki sebanyak 9 orang (56,3%) dan 7 orang (43,7%) perempuan. 18

Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur Desa Karakteristik N % Yeh Embang Jenis Kelamin Laki-laki 19 54,3 Perempuan 16 45,7 Umur 25 tahun 25 45 tahun 45 65 tahun 65 tahun 5 16 10 4 14,3 45,7 28,6 82,8 Tamblang Jenis Kelamin Laki-laki 10 58,8 Perempuan 7 41,2 Umur 25 tahun 25 45 tahun 45 65 tahun 65 tahun 2 6 5 4 11,8 35,3 29,4 23,5 Tihingan Jenis Kelamin Laki-laki 9 56,3 Perempuan 7 43,7 Umur 25 tahun 25 45 tahun 45 65 tahun 65 tahun 1 8 6 1 6,25 50,0 37,5 6,25 Total Jenis Kelamin Laki-laki 38 55,9 Perempuan 30 44,1 Umur 25 tahun 8 11,8 25 45 tahun 30 44,1 45 65 tahun 21 30,9 65 tahun 9 13,2 19

Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Yeh Embang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.62), bersin (2.51), sekret pada hidung (2,49), lemas (2.43) dan penurunan konsentrasi (2.4). Nilai rata-rata total skor SNOT-20 yaitu 1.80. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Skor SNOT-20 di Desa Yeh Embang Hidung buntu Bersin Hidung berair Batuk Postnasal drip Sekret kental pada hidung Telinga penuh Pusing Nyeri telinga Nyeri wajah/nyeri tekan Sulit tidur Terbangun di malam hari Tidur kurang berkualitas Lelah saat bangun Lemas Produktivitas menurun Penurunan konsentrasi Frustasi/kurang istirahat/iritabel Sedih Malu Total skor SNOT-20 Nilai Rata-rata 2.62 2.51 2.11 1.49 2.09 2.49 1.57 1.60 0.60 1.91 1.71 1.63 1.69 1.82 2.43 1.94 2.43 1.57 1.06 1.23 1.80 Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Tamblang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu bersin (2.41), hidung buntu (2.24), 20

sekret pada hidung (2,29), post nasal drip (2.17) dan lemas (2.05). Nilai rata-rata total skor SNOT-20 yaitu 3.22. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Skor SNOT-20 di Desa Tamblang Hidung buntu Bersin Hidung berair Batuk Postnasal drip Sekret kental pada hidung Telinga penuh Pusing Nyeri telinga Nyeri wajah/nyeri tekan Sulit tidur Terbangun di malam hari Tidur kurang berkualitas Lelah saat bangun Lemas Produktivitas menurun Penurunan konsentrasi Frustasi/kurang istirahat/iritabel Sedih Malu Total skor SNOT-20 Nilai Rata-rata 2.24 2.41 1.82 1.64 2.17 2.29 1.41 1.41 0.76 1.82 1.58 1.41 1.52 1.52 2.05 1.29 1.52 1.29 1.00 1.00 3.22 Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Tihingan, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.93), bersin (2.56), hidung berair (2.50), sekret pada hidung (2,43) dan lemas (2.31). Nilai rata-rata total skor SNOT-20 yaitu 1.66. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4. 21

Tabel 4. Skor SNOT-20 di Desa Tihingan Hidung buntu Bersin Hidung berair Batuk Postnasal drip Sekret kental pada hidung Telinga penuh Pusing Nyeri telinga Nyeri wajah/nyeri tekan Sulit tidur Terbangun di malam hari Tidur kurang berkualitas Lelah saat bangun Lemas Produktivitas menurun Penurunan konsentrasi Frustasi/kurang istirahat/iritabel Sedih Malu Total skor SNOT-20 Nilai Rata-rata 2.93 2.56 2.50 1.19 1.93 2.43 1.44 1.75 0.63 1.81 1.50 1.31 1.31 1.13 2.31 1.31 1.69 1.5 1.06 1.5 1.69 VI. PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus paranasal dan kemudian dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis. 22

SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor yaitu poin pertanyaan berkaitan dengan gejala rinologi, gejala hidung dan wajah, fungsi dan gangguan tidur dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis. SNOT-20 merupakan modifikasi dari RSOM-31 yang sudah divalidasi untuk menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan dengan konsistensi internal, reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis. Schalek 4 mengemukakan bahwa diperlukan tiga kriteria dalam merumuskan pengukuran dari kualitas hidup yaitu penggunaan nilai secara global, menilai keparahan dan gejala yang paling berpengaruh dan kemungkinan untuk penderita menambahkan gejala lain yang mengganggu. Hal ini menunjukkan bahwa SNOT-20 merupakan pengukuran yang terbaik terutama untuk menilai hasil operasi. Penelitian yang dilakukan van Oene 12 juga menyebutkan bahwa poin tertinggi untuk pemilihan kuisioner kualitas hidup untuk rinosinusitis adalah RSOM-31 dan SNOT-20. Pada penelitian ini didapatkan total 68 orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan. Dari ketiga desa, sampel yang terbanyak merupakan sampel dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 orang (55,9%) dan 30 orang (44,1%) berjenis kelamin perempuan. Usia terbanyak merupakan rentang usia 25-45 tahun yaitu sebanyak 30 orang (44,1%). Penelitian yang dilakukan oleh Zbislawski 13 juga menunjukkan bahwa penderita rinosinusitis lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 52,7% dan 47,3%. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Wang 2 yang menunjukkan bahwa rinosinusitis lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Berdasarkan nilai rata-rata tiap poin pertanyaan SNOT-20 yang didapatkan di Desa Yeh Embang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.62), bersin (2.51), sekret pada hidung (2,49), lemas (2.43) dan penurunan konsentrasi (2.4). Hal tersebut menunjukkan bahwa 3 poin tertinggi merupakan bagian dari gejala hidung dan 2 poin selanjutnya merupakan masalah psikologis yang terjadi akibat adanya gangguan pada hidung tersebut. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada sampel yang ada di Desa Tamblang, dimana 4 pertanyaan tertinggi merupakan gejala pada hidung yaitu bersin (2.41), hidung buntu (2.24), sekret pada hidung 23

(2,29), post nasal drip (2.17) dan aspek psikologis yaitu lemas (2.05). Hasil yang didapatkan pada sampel di Desa Tihingan dimana 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.93), bersin (2.56), hidung berair (2.50), sekret pada hidung (2,43) dan lemas (2.31). Hal tersebut diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pynnonen 5, poin tertinggi dari pertanyaan SNOT-20 yaitu hidung buntu, hidung berair, terbangun saat malam dan penurunan konsentrasi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Piccirillo 16 dimana 5 poin dengan nilai rata-rata tertinggi yaitu post nasal drip, nyeri wajah atau nyeri tekan, hidung buntu, terbangun dengan lelah dan lemas. Bezerra dkk 18 juga menemukan bahwa item pertanyaan yang dirasakan paling buruk meliputi hidung buntu, bersin, post nasal drip, sekret kental, dan susah tidur. Seluruh penelitian ini menunjukkan adanya hubungan gejala yang dirasakan, dalam hal ini merupakan gejala pada hidung yang akan menyebabkan gangguan pada psikologis dan gangguan tidur pada penderita. Kualitas hidup penderita rinosinusitis dipengaruhi oleh berat ringannya gejala yang muncul, umur, kebiasaan, ekspektasi serta ketidakmampuan secara fisik dan psikologis. VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus paranasal dan kemudian dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis. Pada penelitian ini didapatkan total 68 orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan. Distribusi jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 orang (55,9%) dan perempuan 30 orang (44,1%). Usia terbanyak merupakan rentang usia 25-45 tahun yaitu sebanyak 30 orang (44,1%). Nilai rata-rata pertanyaan tertinggi didapatkan pada pertanyaan yang berhubungan dengan gejala hidung yaitu hidung buntu, hidung berair, sekret 24

kental, dan post nasal drip. Nilai rata-rata pertanyaan lainnya didapatkan dari poin yang berkaitan dengan masalah psikologis yaitu lemas dan penurunan konsentrasi. 7.2. Saran Penelitian mengenai penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan rinosinusitis perlu dilakukan untuk membantu menilai derajat dan efek dari rinosinusitis terhadap status kesehatan, kualitas hidup serta mengukur keberhasilan tindakan operasi yang dilakukan. 25

DAFTAR PUSTAKA 1. Fokkens w, Lund Vm Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, Jones N, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology. 2012;50(23): 45:1-305. 2. Wang DY, Wardani RS, SinghK, Thanaviratananich S, Vicente G, Xu G, et al. A survey on the management of acute rhinosinusitis among Asian physicians. Rhinology. 2011 Sep;49(3):264-71. 3. Soetjipto D, Wardhani RS. Guidline Penyakit THT di Indonesia. PP PERHATI-KL.2007. 4. Schalek P. Rhinosinusitis-Its Impact on Quality of Life. Dalam : Marseglia GL, editor. Peculiar Aspects of Rhinosinusitis. Edisi ke-1. China: InTech, 2011;h.3-26. 5. Pynnonen MA, KimHM, Terrell JE. Validation of the Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20) Domains in Nonsurgical Patients. Am J Rhinol Allergy. 2009;23:40-45. 6. Krouse JH and Stachler RJ. Anatomy and Physiology of the Paranasal Sinuses. Dalam : Brook I, penyunting. Sinusitis From Microbiology To Managemen. New York: Taylor & Francis Group. 2006; hal: 95-108. 7. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Dalam: Snow JB and Ballenger JJ, penyunting. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc. 2003; hal: 547-60. 8. Walsh WE and Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. Dalam: Bailey BJ and Johnson JT, penyunting. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; hal: 359-370. 9. Welch KC and Goldberg AN. Sinusitis. Dalam: Mahmoudi M, penyunting. Allergy & Asthma, Practical Diagnosis and Management. New York: McGrawHill. 2008; hal: 62-7. 10. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Kumar KA, Kramper M, et al. Clinical Practice Guideline (Update) : Adult Sinusitis. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2015;152(2S):S1-S39. 26

11. Johnson JT, Rosen CA, editor. Bailey s Head and Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2014:h. 535-549. 12. Van Oene CM, van Reij EJF, Sprangers MAG, Fokkens WJ. Quality Assessment of Disease-Spesific Quality of Life Questionnaires for Rhinitis and Rhinosinusitis: A systematic review. Allergy. 2007;62:1359-1371. 13. Teul I, Zbislawski W, Baran S, Czerwinski F, Lorkowski J. Quality of Life of Patients With Diseases of Sinuses. Journal of Physiology and Pharmacology. 2007;58(5):691-697. 14. Kalpaklioglu AF, Baccioglu A. Evaluation of Quality of Life: Impact of Allergic Rhinitis on Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol. 2008;18(3):168-173. 15. Browne JP, Hopkins C, Slack R, Cano SJ. The Sinonasal Outcome Test (SNOT): Can we make it more clinically meaningful?. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136:736-741. 16. Piccirillo JF, Merritt MG, Richards ML. Psycometric and Clinimetric Validity of The 20-item Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2002;126:41-47. 17. Lupoi D, Sarafoleanu C. SNOT-20 and VAS Questionnaires in Establishing The Success of Different Surgical Approaches in Chronic Rhinosinusitis. Romanian Journal of Rhinology. 2012;2(8):203-208. 18. Bezerra TFP, Piccirillo JF, Fornazieri MA, Pilan RM, Adi TRT, Pinna FR, et al. Cross-Cultural Adaptation and Validation of SNOT-20 in Portuguese. International Journal of Otolaryngology. 2011:20:1-5. 27