JTM Vol. XVI No. 3/2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel V.1 Batasan Kadar Zona Endapan Nikel Laterit. % berat Ni % berat Fe % berat Mg. Max Min Max Min Max Min

Bab II Tinjauan Umum

SURVEI GEOLISTRIK METODE RESISTIVITAS UNTUK INTERPRETASI KEDALAMAN LAPISAN BEDROCK DI PULAU PAKAL, HALMAHERA TIMUR

BAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit

BAB III BASIS DAN EVALUASI DATA

MOHAMAD ISHLAHUL AZIZ

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA

IDENTIFIKASI SEBAAN NIKEL LATERIT DAN VOLUME BIJIH NIKEL DAERAH ANOA MENGGUNAKAN KORELASI DATA BOR

BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN...

Bab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah

PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA. Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

EKSPLORASI AWAL NIKEL LATERIT DI DESA LAMONTOLI DAN LALEMO, KECAMATAN BUNGKU SELATAN, KABUPATEN MOROWALI, PROPINSI SULAWESI TENGAH

PEMODELAN KADAR NIKEL LATERIT DAERAH PULAU OBI DENGAN PENDEKATAN METODA ESTIMASI ORDINARI KRIGING

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Penyusunan Basis Data Assay

UNIVERSITAS DIPONEGORO

GEOLOGI DAN STUDI PENGARUH BATUAN DASAR TERHADAP DEPOSIT NIKEL LATERIT DAERAH TARINGGO KECAMATAN POMALAA, KABUPATEN KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT

BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO

PENENTUAN BESAR BOULDER UNTUK MENCAPAI NILAI CUT-OFF GRADE PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI TANJUNG BULI, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA

PEMODELAN DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT DAERAH X MENGGUNAKAN SOFTWARE DATAMINE STUDIO 3 PADA PT. VALE INDONESIA LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB IV PENYUSUNAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENENTUAN BESAR BOULDER YANG EKONOMIS PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI MORONOPO, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

PROVINSI MALUKU UTARA

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

Integrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

ANALISIS PELAPUKAN SERPENTIN DAN ENDAPAN NIKEL LATERIT DAERAH PALLANGGA KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB V SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

BAB I PENDAHULUAN. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik

PEMETAAN GEOLOGI NIKEL LATERIT DAERAH SP UNIT 25 DAN SEKITARNYA KECAMATAN TOILI BARAT, KABUPATEN BANGGAI, PROPINSI SULAWESI TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

SARI ABSTRACT PENDAHULUAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

KARAKTERISTIK ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA BLOK X PT. BINTANGDELAPAN MINERAL KECAMATAN BAHODOPI KABUPATEN MOROWALI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Abstrak

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VI SEJARAH GEOLOGI

INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Transkripsi:

JTM Vol. XVI No. 3/2009 HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DAN MORFOLOGI DALAM DISTRIBUSI KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA ENDAPAN NIKEL LATERIT : STUDI KASUS ENDAPAN NIKEL LATERIT DI PULAU GEE DAN PULAU PAKAL, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA Syafrizal 1, M. Nur Heriawan 1, Sudarto Notosiswoyo 1, Komang Anggayana 1, Jogi F. Samosir 2 Sari Endapan nikel laterit merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan ultramafik pembawa Ni-Silikat, dan umumnya terdapat pada daerah dengan iklim tropis sampai dengan subtropis. Proses pembentukan endapan nikel laterit dikendalikan oleh beberapa faktor, antara lain jenis batuan dasar, iklim, topografi, airtanah, stabilitas mineral, mobilitas unsur, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkat kelarutan mineral. Untuk dapat memberikan kontribusi yang lebih berarti dalam kegiatan eksplorasi maka dilakukan pemodelan dari data eksplorasi pada Pulau Gee dan Pulau Pakal, Halmahera Timur, sehingga diperoleh suatu hipotesa tentang kondisi yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit. Pada studi ini digunakan data hasil pemboran Pulau Gee dan Pulau Pakal. Dari sisi geomorfologi dan geologi struktur terlihat bahwa pada daerah dengan kemiringan yang sangat landai, horizon yang akan terbentuk adalah top soil serta dijumpai perulangan profil. Pada daerah dengan kondisi topografi yang sangat terjal, sedikit sekali ditemukan keberadaan laterit yang disebabkan oleh intensifnya pengikisan profil laterit oleh erosi air. Morfologi daerah yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit adalah daerah dengan kondisi kemiringan topografi antara 35% sampai 52%. Kata Kunci : nikel laterit, morfologi, kemiringan topografi, profil laterit. Abstract Laterite nickel deposit is the product of advance weathering of Ni-silicate bearing ultramafic rocks, where in general deposited within the tropical to sub-tropical area. The process on laterite nickel deposition involved some factors, i.e. type of bedrock, climate, topographic, groundwater, mineral stability, element mobility, and the environmental condition which influenced the rate of mineral solubility. In order to give more significant contribution to the exploration activity, then a hypothesis about the most ideal condition of the deposition place of nickel laterite is discussed, with the case study for nickel laterite deposit at Pakal and Gee Islands, East Halmahera. The result on exploration drilling from both locations is used for this study. The aspects on geomorphology and structural geology showed that at the particularly flat area, the produced horizon was top soil followed by profile recurrence. At the area with extremely steep slope, the laterite layer did not exist due to intensive water erosion. The most ideal morphology for the depositional of nickel laterite was the area with topographical slope about 35% to 52%. Keywords: laterite nickel, morphology, topographic slope, laterite profile. 1) 2) Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi (KK-ESDB), FTTM ITB E_mail : syafrizal@mining.itb.ac.id Program Studi Teknik Pertambangan, FTTM ITB I. PENDAHULUAN Endapan nikel laterit merupakan produk dari proses pelapukan lanjut pada batuan ultramafik pembawa Ni-Silikat, umumnya terdapat pada daerah dengan iklim tropis sampai dengan subtropis. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara utama penghasil bahan galian di dunia, termasuk nikel. Berdasarkan karakteristik geologi dan tatanan tektoniknya, beberapa lokasi endapan nikel laterit yang potensial di Indonesia umumnya tersebar di wilayah Indonesia bagian timur, antara lain : Pomalaa (Sulawesi Tenggara), Sorowako (Sulawesi Selatan), Gebe (Halmahera), Tanjung Buli (Halmahera), dan Tapunopaka (Sulawesi Tenggara). Sedangkan beberapa lokasi yang diperkirakan juga memiliki potensi endapan nikel laterit dan hingga saat ini sedang dilaksanakan kegiatan eksplorasi terdapat di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Halmahera, antara lain Pulau Obi, Pulau Gee, dan Pulau Pakal. Penelitian ini dilakukan berdasarkan data-data eksplorasi dan data-data pengamatan lapangan yang diperoleh dari Pulau Gee dan Pulau Pakal, Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara (Gambar 1). Daerah penelitian ini merupakan bagian dari Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi PT. Aneka Tambang. Tbk. Pada saat ini, aktivitas penambangan di Pulau Gee masih terus berlangsung, dimana kegiatan eksplorasi telah selesai dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Sementara itu, 149

Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir kegiatan eksplorasi di Pulau Pakal masih terus dilaksanakan secara intensif dengan aktivitas. utama berupa pemboran eksplorasi dengan spasi 25 x 25 meter. Fokus utama dalam penelitian ini adalah identifikasi keberadaan profil umum (zona) endapan laterit, yaitu zona top soil, zona limonit, zona low saprolit ore zone (LSOZ), zona high saprolit ore zone (HSOZ) dan zona bedrock. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui pola hubungan antar parameter utama yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel laterit khususnya morfologi (pola topografi), struktur lokal (dalam hal ini rekahan), iklim, vegetasi dan yang tidak kalah pentingnya adalah pola hubungan kadar. Masing-masing parameter tersebut diperkirakan berkaitan erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga dengan mempelajari pola hubungan antar elemen ini diharapkan dapat diketahui kontrol utama pembentukan nikel laterit sehingga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan eksplorasi. II. KONDISI GEOLOGI Sebagian Halmahera Timur merupakan batuan ultrabasa yang merupakan batuan asal (bed rock) yang kemudian mengalami pelapukan dan terakumulasi menjadi endapan nikel laterit. Komplek batuan ultrabasa ini terdiri dari serpentinit, piroksen, dan dunit (Apandi & Sudana, 1980). Mendala geologi Halmahera Timur terutama dibentuk oleh satuan batuan ultrabasa (Ub). Batuan sedimen berumur Kapur (Kd) dan Paleosen-Eosen (Tped, Tpec, dan Tpel) diendapkan tidak selaras di atas batuan ultrabasa. Sejak Eosen Akhir hingga Oligosen Awal terjadi aktivitas gunung api dan membentuk material-material vulkanik sebagai Formasi Bacan (Tomb). Bersamaan dengan itu terbentuk batugamping Formasi Tutuli (Tomt). Setelah itu terbentuk cekungan yang luas yang berkembang sejak Miosen Atas sampai Pliosen. Di dalam cekungan tersebut, diendapkan batupasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat sebagai Formasi Weda (Tmpw), batuan konglomerat (Tmpc), dan batugamping Formasi Tingteng (Tmpt). Pada bagian barat Halmahera, terendapkan batuan gunungapi Oligo-Miosen Formasi Bacan (Tomb). Batuan sedimen dan karbonat berumur Miosen-Pliosen tersebar luas, dimana kebanyakan batuan sedimen tersebut bersifat tufaan. Selain itu, pada bagian utaranya ditemukan batuan gunungapi Kuarter (Qpk dan Qht). Menurut Apandi & Suandi (1980), struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin terlihat pada Formasi Weda (Tmpw) yang berumur Miosen Tengah-Pliosen Awal. Struktur sesar yang terdiri dari sesar normal dan sesar naik, umumnya berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara. Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan Tersier Awal, ditandai dengan adanya komponen batulempung yang berumur Kapur, serta batuan ultrabasa di dalam konglomerat yang membentuk Formasi Dorosagu (Tped). III. PENENTUAN HORIZON LATERIT Pada penelitian ini, penentuan zona laterit pada endapan nikel laterit didasarkan atas komposisi kadar Ni dan Fe dengan asumsi sebagai berikut: top soil (kadar Ni < 1% dan Fe < 30%), zona limonit (kadar 1,0% < Ni < 1,4% dan Fe > 40%), low saprolit ore zone (LSOZ, kadar 1,4% < Ni < 1,8% dan Fe < 40%) serta high saprolit ore zone (HSOZ, kadar Ni > 1,8% dan Fe < 30%). Basis data yang digunakan dalam studi ini adalah data-data pemboran eksplorasi yang telah diverifikasi dan diolah dengan menggunakan teknik komposit. Distribusi data kadar Ni dan Fe pada masing-masing lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 2, 3, 4, dan 5. Histogram kadar Ni terhadap semua data assay memperlihatkan distribusi data kadar pada Pulau Gee dan Pulau Pakal yang mengumpul pada kadar kecil dari 4% Ni. Histogram kadar Fe secara umum terlihat adanya 2 populasi, yaitu populasi kadar Fe rendah dan populasi kadar Fe tinggi. Populasi Fe kadar tinggi diinterpretasikan merupakan zona limonit yang didominasi oleh mineralmineral yang kaya akan Fe, misalnya goethite, hematite, dan magnetit. Berdasarkan karakteristik endapan nikel laterit tipe Mgsilicate, kadar Fe akan semakin berkurang pada zona saprolit. Pembuatan komposit kadar dilakukan terhadap data awal yang berupa data individual dengan interval 1 meter, yang kemudian dilakukan konstruksi zona-zona laterit berdasarkan optimasi komposit data secara sistematik. Ketebalan zona top soil di Pulau Pakal mencapai hingga lebih dari 30 m dan terdistribusi baik hingga ketebalan top soil mencapai 17 m. Zona top soil di Pulau Pakal lebih tebal daripada zona top soil di Pulau Gee yang hanya mencapai ketebalan maksimum 9 m. 150

Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit pada Endapan Nikel Laterit Sedangkan pada zona limonit, zona LSOZ dan zona HSOZ secara umum kedua pulau memiliki distribusi ketebalan yang mirip. Pada zona limonit dan LSOZ tebalnya berkisar antara 1 m hingga 10 m dengan data mengelompok pada ketebalan rendah. Sedangkan zona HSOZ data terdistribusi secara merata hingga ketebalan 20 m untuk Pulau Gee dan 25 m untuk Pulau Pakal. Distribusi kadar Ni pada zona top soil menjadi sangat rendah akibat mengalami mobilisasi dan berpindah pada zona dibawahnya. Distribusi kadar Ni pada zona bedrock terkumpul pada kadar 0,6% - 1% untuk Pulau Gee dan 0,4% - 1% untuk Pulau Pakal. Sedangkan populasi kadar Ni yang tinggi (Ni > 1%) terjadi akibat batas antara zona saprolit dengan zona bedrock yang eratik dan perubahannya terjadi secara gradual. Distribusi kadar Fe pada masingmasing zona akan mengalami pergeseran dimana pada zona top soil kadar Fe akan lebih tinggi dari pada kadar Fe di zona limonit dan demikian seterusnya hingga pada zona bedrock akan memiliki kadar Fe paling rendah dibandingkan dengan zona lainnya. IV. PROFIL HORIZON LATERIT Profil nikel laterit Pulau Pakal memiliki tebal zona top soil hampir 3 kali lipat ketebalan zona top soil Pulau Gee, dan bedrock Pulau Pakal juga lebih dalam dibandingkan dengan di Pulau Gee, hal ini disebabkan tingkat pelapukan yang lebih tinggi di Pulau Pakal. Profil nikel laterit ini dapat dilihat pada Gambar 6. Selain itu kadar Fe pada endapan nikel laterit di Pulau Gee lebih tingggi daripada kandungan Fe di Pulau Pakal. Model kadar nikel laterit untuk Pulau Gee memperlihatkan bahwa Fe lebih banyak terakumulasi pada lapisan limonit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena zona top soil yang tipis sehingga iron cap terletak di daerah perbatasan zona top soil dengan limonit. Pada zona limonit ini terakumulasi mineral-mineral yang kaya akan Fe, misalnya magnetit, goethite, dan hematite, sehingga secara kuantitatif menyebabkan zona limonit menjadi kaya akan Fe. Model distribusi kadar pada masing-masing horizon laterit ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8. V. HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DENGAN PROFIL HORIZON LATERIT Pada kondisi kemiringan topografi berbeda akan terbentuk ketebalan endapan yang berbeda-beda. Perilaku ini disebabkan oleh kondisi lingkungan pembentukan yang berbeda akibat perbedaan kemiringan topografi. Hubungan persen lereng dengan ketebalan zona endapan laterit memperlihatkan bahwa ketebalan zona limonit akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan topografi. Hal ini dikarenakan oleh aktivitas utama yang terjadi pada daerah dengan kemiringan topografi terjal adalah pengikisan (erosi) sehingga unsur-unsur penyusun limonit tidak akan terakumulasi melainkan tererosi sehingga zona limonit tidak akan terbentuk. Kondisi yang sama terjadi pada LSOZ dan HSOZ dimana ketebalan zona ini akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan topografi. Pembentukan masing-masing zona pada endapan nikel laterit berada pada daerah dengan kemiringan lereng yang moderat. Histogram persen lereng (Gambar 9 dan Gambar 10) memperlihatkan bahwa pada daerah dengan kemiringan lereng yang sangat landai (0% - 35%) besar kemungkinan tidak akan terbentuk zona yang umum terdapat pada endapan nikel laterit, walau tidak menutup kemungkinan terbentuknya horizon ini. Artinya pada daerah dengan kemiringan lereng yang berkisar antara 0% sampai 35% dapat terbentuk masing-masing zona namun dapat pula tidak ditemukan adanya zona-zona umum yang berada pada endapan nikel laterit. Sementara untuk daerah dengan kemiringan yang berkisar antara 18% sampai 52% maka sangat besar kemungkinan terbentuknya zonazona yang terdapat pada endapan nikel laterit (Gambar 9 dan Gambar 10). Sehingga untuk dapat menentukan kemiringan topografi yang paling prospek sebagai tempat pembentukan endapan nikel maka dilakukan dengan cara mengiriskan batasan kemiringan dimana zona endapan nikel laterit tidak terbentuk dan kemiringan dimana zona endapan nikel laterit akan terbentuk. Hal ini dilakukan sebagai solusi yang diambil mengingat ditemukannya kenyataan bahwa pada kemiringan yang berkisar antara 0% sampai 35% dapat terbentuk endapan nikel laterit, namun dapat pula tidak ditemukan endapan nikel laterit. Sebagai hasil dari irisan ini maka didapatkan suatu kemiringan topografi sebagai tempat yang paling ideal untuk terbentuknya suatu endapan nikel laterit yakni pada kemiringan antara 35% sampai 52%. 151

Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir VI. KONDISI PEMBENTUKAN ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA TOPOGRAFI LANDAI Endapan nikel laterit akan terbentuk pada daerah yang pada permukaan tanahnya tidak mengalir air permukaan yang cukup kencang, karena bila hal ini terjadi maka besar kemungkinan bahwa air tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk dapat melakukan penetrasi kearah bawah. Penetrasi inilah yang menyebabkan unsur - unsur mobile akan terbawa bersama aliran air dan akhirnya akan terakumulsi pada suatu tempat yang cukup ideal. Namun bila aliran air permukaan cukup kecil, maka air permukaan yang dapat berasal dari air hujan akan memiliki waktu yang cukup banyak untuk dapat melakukan penetarasi ke arah bawah. Bersamaan dengan aktivitas penetrasi tersebut maka unsur - unsur mobile yang cukup penting sebagai unsur pembentuk endapan nikel laterit dapat terakumulsi pada suatu tempat yang cukup ideal. Namun dari hasil analisis lainnya diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada daerah dengan kemiringan lereng yang cukup kecil/landai maka endapan nikel laterit juga tidak terbentuk secara optimal. Pada kondisi topografi yang berkisar antara 0 % - 35 % endapan nikel laterit tidak dapat terbentuk. Penyebab utama yang sangat mempengaruhi adalah bagaimana kemampuan air untuk dapat melakukan penetrasi kebagian bawahnya. Komposisi tanah penutup (top soil) yang sebahagian besar didominasi oleh material berupa lempung mengindikasikan bahwa proses laterisasi berlangsung intensif pada kuantitas air yang cukup, sehingga menyebabkan terbentuk akumulasi lempung. Hal ini didukung oleh sebaran titik bor dengan ketebalan top soil yang beragam yang terdapat pada Pulau Pakal dan Pulau Gee. Dari sebaran titik bor ini didapatkan kenyataan bahwa titik bor yang mengandung top soil sebahagian besar tersebar pada daerah yang bertopografi landai sampai sedang di Pulau Gee dan Pulau Pakal (Gambar 10 dan 11). VII. PERULANGAN PROFIL LATERIT Pada kegiatan eksplorasi di lapangan seringkali ditemukan profil endapan nikel laterit yang tidak terbentuk secara ideal dan sempurna, artinya pada satu lubang bor tidak ditemukan profil yang berurut dari top soil sampai bed rock. Pada banyak lubang bor ditemukan suatu profil yang berulang, dimana berdasarkan aktivitas pembentukan yang terjadi maka tidak mungkin terbentuk profil yang berulang. Sebagai contoh: Pada bagian atas suatu log bor ditemukan profil limonit, selanjutnya pada bagian bawah terbentuk profil low saprolit ore zone. Namun setelah profil low saprolit ore zone ini ditemukan kembali profil yang berupa limonit. Berdasarkan proses pembentukannya maka kasus ini tidak mungkin terjadi, karena profil yang terbentuk pada endapan nikel laterit seharusnya berurut dari top soil sampai bedock. Sedangkan pada kenyataanya kondisi ideal seperti ini tidak selalu ditemukan di lapangan. Besar kemungkinan bahwa daerah yang dibor ini merupakan endapan hasil transportasi dari berbagai tempat. Setelah endapan limonit diendapkan selanjutnya dari daerah lain diendapkan pula low saprolit ore zone. Namun setelah endapan low saprolit ore zone ini diendapkan, limonit yang merupakan hasil transportasi dari daerah lain kembali diendapkan. Hal inilah yang sering membuat terjadinya kerancuan deskripsi profil pada endapan nikel laterit dan kasus ini dapat terjadi pada semua profil/ zona yang terdapat pada endapan nikel laterit. Bila dilihat dari sebaran titik bor dimana terbentuk perulangan profil maka sebagian besar sebarannya akan terakumulasi pada daerah dengan topografi landai di Pulau Gee dan Pulau Pakal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13. Hal ini disebabkan pada daerah landai terakumulasi semua jenis horizon yang berasal dari daerah lain melalui proses transportasi. Walaupun berada pada elevasi yang cukup tinggi namun daerah tersebut merupakan daerah dengan kondisi kemiringan topografi yang sangat landai. Kondisi ini akan berlaku sama baik pada Pulau Gee maupun pada Pulau Pakal, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa lubang bor yang menunjukkan perulangan akan terletak pada daerah dengan kondisi topografi yang sangat landai dan horizon yang terbentuk bukan merupakan endapan insitu melainkan hasil akumulasi dan sedimentasi pada saat proses pembentukannya. VIII. IDENTIFIKASI KONTROL STRUKTUR Pada beberapa lubang bor ditemukan kadar Ni yang relatif sangat tinggi dibandingkan dengan kadar Ni yang ada pada lubang bor di sekitarnya. Keberadaan kadar Ni yang relatif sangat tinggi ini diperkirakan akibat intensitas keberadaan mineral garnierit. 152

Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit pada Endapan Nikel Laterit Rekahan yang terdapat pada Pulau Gee menunjukkan suatu pola kelurusan. Pada zona rekahan kadar Ni yang terkandung sangat besar karena pada zona ini banyak terdapat garnierit yang memiliki kandungan Ni yang sangat besar. Rekahan yang terdapat pada Pulau Pakal lebih banyak dibandingkan pada Pulau Gee. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan kadar Ni yang cukup tinggi akan lebih banyak tersebar pada Pulau Pakal. Seperti telah diketahui bahwa batuan beku memiliki porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air akan sangat sulit. Oleh karena itu dengan hadirnya rekahan-rekahan akan lebih memudahkan masuknya air dan mengakibatkan proses pelapukan akan lebih intensif. Selain itu struktur yang ada (terutama rekahan) akan menjadi tempat terakumulasinya unsur-unsur Ni sehingga akan mengakibatkan terbentuknya mineral-mineral garnierit. Unsur-unsur Ni yang mengalami pencucian (leaching) akan bergerak dari atas menuju arah bawah sampai pada suatu kondisi yang paling ideal dimana unsur-unsur Ni yang tertransport tadi akan terakumulasi membentuk mineral garnierit [(Ni,Mg) 6 Si 4 O 10 (OH) 6 ]. Selain garnierit, pada rekahan juga akan terbentuk banyak mineral krisopras. Unsur-unsur Si yang mengalami sedikit pencucian dari atas kebawah akan terendapkan berupa Si dengan ukuran yang sangat halus dan membentuk mineral krisopras. Unsur-unsur Si yang mengalami pelarutan akan kembali terakumulasi pada rekahan berupa material pengisi (filling material) dan selanjutnya membentuk krisopras. Secara umum, bila pada suatu daerah ditemukan mineral dengan kadar unsur Ni yang sangat tinggi maka kemungkinan besar mineral tersebut adalah garnierit, karena kandungan unsur Ni yang terdapat pada mineral garnierit bisa mencapai 10%. Sementara mineral-mineral pembawa unsur Ni yang berupa hasil leaching dari mineralmineral serpentin dan peridotit tidak akan memiliki kandungan unsur Ni yang sangat besar seperti yang terdapat pada garnierit. Dengan kata lain kehadiran mineral garnierit akan membuat rentang kadar Ni yang terdapat pada daerah penelitian akan semakin besar, sehingga bila rekahan ini terdapat pada suatu lubang bor maka akan mengakibatkan data yang muncul/diperoleh akan menjadi sangat eratik. IX. KESIMPULAN Semakin besar persen lereng (kemiringan) suatu daerah maka ketebalan endapan yang terbentuk akan semakin tipis, sebaliknya bila besar persen lereng suatu daerah lebih kecil (landai) maka ketebalan endapan yang terbentuk akan semakin besar (tebal). Sementara kondisi kemiringan lereng yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit berada pada daerah dengan kemiringan lereng yang sedang, artinya tidak terlalu landai dan juga tidak terlalu terjal (antara 35% - 52%). Semakin banyak jumlah kekar (baik kecil maupun besar) maka sebaran kadar dan ketebalan endapan yang terbentuk pada daerah tersebut akan semakin besar, karena pada daerah kekar maka mineral-mineral garnierit yang memiliki unsur Ni yang sangat tinggi akan banyak terendapkan. Profil berulang yang banyak ditemukan pada daerah penelitian merupakan lokasi dimana terjadi pengendapan secara silih berganti oleh profil laterit yang sebelumnya sudah terbentuk pada tempat lain, sehingga sering muncul urutan yang berulang (tidak sesuai dengan proses pembentukan endapan nikel laterit yang terjadi pada umumnya). Perbedaan ketebalan yang paling terlihat antara masing-masing horizon adalah top soil, dimana perbedaan ketebalan top soil antara Pulau Pakal dan top soil Pulau Gee menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Sementara horizon lainnya tidak memiliki perbedaan ketebalan yang cukup signifikan (kurang dari satu meter). Hal ini juga dapat merefleksikan intensitas pelapukan yang lebih intensif dan didukung oleh keberadaan kelurusan-kelurusan anomali kadar Ni yang tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) atas dukungan dana untuk pelaksanaan kegiatan Riset KK No.: 044/K01.08/SPK/2008 ini. Juga penghargaan kami sampaikan kepada Unit Geomin PT. Aneka Tambang, Tbk. atas dukungan yang diberikan selama anggota tim peneliti melaksanaan kegiatan lapangan serta izin yang diberikan kepada kami untuk menggunakan salah satu wilayah eksplorasi sebagai daerah studi dalam Riset KK ini. Juga terimakasih kami sampaikan kepada seluruh pihak-pihak lain yang telah memungkinkan terlaksananya aktivitas penelitian ini dengan lancar. DAFTAR PUSTAKA 1. Apandi, T. dan Sudana, D., 1980. Peta Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. 2. Ashock, 2004. The Past and Future of Nickel Laterites, PDAC International Convention. 153

Syafrizal,, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir 3. 4. 5. Freyssinet, Ph.,., Butt, C.R.M., Morris, R.C. and Piantone, P., 2005. Ore Forming Processes Related to Lateritic Weathering, Economic Geology 100th Anniversary Volume. Gleeson,, S.A., Butt, C.R.M. and Elias, M., 2003. Nickel Laterites: A Review, Society Economic Geologist (SEG) Newletter Number 54. Golightly, J.P., 1981. Nickeliferous N Laterite Deposits, Economic Geology 75th Anniversary Volume. 6. 7. 8. Guilbert, J.M. and Park, C.F.,., 1986. The Geology of Ore Deposit, W.H. Freeman and Company. Mackenzie, W.S. and Guilford, C., 1994. Atlas of Rock Forming Mineral in Thin Section, Longman Scientific and Technical. Heinrich, E.W., 1975. Microscopic Identification of Mineral, McGraw Hill Book Company. Gambar 1. Lokasi Penelitian Gambar 2.. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Gee. 154

Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit pada Endapan Nikel Laterit Gambar 3. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Pakal. Gambar 4. Distribusi kadar Fe pada keseluruhan data Pulau Gee. Gambar 5. Distribusi kadar Fe pada keseluruhan data Pulau Pakal. 155

Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir Gambar 6. Perbandingan profil laterit Pulau Gee (kiri) dan Pulau Pakal (kanan). Gambar 7. Model distribusi kadar Ni dan Fe pada masing-masing horizon laterit di Pulau Gee. 156

Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit pada Endapan Nikel Laterit Gambar 8. Model distribusi kadar Ni dan Fe pada masing-masing horizon laterit di Pulau Pakal. Gambar 9. Histogram yang memperlihatkan frekuensi kemunculan horizon High Saprolit (HSOZ) di Pulau Gee. 157

Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir Gambar 10. Histogram yang memperlihatkan frekuensi kemunculan horizon High Saprolit (HSOZ) di Pulau Pakal. Gambar 11. Distribusi titik bor dengan ketebalan horizon top soil > 2 di Pulau Gee. 158

Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit pada Endapan Nikel Laterit Gambar 12. Distribusi titik bor dengan ketebalan horizon top soil > 2 di Pulau Pakal. Gambar 13. Distribusi titik bor dengan indikasi perulangan profil laterit di Pulau Gee. 159

Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir Gambar 14. Distribusi titik bor dengan indikasi perulangan profil laterit di Pulau Gee. 160

Studi Distribusi Ukuran Butir Elektrum dan Asosiasi Mineralisasi Emas pada Urat Ciurug, Pongkor, Indoensia 161