TELAAHAN TERHADAP JALUR PEMASARAN KEDELAI DI DAERAH TRANSMIGRASI JAMBI

dokumen-dokumen yang mirip
PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

HASIL DAN PEMBAHASAN

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

ANALISIS PEMASARAN KEDELAI (Suatu Kasus di Desa Langkapsari Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) Abstrak

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004


V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

1. PENDAHULUAN. masyarakat dan kesadaran masyarakat pentingnya mengkonsumsi protein nabati, utamanya adalah bungkil kedelai (Zakaria, 2010).

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

Volume 1 No 1Jurnal Agri Sains

BAB III MATERI DAN METODE

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal ISSN ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN

BAB IV METODE PENELITIAN

ANALISIS SALURAN PEMASARAN TAHU BULAT (Studi Kasus pada Perusahaan Cahaya Dinar di Desa Muktisari Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis)

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN. ke konsumen membentuk suatu jalur yang disebut saluran pemasaran. Distribusi

Lanjutan Pemasaran Hasil Pertanian

METODE PENELITIAN. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu

8. NILAI TAMBAH RANTAI PASOK

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia

Oleh : 1 Rian Kurnia, 2 Yus Rusman, 3 Tito hardiyanto

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BAWANG MERAH DI KECAMATAN GERUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Peternak Barokah Abadi Farm Kabupaten Ciamis.

VI. ANALISIS ASPEK-ASPEK NON FINANSIAL

FARMER SHARE DAN EFISIENSI SALURAN PEMASARAN KACANG HIJAU

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS PEMASARAN LADA PERDU (Studi Kasus di Desa Marga Mulya Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis) Abstrak

212 ZIRAA AH, Volume 40 Nomor 3, Oktober 2015 Halaman ISSN ELEKTRONIK

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin

Boks 1. Peluang Peningkatan Pendapatan Petani Karet Melalui Kerjasama Kemitraan Pemasaran Bokar Dengan Pabrik Crumb Ruber

POLA PEMASARAN TERNAK SAPI BALI DI KAWASAN PRIMATANI LKDRIK KABUPATEN BULELENG

I. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

ANALISIS PEMASARAN KEDELAI

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Objek Penelitian Objek penelitian terdiri dari peternak dan pelaku pemasaran itik lokal

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. METODE PENELITIAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR

ANALISA PERBANDINGAN SOSIAL EKONOMI PETANI JAGUNG SEBELUM DAN SETELAH ADANYA PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN MUNGKA KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS EFISIENSI SALURAN PEMASARAN SALAK PONDOH (Studi Kasus di Desa Sigaluh Kecamatan Sigaluh Banjarnegara) ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. air. Karena alasan tersebut maka pemerintah daerah setempat biasanya giat

MINGGU 6. MARKETING MARGIN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

margin pemasaran dapat dihitung dengan rumus matematis sebagai berikut:

POLA PENGEMBANGAN KOMODITI JAGUNG HIBRIDA. di KAB. SUMBA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS PEMASARAN BENIH PADI SAWAH (Oryza sativa L.) VARIETAS CIHERANG (Suatu Kasus di Desa Sindangasih Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis)

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu.

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN TANPA SPO

Boks.2 PRODUKSI DAN DISTRIBUSI BERAS DI PROVINSI JAMBI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. (pendapatan) yang tinggi. Petani perlu memperhitungkan dengan analisis

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendahuluan. 1 ) Staf Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang Pertanian.

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN SAMPANG

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN JAGUNG (Zea mays) DI KABUPATEN GROBOGAN (Studi Kasus di Kecamatan Geyer)

Oni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Abstrak.

DAMPAK PELELANGAN TERHADAP STABILISASI HARGA IKAN PADA TINGKAT PRODUSEN DI PANTAI UTARA JAWA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. ditanam di lahan kering daerah pengunungan. Umur tanaman melinjo di desa ini

ANALISIS SALURAN PEMASARAN KELAPA (Cocos nucifera L) (Suatu Kasus di Desa Ciakar Kecamatan Cijulang Kabupaten Pangandaran) Abstrak

V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

beberapa desa salah satunya adalah Desa Yosowilangun Kidul

Transkripsi:

TELAAHAN TERHADAP JALUR PEMASARAN KEDELAI DI DAERAH TRANSMIGRASI JAMBI Oleh A. Rozany Nurmanaf*) Abstrak Program khusus usahatani kedelai dilaksanakan di berbagai daerah, termasuk diantaranya daerah transmigrasi Jambi. Di samping untuk memenuhi permintaan akan mata dagang tersebut program ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani. Untuk mencapai tujuan yang terakhir ini, maka faktor harga yang diterima petani sangat menentukan dan tidak lepas dari sistem pemasaran mata dagang itu sendiri. Penelitian yang dilakukan di tiga satuan pemukiman transmigrasi Jambi menunjukkan bahwa sistem pemasaran kedelai di daerah tersebut masih belum efisien dalam arti rendahnya bagian harga yang diterima petani. Penelusuran jalur pemasaran mata dagang ini memperlihatkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat harga adalah tingginya biaya angkutan dari masing-masing rantai pemasaran sebagai akibat sarana angkutan yang belum menunjang di samping volume penjualan masing-masing petani yang sedikit dan dilakukan sendirisendiri. Kiranya lembaga pemasaran seperti KUD dapat lebih berperanan dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi pemasaran yang pada akhirnya meningkatkan bagian harga yang diterima petani. Pendahuluan Salah satu mata dagang pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah kedelai. Mata dagang ini mendapat perhatian khusus pemerintah dalam pengembangannya anfara lain Operasi Khusus (Opsus Kedelai) yang dilaksanakan di berbagai daerah. Diadakannya program ini adalah untuk tujuan ganda, yaitu memenuhi kebutuhan baik sebagai bahan pangan masyarakat maupun pakan ternak dan sekaligus diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani. Namun demikian dalam upaya meningkatkan pendapatan petani, penekanan tidak cukup hanya terhadap faktor teknisagronomi tetapi juga faktor ekonomi. Keberhasilan usahatani dalam arti tingginya produksi fisik per satuan luas tidaklah menjamin dapat memberikan pendapatan yang tinggi pula. Faktor harga yang diterima petani sangat berperanan dalam menentukan tingkat pendapatan dari usahatani tersebut. Sedangkan tingkat harga sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang ada dari mata dagang yang dipasarkan. Daerah transmigrasi sebagai daerah yang baru turut pula mengembangkan usahatani kedelai, selain mata dagang pangan lainnya. Dj da- erah transmigrasi Jambi, program Opsus kedelai mulai dilaksanakan sejak tahun 1985/1986 terutama di daerah lahan kering (Kan Wil Trans Kabupaten Sarko, 1986). Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari sistem pemasaran mata dagang kedelai di daerah transmigrasi Jambi. Hal-hal yang dapat memberikan gambaran secara umum meliputi jalur pemasaran, rantai pemasaran dan tingkat harga, biaya angkutan, margin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani. Informasiinformasi tersebut diharapkan dapat berguna untuk bahan pertimbangan bagi penyusun kebijakan pemasaran mata dagang pangan khususnya kedelai di daerah transmigrasi. Kerangka Pemikiran Metodologi Pada tanaman tertentu para petani mengusahakannya untuk tujuan konsumsi, terutama tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi secara langsung. Namun ada pula tanaman-tanaman *) Staf Peneliti, Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor. 45

yang memang diusahakan dengan tujuan untuk dijual. Kedelai umumnya tergolong pada kelompok yang teralchir. Walaupun ada bagian produksi yang dikonsmhsi tetapi hanya sebagian kecil, karena umumnya kedelai dikonsumsi setelah melalui proses pengolahan antara lain berupa tahu dan tempe. Pemasaran hasil, pada dasarnya merupakan semua aktifitas yang dilakukan terhadap hasil yang bersangkutan mulai dan tingkat petani produsen sampai pada tingkat konsumen. Dengan demikian dapat terbentuk dua macam harga, yaitu harga di tingkat petani (farm price) dan harga di tingkat konsumen (consumer price). Sedangkan selisih antara kedua tingkat harga tersebut didefinisikan sebagai margin pemasaran (marketing margin), yang secara sederhana disajikan seperti persamaan berikut ini. dimana: Mi = Pci - Pfi Mi = Margin pemasaran mata dagang i. Pci = Harga tingkat konsumen untuk mata dagang i. P fi Harga tingkat petani untuk mata dagang i. Sesuai dengan definisi tersebut, margin pemasaran dapat disederhanakan secara grafis pada Gambar 1. Dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa harga di tingkat petani (Pf) terbentuk dan persilangan kurva penawaran primer (Primary Supply, Sp) dan permintaan turunan (Derived Demand, Dd). Harga di tingkat konsumen (Pc) terbentuk dan persilangan antara kurva penawaran turunan (Derived Supply, Sd) dengan kurva permintaan primer (Primary Demand, Dp). Sedangkan selisih antara harga ditingkat konsumen dan harga di tingkat petani adalah margin pemasaran (M). Margin pemasaran berbeda-beda menurut pelayanan (service) pemasaran. Secara umum pelayanan pemasaran dibedakan menurut waktu (misalnya penyimpanan), menurut bentuk (pengolahan), dan menurut tempat (angkutan). Adanya perlakuan tersebut akan mempengaruhi margin pemasaran (Gambar 2). Sebagai contoh, kenaikan biaya pelayanan dengan faktor lain dianggap tetap akan menggeser (shift) kurva penawaran dari S1 ke S2. Keadaan ini berakibat meningkatnya margin pemasaran dari M, ke Mz (Tomek dan Robinson, 1981). Pengumpulan Data Data penelitian dikumpulkan di tiga satuan pemukiman transmigrasi di propinsi Jambi tahun 1986. Ketiga satuan pemukiman tersebut adalah Singkut III, Pamenang I di kabupaten Sarko dan Kuamang Kuning III di kabupaten Bungo Tebo (Kan Dep Trans Prop Jambi, 1983). Sumber data M M { Pc Pf M2 M, 0 Q 0 Q Gambar 1. Gambar 2. 46

mulai dari petani produsen kedelai di masingmasing satuan pemukiman, para pedagang baik di satuan pemukiman itu sendiri maupun di pasar (desa, kecamatan, kabupaten dan keluar propinsi Jambi). Selain itu data di tingkat konsumen yang sebagian besar merupakan usaha pengolahan kedelai di tempat-tempat tersebut juga dikumpulkan. Jumlah responden petani produsen kedelai adalah empat petani dari masing-masing satuan pemukiman transmigrasi; empat pedagang dari tiap-tiap satuan pemukiman; tiga pedagang antar satuan pemukiman/kecamatan; dan dua pedagang antar kabupaten yang juga sebagai pedagang antar propinsi. Sedangkan usaha pengolahan hasil sebanyak dua usaha dari masing-masing satuan pemukiman dan dua usaha di masing-masing kabupaten. Jenis data yang dikumpulkan meliputi harga yang terjadi, tempat membeli/menjual, biaya angkutan dari masing-masing rantai pemasaran. Data dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dirancang. Hasil dan Pembahasan Produktivitas dan Bagian Produksi yang Dijual Produksi kedelai per satuan luas yang diusahakan para petani transmigran di ketiga lokasi penelitian relatif rendah. Di Singkut III pada tahun 1986 produksi kedelai hanya mencapai 650 kg per hektar, di Pamenang I 484 kg per hektar, dan di Kuamang Kuning III 320 kg per hektar. Adapun jenis bibit yang diusahakan para petani adalah bibit Wilis dan Galunggung dengan perbandingan lebih kurang seimbang. Pengusahaan tanaman kedelai tersebut dilakukan dengan mengikuti program Opsus Kedelai 1986 yang sebagian besar mengalami kegagalan akibat serangan hama. Secara potensial produktivitas kedelai di daerah tersebut dapat ditingkatkan. Hasil percobaan lapangan menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dari pada yang diusahakan petani. Di Singkut produksi kedelai mencapai 820 kg per hektar, dan di Pamenang 1030 kg per hektar pada tahun 1985 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jambi, 1986). Kedelai merupakan jenis mata dagang yang tidak secara langsung dapat dikonsumsi. Dengan demikian hasil produksi petani yang dikonsumsi hanya dalam bagian yang kecil. Para petani mengusahakan kedelai, memang dengan tujuan untuk dijual. Hal ini terbukti dari tingginya persentase produksi kedelai yang dijual di ketiga satuan pemukiman yang diteliti (lihat Tabel 1). Tabel 1. Besamya produksi kedelai yang dijual di tiga satuan pemukiman transmigrasi Jambi, 1986. Satuan pemukiman transmigrasi Bagian produksi yang dijual (persen) Singkut III 94,6 Pamenang I 98,8 Kuamang Kuning III 97,6 Sumber : Responden contoh petani. Diduga keadaan ini erat hubungannya dengan mudahnya menjual hasil, dalam arti banyaknya pedagang yang datang membeli, di samping harga mata dagang ini relatif tinggi dibandingkan dengan mata dagang pangan lain. Jalur dan Rantai Pemasaran Lokasi ketiga satuan pemukiman yang diteliti, umumnya berada dekat dengan pasar yang dapat menampung produksi kedelai yang dihasilkan. Namun demikian banyak ditemukan para pedagang yang datang ke tempat pemukiman petani sehingga petani dapat menjual produksi kedelai di rumah atau di ladangnya sendiri tanpa harus mengangkut ke tempat pembeli. Sebagian besar petani di ketiga lokasi melakukan penjualan kedelai dengan cara ini terutama di Singkut III dan Pamenang I. Tetapi di Kuamang Kuning III, selain cara penjualan yang demikian ada pula petani yang membawa sendiri dan menjualnya pada pedagang pengumpul yang berada di pasar. Pedagang pengumpul tersebut pula yang menampung kedelai yang dibawa para pedagang yang beroperasi di dalam satuan pemukiman. Sebelum sampai pada pedagang pengumpul, tidak jarang pula ditemukan pedagang perantara yang menunggu kedatangan petani maupun pedagangpedagang dari tiap-tiap satuan pemukiman. Pedagang perantara tersebut umumnya beroperasi tanpa modal, sehingga walaupun telah terjadi transaksi jual beli, tetapi pelunasan pembayaran dilakukan setelah "pemilik modal" datang ke tempat tersebut. Kedelai yang terkumpul, oleh pedagang pengumpul didistribusikan ke tempat lain. Di Singkut, walaupun ada sebagian kecil yang dibeli oleh 47

pedagang pengecer (di pasar dan warung), tetapi sebagian besar dibawa ke Rawas dan Lubuk Linggau di propinsi Sumatra Selatan (Lampiran 1). Dari Pamenang pedagang membawa kedelai ke kota Bangko (ibu kota kabupaten Sarko), dan menjualnya kepada pedagang pengumpul melalui pedagang perantara. Selanjutnya mata dagang ini dibawa keluar propinsi Jambi (kota Padang di Sumatra Barat), di samping sebagian kecil terserap oleh pengusaha tahu dan tempe di kota Bangko (Lampiran 2). Lokasi transmigrasi Kuamang Kuning memiliki pasar tempat pedagang pengumpul menampung kedelai dari satuan-satuan pemukiman yang ada. Dari pasar tersebut kedelai dibawa ke kota kabupaten Muara Bungo dan terkumpul pada pedagang pengumpul yang lebih besar. Dari kota Muara Bungo walaupun sebagian kecil diserap oleh pengusaha tahu/tempe, tetapi sebagian besar dipasarkan di kota Padang Sumatra Barat (Lampiran 3). Biaya Angkutan dan Tingkat Harga Biaya angkutan erat kaitannya dengan prasarana dan sarana angkutan yang ada dan jarak dari tempat asal ke tempat tujuan barang yang diangkut. Di lokasi penelitian Singkut III, dari rumah atau ladang petani ke pasar Singkut yang berjarak sekitar tujuh kilometer, diperlukan biaya angkutan Rp 10, sampai dengan Rp 15, per kilogram. Jenis alat angkutan adalah kendaraan umum yang juga mengangkut penumpang. Sedangkan biaya angkutan dari pasar Singkut ke Lubuk Linggau dan Rawas di Sumatra Selatan yang berjarak sekitar 100 km adalah sebesar Rp 25, per kilogram. Biaya angkutan yang terakhir ini relatif lebih rendah karena menggunakan alat angkutan khusus untuk barang (pick up). Di lokasi penelitian Pamenang I, terdapat pasar yang bersifat mingguan. Para petani/pedagang yang mengangkut hasil kedelai ke pasar tersebut umumnya menggunakan sepeda dengan biaya sekitar Rp 5,- per kilogram dengan jarak berkisar antara 1-4 km. Akan tetapi biaya angkutan dari pasar Pamenang ke kota Bangko yang berjarak sekitar 20 km adalah sebesar Rp 10, per kilogram. Alat angkutan yang dipergunakan adalah alat angkutan penumpang seperti halnya di Singkut Selanjutnya biaya angkutan dari kota Bangko ke kota Padang yang berjarak sekitar 400 km adalah Rp 20, per kilogram. Jumlah kedelai yang diangkut biasanya dalam volume yang besar dan alat angkutan menggunakan truk pengangkut barang. Biaya angkutan di Kuamang Kuning sebesar Rp 5, sampai dengan Rp 10, dari rumah petani ke pasar satuan pemukiman transmigrasi yang berjarak 3-5 km. Alat angkutan umumnya sepeda dan kendaraan penumpang umum. Selanjutnya alat angkutan dari pasar satuan pemukiman transmigrasi ke kota Muara Bungo adalah kendaraan penumpang umum dengan jarak sekitar 60 km. Biaya angkutannya adalah Rp 20, per kilogram. Sebagai contoh untuk mengangkut kedelai satu karung dengan berat 60 kg, biaya angkutan sama dengan biaya angkutan seorang penumpang sebesar Rp 1200,. Dari kota Muara Bungo, para pedagang mengangkut hasil pertanian termasuk kedelai ke kota Padang umumnya mempergunakan alat angkutan truk khusus untuk barang. Walaupun kadang-kadang kedelai tersebut diangkut bersama-sama mata dagang lain, tetapi biaya angkutan adalah Rp 20, per kilogram dengan jarak angkut sejauh kira-kira 300 km. Antara para pedagang dan pengusaha angkutan sudah merupakan langganan tetap, dan biaya tersebut sudah termasuk biaya bongkar muat baik di tempat asal maupun di tempat tujuan (Nurmanaf dan Nasution, 1986). Biaya angkutan di ketiga lokasi penelitian relatif tinggi terutama untuk pengangkutan dari satuan-satuan pemukiman transmigrasi ke pedagang pengumpul di kota-kota. Hal ini disebabkan karena belum adanya sarana angkutan khusus mengangkut barang. Pengangkutan hasil-hasil pertanian dilakukan dengan mempergunakan angkutan penumpang. Dengan demikian pengusaha alat angkutan tersebut memungut biaya angkutan barang-barang disesuaikan dengan biaya angkutan penumpang. Berbeda dengan angkutan penumpang, pengusaha angkutan khusus barang dapat mengangkut hasil-hasil pertanian dengan biaya yang disesuaikan dengan jarak dan berat barang-barang yang diangkut. Akan tetapi pemanfaatan alat angkutan yang dimaksudkan hams dalam volume yang sesuai dengan kapasitas angkutan dari alat angkutan itu sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat harga dari setiap rantai pemasaran adalah biaya angkutan. Sedangkan besarnya biaya angkutan bervariasi antar daerah penelitian, tergantung pada keadaan prasarana dan sarana yang ada di daerah 48

yang bersangkutan. Di Singkut biaya angkutan dari lokasi satuan pemukiman transmigrasi ke pasar kecamatan mencapai 1,9 persen dari harga kedelai yang dijual petani (Rp 520, per kg). Sedangkan pengangkutan kedelai dari pasar Singkut ke Lubuk Linggau dan Rawas, memerlukan biaya angkutan 3,5 persen dari harga jual (Rp 700, per kg). Biaya angkutan kedelai dari lokasi transmigrasi Pamenang ke kota kecamatan mencapai 1,9 persen dari harga kedelai yang dijual petani (Rp 501, per kg), dan 3,1 persen biaya angkutan dari kota Bangko ke kota Padang terhadap harga jual kedelai (Rp 650, per kg). Di Kuamang Kuning, biaya angkutan dari lokasi' transmigrasi ke pasar antar lokasi adalah sebesar 2,5 persen dari harga kedelai yang dijual petani (Rp 400, per kg). Dari pasar antar lokasi ke kota Muara Bungo, biaya angkutan juga sebesar 2,5 persen dari harga jual (Rp 520, per kg). Akan tetapi biaya angkutan dari kota Muara Bungo ke kota Padang, mencapai 3,5 persen dari harga kedelai yang dijual (Rp 600, per kg). Margin Pemasaran dan Bagian Harga yang Diterima Petani Margin pemasaran didefinisikan sebagai selisih antara harga tingkat petani dan harga tingkat konsumen. Selisih harga tersebut terdiri dari biaya pelayanan yang meliputi biaya-biaya angkutan, penyimpanan dan pengolahan serta besarnya keuntungan yang diterima para pedagang dari setiap rantai pemasaran. Dengan diketahuinya harga di tingkat petani, harga di tingkat konsumen dan margin pemasaran, maka bagian harga yang diterima petani produsen dapat dihitung. Besarnya margin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani merupakan indikator tingkat efisiensi pemasaran. Angka-angka margin pemasaran kedelai dan bagian harga yang diterima petani terlihat bervariasi di ketiga lokasi penelitian (Tabel 2). Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa bagian harga kedelai yang diterima petani relatif rendah. Hal ini terjadi sebagai akibat dari tingginya margin pemasaran di ketiga lokasi penelitian. Tingginya margin pemasaran kedelai terutama disebabkan tingginya biaya angkutan hasil tersebut, baik biaya angkutan dari satuan pemukiman transmigrasi ke pasar, antar pasar maupun biaya angkutan antar daerah. Sebagai gambaran besarnya biaya angkutan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Margin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani di tiga satuan pemukiman transmigrasi Jambi, 1986. Tingkat harga dan margin pemasaran Singkut Ill Lokasi penelitian Pamenang K. Kuning I III I. Tingkat petani Harga (Rp/Kg) 425 450 375 Bagian harga di tingkat petani (persen) 60,7 69,2 62,5 2. Margin pemasaran Rp/Kg 275 200 225 Persentase 39,3 30,8 37,5 3. Harga di tingkat eceran (Rp/kg) 700 650 600 Sumber : Responden contoh petani dan pedagang. Tabel 3. Persentase biaya angkutan terhadap margin pemasaran kedelai di tiga satuan pemukiman transmigrasi Jambi, 1986. Margin pemasaran dan biaya angkutan Singkut III Lokasi penelitian Pamenang K. Kuning I III I. Margin pemasaran (Rp/Kg) 275 200 225 2. Biaya angkutan (Rp/Kg) 50 45 55 Persentase terhadap margin pemasaran 18,5 22,5 24,4 3. Jumlah kali diangkut 4 4 4 Sumber: Responden contoh petani dan pedagang. Tingginya biaya angkutan kedelai tersebut terutama terjadi pada pengangkutan dari satuan pemukiman transmigrasi ke pasar-pasar yang umumnya mempergunakan angkutan penumpang. Dengan demikian besar biaya angkutan tersebut disesuaikan dengan biaya mengangkut penumpang. Para petani maupun pedagang di satuan pemukiman transmigrasi mengangkut kedelai yang diperdagangkan tidak menggunakan angkutan yang khusus untuk barang atau hasil-hasil pertanian, karena jumlahnya hanya sedikit dan mereka melakukannya secara sendiri-sendiri. Bila margin pemasaran pada masing-masing tingkat pedagang dirinci, maka persentase keuntungan terhadap margin pemasaran pada para 49

pedagang tingkat II (pengumpul) merupakan yang terbesar di ketiga lokasi penelitian (Tabel 4). Tabel 4. Persentase keuntungan pedagang, biaya angkutan terhadap margin pemasaran kedelai di tip satuan pemukiman transmigrasi Jambi, 1986. Margin pemasaran, biaya angkutan dan keuntungan pedagang Singkut III Lokasi penelitian Painenang I K. Kufling III Pedagang I Margin pemasaran (RP) 80 55 25 Biaya angkutan (persen) 12,5 22,3 60,0 Keuntungan (persen) 87,5 77,7 40,0 Pedagang II Margin pemasaran (RP) 80 40 120 Biaya angkutan (persen) 12,5 25,0 33,3 Keuntungan (persen) 87,5 75,0 66,7 Pedagang III Margin pemasaran (Rp) 110 100 80 Biaya angkutan (persen) 31,8 30,0 40,0 Keuntungan (persen) 68,2 70,0 60,0 Sumber : Responden contoh pedagang. Tingginya persentase keuntungan yang diperoleh pedagang II dimungkinkan karena umumnya para pedagang tersebut merupakan "tangantangan" dari pedagang pengumpul yang lebih besar. Di antara mereka seakan-akan ada persatuan yang secara bersama-sama dapat menekan harga beli dan mengambil keuntungan yang tinggi. Kesimpulan 1. Pemasaran kedelai di satuan pemukiman transmigrasi Jambi yang dijadikan lokasi penelitian, ternyata belum efisien dalam arti tingginya margin pemasaran dan rendahnya persentase harga yang diterima petani produsen. Tingginya margin pemasaran kedelai tersebut disebabkan oleh tingginya biaya angkut- an terutama biaya angkutan dari satuansatuan pemukiman transmigrasi Ice pasar tempat penjualan. Selain itu para pedagang terutama pedagang perantara mengambil keuntungan yang tinggi dengan cara bekerjasama dalam menekan harga beli. 2. Walaupun persentase kedelai yang dipasarkan petani cukup besar dibandingkan dengan produksi totalnya dari masing-masing petani, tapi jumlah ini masih relatif sedikit dari segi angkutan dan petani-petani melakukannya secara sendiri-sendiri. Pengangkutan tidak dilakukan dengan alat angkutan yang khusus untuk angkutan barang atau hasil-hasil pertanian tetapi diangkut dengan alat angkutan penumpang umum. 3. Dengan demikian, jika lembaga seperti KUD dapat aktif menangani pemasaran, baik dalam hal pembentukan harga maupun sarana angkutan, maka margin pemasaran diharapkan dapat ditekan. Bila hal ini dapat terwujud sehingga bagian harga yang diterima petani menjadi semakin tinggi, dan untuk jangka panjang hal ini dapat meningkatkan pendapatan. Daftar Pustaka Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jambi. 1986. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jambi 1985. Kan Dep Trans Kab Sarko. 1986. Laporan Bulanan: Bulan April 1986. Kantor Departemen Transmigrasi Kabupaten Sarolangun Bangko. Kan. Wil. Dep. Trans. Propinsi Jambi. 1983. Monografi Proyek Transmigrasi Kabupaten Sarolangun Bangko. Nurmanaf, A.R. dan A. Nasution. 1986. Prospek Pengembangan Usahatani dan Pemasaran Hasil Pertanian di Daerah Transmigrasi Jambi. Laporan. Puslit Agro Ekonomi. Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1981. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Ithaca-London. 50

Lampiran 1. Rantai Pemasaran Kedelai di Satuan Pemukiman Transmigrasi 1986. Petani Desa Singkut III Rp 425 + Rp 5 (100%) Pedagang I Rp 510 + Rp 10 -- (10007o) Pedagang H Rp 590 + Rp 10 y (85%) Pasar Kecamatan Singkut Pedagang III Rp 640 + Rp 10 (15%) Rp 640 + Rp 10 (15%) Rp 640 + Rp 10 (1507o) Pengrajin tahu/ tempe -.11( Rp 700 (100%) Pengecer /warung Rp 675 + Rp 25 (75%) Propinsi Sumatra Selatan Pedagang di Lubuk Linggau Rawas Keterangan: Rp 425 + Rp 5, berarti bahwa harga kedelai per kg ditambah biaya angkutan. 51

Lampiran 2. Rantai Pemasaran Kedelai di Satuan Pemukiman Transmigrasi Pamenang I, 1986. Petani Desa Pamenang I Rp 450 + Rp 5 (100%) Pedagang I Rp 500 + Rp 10 (80%) Rp 540 + Rp 10 (20%) Kota Kecamatan/ Kabupaten (Bangko) Pedagang II Rp 540 + Rp 10 (90%) Pedagang III Rp 500 (10%) Pengrajin tahu/tempe Rp 630 + Rp 10 (15%) Propinsi Sumatra Barat Pedagang di Padang Rp 630 + Rp 20 (85%) Keterangan : Rp 450 + Rp 5, berarti bahwa harga kedelai per kg ditambah biaya angkutan. 52

Lampiian 3. Rantai Pemasaran Kedelai di Satuan Pemukiman Transmigrasi Kuamang Kuning III, 1986. Petani Rp 375 + Rp 5 Desa Kuamang Kuning III Pasar SP-A Rp 390 + Rp 10 (40%) Pedagang I Rp 370 + Rp 5 (50%). Pengrajin tahu/tempe Rp 630 + Rp 20 (100%) Pedagang II Rp 450 + Rp 10 (20%) Rp 500 + Rp 20 (80%) Kota/pasar Kabupaten (Ma Bungo) Pedagang III Rp 580 (10%) Pengrajin tahu/tempe Rp 580 + Rp 20 (90%) Propinsi Sumatra Barat Pedagang di Padang Keterangan : Rp 375 + Rp 5, berarti bahwa harga kedelai per kg ditambah biaya angkutan. 53