I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil (PPK). PPK memiliki nilai penting dan tergolong unik bila ditinjau dari sisi sumberdaya alam, geografi, sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan dan keamanan Indonesia. Umumnya, lingkungan PPK mempunyai lebih dari satu ekosistem dan sangat peka terhadap perubahan, sehingga perubahan satu ekosistem dengan cepat akan mempengaruhi ekosistem lain. Walaupun hanya sebagian kecil saja dari PPK berpenduduk, akan tetapi sulit untuk dikatakan bahwa potensi sumberdaya ini bebas dari eksploitasi atau dampak kegiatan manusia (Bengen dan Retraubun 2006). Hal ini terkait dengan potensi ekonomi sumberdaya dan ekosistem yang dimilikinya, dan sebagai modal dasar pembangunan nasional di masa yang akan datang (Hein 1990). Kawasan PPK menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, sumberdaya ikan dan energi kelautan, dan memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alamnya (Dahuri 2003). Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus, pembangunan PPK memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lain, khususnya dengan wilayah daratan utama. Terdapat dua pandangan yang saling bertentangan dalam pemanfaatan PPK, yakni pandangan yang menganggap bahwa kawasan ini harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologi yang penting, dan pandangan yang menyatakan bahwa kawasan PPK merupakan kawasan yang potensial dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (Bengen dan Retraubun 2006). Meningkatnya kecenderungan pasar pariwisata internasional untuk berwisata di kawasan yang masih alami memberikan peluang besar dalam pengembangan pariwisata PPK. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan agar setiap daerah mengembangkan dan mengelola potensi daerahnya masing-masing. Pemerintah Pusat memiliki tanggung jawab dalam menyiapkan kebijakan makro sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah. Sementara pemerintah daerah berperan dalam penyusunan peraturan, pengawasan, dan
2 pemantauan pengelolaan pariwisata PPK. Sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia, Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah diperkirakan memiliki potensi sumberdaya PPK yang cukup besar yakni 211 pulau, dan umumnya berada di Kepulauan Togean (BRKP 2008). Sesuai dengan daya tarik obyek wisata, kegiatan pariwisata di wilayah ini mengandalkan pariwisata bahari kategori wisata selam, snorkeling, pancing, jelajah hutan alam (trecking) dan hutan mangrove. Kegiatan wisata di Kepulauan Togean telah dilakukan sejak 20 tahun lalu dan semakin berkembang pada pertengahan tahun 1990-an. Jumlah wisman yang berkunjung pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8 000 (665 orang per bulan). Penurunan jumlah wisman terjadi antara tahun 2000-2003 (sekitar 20 wisman perbulannya). Proporsi wisatawan yang berkunjung yakni mancanegara (80%) dan domestik (20%) (Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una 2006). Potensi dan pemanfaatan sumberdaya PPK bagi kegiatan wisata pesisir dan bahari seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Namun, meningkatnya pertumbuhan penduduk dari 4.45% pertahun (2000-2004) menjadi 6.12% (2004-2005) dan kegiatan pembangunan di Kabupaten Tojo Una- Una, maka tekanan terhadap ekosistem di wilayah pesisir PPK semakin meningkat pula. Kondisi ini dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan sumberdaya PPK, baik secara langsung maupun tidak langsung (Bengen 2001). Keprihatinan akan kerusakan lingkungan PPK yang diikuti menurunnya kesejahteraan penduduk, dan kemajuan pembangunan yang bertumpu pada dimensi ekonomi semata, melahirkan paradigma pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Marvell dan Watkins 2005). Saat ini terjadi pergeseran paradigma pembangunan pariwisata dari pariwisata massal (mass tourism) yang cenderung mementingkan ekonomi menjadi pariwisata yang lebih menekankan pada kelestarian sumberdaya alam dan kesejahteraan manusia atau biasa diistilahkan sebagai ekowisata. Ekowisata juga menganut konsep yang secara konsisten mengedepankan interaksi yang positif di antara para pelakunya (Weaver 2001). Terkait dengan hal tersebut, maka pengelolaan ekowisata harus mencakup kegiatan yang mensinergikan kelestarian lingkungan (ekologi), sektor penunjang (fisik), kepentingan masyarakat (sosial ekonomi), dan seperangkat aturan berikut pelaksanaannya (kelembagaan) (Webster 1990).
3 Dimensi ekologi menyangkut kualitas lingkungan dalam arti luas, dan memiliki hubungan yang kompleks dengan aktivitas ekowisata bahari. Hubungan antara keberagaman aktivitas ekowisata bahari dapat menghasilkan dampak positif seperti kelestarian alam, kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan implikasi upaya-upaya komprehensif tentang pembiayaan untuk konservasi dan pengelolaannya. Sebaliknya, kegiatan selama pembangunan prasarana fisik (dermaga, jalan, jembatan dan resort) dapat bersifat langsung, atau tidak langsung dapat berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan (Tisdell 1998a). Dimensi sosial dan ekonomi dalam ekowisata bahari bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk lokal. Keberadaan nilainilai budaya masyarakat lokal yang dipertahankan, akan memberikan manfaat langsung secara ekonomi. Dimensi sosial tidak hanya mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat, tetapi juga mengorganisasikannya untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal bagi masing-masing komponen. Sektor produksi ekowisata secara langsung atau tidak lahir akibat permintaan pasar jasa rekreasi yang spesifik. Permintaan produk ekowisata bagi wisatawan bukan sepenuhnya dilandasi oleh dimensi ekonomi, sehingga harga tidak menjadi variabel yang penting. Pengunjung datang ke kawasan ekowisata ditujukan untuk memperoleh kepuasan, pengetahuan, manfaat lain bagi kepentingan konservasi (Orams 1999). Dimensi kelembagaan dalam kegiatan pariwisata dapat membantu mengendalikan dampak buruk akibat aktivitas kegiatan wisata. Aturan ambang batas jumlah rombongan misalnya, akan secara signifikan mengurangi tekanan terhadap daya dukung lingkungan. Selain daya dukung lingkungan (ekologi), faktor jumlah infrastruktur usaha wisata dan penunjangnya berkontribusi secara tidak langsung terhadap efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata bahari (Wong 1991). Seberapa besar batas daya dukung tersebut, memerlukan kajian teknis yang teliti dan dinamis terhadap kemungkinan perubahan dalam jangka panjang (keberlanjutan pengelolaan) ekowisata bahari. 1.2. Perumusan Masalah Ekosistem terumbu karang dan mangrove di Kepulauan Togean merupakan ekosistem yang terancam mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dan faktor-faktor alam. Kerusakan pada ekosistem terumbu karang
4 disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain penggunaan bahan peledak, potasium sianida, penangkapan ikan dengan cara/alat yang merusak, pengambilan karang untuk bahan bangunan, sedimentasi akibat pembukaan lahan di daratan dan sebagainya (Hutabarat 2001). Degradasi terumbu karang teridentifikasi melalui penurunan luasan karang dari 11 064.33 ha pada tahun 2001 menjadi 9 767.98 ha pada tahun 2007 (Zamani et al. 2007). Permasalahan utama tekanan terhadap ekosistem mangrove di Kepulauan Togean adalah pemanfaatan mangrove untuk perumahan dan untuk kayu bakar (CII 2004). Selain itu, sekitar lima tahun terakhir ini muncul bentuk ancaman lain yakni pengambilan kulit mangrove jenis Rhizopora sp yang berdiameter sekitar 20-30 cm untuk bahan lirang (pewarna jaring) pada Bagan Perahu. Kegiatan ini terjadi di Teluk Kilat dilakukan dengan menguliti pohon secara melingkar dengan panjang sekitar 1.5 m (CII 2006). Secara keseluruhan penurunan luas mangrove di Kepulauan Togean yakni 5 322.84 ha pada tahun 2001 menjadi 5 050.91 ha pada tahun 2007 (Zamani et al. 2007). Penurunan luasan mangrove ini dikhawatirkan dapat mempercepat dan meningkatkan tingkat sedimentasi sehingga berdampak pada degradasi sumberdaya pesisir di PPK. Tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya PPK juga diperburuk oleh kurangnya penegakan hukum bagi pelanggar, dan belum adanya rencana tata ruang kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) sehingga berpeluang memicu terjadinya konflik antar pengguna sumberdaya PPK. Kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya kawasan ini sebagai taman nasional belum mampu mencegah dan mengurangi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang sifatnya merusak. Di lain hal, pengalihan hak penguasaan pulau ke pengusaha wisata menyebabkan aksesibilitas nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dan non-ikan di wilayah tersebut juga terbatas. Usaha wisata pesisir di Kepulauan Togean telah berlangsung selama 10 tahun terakhir (sebelum adanya TNKT) dan dilakukan oleh investor asing. Secara ekologis dan dalam kawasan PPK yang terbatas, kegiatan wisata pesisir yang diselenggarakan oleh pihak swasta mampu menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang dan mangrove. Di sisi lain, melalui pendidikan lingkungan yang diperoleh dari LSM, masyarakat setempat juga mulai mampu menjaga kelestarian sumberdaya
5 dan lingkungannya melalui pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Namun, keberadaan DPL belum mampu memberikan manfaat ekonomi dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat lokal oleh karena belum adanya komitmen yang saling menguntungkan antara pengusaha wisata dengan pengelola DPL sehingga prinsip ekowisata belum dicapai. Rendahnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata PPK berpeluang terjadinya konflik horisontal antara pihak pengusaha wisata dengan masyarakat lokal. Realitas ini menunjukkan bahwa pemanfaatan PPK yang kurang terencana, terintegrasi dan rendahnya penegakan hukum bagi pelanggar, akan menyebabkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Kondisi penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya akan berdampak pada penurunan daya tarik (attractiveness) kawasan PPK terhadap minat berwisata. Akibatnya, tingkat kesejahteraan masyarakat dan kontribusi sektor wisata terhadap perekonomian masyarakat dan daerah mengalami penurunan dan tidak berkelanjutan. Ini mengindikasikan bahwa pengelolaan ekowisata bahari di TNKT belum sesuai dengan tujuan pada dimensi sosial ekonomi (partisipasi dan kesejahteraan) masyarakat dan dimensi kelembagaan TNKT. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka evaluasi akan efektivitas kebijakan konservasi dan keberlanjutan pengelolaan wisata pesisir di TNKT sangat diperlukan. Agar pengelolaan wisata lebih efektif dan optimal, maka hal yang harus dipertimbangkan adalah tingkat kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologi kawasan PPK (Depdagri 2009). Beberapa peneliti menggunakan metode multidimensional scalling (MDS) dalam mengevaluasi status keberlanjutan suatu sumberdaya, baik pada sumberdaya perikanan, terumbu karang maupun PPK. Penelitian ini menggunakan metode MDS dan melalui proses yang berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam menganalisis efektivitas pengelolaan ekowisata PPK berdasarkan kesesuaian dan daya dukung kawasan. Sementara, analisis model dinamik dan skenario pengelolaan ekowisata pesisir digunakan untuk mengkaji tingkat keberlanjutan pengelolaan ekowisata di PPK (alur pikir penelitian disajikan pada Gambar 1).
6 POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN TNKT Potensi sumberdaya alam PPK: - Ekosistem mangrove - Ekosistem terumbu karang - Ekosistem pantai berpasir - Sumberdaya ikan dan non-ikan - Kualitas perairan Belum ada zonasi TNKT Pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Togean Potensi Sosial Ekonomi: - Jumlah penduduk - Pendidikan dan keterampilan - Peningkatan Pasar wisata - Modal - Infrastruktur dan teknologi Kegiatan lainnya Permasalahan biofisik (ekologi): - Kerusakan ekosistem terumbu karang - Kerusakan ekosistem mangrove - Penurunan potensi perikanan - Pencemaran perairan dan sedimentasi Wisata Pesisir Permasalahan sosial, ekonomi dan kelembagaan: - Rendahnya pendapatan masyarakat - Pengangguran - Konflik antar pemanfaatan Pengelolaan wisata pesisir belum efektif dan berkelanjutan Diperlukan Konsep Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Input Identifikasi Potensi, Kesesuaian Pemanfaatan dan Estimasi Daya Dukung berdasarkan: - Dimensi ekologi - Dimensi ekonomi - Dimensi sosial - Dimensi Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir Analisis Deskriptif, PCA dan Spasial Analisis 4 Dimensi Daya Dukung dan Integrasinya MDS (Metode EFANSIEC) STATUS KEEFEKTIFAN PENGELOLAAN EKOWISATA DI PPK Input untuk keefektifan dan keberlanjutan pengelolaan Input rencana zonasi TNKT Optimasi Pengelolaan Ekowisata Integrasi Sub Model Ekologi, Ekonomi, Sosial dan Kelembagaan Analisis Sistem Dinamik Skenario pengelolaan MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA PPK YANG OPTIMAL DI TNKT Gambar 1 Diagram alur pikir penelitian
7 Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan dan menjadi kajian dalam penelitian ini, yakni: 1. Apakah pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT sudah efektif berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. 2. Bagaimana pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal di gugus Pulau Togean TNKT, ditinjau dari dimensi keberlanjutan sumberdaya PPK (ekologi), partisipasi masyarakat (sosial), kesejahteraan masyarakat (ekonomi) dan peningkatan peran seluruh pemangku kepentingan (dimensi kelembagaan). 1.3. Tujuan dan Kegunaan Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean, ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Berdasarkan tujuan umum tersebut, selanjutnya diuraikan tujuan spesifik penelitian, yakni: 1. Mengevaluasi efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 2. Mengoptimasi pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean, melalui integrasi dimensi keberlanjutan sumberdaya PPK (ekologi), partisipasi masyarakat (sosial), kesejahteraan masyarakat (ekonomi) dan peningkatan peran seluruh pemangku kepentingan (kelembagaan). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, terutama bagi pengelolaan wisata berbasis konservasi dan budaya di PPK. 2. Sumber informasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain dalam upaya penyusunan zonasi dan rencana pengelolaan TNKT. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Mengingat kawasan TNKT merupakan wilayah administratif Kabupaten Tojo Una-Una, dan pertimbangan keterwakilan kawasan untuk kegiatan
8 ekowisata pesisir, maka lingkup wilayah penelitian dibatasi pada gugus Pulau Togean yang merupakan bagian dari wilayah TNKT. 2. Konsep ekowisata PPK dalam kajian ini merupakan suatu bentuk kegiatan wisata yang mengutamakan kealamiahan lingkungan pesisir PPK, serta mendukung upaya konservasi sumberdaya alam dan nilai budaya lokal. 3. Dimensi kajian mencakup efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata di PPK yang didasarkan pada 4 (empat) dimensi pembangunan yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. 4. Aspek kajian kualitas perairan akibat kegiatan ekowisata PPK dan kegiatan lainnya tercakup pada aspek daya dukung ekologi. 5. Kajian ekonomi mencakup penerapan konsep keseimbangan antara permintaan dan penawaran produk ekowisata pesisir di PPK. 6. Kajian sosial mencakup penerapan konsep rasio turis dan masyarakat lokal dalam menganalisis daya dukung sosial. 7. Kajian kelembagaan mencakup peran regulasi dan institusi dalam kelestarian sumberdaya PPK dan kesejahteraan masyarakat lokal. 1.5. Kebaruan Penelitian (Novelty) Kebaruan dalam penelitian ini meliputi: 1. Kebaruan dalam penggunaan model probit dalam menduga daya dukung ekologi terhadap pencemaran lingkungan di kawasan ekowisata PPK. 2. Kebaruan dalam penggunaan model keseimbangan permintaan dan penawaran produk ekowisata PPK dalam menduga daya dukung ekonomi. 3. Kebaruan dalam integrasi ke-4 daya dukung melalui metode analisis Linear Goal Programming). 4. Kebaruan dalam analisis kesesuaian ekowisata pesisir di PPK (dimodifikasi dari berbagai sumber) dan mempertimbangkan parameter nilai budaya lokal. 5. Kebaruan dalam mengevaluasi efektivitas pengelolaan ekowisata PPK melalui menggunakan metode EFANSIEC (memodifikasi metode Multidimensional Scaling). 6. Kebaruan dalam analisis keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di PPK melalui pengembangan model dinamik pengelolaan pariwisata berkelanjutan (Casagrandi dan Rinaldi 2002; Fauzi dan Anna 2005).