BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Uraian Tumbuhan. asing, sistematika tumbuhan, morfologi tumbuhan, kandungan kimia dan. 2.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman patah tulang merupakan salah satu dari 8000 tumbuhan yang

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari hewan teripang (Martoyo dkk, 2006) adalah sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. serta negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Bawang Sabrang (Eleutherine palmifolia (L.) Merr).

Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

HASIL DAN PEMBAHASAN. Persentase inhibisi = K ( S1 K

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

BABm METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

Lampiran 1. Surat Identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal.

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang.

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

METODE EKSTRAKSI Ekstrak Ekstraksi 1. Maserasi Keunggulan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

Kromatografi tambahan. Imam S

BAB I PENDAHULUAN. Metode fitokimia yang digunakan setelah dilakukan metode

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van

BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai

Lampiran 1. Hasil identifikasi sponge

Lampiran 1. Identifikasi Tumbuhan

OLIMPIADE SAINS NASIONAL Medan, 1-7 Agustus 2010 BIDANG KIMIA. Ujian Praktikum KIMIA ORGANIK. Waktu 150 menit. Kementerian Pendidikan Nasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. kuat dilaboratorium kimia. Metode kromatografi, karena pemanfaatannya

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan adalah metode eksploratif meliputi pengumpulan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis

BAB III METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus April 2013, bertempat di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

DESTILASI SECARA UMUM

BAB IV METODE PENELITIAN. glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan dengan metode uji toleransi glukosa.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian ini telah berhasil diisolasi senyawa flavonoid murni dari kayu akar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Eceng gondok (Eichhornia crassipes(mart.) Solms) merupakan tanaman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID DARI FASE n-butanol DAUN JERUK PURUT (Citrus hystrix.dc)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lampiran 1. Lampiran Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

PHARMACY, Vol.06 No. 02 Agustus 2009 ISSN ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL PADA SEDIAAN JAMU SERBUK PEGAL LINU YANG BEREDAR DI PURWOKERTO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Dari 100 kg sampel kulit kacang tanah yang dimaserasi dengan 420 L

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA ANTRAQUINON PADA FRAKSI KLOROFORM AKAR KAYU MENGKUDU ( Morinda Citrifolia, L) ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh (habitat), nama daerah, nama asing, sistematika tumbuhan, morfologi tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan dari tumbuhan. 2.1.1 Daerah tumbuh Labu siam merupakan tumbuhan yang mudah ditemukan di hutan-hutan jati, hutan campuran, tepi-tepi jalan, atau sawah dan kebun. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 50 meter sampai 500 meter di atas permukaan laut (Prahasta, 2009). 2.1.2 Nama daerah Tanaman labu siam memiliki nama daerah sebagai berikut (Prahasta, 2009): Sumatera Aceh Karo Jawa (Sunda) Jawa Tengah Jawa Timur Manado Minangkabau : Labu siam (Melayu) : Labu jipang : Ropah : Gambas, waluh siam : Waluh jipang, labu jipang : Manisah : Ketimun jepang : Japan 20

2.1.3 Nama asing Sayuran ini dikenal dengan nama asing chayote (Prahasta, 2009). 2.1.4 Sistematika tumbuhan Tumbuhan labu siam (Sechium edule (Jacq.) Sw.) diklasifikasikan sebagai berikut (Prahasta, 2009). Kerajaan Divisio Subdivisio Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Cucurbitales : Cucurbitaceae : Sechium : Sechium edule ( Jacq.) Sw. 2.1.5 Morfologi tumbuhan Tumbuhan labu siam memiliki morfologi sebagai berikut (Prahasta, 2009). Batang : Lunak, beralur, cabang banyak, serta memiliki sulur batang untuk membelit pada benda lain. Permukaan umumnya kasap atau agak kasar, berwarna hijau, dan berbulu. Berbentuk segi lima dan melilit, dengan panjang batang 50-2.500 cm dan memiliki tunas yang keluar dari ketiak daun. Daun : Tunggal yang berbentuk jantung bertulang, tepi bertoreh, dengan ujung yang meruncing, permukaan kasar, panjang 4-25 cm dengan lebar antara 3-20 cm, berwarna hijau, dengan tangkai berbentuk bulat, panjang tangkai daun berkisar 5-10 cm. 21

Bunga : Majemuk yang keluar dari ketiak daun, dengan kelopak bertajuk lima, mahkota beralur, lima benang sari, kepala sari jingga, satu putik yang berwarna kuning. Benang sari dan kepala sari berlekatan. Buah : Menggantung ditangkai, dengan permukaan berlekuk berwarna hijau ketika muda dengan larik-larik putih kekunigan, semakin matang warna bagian luar buah berubah menjadi hijau pucat sampai putih, bentuk lonjong, dengan ukuran ujung berbeda. Biji Akar : Pipih, berkeping dua, berwarna putih. : Berwarna putih kecoklatan, tunggang, bercabang banyak, berbentuk bulat sampai agak persegi, dan berbatang lemah, akar menyebar tetapi dangkal, akar-akar cabang, rambut-rambut akar terdapat dekat permukaan tanah karena hanya dapat menembus tanah 30-40 cm. 2.1.6 Kandungan kimia Buah Sechium edule (Jacq.) Sw., mengandung saponin, alkaloid dan tanin sedangkan daunnya mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Pratiwi, 2011). 2.1.7 Kegunaan labu siam 1. Diuretik: kandungan air pada labu siam memiliki efek diuretik yang baik sehingga melancarkan buang air kecil 2. Menurunkan tekanan darah: melalui urin yang banyak dibuang akibat sifat diuretik dari labu siam, kandungan garam di dalam darah akan berkurang. Berkurangnya kadar garam yang bersifat menyerap atau menahan air ini akan meringankan kerja jantung dalam memompa darah 22

sehingga tekanan darah menurun. Kandungan alkaloidnya berfungsi sebagai vasodilator maka labu siam bisa menurunkan darah tinggi. 3. Buah tanaman ini baik untuk menyembuhkan gangguan sariawan, panas dalam serta menurunkan demam pada anak-anak karena mengandung banyak air 4. Gangguan asam urat 5. Penderita diabetes mellitus juga cocok mengkonsumsi labu siam yang telah dikukus. Kandungan patinya mengenyangkan sehingga perderita diabetes mellitus tidak lagi mengosumsi makanan pokok secara berlebihan (Pratiwi, 2011). Labu siam memiliki kadar vitamin C yang tinggi, rendah kalori, rendah sodium, tidak mengandung kolesterol, dan merupakan sumber serat yang baik. Berbagai kandungan gizi labu siam dan manfaat kesehatannya antara lain sebagai berikut (Anonim 2, 2012). 1. Asam folat: labu siam adalah sumber folat, vitamin B yang sangat bermanfaat bagi ibu hamil dan kesehatan kardiovaskuler 2. Vitamin C: vitamin C adalah salah satu antioksidan kuat yang dapat melindungi sel dari kerusakan oleh radikal bebas 3. Mineral: mineral dalam labu siam membantu tubuh mengubah protein dan lemak menjadi energi 4. Serat: membantu mencegah sembelit dan melancarkan pencernaan 5. Tembaga: membantu iodium dalam menjaga kesehatan tiroid 6. Zinc: membantu menyehatkan kulit 7. Vitamin K: membantu kesehatan tulang dan gigi. 23

Buah labu siam memiliki kadar serat yang cukup baik, yaitu 1,7 g per 100 g. Konsumsi serat dalam jumlah yang cukup, sangat baik untuk mengatasi sembelit dan aman untuk lambung yang sensitif atau radang usus. Serat pangan dapat mengurangi risiko penyakit kanker yang disebabkan sistem pencernaan yang tidak sempurna (Anonim 2, 2012). Tabel 2.1 Komposisi gizi per 100 gram labu siam Komposisi gizi Kadar Energi (kkal) 17 Protein (g) 0,82 Lemak (g) 0,13 Karbohidrat (g) 3,9 Serat (g) 1,7 Gula (g) 1,85 Kalsium (mg) 17 Besi (mg) 0,34 Magnesium (mg) 12 Fosfor (mg) 18 Kalium (mg) 125 Natrium (mg) 2 Seng (mg) 0,74 Tembaga (mg) 0,12 Mangan (mg) 0,19 Selenium (mg) 0,2 Vitamin C 7,7 Tiamin (mg) 0,03 Riboflavin (mg) 0,03 Niacin (mg) 0,47 Vitamin B6 (mg) 0,08 Folat (mkg) 93 Vitamin E (mkg) 0,12 Vitamin K (mkg) 4,6 Sumber: Anonim 2, 2012. Serat pangan mampu mengurangi waktu tinggal makanan sejak dari rongga mulut hingga sisa makanan dikeluarkan dalam bentuk feses. Selama tinggal di saluran pencernaan, serat pangan akan mengikat zat-zat karsinogenik. Berkat singkatnya transit time sisa makanan di saluran pencernaan, waktu zat 24

karsinogenik bermukim dalam tubuh juga makin pendek, sehingga peluang terjadinya kanker menjadi sangat kecil (Anonim 2, 2012). 2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan 2.2.1 Alkaloida Alkaloida merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloida mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga banyak yang diantaranya digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Ada tiga pereaksi yang sering digunakan dalam skrining fitokimia untuk mendeteksi alkaloida sebagai pereaksi pengendapan yaitu pereaksi Mayer, pereaksi Bouchardat, dan pereaksi Dragendorff (Farnsworth, 1966). Kegunaan alkaloida pada tanaman (Anonim 4, 2011): 1. Sebagai racun untuk melindungi tanaman dari serangga dan binatang pemakan serangga 2. Sebagai hasil akhir dari reaksi detoksifikasi yang merupakan hasil metabolit akhir dari komponen-komponen yang membahayakan bagi bagi tanaman 3. Sebagai faktor pertumbuhan tanaman 4. Sebagai zat cadangan makanan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen atau unsur lain yang dibutuhkan tanaman. 25

2.2.2 Flavonoida Golongan flavonoida dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 -C 3- C 6, artinya kerangka karbonya terdiri atas dua gugus C 6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995). Gambar 2.1 Kerangka dasar flavonoid Flavonoida mencangkup banyak pigmen yang banyak terdapat pada tumbuhan mulai dari jamur sampai angiospermae. Pada tumbuhan tinggi, flavonoida terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Fungsi flavonoida pada tumbuhan adalah dapat menarik burung dan serangga yang membantu proses penyerbukan, pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus (Robinson, 1995). Sedangkan fungsi flavonoid pada manusia dalam dosis kecil adalah flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, hisperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler, flavon terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2007). 2.2.3 Saponin Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa latin sapo berarti sabun). Saponin tersebar luas diantara tumbuhan tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk hewan berdarah 26

dingin, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun (Robinson, 1995; Gunawan, et al., 2004). Saponin dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan struktur kimia dari aglikonnya (Sirait, 2007): 1. Saponin netral dengan inti steroid 2. Saponin asam dengan struktur triterpenoid 2.2.4 Tanin Tanin merupakan salah satu senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol yang terdapat dalam tumbuhan, mempunyai rasa sepat dan memiliki kemampuan menyamak kulit. Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu (Harborne, 1987). Salah satu fungsi tanin dalam tumbuhan adalah sebagai penolak herbivora karena rasanya yang pahit (Harborne, 1987). Sifat-sifat tanin (Anonim 3, 2011): 1. Dalam air membentuk larutan koloidal yang bereaksi asam dan sepat 2. Mengendapkan larutan gelatin dan larutan alkaloid 3. Tidak dapat mengkristal 4. Larutan alkali mampu mengoksidasi oksigen 5. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik. Tanin dapat dibagi menjadi 2 kelompok (Anonim 3, 2011): 1. Tanin terkondensasi (tanin katekol) berwarna hijau dengan FeCl 3 dan mempunyai dua gugus fenol 27

2. Tanin terhidrolisis (pirogalol) berwarna biru dengan FeCl 3 dan mempunyai tiga gugus fenol. 2.2.5 Glikosida Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007). Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi (Sirait, 2007): a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O b. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin c. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin, krotonosidin d. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C. Contoh: aloin, viteksin. 2.2.6 Glikosida antrakuinon Golongan kuinon alam terbesar adalah antrakuinon. Beberapa antrakuinon merupakan zat warna penting dan sebagai pencahar. Khasiat dari antrakuinon sebagai pencahar pada prinsipnya antrakuinon harus memiliki paling sedikit 2 gugusan hidroksil fenolis pada atom C no.1 dan no.8 atau C no.3. 28

Keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini adalah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae, Caesalpiniaceae dan Liliaceae. Antrakuinon biasanya berupa senyawa kristal bertitik leleh tinggi, aglikonnya larut dalam pelarut organik, senyawa ini berwarna merah, kuning atau coklat, dalam larutan basa membentuk warna violet merah (Robinson, 1995). 2.2.7 Steroid/triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Triterpenoid adalah senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, dapat dibagi atas 4 kelompok senyawa yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Uji kualitatif yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrida-h 2 SO 4 pekat) yang kebanyakan triterpena dan steroida memberikan warna hijau biru (Harborne, 1987). Steroida adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenanten (Harborne, 1987). Dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.2. Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya 29

Dahulu steroida dianggap sebagai senyawa yang hanya terdapat pada hewan tetapi sekarang ini makin banyak senyawa steroida yang ditemukan dalam tumbuhan (fitosterol). Fitosterol merupakan senyawa steroida yang berasal dari tumbuhan. Senyawa fitosterol yang biasa terdapat pada tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol dan kampesterol (Harborne, 1987). 2.3 Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: Cara dingin a. Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan perendaman menggunakan pelarut yang sesuai dengan sesekali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes, 2000). Hasilnya disebut maserat, maserat diuapkan pelarutnya sebagian atau seluruhnya menjadi ekstrak. b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) (Depkes, 2000). Hasil disebut perkolat, perkolat diuapkan pelarutnya sebagian atau seluruhnya sehingga diperoleh ekstrak. 30

Cara panas a. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes, 2000). b. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000). c. Digestasi Digestasi adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 (Depkes, 2000). d. Infustasi Infustasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90 selama 15 menit (Depkes, 1979). e. Dekoktasi Dekoktasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, 2000). 31

2.4 Kromatografi Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair) (Depkes, 1995). Fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Karena fase gerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985): 1. Fase gerak zat cair fase diam padat: - Kromatografi lapis tipis - Kromatografi penukar ion 2. Fase gerak gas fase diam padat: - Kromatografi gas padat 3. Fase gerak zat cair fase diam zat cair: - Kromatografi cair kinerja tinggi 4. Fase gerak gas fase diam zat cair: - Kromatografi gas cair - Kromatografi kolom kapiler Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987). 2.4.1 Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga 32

berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985). Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985). a. Fase diam (lapisan penjerap) Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa (Gritter, et al., 1991). Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel 33

yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985). b. Fase gerak (pelarut pengembang) Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksan, karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1991). c. Harga Rf Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai: Rf = Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak garis depan pelarut dari titik awal Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985): a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan 34

b. Sifat penjerap c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap d. Pelarut dan derajat kemurniannya e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana f. Teknik percobaan g. Jumlah cuplikan yang digunakan h. Suhu i. Kesetimbangan. 2.4.2 Kromatografi cair vakum Cara ini pertama kali dipublikasikan oleh Coll dkk., pada tahun 1977 dengan menggunakan corong Buchner kaca masir atau kolom pendek untuk mengisolasi diterpena sembrenoida dari terumbu karang Australia. Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dihisap sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettmann, et al., 1995). Sampel dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian atas kolom atau pada lapisan penjerap dan dihisap perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dari pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolarannya ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi, oleh karena itu kromatografi cair vakum menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran fase gerak (Hostettmann, et al., 1995). 35

2.4.3 Kromatografi kolom Kromatografi cair yang dilakukan di dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1 g), kadang-kadang cara ini disebut kromatografi cair preparatif (KCP = PLC). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penjerap yang berada pada tabung kaca, tabung logam, atau tabung plastik. Pelarut (fase gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom, karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa bergerak melalui melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas kolom (Sastrohamidjojo, 1985). 2.4.4 Kromatografi lapis tipis preparatif Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20x20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel (Hostettmann, et al., 1995). Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pelarut yang baik untuk melarutkan cuplikan adalah pelarut yang atsiri. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap 36

jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann, et al., 1995). Kebanyakan penjerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Untuk mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan cara menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi dengan penyemprot (Hostettmann, et al., 1995). Pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak maka senyawa yang tidak berwarna dengan penjerap dikerok dari plat kaca. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter, et al., 1991). 2.4.5 Kromatografi lapis tipis dua arah (two-dimensional TLC) KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama, selain itu dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama (Rohman, 2009). KLT dua arah dilakukan dengan melakukan penotolan sampel disalah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya sebagaimana biasa dengan eluen pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber yang menggunakan eluen kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama. Suksesnya pemisahan 37

tergantung pada kemampuan untuk memodifikasi selektifitas eluen kedua dibandingkan dengan selektifitas eluen pertama (Rohman, 2009). 2.5 Spektrofotometri Spektrofotometri adalah metode pengukuran dimana sumber energinya berupa sinar/cahaya dan sistem detektornya menggunakan sel fotolistrik (Noerdin, 1985). 2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitansi atau adsorbansi) (Sastrohamidjojo, 1985). Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan tingkat energi elektron-elektron ikatan pada orbital molekul paling luar dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi (Noerdin, 1985). Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri sinar UV adalah etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol absolut komersial harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan ialah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter (Harborne, 1987). 2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah Sinar inframerah bila dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik maka sejumlah frekuensi akan diserap sedangkan frekuensi yang lain diteruskan tanpa 38

diserap. Daerah inframerah terletak antara spektrum elektromagnetik cahaya tampak dan spektrum radio, yakni antara 4000-400 cm -1 (Noerdin, 1985). Daerah pada spektrum inframerah di atas bilangan gelombang 1200 cm -1 menunjukkan pita spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang ditelaah. Daerah di bawah 1200 cm -1 menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam secara subjektif pada skala sederhana (Noerdin, 1985). Kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak gugus fungsi dapat diidentifikasi dengan menggunakan frekuensi getaran khasnya mengakibatkan spektrofotometri inframerah merupakan cara paling sederhana dan paling terandalkan dalam menentukan golongan senyawa yang terkandung dalam sebuah molekul (Harborne, 1987). 39