BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
IDENTIFIKASI HUBUNGAN PERILAKU VANDALISME TERHADAP SETTING PADA KEBUN RAYA CIBODAS, KABUPATEN CIANJUR ANNISAA ELOK PERMATASARI A

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2011 TENTANG KEBUN RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

situ berperan dalam rangka mengurangi laju degradasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENJABARAN KKNI JENJANG KUALIFIKASI V KE DALAM LEARNING OUTCOMES DAN KURIKULUM PROGRAM KEAHLIAN EKOWISATA PROGRAM DIPLOMA IPB 2012

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENATAAN DAN PENGEMBANGAN TAMAN WISATA SENGKALING MALANG

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Perkembangan Wisatawan Nusantara pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEBUN RAYA KUNINGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

INPUT PROSES OUTPUT PERENCANAAN ARSITEKTUR FENOMENA. Originalitas: Kawasan Perkampungan Budaya Betawi, terletak di srengseng

BAB I PENDAHULUAN. secara material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu hal penting bagi suatu negara. Pariwisata bagi

BAB I PENDAHULUAN. yang diresmikan pada tanggal 20 Mei 2006 bertepatan dengan hari. Shopping Center di jalan Panembahan Senopati Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

BAB III METODE PERANCANGAN. Dalam metode perancangan ini, berisi tentang kajian penelitian-penelitian

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia disebut sebagai negara agraris karena memiliki area pertanian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas

agrowisata ini juga terdapat pada penelitian Ernaldi (2010), Zunia (2012), Machrodji (2004), dan Masang (2006). Masang (2006) yang dikutip dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB V KESIMPULAN. Bab ini membahas mengenai kesimpulan dari pembahasan pada bab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

KONDISI UMUM Keadaan Fisik Fungsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Zaman sekarang ini kemajuan di bidang olahraga semakin maju dan pemikiran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 DESKRIPSI JUDUL Pengembangan Wisata Api Abadi Mrapen sebagai Pusat Energi Alam

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Seminar Tugas Akhir 1

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEBUN RAYA BALIKPAPAN

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KEBUN RAYA DAERAH

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Kepanjen merupakan ibukota baru bagi Kabupaten Malang. Sebelumnya ibukota Kabupaten Malang berada di Kota Malang ( Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LATAR BELAKANG TUJUAN LATAR BELAKANG. Eksistensi kebudayaan Sunda 4 daya hidup dalam kebudayaan Sunda

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara universal, seni pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan aksi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

PENGEMBANGAN BUMI PERKEMAHAN PENGGARON KABUPATEN SEMARANG

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. 1. Tingginya Mobilitas Penggunaan Jalan di Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak saja dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa Negara, diharapkan. pekerjaan baru juga untuk mengurangi pengangguran.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BABI PENDAHULUAN. SUdah berabad-abad lamanya kebun 'raya di dunia secara umum menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu aset yang menguntungkan bagi suatu negara. Dalam UU

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. tujuan wisata bagi rombongan study tour anak-anak PAUD (Pendidikan Anak

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1

YOGYAKARTA BUTTERLY PARK AND CONSERVATION BAB 1 PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PENGEMBANGAN OBYEK WISATA PANTAI PASIR KENCANA DI PEKALONGAN DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR REGIONALISM BERTEMA EKOTURISME

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Projek Gagasan awal. Projek akhir arsitektur berjudul Pusat Rekreasi dan Interaksi

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kota seringkali diidentikkan dengan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

V GAMBARAN UMUM KEBUN RAYA BOGOR

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Redesain Mandala Wisata Samuantiga 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PROYEK Gagasan Awal. Dalam judul ini strategi perancangan yang di pilih adalah

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan Interior

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR AGROWISATA BELIMBING DAN JAMBU DELIMA KABUPATEN DEMAK

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vandalisme Definisi mengenai vandalisme diterapkan untuk segala macam perilaku yang menyebabkan kerusakan atau penghancuran benda pribadi atau publik (Haryadi dan Setiawan, 1995). Canter (1984) menekankan tidak adanya definisi yang jelas tentang vandalisme secara khusus. Meskipun sebagian besar ahli melihat bahwa vandalisme pada dasarnya adalah perilaku yang membahayakan, para ahli tidak menemukan kesepakantan dalam mendefinisikan vandalisme secara spesifik. Istilah vandalisme tidak hanya mengacu mengacu pada perilaku pelaku, tetapi juga mencakup motivasi dari masing-masing pelaku. Beberapa ahli yang lainnya menyarankan klasifikasi yang berbeda dengan mempertimbangkan jenis vandalisme yang mengacu pada motivasi para pelaku dan tingkat kerusakan yang diperoleh oleh obyek vandalisme. Untuk itulah para ahli sepakat untuk melakukan pendefinisian vandalisme melalui tiga pendekatan, yaitu definisi vandalisme berdasarkan pelaku, nilai, dan kerusakan (Moser, 1987). Definisi vandalisme berdasarkan pelaku merupakan pendekatan yang berorientasi pada bidang psikologi (psikologi klinis). Definisi ini menekankan pada latar belakang pelaku untuk menghancurkan, dengan mengacu pada faktor kejiwaan yang mempengaruhi mereka dalam melakukan vandalisme. Dengan pendekatan ini, dapat diberikan pemahaman bahwa vandalisme merupakan suatu tindakan yang disengaja dengan tujuan untuk merusak atau menghancurkan suatu obyek. Definisi ini menegaskan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan vandalisme apabila ada niat dari pelaku vandalisme untuk merusak. Pendekatan kedua untuk mendefinisikan vandalisme adalah dengan mendasarkan pada nilai sosial yang berlaku. Definisi ini melakukan pendekatan yang mengacu pada bidang sosiologi untuk mengetahui penyebab sosial dari vandalisme. Dalam penelitian Moser (1987) serta Bideaud dan Coslin (1984) telah dikemukakan bahwa perbuatan itu dapat memenuhi syarat sebagai vandalisme hanya melalui penilaian pengamat (masyarakat) yang

mengidentifikasi perilaku sebagai pelanggaran dari nilai dan atau norma. Dalam penelitian ini pendefinisian vandalisme mengacu pada pendekatan terakhir yang berorientasi pada bidang psikologi lingkungan. Pendekatan ini mendefinisikan vandalisme berdasarkan pada tingkat kerusakan yang terjadi pada sasaran vandalisme akibat pengaruh lingkungan. Levy dan Leboyer (1984) mengemukakan bahwa kerusakan yang dialami dalam suatu lingkungan tidak semuanya dapat dijelaskan dengan menggunakan kedua pendekatan sebelumnya sehingga dikemukannya pendekatan lainnya yang dapat menjelaskan tingkat kerusakan obyek vandalisme dengan memperhitungkan hubungan individu terhadap lingkungan. Definisi vandalisme berdasarkan pengaruh lingkungan mendalami lebih spesifik terhadap identifikasi obyek yang menjadi sasaran vandalisme, mengapa vandalisme dapat terjadi di lingkungan tersebut, dan apa yang mempengaruhi pelaku untuk melakukan vandalisme terhadap obyek tersebut. Pendekatan ini tidak dapat disamaratakan terhadap seluruh lingkungan tempat terjadinya vandalisme karena terkadang faktor lingkungan yang mempengaruhi di suatu tapak tidak mempengaruhi di tapak lainnya dan begitu pula sebaliknya. Pengorganisasian pengelolaan tapak tersebut turut menentukan hubungan antara pengguna dan lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan terdapatnya beberapa lingkungan yang dirusak sedang yang lain tetap terjaga. Untuk menjelaskan fenomena keterkaitan kerusakan obyek vandalisme dengan faktor lingkungan ditetapkan tiga hipotesis yang dapat menjawab hal tersebut, yaitu terdapat ketidak sesuaian dalam perancangan setting dengan lingkungannya, lingkungan tidak dapat mengakomodir kebutuhan penggunanya, dan karena adanya akumulasi dari kerusakan (Christensen dan Harries, 1981, diacu dalam Levy dan Leboyer, 1984). 1. Tidak sesuainya perancangan setting dengan lingkungannya. Vandalisme yang terjadi karena didorong oleh ketidaksesuaian setting terhadap lingkungannya disebabkan oleh perancang yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan penggunanya sehingga ditemukannya kerusakan terhadap fasilitas. Salah satu contoh perancangan setting yang kurang tepat adalah penggunaan material kaca pada fasilitas yang berada di

taman bermain anak-anak. Hal ini dapat menyebabkan tingginya kemungkinan kehancuran fasilitas tersebut akibat dari pemilihan material yang rentan untuk taman dengan pengunjung anak-anak. 2. Lingkungan tidak dapat mengakomodir kebutuhan penggunanya Vandalisme yang dilakukan karena lingkungan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan dari penggunanya yang menyebabkan kelebihan kapasitas sehingga menimbulkan perilaku yang dilakukan secara sadar atau tidak dapat merusak obyek dan lingkungan sekitarnya. Salah satu contohnya adalah kerusakan yang dialami oleh boks tanaman akibat dari minimnya tempat duduk pada taman publik sehingga pengguna taman menggunakan boks tanaman sebagai tempat duduk. 3. Akumulasi kerusakan Vandalisme mengalami peningkatan pesat pada lingkungan yang tampaknya diabaikan. Lingkungan yang dirusak cenderung memberikan kesan ditinggalkan dan tidak terawat sehingga memberikan kesan diizinkan untuk dirusak (Lavrakas, 1982). Kerusakan tidak hanya dihasilkan oleh perilaku perusakan yang berat yang dapat menyebabkan degradasi kualitas lingkungan secara drastis, tetapi juga dapat dihasilkan oleh akumulasi perilaku-perilaku merusak ringan sehingga kemudian menarik pelaku vandalisme lainnya untuk melakukan perusakan dan pada akhirnya menyebabkan degradasi kualitas lingkungan yang tidak jauh berbeda dengan perilaku perusakan yang berat. 2.2 Setting pada Suatu Lanskap Menurut Haryadi dan Setiawan (1995), setting adalah suatu lokasi pada tapak atau areal tertentu yang telah diplotkan sebelumnya. Setting merupakan suatu satuan lingkungan spesifik yang menunjukkan makna lingkungan tersebut untuk suatu kegiatan. Setting sendiri meliputi bangunan dan lingkungan ruang luar yang dirancang serta organisasi yang akan menempati lingkungan binaan tersebut (Laurens, 2004). Gagasan, sasaran, kendala, dan kebiasaan organisasi harus dipertimbangkan seperti juga persyaratan fisik, seperti luas, penerangan, suara,

penataan ruang secara spesifik, dan dekorasi. Dalam perjalanannya, telah banyak penelitian dan pengembangan teori untuk menggambarkan hubungan manusia dengan setting, dan salah satu model tersebut adalah model seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3 (Gifford, 1987, diacu dalam Laurens, 2004). Gambar 2. Hubungan Integratif Manusia dengan Setting Karakteristik individu (M), kualitas setting (S), dan norma sosial budaya (SB) secara bersama-sama mempengaruhi rencana seseorang ketika memasuki setting dan juga apa yang akan terjadi di dalamnya. Dalam setting, seseorang berperilaku (misalnya menghayati atau berinteraksi), berpikir (misalnya mengenali, menghitung, atau mengumpulkan informasi), dan merasa (misalnya bahagia, gembira, atau sedih), dalam keadaan sehat atau sakit secara fisik. Hasil dari transaksi dalam setting dapat berlangsung ataupun tidak langsung terlihat. Seseorang dapat menjadi lebih baik (misalnya lebih gembira atau lebih terampil) atau dapat pula menjadi lebih buruk (misalnya menjadi sedih atau menjadi sakit). Perancangan setting yang kurang mewadahi aktivitas penggunanya seringkali menyebabkan kerusakan terhadap fasilitas, meningkatnya biaya pemeliharaan, atau bahkan mubazirnya fasilitas tersebut

karena tidak digunakan seperti yang diprediksikan oleh perancang dalam hasil rancangannya (Laurens, 2004). 2.3 Kebun Raya Kebun raya adalah suatu kawasan yang mengkoleksi berbagai jenis tumbuhan, baik untuk tujuan penelitian maupun sebagai tempat wisata (Depdikbud 2008). Menurut LIPI (2010), Kebun raya didefinisikan sebagai suatu kawasan yang mengkoleksi berbagai jenis tumbuhan dengan dasar ilmiah, yang informasi ilmiah mengenai koleksinya terdokumentasi dengan baik. Kebun raya juga didefinisikan sebagai lembaga independen, badan pemerintah, atau suatu badan yang berkerja sama dengan institusi pendidikan atau universitas. Tujuan utamanya bukan hanya sebagai area wisata ataupun sebagai tempat untuk menanam spesimen koleksi tumbuhan, yang terpenting adalah perannya dalam menyebarkan pengetahuan botani dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap arti penting tumbuhan bagi kehidupan (Bailey et al., 1978). Dalam Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2002), kebun raya memiliki tugas pokok dan fungsinya sebagai berikut. 2.3.1. Tugas Pokok Kebun raya mempunyai tugas pokok melakukan inventarisasi, eksplorasi, koleksi, penanaman, dan pemeliharaan tumbuhan yang memiliki nilai ilmu pengetahuan dan potensi ekonomi untuk dikoleksi dalam bentuk kebun botani serta melakukan pendataan, pendokumentasian, pengembangan, pelayanan jasa dan informasi, pemasyarakatan ilmu pengetahuan di bidang konservasi, introduksi dan reintroduksi tumbuhan. Adapun tugas-tugas kebun raya adalah sebagai kawasan konservasi, penelitian, pendidikan lingkungan, serta pariwisata dan pelayanan umum 2.3.2 Fungsi Dalam melaksanakan tugas tersebut di atas, kebun raya menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

1. pelayanan, inventarisasi, eksplorasi, konservasi, dan reintroduksi jenis tumbuhan yang memiliki nilai ilmu pengetahuan dan potensi ekonomi, pengembangan dan pendokumentasian biodata jenis tumbuhan koleksi yang berkaitan dengan konservasi ex-situ; 2. pemberian pelayanan jasa ilmiah, pemasyarakatan ilmu pengetahuan dalam bidang konservasi tumbuhan dan introduksi tumbuhan; 3. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Seperti yang telah dijabarkan di atas, kebun raya memiliki beragam tugas dan fungsi yang salah satunya adalah sebagai tempat konservasi ex-situ yang memiliki beragam tanaman koleksi di dalamnya. Tanaman koleksi yang akan ditanam di kebun raya mempunyai kriteria tertentu dengan melalui tahapan-tahapan pemilihan serta memiliki kelengkapan data sehingga mempunyai nilai di bidang ilmu pengetahuan. Selain sebagai kebun pengembangan tanaman berpotensi ekonomi, kebun raya juga berkembang menjadi sebuah lembaga ilmiah yang berperan penting dalam konservasi tumbuhan. Tanaman-tanaman koleksi ini ditanam dengan memperhatikan penataan berdasarkan pada kaidah-kaidah ilmu pertamanan sehingga memberikan keindahan. Keindahan dan muatan ilmiah yang dimiliki oleh kebun raya menarik minat masyarakat luas untuk mengunjunginya dan menjadikannya sebagai tempat rekreasi dan tempat untuk mempelajari botani. 2.4 Pengelolaan Taman dan Kawasan Wisata Pengelolaan taman dan kawasan wisata dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk menjaga taman dan area rekreasi serta fasilitas yang berada di dalamnya atau di sekitarnya setepat mungkin (Sternloff dan Warren, 1984). Pengertian pengelolaan kawasan menurut Mackinnon (1990) dalam Murtiartini (1999) adalah suatu tindakan baik fisik maupun administrasi yang dilakukan guna mempertahankan, mengamankan, dan melestarikan lanskap suatu kawasan. Dalam Murtiartini (1999) sistem pengelolaan kawasan perlu dilakukan untuk mendukung keberadaan kawasan wisata agar dapat.

1. menciptakan suasana yang menyenangkan, aman, nyaman, dan menyajikan kemudahan bagi para wisatawan. 2. menciptakan dan melindungi nilai estetika dari lanskap kawasan. 3. memelihara kelangsungan hidup tradisi dan seni budaya yang berada didalamnya maupun disekitarnya. 4. menciptakan suatu kondisi yang menghindari/melestarikan pengaruh negatif dari kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada obyek wisata alam dalam jumlah besar dan kontinyu akan mengganggu atau merusak ekosistem dan nilai estetika kawasan sehingga diperlukan suatu sistem pengelolaan yang dapat menangani hal ini (Mariana, 1992). Penetapan sistem pengelolaan taman dan kawasan wisata tidak dapat persis dilaksanakan sama pada setiap taman dan kawasan wisata yang lainnya. Pada setiap taman dan kawasan wisata terdapat suatu sistem pengelolaan yang tepat dan spesifik untuk dilaksanakan di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan letak geografi, fasilitas yang akan dikelola, program wisata yang ditawarkan, dan karakteristik wisatawan yang berkuunjung (Sternloff dan Warren, 1984). Meskipun terdapat beberapa perbedaan yang mempengaruhi penetapan sistem pengelolaan masing-masing kawasan namun terdapat prinsip dasar yang menjadi landasan utama untuk menetapkan sistem pengelolaan yang efektif. Prinsip pengelolaan dan pemeliharaan kawasan wisata tersebut adalah sebagai berikut. 1. tujuan dan standar pengelolaan yang ditetapkan. 2. pemeliharaan harus memperhatikan pertimbangan ekonomi dalam hal waktu, tenaga kerja, peralatan, dan bahan. 3. pelaksanaan program pemeliharaan harus berdasarkan pada rencana pengelolaan. 4. penjadwalan rencana kerja pengelolaan harus berdasarkan pada prioritas dan memperhatikan kepentingan politik. 5. semua divisi yang terlibat dalam pengelolaan harus menempatkan perhatian lebih terhadap sistem pengelolaan pencegahan. 6. departemen pengelola harus terorganisir dengan baik.

7. departemen pengelola taman dan kawasan wisata harus didukung oleh sumber daya fiskal yang memadai untuk mendukung program pemeliharaan. 8. departemen pengelola taman dan kawasan wisata harus didukung oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan program pemeliharaan. 9. program pengelolaan harus dirancang untuk melindungi lingkungan. 10. departemen pengelolaan memiliki tanggung jawab untuk menjaga keselamatan publik dan pekerjannya. 11. desain dan kostruksi dari fasilitas menjadi pertimbangan utama dalam pemeliharaan taman dan kawasan wisata. 12. para pegawai bertanggung jawab terhadap pencitraan taman dan kawasan wisata. Prinsip-prinsip di atas dapat memberikan masukan untuk menetapkan garis besar dari program pengelolaan. Prinsip tersebut juga dapat digunakan sebagai standar ukuran keefektifan dari program pengelolaan yang telah berjalan. Jika salah satu dari prinsip pengelolaan tidak ditepati, akan menyebabkan timbulnya gangguan serius dalam menyediaan pelayanan yang berkualitas oleh pengelolaan taman dan kawasan wisata. Secara umum, program pengelolaan kawasan dapat direncanakan dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi fasilitas dan peralatan kawasan wisata, penyusunan perencanaan pemeliharaan rutin, penyusunan perencanaan peralatan untuk pemeliharaan intensif, dan penyusunan jadwal serta cara pemeliharaan preventif. Dilakukan tiga pendekatan untuk menetapkan masukan bagi pengelolaan yang berdasarkan pada Zahnd (1999), yaitu pendekatan bentuk, fungsi, dan kelembagaan atau organisasi. Pendekatan pertama adalah dalam hal bentuk (form), pendekatan ini mengarahkan pengelolaan untuk memelihara bentukan fisik dari desain kawasan agar tidak berubah dari perancangan awal. Pendekatan kedua adalah dalam hal fungsi (function) yang mengarahkan pengelolaan agar mengacu pada tujuan dari perencanaan kawasan. Pendekatan ini berusaha untuk menjaga dan memelihara agar tujuan dan fungsi dari kawasan ini tidak berubah. Pendekatan yang

terakhir adalah dalam hal kelembagaan (organization) dengan tujuan untuk mengarahkan pengelolaan agar pengelola kawasan dapat terorganisir dengan baik sehingga program pengelolaan ini dapat berjalan.