BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

EKSISTENSI ULTRA PETITA DALAM PELAKSANAAN FUNGSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), hal ini terbukti didalam

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB 1 PENDAHULUAN. ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB IV PENUTUP. Namun demikian, konstruksi pemikiran hukum post positivisme dalam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Terbentuk Pengadilan Tata Usaha Negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

B A B V P E N U T U P

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guna mencapai tujuan pembangunan nasional maka dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

DAFTAR PUSTAKA. Adisapoetra, Prins-R. Kosim, 1976, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pradnya Paramita, Jakarta.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 6/PUU-XII/2014 Pemberian Manfaat Pasti Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan KUHAP Pembatasan Pengajuan PK

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN)

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

BAB 1 PENDAHULUAN. Penerimaan Pajak Diperkirakan Rp 604 Triliun, diunduh tanggal 30 Mei 2010.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-VIII/2010

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. kepada Hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat. Putusan verstek

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang ditegaskan di dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat (1) dan (2), dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, maka dibentuklah Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, dilakukan oleh sebuah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Konstitusi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III Pasal 18 disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Konstitusi. Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Indonesia menganut Dual System of Courts. Dual System of Courts yaitu dua sistem peradilan yang selain terdapat Peradilan Umum, terdapat pula Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri. Sebagai

2 konsekuensi dari Dual System of Courts ini, maka diperlukan penegasan lapangan sengketa atau perkara administrasi sebagai bidang kompetensi peradilan yang bersangkutan. Sengketa atau perkara administrasi merupakan perselisihan antara dua pihak, yaitu antara warga masyarakat dan Pemerintahan atau penguasa dalam bidang hukum publik, khususnya hukum administrasi. Perselisihan antara dua pihak secara implisit menyatakan adanya perikatan. Perikatan dapat timbul oleh tindakan menurut hukum (rechmatig) maupun tindakan melanggar hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya perkara administrasi mensyaratkan 2 unsur, yaitu : 1. Adanya dua pihak yang berselisih atau bersengketa. 2. Adanya perikatan dalam hukum publik, baik karena tindakan menurut hukum maupun yang melanggar hukum (Ultravires). Berdasarkan hal tersebut, tindakan melawan hukum oleh Pemerintah atau Penguasa (Onrechmatige Overheidsdaad) maupun tindakan menurut hukum (rechmatig) masuk ke dalam bidang kompetensi Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara. 1 Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan yang berada di bawah Agung, diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang 1 R. Soegijatno Tjakranegara, 1992, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22

3 dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Hal itu sebagaimana merupakan tujuan dari pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. Sehubungan dengan tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, maka tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut adalah sebagai berikut : 1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu. 2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Tujuan tersebut di atas, kemudian ditampung dalam Penjelasan Umum Angka ke-1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2 Peradilan Tata Usaha Negara memiliki ciri-ciri yang bersifat khas jika dibandingkan dengan peradilan pada umumnya, terutama yang terkait dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum acaranya. Asas-asas hukum yang berlaku dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah 3 : 1. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid atau praesuptio iustae causa). 2 Riawan Tjandra, 2010, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 1 3 Titik Triwulan T., dan Ismu Gunadi Widodo, 2010, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group, hal. 571

4 Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap tindakan penguasa harus selalu dianggap benar atau rechtmatig sampai ada keputusan yang membatalkannya. Dengan adanya asas ini, maka gugatan tata usaha negara tidak menunda pelaksanaan putusan tata usaha negara yang digugat. 2. Asas pembuktian bebas (vrij bewijs) Asas ini menentukan bahwa hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hakim secara aktif dapat menentukan sendiri : a. Apa yang harus dibuktikan. b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri. c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian. d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan. 3. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai erga omnes. Asas ini mengandung pengertian bahwa meskipun substansi gugatan penggungat bersifat perdata, tetapi sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Tata Usaha

5 Negara harus berlaku umum bagi siapa saja, tidak hanya terbatas pada pihak-pihak yang bersengketa saja. 4 4. Asas keaktifan hakim (dominus litis) Dengan adanya asas keaktifan hakim ini, maka kedudukan tergugat yang merupakan pejabat negara berhadapan dengan penggugat yang merupakan rakyat biasa, diperlukan keseimbangan dengan menerapkan keaktifan hakim. 5 Berkaitan dengan asas keaktifan tersebut di atas, terdapat 2 pertimbangan yang mendasari eksistensi asas itu, yaitu : pertama, karena Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku. Karena itu hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran material. Kedua, peran aktif hakim dimaksudkan untuk menyeimbangkan kedudukan penggugat dan tergugat, dikarenakan kedudukan tergugat lebih kuat daripada kedudukan penggugat. Penerapan asas keaktifan hakim berkonsekuensi adanya kewenangan hakim tata usaha negara untuk melakukan Ultra Petita, yaitu memutus tentang hal-hal yang langsung berkaitan dengan permasalahan pokok yang digugat, walaupun tidak dimohonkan untuk diputus oleh tergugat. Penerapan Ultra Petita diperlukan agar hakim dapat mempertimbangkan secara lengkap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan, 4 Philipus M. Hardjon, dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 313 5 Titik Triwulan T., dan Ismu Gunadi Widodo, 2010, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group, hal. 571

6 guna menilai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut beserta akibat hukumnya, walaupun mungkin terdapat hal-hal yang berkaitan dengan pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) itu tidak dimasukkan oleh penggugat sebagai dalil dalam gugatannya. 6 Berdasarkan hal tersebut, secara teoretis pelaksanaan Ultra Petita oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sangat dimungkinkan pelaksanaannya guna menganulasi perbuatan maladministrasi pejabat Tata Usaha Negara. Pelaksanaan Ultra Petita diharapkan menjadi sarana yang efektif yang sejalan dengan semakin besarnya wewenang pejabat pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik melalui pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan asas otonomi seluasnya. 7 Sampai saat ini, dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara jarang menggunakan dan melaksanakan Ultra Petita ini. Banyak kendala yang dihadapi dalam penerapan Ultra Petita ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat permasalahan hukum ini menjadi suatu penelitian hukum yang penulis beri judul Eksistensi Ultra Petita Dalam Pelaksanaan Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. 6 Riawan Tjandra, 2009. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 72 7 Opcit. hal. 21

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta? 2. Apa saja kendala penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta? 3. Apa saja upaya yang ditempuh untuk mengatasi kendala penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk : 1. Mengetahui dan memperoleh data mengenai penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. 2. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. 3. Memberikan masukan dan saran sebagai upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi kendala penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta.

8 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hukum, khususnya ilmu pengetahuan hukum Administrasi Negara. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan bagi penulis sendiri. 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan pihak terkait demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan adil. 2. Bagi aparat penegak hukum (khususnya para hakim Peradilan Tata Usaha Negara), penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada aparat penegak hukum di lingkungan tata usaha negara untuk lebih konsisten dalam menyelesaikan sengketa tata usaha Negara dengan mengutamakan rasa keadilan. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai eksistensi Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. 4. Bagi penulis, penelitian ini sebagai bahan dalam penyusunan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. E. Keaslian Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan hukum/skripsi ini merupakan hasil karya asli dari penulis, bukan merupakan duplikasi

9 ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap literatur yang ada dan telah dibaca, belum pernah diemukan literatur dengan judul dan permasalahan yang sama seperti yang ditulis oleh penulis. Penulis hanya menemukan judul skripsi yaitu : No. Judul Penelitian Rumusan Masalah Kesimpulan 1. Penerapan Asas a. Bagaimana a. Sampai saat ini Ultra Petita penerapan asas dalam Undang- Sebagai Ultra Petita Undang 5 tahun Konsekuensi Asas sebagai 1986 tentang Keaktifan Hakim konsekuensi asas Peradilan Tata (Dominus Litis) keaktifan hakim Usaha Negara pada Peradilan Tata (Dominus Litis) tidak terdapat Usaha Negara. pada Peradilan Tata pasal yang secara (disusun oleh: Usaha Negara? tegas mengatur Candra tentang larangan Kristiantoro, b. Apa kendalakendala penerapan kebolehan hakim ataupun November 2012) asas Ultra Petita untuk memutus sebagai Ultra Petita. Hal konsekuensi asas ini menjadikan keaktifan hakim penerapan asas (Dominus Litis) Ultra Petita tidak pada Peradilan optimal karena Tata Usaha terdapat multi Negara? interpretasi mengenai boleh c. Bagaimana upaya tidaknya untuk mengatasi diterapkan asas kendala-kendala Ultra Petita penerapan asas dalam Peradilan Ultra Petita Tata Usaha sebagai Negara. konsekuensi asas keaktifan hakim b. Kendala nya : (Dominus Litis) pada Peradilan Tata Usaha Negara? 1) Teoretis, yaitu doktrin larangan hakim memutus Ultra Petita masih begitu melekat pada sebagian besar ahli dan praktisi

10 hukum. 2) Yuridis, yaitu dianutnya pandangan positivistik, sedangkan Undang- Undang Nomor 5 tahun 1986 tidak terdapat pasal yang secara tegas mengatur tentang larangan ataupun kebolehan hakim untuk memutus Ultra Petita. 3) Pelaksanaan atau teknis, masih sangat minim yurisprudensi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang akan digunakan hakim dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara terkait penerapan asas Ultra Petita. c. Langkah : adanya pemahaman menyeluruh tentang asas Ultra Petita sebagai konsekuensi dianutnya asas

11 2. Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita Oleh Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif di Indonesia (disusun oleh : Fadel, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Makassar, 2012) 8 a. Bagaimanakah konstruksi pemikiran penerapan prinsip Ultra Petita yang dilakukan oleh Konstitusi? b. Bagaimanakah konsep keadilan substantif sebagai dasar Konstitusi dalam keaktifan hakim (Dominus Litis), penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan menuangkan ke dalam sebuah norma yang diatur dalam sebuah pasal dalam Undang- Undang tersebut yang mengatur tentang penerapan asas Ultra Petita, adanya penyamaan konsep tentang Ultra Petita itu sendiri. a. Hal-hal yang melatarbelakangi konstruksi pemikiran Hakim Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat Petita: a. Putusan Konstitusi bersifat Ultra Erga 8 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&ved=0ceaq FjAE&url=http%3A%2F%2Frepository.unhas.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle%2F123456789 %2F1600%2FSKRIPSI%2520LENGKAP%2520HAN%2520-0612- %2520FADEL.docx%3Fsequence%3D1&ei=XRE5UvngIMWGrgeBvIGQDQ&usg=AFQjC NEyR6acvXv-tVhWoEf_ZtiHhHuJkA&bvm=bv.52288139,d.bmk, yang diunduh pada tanggal 18 September 2013, pukul 09.56 WIB

12 melakukan Ultra Petita menurut ketentuan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Konstitusi? Omnes yaitu berlaku secara menyeluruh di wilayah hukum Republik Indonesia. b. Hakim Konstitusi menilai bahwa inti atau jantung dari sebuah Undang- Undang yang dimohonkan untuk dijudicial review sudah tidak sesuai dari UUD 1945 (menyimpang), sehingga pasalpasal lain yang berkaitan dinyatakan ikut tidak berlaku. c. Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (Guardian of The Constitution), sehingga jika perlu dalam putusannya mungkin terjadi penyimpangan dari prinsip keadilan prosedural, demi terwujudnya

13 keadilan substantif. d. Sifat Putusan Konstitusi bersifat publik yang berlaku untuk semua orang, berbeda dengan putusan pengadilan lain yang bersifat perdata yang dalam hukum acaranya tidak diperkenankan adanya putusan hakim yang bersifat Ultra Petita. e. Petitum yang termuat dalam setiap permohonan yang mengatakan agar hakim memutuskan perkara ini dengan seadiladilnya, menjadi landasan untuk mengeluarkan putusan yang bersifat Ultra Petita demi tercapainya keadilan. b. Upaya hukum lebih lanjut pasca Putusan Konstitusi baik yang bersifat Ultra Petita

14 maupun yang tidak adalah final and binding, artinya tidak ada upaya hukum selanjutnya yang dapat ditempuh. Putusan Konstitusi bersifat final dan mengikat karena perkara yang diajukan ke Konstitusi oleh masyarakat masalahnya harus segera dilaksanakan, tidak bisa ditunda. Konstitusi memberikan pelayanan prima kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa harus menunda perkara atau berlamalama menuntaskan sebuah perkara. Mengenai resiko putusan yang mungkin saja mengandung salah dan cacat menurutnya putusan tersebut tetap dimungkinkan ada. Hal tersebut tak lepas dari fakta bahwa

15 hakim konstitusi adalah manusia biasa namun putusan Konstitusi tetap final dan mengikat. Alasannya adalah: 1. Pilihan vonis itu tergantung pada perspektif dan teori yang dipakai hakim. 2. Hukmul haakim yarfa ul khilaaf. (putusan hakim menyelesaikan perbedaan) 3. Tidak ada alternatif yang lebih baik, untuk menghilangkan sifat final. Sesungguhnya putusan Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap karena Konstitusi merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tidak diadakan upaya hukum lanjutan atas putusan hakim baik upaya hukum biasa maupun luar biasa. Putusan

16 3. Kajian Yuridis Vonis Ultra Petita Terhadap Putusan Konstitusi (disusun oleh : Aminah) 9 a. Apakah Konstitusi berwenang memutus Ultra Petita dalam Putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar? b. Apakah Putusan Kontitusi yang mengandung vonis Ultra Petita merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi juga bersifat mengikat, tak hanya para pihak (inter partes) namun seluruh warga negara Indonesia (erga omnes). Para tokoh yang menjadi arsitek kelahiran Konstitusi menginginkan Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang berwibawa. Hal ini tercermin dalam salah satu syarat hakim konstitusi yakni seorang negarawan. a. Di dalam sumber hukum acara Konstitusi, belum ada ketentuan yang mengatur Ultra Petita. Undang-Undang Konstitusi sama sekali tidak menyebutkan apakah putusan Ultra Petita itu diperbolehkan atau tidak. Begitu pula dalam beberapa asasasas hukum acara 9 http://eprints.uns.ac.id/877/1/kajian_yuridis_vonis_ultra_petita_terhadap_putusan Konstitusi.pdf, diunduh pada tanggal 18 September 2013, pukul 10.11 WIB

17 kewenangan legislatif? Konstitusi, pengaturan mengenai Ultra Petita sama sekali tidak ada. Oleh karena itu, asas Ultra Petita yang berlaku dalam hukum acara perdata, dapat pula diberlakukan dalam hukum acara Konstitusi. Diperiksa atau tidaknya suatu permohonan pengujian Undang-Undang harus berdasarkan keberatan dari warga negara yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Konstitusi dalam memutus Constitutional Review tetap harus memperhatikan petitum dalam permohonan pemohon. Konstitusi cukup menyatakan bahwa pengujian dan pemeriksaan sebagaimana

18 yang diajukan pemohon bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi. b. Dalam hal terkait dengan kewenangan legislatif, apabila Ultra Petita yang dilakukan Kontitusi adalah memutus hal-hal yang terkait dengan materi/bagian Undang-Undang yang dimohonkan oleh pemohon, maka hal itu bukan lah pelanggaran terhadap kewenangan legislatif, selama Konstitusi hanya menyatakan bahwa bagian atau seluruh Undang-Undang itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar dan mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak. Putusan Konstitusi dalam

19 pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar merupakan putusan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat Indonesia (Erga Omnes). Apabila bagian dari suatu Undang-Undang yang dimohonkan itu berkait dengan bagian yang lain dalam Undang- Undang itu, tentunya menjadi kewenangan Konstitusi untuk memeriksa dan memutusnya. Ultra Petita yang demikian yang tidaklah melanggar ranah legislatif, karena Konstitusi telah melaksanakan fungsinya sebagai penjaga konstitusi agar bagian dari suatu Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar, yaitu dengan memeriksa secara keseluruhan Undang-Undang

20 yang diajukan Constitutional Review. Penulis menyimpulkan bahwa dari ketiga penelitian hukum di atas, ditemukan suatu pokok permasalahan hukum yang sama yaitu Ultra Petita. Namun, dari ketiga penelitian hukum mengenai Ultra Petita tersebut, penulis tidak menemukan adanya kesamaan topik dan pembahasan Ultra Petita dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang dilakukan oleh penulis, mengarah kepada pembahasan tentang keberadaan Ultra Petita di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta di dalam melaksanakan fungsi peradilan Tata Usaha Negaranya. Penulis juga akan meneliti sejauh mana penerapan Ultra Petita dan kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum (khususnya hakim) di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, beserta dengan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala dalam rangka penerapan Ultra Petita tersebut. F. Batasan Konsep 1. Eksistensi Eksistensi adalah suatu keberadaan atau keadaan. 10 2. Ultra Petita Ultra Petita adalah pemberian kewenangan kepada hakim untuk 10 http://congkodok.blogspot.com/2013/03/pengertian-eksistensi-dan-kajian-usahha.html, diunduh pada tanggal 10 September 2013, pukul 19.23 WIB

21 memutuskan sengketa berdasarkan alasan hukum melampaui batas petitum yang diajukan oleh para pihak, sepanjang diperlukan untuk menguji konsistensi Keputusan Tata Usaha Negara dengan peraturan dasarnya. 11 3. Pelaksanaan Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan lain sebagainya). 12 4. Fungsi Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Sedangkan dalam ilmu administrasi negara, fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Suatu organisasi menyelenggarakan fungsifungsi dalam rangka melaksanakan sebuah tugas pokok. 13 5. Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, hal ini sesuai yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 4. 11 Wijoyo, R. 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 72 12 http://rimalrimaru.com/pengertian-pelaksanaan/, diunduh pada tanggal 10 September 2013, pukul 19.51 WIB 13 http://www.wikiapbn.com/artikel/fungsi, diunduh pada tanggal 10 September 2013, pukul 19.49 WIB

22 6. Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta adalah salah satu Pengadilan Tata Usaha Negara Indonesia yang berada di Jalan Janti nomor 66, Banguntapan Bantul Yogyakarta. Wilayah yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta saat ini meliputi wilayah hukum Provinsi Yogyakarta yaitu mencakup 5 (lima) Daerah Tingkat II, yang terdiri dari 1 (satu) Kota dan 4 (empat) Kabupaten, sebagai berikut : a. Kota Yogyakarta, dengan ibukota di Yogyakarta. b. Kabupaten Sleman, dengan ibukota di Sleman. c. Kabupaten Bantul, dengan ibukota di Bantul. d. Kabupaten Kulonprogo, dengan ibukota di Wates. e. Kabupaten Gunung Kidul, dengan ibukota di Wonosari. 14 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Sehubungan dengan judul penelitian di atas, maka jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yang berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder, di mana data sekunder ini terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 14 http://www.ptun-yogyakarta.go.id/index.php/profil/petaawilayah-yurisdiksi, M. Zahid, diunduh pada hari Kamis, 12 September 2013, pukul 09.07 WIB.

23 2. Sumber Data Data-data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum normatif ini berupa data sekunder yang meliputi: a. Bahan hukum primer 1) Undang-Undang Dasar 1945 a) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dibentuk dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. b) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (2), menyatakan bahwa sebagai kekuasaan yang merdeka Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Konstitusi. c) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat (1), yang secara tegas dinyatakan bahwa tiap Warga Negara Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2) Undang-Undang a) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

24 b) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. c) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. d) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3) Yurisprudensi Putusan Agung Republik Indonesia tanggal 21 Januari 1993, dengan register perkara No. 5 K/TUN/1992. b. Bahan hukum sekunder 1) Fockema Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum Cetakan I, Binacipta, Bandung. 2) Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta. 3) Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. 4) Marbun, SF, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta. 5) Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

25 6) Philipus M. Hardjon, dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 7) R. Wiyono, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara edisi Kedua, Sinar Grafika, Ngunut. 8) Riawan Tjandra, 2009. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 9) Riawan Tjandra, 2010, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 10) Rochmat Soemitro, 1987, Peradilan Tata Usaha Negara, PT Eresco, Bandung. 11) Soegijatno Tjakranegara, 1992, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 12) Titik Triwulan T., dan Ismu Gunadi Widodo, 2010, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group. 13) Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. c. Narasumber Dalam penelitian ini akan diperlengkapi dengan pendapat dari narasumber yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang dijadikan penelitian. Narasumber tersebut ialah :

26 a) Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. b) Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum dan non hukum, baik dari buku maupun internet dan lain sebagainya. b. Wawancara Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengajukan pertanyaan yang sudah disiapkan. Pertanyaan secara terstruktur ditujukan kepada narasumber, dengan memberikan pertanyaan seputar eksistesi Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, dengan kendala-kendala yang dihadapi serta upaya apa saja yang telah ditempuh untuk menanggulangi kendala tersebut. 4. Analisis Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan secara lengkap, kemudian disistematisasikan untuk dilakukan analisis. Metode yang dipergunakan dalam menganalisis data adalah deskriptif kualitatif dengan alur berpikir deduktif, yaitu dimulai dari peraturan hukumnya dan kemudian dibawa ke masalah yang sebenarnya. Deskriptif yaitu menganalisis data dengan cara memaparkan secara terperinci dan tepat

27 tentang suatu fenomena tertentu terkait dengan eksistensi Ultra Petita dalam Pelaksanaan Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. Kualitatif yaitu menganalisis pemaparan hasil-hasil penulisan yang sudah disistematisasikan tersebut dengan cara yang didapat dari teori-teori hukum dan hukum positif untuk dapat menjelaskan permasalahan penelitian hukum ini dalam bentuk kalimat yang mudah dipahami dan bersifat ilmiah. Langkah terakhir dalam menarik kesimpulan dilakukan dengan proses berpikir deduktif. Proses berpikir deduktif berawal dari hasil pengamatan yang diperoleh yang kemudian disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. H. Sistematika Skripsi Sistematika skripsi terdiri atas 3 BAB, yaitu : 1. BAB I PENDAHULUAN BAB I terdiri atas : a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d. Manfaat Penelitian e. Keaslian Penelitian f. Batasan Konsep g. Metode Penelitian h. Sistematika Skripsi

28 2. BAB II PEMBAHASAN a. Penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. b. Kendala penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. c. Upaya yang ditempuh untuk mengatasi kendala penerapan Ultra Petita dalam pelaksanaan fungsi peradilan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. 3. BAB III PENUTUP BAB III berisi : a. Kesimpulan b. Saran