BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan ritual déwa yadña, sebuah ritual keagamaan Hindu yang dilandasi oleh kegiatan tanpa pamrih. Bingkai kegiatannya adalah ritual, tujuan utama kegiatannya ditentukan oleh fungsi dan makna. Ritual kuningan itu adalah pertunjukan rejang itu sendiri, yang merupakan hasil dari kegiatan déwa yadña. Bentuk tari yang dipersembahkan adalah bentuk-bentuk simbolis yang diikat oleh makna dan fungsi. Bentuk, fungsi, dan makna itu merupakan satu kesatuan ide, aktivitas, dan hasil karya masyarakat Abang yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Bentuk memiliki ciri-ciri yang merupakan satu kesatuan organik. Tidak ada satu-pun bagian bentuk yang boleh dihilangkan, karena akan mengurangi makna dan fungsi yang ada baik dalam aktivitas maupun dalam ide masyarakat. Gerak, pola lantai, syarat penari, bentuk busana, dan lain-lain mengandung makna tersendiri dan bentuk tari itu difungsikan sesuai tempat dan waktu yang sakral. 362
363 Bentuk, fungsi, dan makna rejang tidak dapat dipisahkan dari ritual kuningan. Tiga hal itu merupakan faktor penyebab mengapa rejang selalu disajikan pada ritual Kuningan. Sehubungan dengan itu maka kehadiran rejang kuningan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Abang. Ritual rejang harus dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari suci Kuningan. 5.2 Ciri-ciri Bentuk Pertunjukan Rejang Kuningan Ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang kuningan di Kecamatan Abang adalah keseluruhan penyajian bentuk rejang yang terkait dengan fungsi dan makna. Ciri-ciri itu melibatkan seluruh komponen yang saling mendukung yaitu gabungan dari ciri-ciri bentuk tari dan pendukung tari rejang. Bentuk tarinya memiliki ciri-ciri struktur gerak A-B, desain atas horisontal dan dalam, dinamika yang datar, tipe gerak murni, pola lantai melingkar dan segi empat, penari dan gamelan khusus, serta busana glamor di desanya. Bentuk tari itu di dukung oleh ciri-ciri mengenai tempat, waktu, dan suasana yang sakral. Bentuk pertunjukan ritual rejang merupakan satu kesatuan gaya daerah Abang yang dilandasi dengan konsep simbolis. Gaya yang khas itu memiliki nilai estetika tersendiri. Bentuk ritual itu mempengaruhi semangat kedaerahan
364 masyarakat untuk memelihara tradisi sehingga itu menjadi bagian integral kehidupan. Berdasarkan ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang kuningan di Kecamatan Abang dapat direfleksikan bahwa semua jenis tari ritual yang dapat digolongkan sebagai tari wali memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama tujuan kegiatan pementasan adalah persembahan kepada Tuhan, Déwa, leluhur, atau kepada sesuatu yang dianggap lebih berkuasa, misalnya kepada raja. Kedua, tari wali ditampilkan khusus pada tempat, waktu, dan proses ritual (bukan disajikan sebagai seni pertunjukan). Ketiga, setiap tari wali memiliki struktur gerak tertentu. Keempat, bentuk gerak, pola lantai, dan busana tari terikat makna dan fungsi. Kelima, tari wali dimainkan oleh penari yang terpilih biasanya ditentukan berdasarkan tingkat kesucian. Keenam, gending pengiring tari wali adalah khusus. 5.3 Fungsi Tari Rejang Kuningan Kesimpulan ditemukan bahwa ada tiga fungsi tari rejang pada hari Kuningan di Kecamatan Abang yaitu pertama rejang berfungsi sebagai persembahan suci (yadña), kedua sebagai sebuah bentuk penampilan, dan ketiga rejang berfungsi sebagai media komunikasi.
365 Pertama, rejang berfungsi sebagai persembahan suci atau perwujudan yadña masyarakat Abang kepada Tuhan. Rejang disajikan untuk kebutuhan ritual Kuningan. Bentuk pertunjukan rejang memiliki ciri-ciri fungsi yang sesuai dengan ciri-ciri fungsi seni pertunjukan untuk ritual yang dikemukakan oleh R.M. Soedarsono. Namun demikian fungsi ritual rejang pada hakikatnya harus dilandasi oleh tujuan yadña. Yadña sebagai landasan tujuan dapat dinyatakan bahwa pelaku kegiatan tidak memiliki harapan lain selain mengabdi kepada Tuhan atau kepada yang dianggap dapat memberi perlindungan hidup. Kegiatan seni pertunjukan ritual jika tidak didasari oleh yadña maka seni pertunjukan itu berfungsi ritual secara fisik. Ritual yang benar-benar ritual adalah penuh pengorbanan, ikhlas tanpa pamrih. Yadña melandasi seluruh aktivitas ritual. Ritual tidak hanya terjadi pada waktu rejang ditampilkan, tetapi ritual juga telah terjadi ketika melakukan kerja persiapan-persiapan sampai kepada kegiatan menempatkan gelungan setelah pertunjukan rejang selesai. Membuat banten adalah sebuah ritual yang bentuknya tidak seperti ritual doa, tetapi ritual kerja. Tari berfungsi untuk ritual jika tujuan dan aktivitasnya adalah yadña. Jika aktivitas dan tujuan penyajian tari itu untuk kepentingan politik, komersial, seni pertunjukan dan lain-lain maka fungsi tari itu tidak untuk ritual.
366 Kedua, rejang sebagai bagian dari bentuk yadña dipergunakan sebagai materi aktivitas yadña. Rejang itu berfungsi sebagai sebuah bentuk penampilan. Kehadiran tari rejang dalam ritual Kuningan menunjukan keberadaannya sebagai materi yadña yang tidak bisa dipisahkan dari ritual Kuningan. Rejang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ritual Kuningan. Kehadirannya tidak bisa diganti dengan acara ritual yang hanya menggunakan doa-doa, atau sajen-sajen belaka tanpa menghadirkan sebuah tarian. Kehadiran rejang sebagai bentuk tari diikat oleh struktur yang terdiri dari bentuk gerak, pola lantai, kriteria penari, busana tari, gamelan pengiring, tempat dan waktu penyajian, banten runtutan rejang, pemedek sebagai penonton, dan lain-lain. Fungsi rejang sebagai bentuk penampilan adalah memberi suasana yang lebih sakral, lebih bersifat religius, khidmat, ada suasana yang lebih dibandingkan ritual yang hanya menyajikan sajen dan doadoa saja. Sajian rejang itu adalah sebuah bentuk tontonan yang penting untuk disaksikan dan dinikmati. Ketiga, tari rejang berfungsi sebagai media komunikasi. Ekspresi yang disajikan dalam rejang adalah bentuk-bentuk simbolis yang dipersembahkan kepada Déwa. Rejang sebagai yadña merupakan proses komunikasi. Rejang berfungsi sebagai media komunikasi kepada aspek pertama kebudayaan dari masyarakat Abang. Masyarakat menyajikan rejang sebagai media untuk meng-
367 hubungkan dirinya dengan Tuhan. Diri itu adalah ide atau pesan yang dikomunikasikan. Rejang sebagai seni pertunjukan berfungsi mengomunikasikan gagasan kepada Tuhan. Rejang merupakan persembahan simbolis yaitu tari yang mewadahi makna. Rejang tidak hanya mengomunikasikan pesan kepada Tuhan tetapi juga mengomunikasikannya kepada masyarakat. Bentuk simbolis rejang dikomunikasikan kepada Tuhan dan kepada manusia sebagai persembahan. Rejang berfungsi untuk media komunikasi ritual dan juga berfungsi untuk media komunikasi sosial. Masyarakat Abang memanfaatkan rejang sebagai media komunikasi bertujuan untuk kelangsungan hidup, mencapai kebahagiaan dan ketenteraman skala-niskala. Ketentraman sosial tertuju untuk skala dan ketentraman ritual untuk memenuhi kebutuhan niskala. Berdasarkan seluruh sajian fungsi-fungsi tersebut di atas dapat direfleksikan bahwa fungsi tari sebagai yadña adalah untuk dipersembahkan disebut tari persembahan atau tari wali ; tari sebagai bentuk penampilan adalah untuk ditonton atau dinikmati disebut tari tontonan atau hiburan ; tari sebagai media adalah untuk mewadahi ide, tari ini tidak berciri, bergabung ke dalam tari wali atau tari tontonan. Tari sebagai yadña pada hakikatnya adalah tari itu berfungsi untuk dipersembahkan. Semua jenis tari jika dianalisis dari aktivitasnya, atau dari mengapa tari itu dibuat maka tari itu
368 akan berfungsi untuk dipersembahkan. Kepada siapa tari dipersembahkan, itu tergantung kepada tujuan yang memiliki tari itu. Ada tari yang dipersembahkan kepada manusia atau ada pula yang dipersembahkan kepada yang tidak tampak, misalnya kepada Déwa, Tuhan, atau kekuatan gaib lainnya. Ada juga tari diciptakan bukan untuk dipersembahkan kepada penonton atau kepada yang tidak tampak itu, tetapi kepada dirinya, yaitu kepada penari sendiri. Semua itu berfungsi untuk dipersembahkan. Untuk membatasinya maka tari sebagai yadña dikhususkan untuk menyebut jenis tari wali. Tari sebagai bentuk penampilan berfungsi untuk ditonton atau dinikmati. Ditonton berarti disaksikan oleh manusia atau bisa juga bukan orang sebagai penonton, sedangkan dinikmati selain ditonton juga untuk dihayati atau dilibati. Terkadang penyajian sebuah karya seni pertunjukan tidak pasti melibatkan penoton. Ada pertunjukan tanpa penonton, yaitu sajian tari untuk penari itu sendiri. Ini seni bukan untuk ditonton, tetapi untuk dinikmati oleh pemain. Demikian pula pada seni pertunjukan hiburan atau pergaulan, itu lebih berfungsi untuk dinikmati daripada untuk ditonton. Tari sebagai media komunikasi pada hakikatnya adalah tari berfungsi untuk mewadahi ide yang terkandung dalam tari itu. Baik tari sebagai media komunikasi ataupun tari sebagai media
369 ekspresi, tari itu berfungsi sebagai alat untuk mewadahi ide atau gagasan koreografer. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sebuah hasil karya seni pertunjukan memiliki tiga fungsi mendasar yaitu untuk dipersembahkan, untuk dinikmati, dan untuk mewadahi (sebagai media). Tiga fungsi mendasar itu jika dikelompokan berdasarkan pembagian budaya dapat digolongkan menjadi tiga yaitu fungsi bentuk, fungsi aktivitas, dan fungsi ide. Bentuk karya bermanfaat untuk dinikmati. Penyajian aktivitas bermanfaat untuk dipersembahkan, dan fungsi ide adalah untuk dipahami. Pertunjukan rejang adalah sebuah ritual yang berbeda dengan pertunjukan tari yang bertema ritual. Berdasarkan simpulan itu dapat didefinisikan bahwa tari ritual adalah tari yang berfungsi untuk ritual bukan untuk seni pertunjukan. Tari ritual merupakan ritual yang menggunakan tari sebagai bagian pokok, atau pelengkap, atau sebagai pendukung kegiatan. Bentuk tari dalam tari ritual tidak bersifat mengikat, namun sebaliknya tari wali memiliki ciri-ciri bentuk. Tari ritual dapat dibedakan menjadi tiga yaitu tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan. Istilah yang digunakan itu sama dengan fungsi tari Bali pada umumnya, namun pengertiannya dalam tulisan ini sangatlah berbeda. Tari wali adalah tari ritual yaitu tari sebagai bagian pokok atau persembahan yang diikat oleh
370 waktu, tempat, dan proses ritual. Tari bebali adalah tari ritual yang menggunakan tari sebagai pelengkap ritual dan masih diikat waktu, tempat, dan proses ritual. Tari balih-balihan adalah tari sebagai pendukung atau meramaikan suasana ritual yang dilaksanakan di luar waktu, tempat, dan proses ritual. Waktu, tempat, dan proses ritual yang dimaksud adalah prosesi upacara yang memiliki waktu, tempat, dan keadaan sakral. Odalan dapat dilaksanakan selama tiga hari, namun dalam masing-masing hari ada prosesi upacara. Proses upacara itu merupakan proses sakral. Sebuah tari Bali dapat berfungsi ganda, misalnya tari Panyembrama dapat berfungsi sebagai tari tontonan atau tari ritual. Panyembrama disajikan dalam acara pembukaan seminar tertentu adalah tari tontonan. Panyembrama disajikan dalam acara odalan tetapi di luar prosesi upacara adalah balih-balihan, sedangkan jika dipentaskan di dalam prosesi upacara akan berfungsi sebagai tari bebali. 5.4 Makna Rejang Kuningan Pemunculan anugerah dan bentuk anugerah merupakan dua hal yang tidak mudah dicapai. Menurut keyakinan masyarakat Abang anugerah dapat dilahirkan melalui kegiatan yadña. Ritual rejang yang telah dilakukan akan memiliki makna seperti itu.
371 Interaksi simbolis antara rejang dengan Pjjt Pura (pelinggih-pelinggih, jeroan, dan jaba tengah) mengandung makna penciptaan atau kelahiran. Jadi dengan melaksanakan yadña ritual rejang maka Tuhan akan menciptakan atau melahirkan anugerah. Pradhāna merupakan makna utama pada makna dari lapisan khusus pertunjukan rejang. Makna itu didukung baik oleh makna dari lapis pemain maupun oleh makna dari lapis genre pertunjukan rejang, yaitu oleh seluruh sajian tari rejang. Penari wanita, ukuran tinggi penari, kesucian penari, gerak kontinu, pola lantai, dinamika gerak, busana penari, tipe tari, tema tari, dan nama tari itu semua mendukung makna mengenai pradhāna. Pada analisis co-textual itu yadña dapat diartikan sebagai persembahan suci berwujud pradhāna. Tujuan dari persembahan itu agar Tuhan yang termanifestasi bisa hadir dan benar-benar bisa menjadi Maha Penyayang, Pemberi, dan Maha Pemurah. Pada konteks pertunjukan lapis-lapis itu berkorelasi membentuk satu-kesatuan. Semua lapisan khusus pertunjukan rejang itu membentuk makna pradhāna. Sebaliknya pusat lingkaran di halaman kosong di jeroan dan jaba tengah, pelinggih-pelinggih suci, bangunan-bangunan pura, dan pohon kepel membentuk makna purusha. Perpaduan gerak dan diam dari pusat lingkaran demikian pula perpaduan pola lantai lingkaran dan pelinggih-pelinggih, bangunan-bangunan pura, dan pohon kepel adalah konteks puru-
372 sha dan pradhāna yang membentuk makna baru yaitu ardhanareswari. Ardhanareswari adalah makna perpaduan dari lapisan khusus dan lapisan umum dalam konteks pertunjukan. Makna itu merupakan makna yang paling utama yang didukung oleh makna mengenai purusha dan pradhāna. Pada analisis kontekstual ini makna dari lapisan khusus yang terjadi adalah ardhanareswari yang dapat digambarkan sebagai kemanunggalan suci yang merupakan harapan yadña. Terbentuknya ardhanareswari merupakan konsep penciptaan yang akan memudahkan proses anugrah dari Tuhan. Anugerah yang diperoleh dapat diketahui jika makna tersebut dikorelasikan dengan makna dari lapisan umum dalam konteks budaya. Sehubungan dengan itu pada konteks budaya makna ardhanareswari berkonteks dengan makna Kuningan dan aktivitas warga. Hari suci Kuningan memiliki seluruh anugerah déwa penjuru arah mata angin. Secara garis besar anugerah para déwa itu tergabung menjadi tiga anugerah utama dari Tri Murti yaitu dari Déwa Brahma, Déwa Siwa, dan Déwa Wisnu. Berdasarkan tempat rejang menari yang paling sering digunakan adalah Pura Désa-Bale Agung yang dimiliki oleh Déwa Brahma, maka hari Kuningan dimiliki oleh yang utama Déwa Brahma Siwa. Jadi makna rejang ditampilkan pada hari Kuningan itu agar memperoleh anugerah kebijaksanaan yang selamat, jaya, dan sejahtera.
373 Ardhanareswari sebagai makna dalam konteks pertunjukan berkorelasi dengan anugerah Tri Murti terutama anugerah dari Déwa Brahma Siwa, kesungguhan yadña, pemanfaatan fungsifungsi kekuatan gaib sebagai makna lapisan umum dalam konteks budaya. Ardhanareswari memunculkan makna penciptaan anugerah sedangkan makna dari lapisan umum pertunjukan adalah kebijaksanaan yang selamat, jaya, dan sejahtera. Korelasi dua makna itu membentuk satu makna yaitu anugerah kebijaksanaan yang selamat, jaya, dan sejahtera. Jadi makna pertunjukan rejang pada hari Kuningan di Kecamatan Abang adalah kegiatan persembahan tarian simbolis untuk menciptakan anugerah kebijaksanaan yang selamat, jaya, dan sejahtera dari Déwa Brahma, Déwa Wisnu, dan Déwa Siwa. Makna-makna itu merupakan makna yang ada dalam ide yang terkandung dalam bentuk pertunjukan rejang. Makna rejang sebagai bentuk penampilan merupakan cerminan dari ciri-ciri bentuk rejang yang ada pada masing-masing daerah di Kecamatan Abang, sedangkan makna dari aktivitasnya adalah yadña. Ada satu makna yang diperoleh dari seluruh makna yang ada yaitu yadña. Makna itu menjadi pegangan pokok masyarakat désa-désa adat di Kecamatan Abang. Yadña yang ditujukan kepada Déwa atau Tuhan berfungsi sebagai pengendali segala kegiatan dalam kehidupan di dunia. Jika konsep ini direflesikan ke dalam
374 kehidupan umum maka kehidupan itu niscaya akan menjadi harmonis, penuh kasih sayang, dan bahagia.