BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil lokasi di Kabupaten Brebes dan Pemalang dengan data yang

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang tahun 2008

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB III METODE PENELITIAN. Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN dengan menggunakan data. Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN

BAB III METODE PENELITIAN. Buleleng (4) Kab. Gianyar (5) Kab. Jembrana (6) Kab. Karangasem (7) Kab. Klungkung (8) Kab. Tabanan (9) Kota Denpasar.

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kota Jambi. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah termasuk didalamnya sumber penerimaan asli pada penerimaan PAD

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

Rasio Kemandirian Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = x 100 Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini berencana menganalisis kontribusi sumber-sumber

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

SKRIPSI. Oleh : PURNOMO NIM: B

ANALISIS KEMANDIRIAN DAERAH SUBOSUKAWONOSRATEN DALAM PELAKSANAAN SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH ( TINJAUAN KEUANGAN DAERAH )*

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III. METODE PENELITIAN

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemetaan Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

BAB II KAJIAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. tentunya perlu mendapatkan perhatian serius baik dari pihak pemerintah pada

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini merupakan hasil pemekaran ketiga (2007) Kabupaten Gorontalo. Letak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah

Analisis derajat desentralisasi dan kemandirian PAD serta hubungannya dengan produktivitas belanja daerah di Kota Jambi

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

MUDA ANDIKA MEIZA

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diambil adalah Kabupaten/ Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KLATEN DILIHAT DARI PENDAPATAN DAERAH PADA APBD

Transkripsi:

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD dapat menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk melihat/mengetahui kemampuan keuangan daerah, baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi belanja. Tabel berikut merupakan gambaran pertumbuhan APBD Kota Bukittinggi tahun 2008-2014. Tabel 5.1 Pertumbuhan APBD Kota Bukittinggi tahun 2008-2014 (dalam jutaan rupiah) Tahun Pendapatan Daerah Belanja Daerah Surplus/Defisit Persentase Surplus (%) 2008 388,581 290,389 98,192 0.25 2009 454,846 346,691 108,155 0.24 2010 428,880 363,236 119,644 0.28 2011 493,589 484,873 8,716 0.02 2012 541,085 447,443 93,642 0.17 2013 527,475 504,11 23,365 0.04 2014 595,416 542,05 53,366 0.09 Sumber: Bukittinggi dalam Angka, data diolah Dari tabel diatas dapat kita lihat baik dari segi pendapatan daerah maupun dari belanja daerah, keduanya sama-sama mengalami fluktuasi. Pendapatan daerah Kota Bukittinggi pada tahun 2010 dan pada tahun 2013 mengalami penurunan sedangkan

belanja daerah pada tahun yang bersangkutan mengalami kenaikan dari pada tahun sebelumnya, sehingga menyebabkan angka surplusnya pun menurun. Surplus pada tahun 2011 adalah angka surplus terendah dibandingkan tahun sebelum maupun sesudahnya karena selisih angka antara pendapatan daerah dan belanja daerah yang kecil. 5.2 Kontribusi PAD terhadap APBD Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan cerminan dari potensi ekonomi daerah. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kemampuan suatu daerah adalah dengan melihat besarnya kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD. Tabel 5.2 Kontribusi PAD terhadap APBD Kota Bukittinggi Tahun PAD APBD Kontribusi PAD (%) 2008 33,829 388,581 8.70 2009 44,924 454,846 9.87 2010 33,847 428,880 7.89 2011 49,253 493,589 9.97 2012 45,077 541,085 8.33 2013 55,204 527,475 10.46 2014 61,604 595,416 10.34 rata rata 9.36 Sumber: Bukittinggi dalam Angka, data diolah Hasil perhitungan tabel tersebut memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2008-2014 kontribusi PAD terhadap APBD mengalami fluktuasi. Kontribusi PAD terhadap APBD yang terendah berada pada tahun 2010 yaitu hanya sebesar 7.89%. sedangkan kontribusi PAD terhadap APBD yang terbesar berada

pada tahun 2013 yaitu sebesar 10.46%. Jika dilihat secara rata-rata, kontribusi PAD terhadap APBD ini bernilai 9.36%. Hal tersebut mengindikasikan peranan yang masih sangat kecil dan Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi masih perlu mengoptimalkan lagi penggalian potensi-potensi daerahnya yang potensial bagi pemasukan PAD. 5.3 Derajat Desentralisasi Fiskal Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II dan III, penghitungan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) dapat dilakukan dengan menggunakan tiga (3) formula, yakni rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total Pendapatan Daerah (TPD), rasio Bagi Hasol Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) dengan TPD dan rasio Sumbangan dan Bantuan Daerah (SBD) dengan TPD. Jika hasil rasio antara PAD dengan TPD maupun BHPBP dengan TPD lebih dari 50% maka kemampuan keuangan daerah dapat dikatakan semakin baik/mandiri. Sebaliknya jika nilainya kurang dari 50% maka kemampuan keuangan daerah dikatakan belum mandiri. Sedangkan untuk rasio antara SBD dengan TPD, jika nilainya lebih dari 50% berarti tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat semakin tinggi. Tetapi jika kurang dari 50% maka tingkat ketergantungan finansial terhadap Pemerintah Pusat berkurang.

Tabel 5.3 Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Bukittinggi Tahun 2008-2014 DDF (%) Tahun PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD 2008 10.37 5.33 84.29 2009 12.66 5.34 79.50 2010 10.01 5.61 84.38 2011 11.34 4.20 84.45 2012 8.80 4.74 76.60 2013 10.46 3.44 86.09 2014 10.34 2.56 87.09 Rata-Rata 10.57 4.46 83.20 Sumber: Hasil Ringkasan Pengolahan Data Sekunder Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rasio PAD terhadap TPD selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hasil rasio PAD terhadap TPD tertinggi adalah di tahun 2009 dengan nilai sebesar 12.66%, dan yang terendah adalah di tahun 2012 dengan nilai sebesar 8.80%. Jika dilihat secara rata-rata, hasil rasionya adalah 10.57%. Dengan rendahnya nilai rasio PAD terhadap TPD ini dan berdasarkan reratanya dari tahun 2008-2014, menunjukkan bahwa kemampuan keuangan Kota Bukittinggi dapat dikatakan belum mandiri. Untuk rasio BHPBP terhadap TPD, sama seperti rasio PAD terhadap TPD yang telah disebutkan sebelumnya, nilai maksimalnya adalah pada tahun 2010 sebesar 5.61%. Sedangkan yang terendah adalah pada tahun 2014 sebesar 2.56%. Secara rerata dari tahun 2008-2014, hasil rasio BHPBP terhadap TPD adalah sebesar 4.46%. Dengan nilai yang masih kurang dari 50% maka dapat dikatakan kemampuan keuangan Kota Bukittinggi belum mandiri. Adapun hasil perhitungan DDF yang ketiga, yakni rasio antara SBD terhadap TPD, nilai tertingginya adalah 87.09% pada

tahun 2014 dan nilai terendah 76.60% pada tahun 2012. Sedangkan untuk rata-ratanya dari tahun 2008-2014 hasil rasio menunjukkan angka 83.20%. Karena nilainya yang berada diatas 50%, maka hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi terhadap Pemerintah Pusat masih sangat tinggi sehingga tingkat desentralisasi fiskalnya masih rendah, belum ada kemandirian. 5.4 Derajat Otonomi Fiskal Kemandirian keuangan daerah (Otonomi Fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah embayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Halim, 2004). Derajat Otonomi Fiskal Kota Bukittinggi dihitung dengan menggunakan rasio antara bagian PAD (pajak daerah + retribusi daerah) dengan total belanja daerah. Tabel 5.4 Derajat Otonomi Fiskal Kota Bukittinggi Tahun 2008-2014 Tahun DOF (%) 2008 6.38 2009 6.16 2010 12.54 2011 14.31 2012 14.51 2013 7.76 2014 8.36 rata-rata 10.00 Sumber: Hasil Ringkasan Pengolahan Data Sekunder

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa besarnya DOF Kota Bukittinggi tertinggi adalah pada tahun 2012 sebesar 14.51% dan yang terendah pada tahun 2009 dengan nilai 6.16%. Secara rerata, besarnya DOF Kota Bukittinggi adalah 10.00%. Hal ini berarti kecenderungan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat masih rendah. 5.5 Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need/KbF) Kebutuhan Fiskal menggambarkan seberapa besar kebutuhan per kapita penduduk jika jumlah seluruh pengeluaran dibagi secara adil kepada seluruh penduduk daerah tersebut. Kebutuhan Fiskal juga menunjukkan besarnya indeks pelayanan publik per kapita. Kebutuhan Fiskal Kota Bukittinggi dan Propinsi Sumatera Barat dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 5.5 Kebutuhan Fiskal (KbF) Se-Sumatera Barat dan Kota Bukittinggi Tahun 2008-2014 Tahun Kebut. Fiskal Standar Se- Sumbar (SKbF Sumbar) Kebut. Fiskal Kota Bkt (KbF Bkt) 2008 19.467,04 140,66 2009 18.067,99 177,98 2010 24.321,01 134,17 2011 22.889,54 187,60 2012 31.478,99 124,23 2013 34.401,68 123,91 2014 35.727,86 125,91 rata-rata 26.622,01 144,92 Sumber: Hasil Ringkasan Pengolahan Data Sekunder

Dari tabel terlihat bahwa dari tahun 2008-2014 rata-rata kebutuhan fiskal standar se-sumbar adalah sebesar Rp. 26.622,01. adapun kebutuhan fiskal Kota Bukittinggi sebesar 144,92. hal ini menunjukkan Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP) Kota Bukittinggi adalah sebesar 144,92 dan kebutuhan fiskal Kota Bukittinggi 145 kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan standar se-sumbar. Peningkatan Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP) Kota Bukittinggi lebih disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah pengaruh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari atau akibat terjadinya inflasi maupun perubahan pola hidup masyarakat perkotaan. Gejala-gejala diatas sekaligus berimplikasi terhadap terjadinya perubahan kebutuhan akan fiskal daerah yang cenderung meningkat. Semakin tinggi hasil Indeks Pengeluaran Aktual/kapita, maka akan mengakibatkan semakin besarnya kebutuhan fiskal suatu daerah. 5.6 Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity/KaF) Kapasitas Fiskal menunjukkan berapa besar usaha dari daerah yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi semua kebutuhannya, dalam hal ini adalah total pengeluaran daerah. Hasil dari indeks Kapasitas Fiskal menunjukkan seberapa besar hasil yang didapatkan oleh setiap penduduk dalam setiap daerah. Untuk menghitung Kapasitas Fiskal Provinsi Sumbar dan Kota Bukittinggi adalah dengan membandingkan nilai PDRB Provinsi Sumbar dan Kota Bukittinggi berdasarkan atas harga konstan tahun 2010 dengan jumlah penduduk provinsi Sumbar dan Kota Bukittinggi. Hasil

perhitungan Kapasitas Fiskal Kota Bukittinggi dan Propinsi Sumatera Barat pada tabel berikut: Tahun Tabel 5.6 Kapasitas Fiskal (KaF) Se-Sumatera Barat dan Kota Bukittinggi Tahun 2008-2014 Kpsts Fiskal Standar Se-Sumbar (SKbF Sumbar) Kpsts Fiskal Kota Bkt (KbF Bkt) 2008 1.049.481,56 28,81 2009 1.079.724,61 29,07 2010 1.140.365,83 28,35 2011 1.198.474,05 28,22 2012 1.260.388,88 28,21 2013 1.307.611,84 27,96 2014 1.366.486,47 27,89 rata-rata 1.200.361,89 28,35 Sumber: Hasil Ringkasan Pengolahan Data Sekunder Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata kapasitas fiskal standar se-sumbar dari tahun 2008-2014 adalah Rp. 1.200.361,89. Sedangkan kapasitas fiskal standar Kota Bukittinggi sebesar 28,35. Bila dibandingkan, Kota Bukittinggi memiliki kapasitas fiskal yang lebih kecil dibanding kebutuhan fiskalnya (28,35 : 144,92). Selisih kurang ini diharapkan dapat ditutup melalui mekanisme transfer dari pemerintah pusat, sehingga dengan demikian Kota Bukittinggi masih mempunyai ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. 5.7 Upaya/Posisi Fiskal (Tax Effort) Posisi Fiskal suatu daerah dihitung dengan mencari koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB dengan rata-rata pertumbuhan selama kurun waktu tertentu.

Tabel 5.7 Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Bukittinggi Tahun 2009-2014 Tahun Pertumbuhan (%) PAD PDRB ADHK PDRB ADHB 2009 32.81 5.51 10.69 2010 32.72 6.35 13.75 2011 45.51 6.12 12.03 2012 8.47 6.54 10.87 2013 22.46 6.29 14.96 2014 11.59 6.19 8.44 Rata-Rata 11.86 6.16 11.79 Sumber: Hasil Ringkasan Pengolahan Data Sekunder Berdasarkan tabel diatas dapat dihitung elastisitas PAD terhadap PDRB sehingga dapat diperoleh hasil sebagai berikut: Elastisitas PAD terhadap PDRB ADHK = = 1.92 Elastisitas PAD terhadap PDRB ADHB = = 1.005 Dari hasil perhitungan di atas diketahui bahwa dengan menggunakan PDRB ADHK, laju pertumbuhan PDRB berpengaruh terhadap peningkatan PAD meskipun hanya kecil, yaitu bila PDRB meningkat 1% maka PAD akan meningkat sebesar 1.92%. Sedangkan bila menggunakan PDRB ADHB, laju pertumbuhan PDRB juga hanya sedikit berpengaruh terhadap peningkatan PAD, yaitu apabila PDRB naik 1% maka PAD akan meningkat sebesar 1,005%.

5.8 Rasio Efektivitas PAD Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan PAD berdasarkan target yang telah ditetapkan sebelumnya, yang disesuaikan dengan potensi riil daerahnya. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dikategorikan efektif bila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100% (seratus persen). Semakin tinggi rasio efektivitas berarti menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang semakin baik pula. Tabel 5.8 Rasio Efektifitas PAD Kota Bukittinggi Tahun 2008 2014 Tahun Bagian PAD Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMD Lain" PAD 2008 113.62 94.88 104.17 164.78 2009 103.8 85.08 538.85 171.26 2010 86.76 97.5 103.17 54.97 2011 117.29 105.49 106.47 101.74 2012 96.8 84.49 89.03 93.6 2013 93.29 86.55 114.14 153.34 2014 101.22 87.96 100 132.77 Rata-Rata 101.83 91.71 165.12 124.64 Sumber: Hasil Ringkasan Pengolahan Data Sekunder Tabel di atas menunjukkan bahwa secara rerata dari tahun 2008-2014, bagian penyusun PAD Kota Bukittinggi yang dapat dikategorikan efektif adalah dari sumber pajak daerah, hasil laba usaha daerah, serta lainlain PAD yang sah. Dikategorikan efektif karena rasio antara realisasi dengan target yang ditetapkan bernilai lebih besar dari 100%. Adapun retribusi daerah belum dapat dikategorikan efektif karena rasio efektivitasnya hanya mencapai 91,71%.

5.9 Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola Hubungan Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian keuangan daerah dapat juga menggambarkan sampai seberapa besar tingkat ketergantungan finansial Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Kemandirian keuangan daerah Kota Bukittinggi dihitung dengan membandingkan penerimaan PAD terhadap penerimaan Bantuan dan Sumbangan Daerah. Mengenai pola hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ada 4 hubungan situasional yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah (Halim, 2004) yaitu: 1) Pola Hubungan Instruktif, dimana peranan Pemerintah Pusat lebih dominan daripada kemandirian Pemerintah Daerah (daerah yang tidak mampu melakasanakan otonomi daerah), 2) Pola Hubungan Konsultatif, dimana campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi, 3) Pola Hubungan Partisipatif, dimana peran Pemerintah Pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah. 4) Pola Hubungan Delegatif, dimana campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan otonomi daerah.

Tabel 5.17 Tingkat Kemandirian, Kemampuan Keuangan dan Pola Hubungan Kota Bukittinggi Selama Kurun Waktu 2008-2014 Tahun Rs. Kemandirian Kemampuan Keuangan Pola Hubungan 2008 12.30 Rendah Sekali Instruktif 2009 15.93 Rendah Sekali Instruktif 2010 11.85 Rendah Sekali Instruktif 2011 13.43 Rendah Sekali Instruktif 2012 11.5 Rendah Sekali Instruktif 2013 12.15 Rendah Sekali Instruktif Bertolak dari teori di atas, karena adanya potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda akan menyebabkan perbedaan dalam tingkat kemandirian daerah dan pola hubungan antar daerah terhadap Pemerintah Pusat. Menurut hasil perhitungan tingkat kemandirian daerah Kota Bukittinggi dari tahun 2008-2014 dapat dilihat pada tabel berikut: 2014 11.88 Rendah Sekali Instruktif Rata- Rata 12.72 Rendah Sekali Instruktif Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Dari tabel di atas terlihat bahwa kemandirian daerah Kota Bukittinggi dalam mencukupi kebutuhan pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat masih sangat rendah. Karena nilai rata-ratanya yang menunjukkan presentase di bawah 25%, ini berarti Kota Bukittinggi memiliki pola hubungan yang bersifat instruktif terhadap pemerintah pusat, dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan dibanding kemandirian pemerintah daerah.

5.10 Kemampuan Keuangan Daerah Dan Pertumbuhan Ekonomi Salah satu faktor yang dapat mendorong semakin tingginya kemampuan keuangan daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan PAD merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlunya prioritas kebijakan yang lebih tinggi terhadap upaya-upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari pada kebijakan yang lebih menekankan pada upaya peningkatan PAD secara langsung. Di Kota Bukittinggi sendiri, tidak ada hubungan yang terlalu signifikan antara kemampuan keuangan daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi Kota Bukittinggi yang relative stabil dan tidak terlalu berfluktuasi, sementara kemampuan dan kemandirian keuangan daerahnya sangat rendah atau bersifat Instruktif. Maka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berujung kepada kesejahteraan masyarakat, pemerintah daerah perlu untuk memprioritaskan kebijakan yang tepat sasaran untuk menggairahkan sektor rill, sehingga mendorong percepatan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan alokasi belanja daerah memainkan peranan penting untuk mewujudkan hal ini. Dalam konteks tidak langsung alokasi belanja tidak langsung daerah yang ditujukan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian diyakini lebih efektif meningkatkan kinerja keuangan daerah daripada belanja-belanja langsung pelayanan publik.

Pemerintah daerah diharapkan lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan public. Peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah