BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang strategis, dikuasai oleh negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi

dokumen-dokumen yang mirip
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Tentang : Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia,

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru

HEWAN YANG LANGKA DAN DILINDUNGI DI INDONESIA 1. Orang Utan (Pongo pygmaeus)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA)

- Sumber daya alam berdasarkan jenis : sumber daya alam hayati / biotik adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk hidup. contoh : tumbuhan, he

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengenal Satwa Liar dan Teknik Perlindungannya

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 Tentang : Pembenihan Tanaman

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SATWA LIAR MENURUT UU NO.5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA. Rizki Wahyunisa BaU

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1995 TENTANG PEMBENIHAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transnational Organized Crime (TOC)

*36116 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 1999 (7/1999) TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan hutan dalam. pemenuhan bahan pangan langsung dari dalam hutan seperti berburu hewan,

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PENGUSAHAAN PENANGKARAN SARANG BURUNG WALET

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. Sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya yang strategis, dikuasai oleh negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia yang berkesinambungan. Keanekaragaman hayati Indonesia memang berlimpah, namun jumlahnya bukan tidak terbatas, serta rawan dari bahaya kepunahan apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya. Sebagaimana yang diutarakan sebelumnya bahwa Satwa liar memiliki nilai Ekonomis yang tinggi. Pemanfaatan sumber daya alam hayati untuk tujuan perdagangan, khususnya satwa liar telah lama dilakukan secara fisik seperti dalam bentuk daging, kulit dan bagian-bagian lain dari padanya yang bernilai ekonomis maupun estetika seperti atraksi dan pemeliharaan satwa liar yang memperlihatkan keindahan fisik, suara dan karakter species satwa liar. Namun dalam perkembangannya keberadaaan Satwa ini semakin hari semakin berkurang bahkan hampir mendekati kepunahan. Kepunahan dalam biologi berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau sekelompok takson. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya individu terakhir spesies tersebut, walaupun kemampuan untuk berkembang biak tidak ada lagi sebelumnya 1. Kepunahan merupakan ancaman nyata bagi berbagai makhluk hidup. Sayangnya, kepunahan yang menimpa puluhan bahkan ratusan spesies hewan dan tumbuhan di seluruh dunia bukanlah karena seleksi alam, di mana yang kuat yang menang. Kepunahan itu lebih karena seleksi buatan 1 Vadlybio08, 2012,Kepunahan/Dieth Species(online), http://vadlyaidianata.wordpress.com/2012/10/18/kepunahandieth-species/ (18 mei 2013)

manusia, di mana yang tak terjamah tangan manusia yang bisa bertahan hidup 2. Kepunahan suatu spesies yang menjadi mangsa atau pemangsa dalam suatu ekosistem berdampak pada peningkatan atau penurunan jumlah populasi spesies lain. Begitu seterusnya, hingga semua spesies musnah dan ekosistem menjadi rusak dan tidak bisa kembali seperti semula. Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kepunahan diantaranya adalah : 1.Kerusakan Hutan 2.Perburuan Liar 3.Pertambahan Penduduk 4.Perkembangan Teknologi 5.Daya Regenerasi Yang Rendah 6.Campur Tangan Manusia 7.Bencana Alam Besar 8.Didesak Populasi Lain Yang Kuat 3 1. Kerusakan Hutan Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi satwa liar itu. Daratan Indonesia pada tahun 1950-an dilaporkan sekitar 84% berupa hutan (sekitar 162 juta ha), namun kini pemerintah menyebtukan bahwa luasan hutan Indonesia sekitar 138 juta hektar. Namun berbagai pihak menybeutkan data yang berbeda bahwa luasan hutan Indonesia kini tidak lebih dari 120 juta hektar. 4 2 Ibid 3 Ibid, 4 Admin, 2012, Fakta tentang Satwa Liar di Indonesia(online), http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-diindonesia#.ui_vafjs5y0 (30 oktober 2012)

Kerusakan hutan juga berperan dalam menurunnya kenekaragaman hayati (spesies). Betapa tidak hutan sebagai rumah bagi satwa semakin hari semakin berkurang, akibat berkurangnya luas hutan maka mempengaruhi juga terhadap perubahan iklim. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industry dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera, dan gajah sumatera, dengan demikian mendorong kepunahan spesies semakin bertambah tinggi. 2. Perburuan Liar Perburuan liar banyak dilakukan oleh masyarakat,misalnya perburuan burung jalak putih, karena jenis burung itu laku dijual mahal di pasar-pasar burung di kota, sehingga para pemburu liar ini mendapat penghasilan yang cukup besar dari memperdagangkan burung itu. Selain sebagai factor ekonomi, perburuan satwa liar itu juga sering berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat satwa ini dimusnahkan. Dan hal ini tentu saja menambah panjang deretan kepunahan jenis satwa di Indonesia. Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula harganya 5. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. 5 Ibid,

Perdagangan satwa liar itu adalah kejam! Sekitar 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang. Sebanyak 70% primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan perilaku. Banyak dari penyakit yang diderita satwa itu bisa menular ke manusia 6. 3. Pertambahan Penduduk Pertambahan penduduk adalah ancaman terbesar dari masalah lingkungan hidup di Indonesia dan bahkan dunia saat ini. Setiap orang memerlukan energi, lahan dan sumber daya yang besar untuk bertahan hidup. Jika populasi bisa bertahan pada taraf yang ideal, maka keseimbangan antara lingkungan dan regenerasi populasi dapat tercapai. 4. Perkembangan Teknologi Semakin maju perkembangan teknologi, banyak cara praktis dan mudah yang dapat dilakukan, misalnya dalam bidang pertanian, di gunakannya pupuk kimia dan pestisida yang semakin tak terkendali. Perkembangan teknologi yang pesat, memudahkan orang untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan semakin mudah dilakukan. 5. Daya Regenerasi Yang Rendah Banyak hewan yang butuh waktu lama untuk masuk ke tahap berkembang biak, biasa memiliki satu anak perkelahiran, butuh waktu lama untuk merawat anak, sulit untuk kawin, anaknya sulit untuk bertahan hidup hingga dewasa, dan sebagainya. 6. Campur Tangan Manusia Adanya manusia terkadang menjadi malapetaka bagi keseimbangan makhluk hidup di suatu tempat. Manusia kadang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga rela membunuh secara membabi buta tanpa memikirkan regenerasi hewan atau tumbuhan tersebut. Gajah 6 Ibid

misalnya dibunuhi para pemburu hanya untuk diambil gadingnya, harimau untuk kulitnya, monyet untuk dijadikan binatang peliharaan, dan lain sebagainya.perubahan areal hutan menjadi pemukiman, pertanian dan perkebunan juga menjadi salah satu penyebab percepatan kepunahan spesies tertentu. Mungkin di jakarta jaman dulu terdapat banyak spesies lokal, namun seiring terjadinya perubahan banyak spesies itu hilang atau pindah ke daerah wilayah lain yang lebih aman. 7. Bencana Alam Besar Adanya bencana super dahsyat seperti tumbukan meteor seperti yang terjadi ketika jaman dinosaurus memungkinkan banyak spesies yang mati dan punah tanpa ada satu pun yang selamat untuk meneruskan keturunan di bumi. Sama halnya dengan jika habitat spesies tertentu yang hidup di lokasi yang sempit terkena bencana besar seperti bancir, kebakaran, tanah longsor, tsunami, tumbukan meteor, dan lain sebagainya maka kepunahan mungkin tidak akan terelakkan lagi. 8. Didesak Populasi Lain Yang Kuat Kompetisi antar predator seperti macan tutul dengan harimau mampu membuat pesaing yang lemah akan terdesak ke wilayah lain atau bahkan bisa mati kelaparan secara masal yang menyebabkan kepunahan. A. Pengaturan tentang satwa liar yang di lindungi menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990. Dalam Pasal 2 ayat 1 PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar, disebutkan bahwa Satwa liar dan jenis tumbuhan ternyata dapat dimanfaatkan dengan tujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Adapun pemanfaatanya menurut Pasal 28 UU No. 5 Tahun

1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat dilakukan dalam bentuk: a. pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e. peragaan; f. pertukaran; g. budidaya tanaman obat-obatan; h. pemeliharaan untuk kesenangan. Senada dengan penjelasan diatas, dalam Pasal 3 PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar juga mengatur bahwa Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk: a. Pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. Penangkaran; c. Perburuan; d. Perdagangan; e. Peragaan; f. Pertukaran; g. Budidaya tanaman obat-obatan; dan h. Pemeliharaan untuk kesenangan. Dari beberapa bentuk pemanfaatan diatas penulis membatasi pada Penangkaran, Perburuan, Perdagangan, dan Pemeliharaan untuk kesenangan dalam kajian kali ini, sebab ke

empat hal tersebut adalah kajian yang sering menjadi topic pembicaraan menyangkut pemanfaatan jenis satwa liar yang dilindungi. 1. Penangkaran Satwa Liar. Untuk menjamin lestarinya keberadaan dan fungsi sumberdaya alam hayati, serta guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu dilakukan tindakan konservasi berupa pengelolaan yang berkelanjutan yang menjamin terjadinya keseimbangan antara kegiatan pelindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati, salah satunya adalah melalui kegiatan Penangkaran Satwa Liar. Dunia internasional telah menetapkan 3 pilar pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu : (1) Konservasi, (2) pemanfaatan lestari (berkelanjutan), dan (3) pembagian yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik dan unsur keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini telah membuat fokus baru yang lebih terarah dibanding dengan Strategi Konservasi Dunia yang digalang oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada tahun 1982 yang diadopsi oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mendasarkan konservasi pada 3P (Pelindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah, dan Pemanfaatan berkelanjutan) 7. Mengenai boleh tidaknya seseorang atau badan hukum menyimpan, memelihara atau memiliki satwa dilindungi, hal tersebut diperbolehkan dengan mengacu pada ketentuan dan syarat yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar. Salah satunya dengan melakukan penangkaran atau membeli satwa dilindungi dari penangkaran. Penangkaran adalah 7 Kementrian Kehutanan, Rancangan Undang-undang tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Konservasi Kehati)

mengembangbiakan satwa-satwa domestik. Satwa domestic tersebut awalnya liar dan ditangap melalui perburuan, jerat, jaring dari alam bebas. Penangkaran adalah salah satu upaya penyelamatan dan perbanyakan populasi jenis untuk menghindarkan kepunahan 8. Penangkaran Satwaliar merupakan program konservasi eksitu yang sangat penting untuk mengembangkan populasi jenis-jenis satwaliar yang terancam punah, maupun untuk mengembangkan populasi satwaliar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 7 ayat (1),(2) penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan : a. Pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol b. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam. c. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi. Dalam regulasinya dikatakan bahwa siapa saja baik perorangan atau badan hukum, koperasi dan lembaga konservasi diperbolehkan untuk melakukan penangkaran dengan atas izin dari Menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, dengan syarat-syarat yang tercantum dalam peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 15 ayat (1) dan (2) sebagai berikut : a. mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli di bidang penangkaran jenis yang bersangkutan; b. memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis; 8 Admin, 2011, Pemanfaatan dan Penangkaran Satwa Langka (online), http://dawibo.wordpress.com/2011/03/28/pemanfaatan-dan-penangkaran-satwa-langka/ (20 mei 2013)

c. membuat dan menyerahkan proposal kerja. Dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran, penangkar berkewajiban untuk: a. membuat bukti induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan; b. melaksanakan sistem penandaan dan atau sertifikasi terhadap individu jenis yang ditangkarkan; c. membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada pemerintah. Selain ketentuan diatas, penangkar wajib memberi penandaan dan atau sertifikasi atas hasil tumbuhan dan satwa liar yang ditangkarkan. (Pasal 14 ayat (1), apabila ketentuan diatas tidak dilakukan maka dapat dikenai sanksi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 55 yakni, dapat dihukum denda administrasi sebanyakbanyaknya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha penangkaran. Penangkaran satwa liar di Indonesia merupakan suatu bentuk konservasi ek-situ yaitu konservasi tumbuhan dan/atau satwa yang dilakukan di luar habitat alaminya. untuk melindungi kelestarian jenis masih mempunyai banyak permasalahan yang harus segera diatasi supaya kelestarian dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud. Permaslahan secara umum dalam pengelolaan konservasi ek-situ satwa liar adalah ukuran populasi yang terbatas, hal ini disebabkan oleh luas area pengelolaan/pemeliharaan/penangkaran satwa liar sangat terbatas dan tidak terlalu besar sehingga populasi yang ditampung juga terbatas 9. Permasalahan umum lainnya adalah terjadinya penurunan kemampuan adaptasi, daya survive dan keterampilan belajar satwa, kondisi ini disebabkan oleh keadaan satwa liar di lembaga konservasi sangat bergantung kepada manusia sehingga sifat alamiahnya semakin lama semakin menurun. Permasalahan lainnya adalah variabilitas genetik satwa 9 Ibid,

liar yang terbatas karena di dalam lembaga konservasi ek-situ, satwa liar hanya mendapat pasangan reproduksi yang sama dalam reproduksinya sehingga akan melemahkan sumberdaya genetik satwa liar. Selain itu, dana yang besar juga merupakan kendala yang dihadapi dalam konservasi ek-situ satwa liar, hal ini disebabkan oleh bentuk lembaga konservasi merupakan suatu bentuk usaha yang padat modal 10. Untuk melakukan kegiatan konservasi sebagaimana di maksud hanya dapat di lakukan oleh Lembaga Konservasi. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga maupun lembaga non pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan Lembaga konservasi untuk kepentingan umum adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang dalam peruntukan dan pengelolaannya mempunyai fungsi utama dan fungsi lain untuk kepentingan umum. Selain itu ada juga yang dinamakan Lembaga konservasi untuk kepentingan khusus adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang dalam peruntukan dan pengelolaannya difokuskan pada fungsi penyelamatan atau rehabilitasi satwa 11. Dalam hal penangkaran, satwa yang hendak ditangkarkan dapat diambil langsung di alam liar dan sumber-sumber lain yang sah dengan ketentuan yang berlaku dan atas izin menteri Kehutanan, hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar pada Pasal 8, apabila seseorang 10 Ibid, 11 Yasmen chaniago,2012,pengertian-pengertian dalam Konservasi Tumbuhan atau Satwa Liar(online), http://www.wisatakandi.com/2012/12/pengertian-pengertian-dalam-konservasi.html(18 mei2013)

melanggar ketentuan tersebut maka dikenai sanksi yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (3), dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 2. Perburuan Tindakan pemerintah melindungi satwa langka, ternyata tidak diikuti dengan kesadaran masyarakat yang terus melakukan perburuan terhadap binatang-binatang langka yang hidup dihutan-hutan yang ada di Indonesia, sebagai salah satu contoh adalah perburuan yang dilakukan di salah satu hutan di Lampung Timur, perburuan liar secara tradisional menggunakan kawanan anjing dan tombak maupun menggunakan alat lengkap termasuk senjata api, masih menjadi ancaman yang serius atas keberadaan satwa liar langka dan dilindungi 12. Berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru (Pasal 1 ayat (1) PP No.13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru), sedangkan Perburuan adalah segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kegiatan berburu, Satwa buru adalah jenis satwa liar tertentu yang ditetapkan dapat diburu. Pelaku perburuan liar secara tradisional umumnya dilakukan warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan di Lampung, antara lain untuk mendapatkan satwa langka yang akan diambil dagingnya untuk konsumsi, maupun sekelompok pemburu liar dengan peralatan lengkap dan jaringan luas menggunakan senjata api, untuk tujuan komersial mendapatkan satwa langka, bahkan untuk dijual ke luar negeri. 12 Admin, 2010,Perburuan Satwa Langka Sulit di Hentikan (online), http://www.manadotoday.com/perburuansatwa-langka-sulit-dihentikan (18 mei 2013)

Contoh lain di daerah Sulawesi Utara, satwa yang dilindungi ini banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional, akibat para pedagang dengan leluasa memasarkan satwa yang memang dilindungi undang-undang ini., sebagai Salah satu contoh di pasar Langowan hampir semua binatang langka dapat dijumpai disini, mulai dari babi rusa, kus-kus bahkan ular Pyton (Patola-red) dijual bebas disini. Keunikan yang dijumpai, memang tak lepas dari gaya hidup masyarakat Minahasa, karena bagi mereka hewan tersebut merupakan hidangan mewah. Namun ternyata sebagian besar masyarakat khususnya yang melakukan perburuan satwa liar yang dilindungi ini tidak mengetahui jika binatang yang mereka buru tersebut termasuk dalam satwa langka yang dilindungi, karena menurut mereka satwa-satwa ini memiliki kulitas rasa daging yang lezat, sehingga permintaan mengenai satwa-satwa ini selalu banyak, sedangkan hasil tangkapannya selalu terbatas, karena sulitnya mendapatkan binatang ini, maka tidak heran ada juga masyarakat yang berani membayar dengan harga tinggi 13. Dalam Regulasinya jelas dikatakan dalam Pasal 17 ayat (1) PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar, bahwa Perburuan jenis satwa liar dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat. Untuk melakukan perburuan jenis satwa demi keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), setiap orang wajib memiliki akta buru yang terdiri dari : a. akta buru burung; b. akta buru satwa kecil; c. akta buru satwa besar. Untuk memperoleh akta buru harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 13 Ibid,

a. berumur minimal 18 tahun; b. telah lulus ujian memperoleh akta buru; c. membayar pungutan akta buru. Akta buru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat hal-hal sebagai berikut : a. identitas pemburu; b. masa berlaku akta buru; c. golongan satwa buru. Hal tersebut diatas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3). Di pasal selanjutnya Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru dikatakan akta buru dapat diberikan kepada calon pemburu setelah yang bersangkutan lulus ujian untuk memperoleh akta buru yang diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama Departemen yang mengurus bidang kehutanan. Selain itu pula dalam Pasal 15 PP No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru mengatakan surat izin berburu memuat hal-hal sebagai berikut : a. nomor akta buru; b. identitas pemburu; c. jenis dan jumlah satwa buru yang akan diburu; d. alat berburu; e. tempat berburu; f. masa berlaku izin berburu; g. ketentuan larangan dan sanksi bagi pemburu. Selain itu, surat izin berburu tidak dapat dipindahtangankan atau dipergunakan oleh orang lain. Dengan demikian jelas bahwa perburuan hanya dapat dilakukan terhadap

satwa yang tiadk termasuk dalam kategori di Lindungi oleh Undang-undang, namun untuk melakukan perburuan harus disertai dengan surat izin berburu yang diberikan oleh lembaga Negara terkait. 3. Perdagangan Pemanfaatan sumber daya alam hayati untuk tujuan perdagangan, khususnya satwa liar telah lama dilakukan secara fisik ekstraktif seperti dalam bentuk daging, kulit dan bagian-bagian lain dari padanya yang bernilai ekonomis maupun estetika seperti atraksi dan pemeliharaan satwa liar yang memperlihatkan keindahan fisik, suara dan karakter species satwa liar. Pemanfaatan Tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dewasa ini ternyata telah menimbulkan masalah besar bagi keberadaan satwa tersebut yakni berkurangnya perhatian terhadap kelestarian populasi, misal perdagangan/penyelundupan satwa ke luar negeri (illegal trading) dan kepemilikan satwa tanpa ijin. Hal ini apabila tidak di cegah maka akan berpotensi tidak hanya terjadi penurunan populasi satwa secara drastis, tetapi akan mengakibatkan terjadinya kepunahan suatu jenis satwa khususnya terhadap satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Menurut Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), Indonesia termasuk negara yang memberikan kontribusi cukup besar dalam perdagangan organ satwa liar di dunia 14. Perdagangan organ satwa liar diperuntukkan untuk memasok perdagangan obat tradisional, makanan khas, dan aksesoris (termasuk bulu/kulit binatang). Harga organ-organ satwa liar tersebut sangat tinggi di pasaran pengecer. 14 Jafar M Sidik, 2012, Internet jadi media perdagangan liar satwa(online), http://www.antaranews.com/berita/329068/internet-jadi-media-perdagangan-liar-satwa, (31 oktober 2012)

Misalnya saja seperti empedu Harimau Sumatera bisa lebih tinggi dari harga emas (logam mulia), hiasan dinding dari kulit harimau bisa laku dengan harga Rp26 juta per buah 15. Bahkan perkembangan terbaru dari Perdagangan Satwa langka ini adalah di lakukan dengan menggunakan media jejaring social internet. Perdagangan satwa langka yang selama ini berlangsung tertutup dan ilegal atau hanya bisa dijumpai di pusat-pusat perdagangan satwa tertentu, kini lebih mudah dan terbuka asal mengerti teknologi internet. Dalam satu tahun terakhir ini, berbagai jenis satwa langka bisa didapatkan dengan mudah melalui situs-situs perdagangan online, bahkan sudah merambah jejaring sosial seperti Facebook dan twitter. Pemilik satwa langka secara terang terangan mempromosikan satwanya lewat jejaring sosial, modus operandinya yakni penjual memasang foto satwa yang diperdagangankan dan memuat No HP penjual serta harganya. Pembeli terlebih dahulu mentransfer sejumlah uang, kemudian satwa liar yang dibeli dikirim melalui jasa pengiriman barang atau diambil langsung pada tempat yang ditentukan sepihak oleh pedagang secara tertutup, akibatnya perdagangan itu sulit ditangani karena sistem perdagangannya dilakukan dengan media social yang transaksinya seringkali tidak bertemu langsung dengan pedagangnya. Hal ini jelas mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan yang akan dilakukan oleh pihak yang berwajib. Jenis satwa yang banyak diperdagangkan melalui media internet itu antara lain kancil (Tragulus javanicus), trenggiling (Manis javanica), kijang (Muntiacus mutjack), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), lutung jawa (Trachypithecus auratus), kukang (Nycticebus sp), elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), kakatua raja (Probosciger atterimus) dan kakatua seram (Cacatua molucensis). Adapun 15 Ibid

situsjejaring social yang melakukan perdagangan satwa langka melalui media internet di antaranya adalah Toko Bagus, Kaskus dan Berniaga.com, namun kemudian di tahun 2012 Situs Toko Bagus sepakat dengan ProFauna untuk tidak menayangkan iklan yang menawarkan satwa dilindungi. Kebijakan dari Toko Bagus itu merupakan contoh yang baik dan seharusnya segera ditiru oleh perusahaan lainnya 16 Namun perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan Perdagangan atau jual beli Satwa liar baik dalam bentuk utuh, daging, kulit dan bagian-bagian lainnya, tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja melainkan harus diawali dengan penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi 17. Penyusunan kuota didasari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas, sehingga membutuhkan peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan perguruan tinggi untuk membantu memberikan informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dapat dimanfaatkan. Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa juga dilakukan terhadap penangkapan satwa liar dari alam, hal ini bertujuan supaya satwa liar dapat dimanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap) oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 16 Endang Sukarelawati, 2012, Modus baru Perdagangan Satwa Langka via online (online), http://www.antaranews.com/berita/350524/modus-baru-perdagangan-satwa-langka-via-online (20 mei 2013) 17 Admin, 2011, Pemanfaatan dan Penangkaran Satwa Langka (online), http://dawibo.wordpress.com/2011/03/28/pemanfaatan-dan-penangkaran-satwa-langka/ (20 mei 2013)

8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar bahwa Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri, dalam hal ini dilakukan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Hal ini di tujukan agar penangkapan spesimen satwa liar tidak merusak habitat atau populasi di alam, serta untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup supaya tidak menimbulkan kematian dalam jumlah yang banyak yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar. Pengecualian dari Pasal 19 ayat (1) diatas adalah perdagangan dalam skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Areal Buru dan di sekitar Taman Buru sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan tentang perburuan satwa buru. Menurut Tarsoen Waryono Pelanggaran-pelanggaran dalam bidang perlindungan satwa liar terbesar dilakukan dengan penangkapan dan pemasaran satwa liar secara ilegal yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu : 1. Kelompok pemanfaat di daerah Hulu 2. Kelompok Perantara 3. Kelompok pemnafaatan daerah Hilir 18. a. Kelompok pemanfaat di daerah hulu. Kelompok ini adalah para penagkap di alam bisanya merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai habitat satwa liar. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bujukan untuk menangkap satwa liar karena keterbatasan pengetahuan dan perbedaan sosial ekonomi dengan masyarat di luar 18 Tarsoen Waryono,Aspek Pengendalian Perdagangan Ilegal Satwa Liar yang di Lindungi di Provinsi DKI Jakarta, Kumpulan Makalah Periode 1987-2008(pdf), Jakarta, 2009, Hal.2-3

hutan. Walaupun banyak suku di Indonesia yang memiliki kearifan dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, tetapi ketidakberdayaan terhadap akses informasi, sosial dan ekonomi menyebabkan lunturnya budaya yang menjaga keseimbangan ekosistem hutan, sehingga menyebabkan mereka melakukan perburuan terhadap satwa liar. Dalam Pasal 1 Butir 4 PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru mengatur juga mengenai satwa buru, dimana satwa buru adalah jenis satwa liar tertentu yang ditetapkan dapat diburu, berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat, dan keseimbangan ekosistem. Dan yang terpenting adalah dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru dikatakan bahwa Satwa buru pada dasarnya adalah satwa liar yang tidak dilindungi. Dengan demikian jelaslah sudah Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk di buru. b. Kelompok Perantara Kelompok ini bergerak sangat dinamis ke segala penjuru tanah air untuk melakukan negosiasi dan memesan berbagai satwa liar yang dilindungi. Kebanyakan kelompok ini terdiri dari orang-orang yang telah mengetahui bahwa pemanfaatan satwa liar telah diatur oleh pemerintah dan mereka berspekulasi untuk memperoleh keuntungan besar dan cepat tanpa memperhitungkan prinsip-prinsip kelestarian. Faktor ekonomi adalah alas an kuat bagi kelompok ini sehingga mengenyampingkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, yang tanpa mereka sadari tindakan mereka itu akan merugukan lingkungan karena habitat yang tidak terjaga, sehingga pada akhirnya akan merugikan generasi-generasi mendatang. c. Kelompok Pemanfaatan Hilir

Pedagang di perkotaan yang secara sembunyi-sembunyi menjual jenis satwa liar yang dilindungi baik untuk kalangaan domestik maupun luar negeri. Kebijakan pemerintah untuk perlindungan satwa liar adalah: (a). Perlindungan sistem ekologis penyangga kehidupan, (b) Pengawetan keanekaragaman hayati, dan (c). Pemanfaatan secara Lestari. Kelompok ini dalam perkembangannya tidak hanya melakukan transaksi jual beli secara langsung, tetapi juga memanfaat media internet untuk melakukan perdagangan terhadap satwa liar yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam melakukan perdagangan satwa persoalan penting yang perlu diperhatikan adalah dalam hukum positif kita jelas menekankan bahwa Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan hanyalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Selain itu tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar baik untuk tujuan ekspor maupun impor wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Dokumendokumen yang dimaksud sah apabila telah mendapatkan Izin mentri dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar, sebagai berikut: a. memiliki dokumen pengiriman atau pengangkutan; b. izin ekspor, re-ekspor, atau impor; c. rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority). Agar perdagangan satwa ini tidak akan merugikan bagi masyarakat, bangsa dan Negara maka perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terkait, sebagai salah satunya adalah pengendalian perdagangan satwa liar di dalam negri harus dilakukan dengan upaya pengendalian dalam penerbitan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan

Satwa Dalam Negri), pemeriksaan stok satwa yang ada pada pengedar ataupun penangkar satwa, serta pemeriksaan stok yang akan dimohonkan SATS-LN atau yang akan diekspor. Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan peredaran satwa liar di dalam negri maka BKSDA telah bekerjasama dengan Balai/Kantor Karantina Hewan yang ada di daerah. Sedangkan untuk peredaran ke luar negri maka BKSDA melakukan kerja sama dengan Balai/Kantor Karantina dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, kepolisisn, serta Departemen Perdagangan (Deperindag). Dalam proses pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia menurut Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa dilakukan atas dasar ijin Menteri, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang, dan dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku. Senada dengan hal itu dalam Pasal 42 PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar menjelaskan bahwa Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan ke luar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau penangkutan. Dokumen dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. standar teknis pengangkutan; b. izin pengiriman; c. izin penangkaran bagi satwa hasil penangkaran; d. sertifikat kesehatan satwa dari pejabat yang berwenang.

Izin pengiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b wajib memuat keterangan tentang: a. jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa; b. pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan; c. identitas Orang atau Badan yang mengirim dan menerima tumbuhan dan satwa; d. peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Sedangkan untuk 11 (sebelas) tumbuhan liar jenis Raflesia dan satwa liar tertentu hanya dapat di pertukarkan atas persetujuan Presiden diatur dalam Pasal 34 PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Tumbuhan jenis Raflesia dan satwa liar yang dimaksud adalah: a. Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi); b. Babi rusa (Babyrousa babyrussa); c. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus); d. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis); e. Biawak Komodo (Varanus komodoensis); f. Cendrawasih (Seluruh jenis dari famili Paradiseidae); g. Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi); h. Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae); i. Lutung Mentawai (Presbytis potenziani); j. Orangutan (Pongo pygmaeus); k. Owa Jawa (Hylobates moloch)

4. Pemeliharaan Untuk Kesenangan Pemelihara satwa sebagai hewan kesayangan semakin hari mengalami peningkatan. Sisi positifnya adalah peningkatan ini juga diiringi dengan kepeduliaan si pemelihara terhadap hewannya, hal ini dapat dilihat dari maraknya pet shop-pet shop yang berdiri dengan omzet yang lumayan besar. Namun sayangnya, peningkatan tersebut juga seiring dengan peningkatan pemeliharaan satwa liar dilindungi, karena ternyata masih banyak juga satwa-satwa liar dilindungi yang diperdagangkan dan dipelihara, dan bahkan saat ini sudah terdapat banyak komunitas atau klub yang menyebut komunitasnya sebagai pencinta satwa liar tersebut, serta juga banyak media massa yang meliputnya sebagai satwa yang bisa dijadikan pet animal. Kebanyakan masyarakat yang mempunyai atau memelihara satwa liar adalah juga merupakan pemelihara hewan domestik (anjing, kucing, dan kelinci). Walupun beberapa diantaranya adalah calon pemelihara atau belum pernah memelihara hewan. Sebagian pemelihara satwa liar (kebanyakan kukang, otter, kucing hutan, elang, dan primata tertentu) mengaku bahwa mereka memelihara karena lucu, eksotik, kasihan, dan alasan ekonomi, dan status sosial. Apabila ditanyakan mengenai status satwa liar tersebut, sebagian besar dari mereka memelihara satwa liar karena ketidaktahuan mereka, dan sebagian lagi mengaku sudah mengerti mengenai status satwa liar tersebut dan menurut mereka alas an memelihara karena semakin langka satwa tersebut maka semakin menarik untuk dijadikan hewan peliharaan. Informasi-informasi dan kampanye-kampanye pelarangan pemeliharaan satwa liar sebaiknya memang harus sering-sering digalakkan kepada masyarakat, terutama pihakpihak yang memang mempunyai relasi dengan si pemelihara hewan kesayangan supaya

tidak ikut-ikutan memelihara satwa liar. Tidak memelihara satwa liar dan tidak memperdagangkan satwa liar merupakan salah satu cara untuk menjaga kelestarian satwa liar di habitatnya. Satwa liar akan lebih aman dan berkembang jika mereka hidup di habitatnya. Perlu juga diwaspadai bahwa semakin satwa liar dekat dengan manusia, maka akan banyak terjadi perpindahan penyakit dari satwa ke manusia (zoonosis) dan kepunahan mereka akan cepat terjadi. Berdasarkan pasal 2 PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa yang merupakan turunan hukum dari UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pemeliharaan atau pengawetan (bahasa hukum pemeliharaan yaitu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah), bertujuan untuk : a. Menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan; b. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; c. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan. Dalam Peraturan Pemerintah ini secara jelas termuat bagaimana mengkategorikan jenis satwa yang dilindungi, dan bagaimana dasar pertimbangan yang digunakan untuk mengkategorikan satwa yang dilindungi dan tidak dilindungi, terdapat dalam Pasal 4,5 dan 6 berbunyi : Pasal 4 (1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;

b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. (2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan Pasal 5 (1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: a. mempunyai populasi yang kecil; b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik). (2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi criteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan. Pasal 6 Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat(1). Dari ketentuan tersebut status perlindungan hanya digolongkan menjadi dua yakni yang dilindungi (sudah langka dan terancam punah) dan tidak dilindungi (belum langka dan belum punah), untuk satwa yang tidak dilindungi yang populasinya masih banyak juga perlu dilakukan pengawasan, agar supaya tidak berubah statusnya menjadi

dilindungi akibat pemanfaatan yang tidak terkontrol. Dari lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa, disebutkan ada 236 (dua ratus tiga puluh enam) jenis Satwa yang di lindungi yang terdiri dari Mamalia 70 (tujuh puluh) jenis, aves 70 (tujuh puluh) jenis, reptilia 30 (tiga puluh) jenis, Insecta 19 (Sembilan belas) jenis, pisces 7 (tujuh) jenis, bivalbia 14 (empat belas) jenis, dan satu jenis anthozowa. Berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa tersebut, di lingkungan BKSDA Sulawesi Utara termasuk Gorontalo terdapat 68 (enam puluh delapan) jenis Satwa liar yang di lindungi dengan rincian sebagai berikut. Tabel 3 : Daftar Jenis Satwa yang dilindungi di Lingkungan BKSDA Sulawesi Utara. No. Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah I Mamalia 1. Anoa Dataran Rendah Bubalus depressicornis 2. Anoa Dataran Tinggi Bubalus quarlesi 3. Kera Hitam Cynopithecus niger /Macaca nigra 4. Rusa Cervus timorensis 5. Monyet Jambul Macaca tongkeana 6. Kera/Dihe Macaca hecki 7. Babirusa Babyrousa babyrussa 8. Musang Sulawesi Macrogalidia musschenbroekii 9. Kuskus Kecil Phalanger ursinus 10. Tangkasi Tarsius spectrum 11. Bajing Tanah Lariscus spectrum

No. Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah 12. Duyung Dugong dugong 13. Lumba-lumba Ziphiidae dolphinidae 14. Paus Cetacea order II Pisces 1. Raja Laut Coelacanth sp. III Reptilia 1. Ular Sanca Bodo Phyton molurus 2. Ular Sawah (Patola) Phyton reticulates 3. Buaya Crocodylus porosus 4. Soa-soa Hydrosaurus sp. 5. Penyu Belimbing Dermochelys coriacea 6. Kura-kura Carettochelys sp. IV Insecta 1. Kupu-kupu Bidadari Cethosia myrina 2. Kupu-kupu Raja Troides amphrysus 3. Kupu-kupu Raja T. Miranda 4. Kupu-kupu Raja T. meoris 5. Kupu-kupu Raja, T. palate 6. Kupu-kupu Raja T. riedeli 7. Kupu-kupu Raja 0. paradise V Aves 1. Rangkong Aceros cassidix 2. Maleo Macrocephalon maleo 3. Gosong Megapodius cumingii 4. Kuntul Kolam Punggung Hitam Aedola speciosa 5. Cangak Merah Ardea purpurea 6. Pecuk Ular Anhinga melanogaster

No. Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah 7. Elang Laut Accipiter trinotalus 8. Alap-alap Accipiter modogaster 9. Pengisap Madu Aethophyga siparaja 10. Mandar Sulawesi Aramidopsis platennis 11. Kuntul Kerbau Bubulcus ibis 12. Raja Udang Ceyx fallax 13. Raja Udang Alcedo meinting 14. Bangau Hitam Ciconia episcopus 15. KuntuI Kecil Egretta garzeta 16. Kuntul Besar Egretta alba 17. Raja Udang Biru Halcyon chloris 18. Serindit Sulawesi Loriculus exilis 19. Elang lkan Kelabu Ichtyopaga ichtyatus 20. Elang Hitam Ekor Cabang Priniturus flaricaus 21. Kowak Merah Prioniturus platurus 22. Kangkareng Pelargopsis melanorhichus 23. Raket Bercak Merah 24. Betet Raket Mantel Emas 25. Raja Udang Kepala Putih 26. Nuri Sulawesi Tanygnathus sumatranus VI Crustacea 1. Akar Bahar Anthiphates sp. 2. Kima Raksasa Tridacna gigas 3. Kima Selatan Tridacna derasa 4. Kima Cina Hippopus porcellanus

No. Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah 5. Kima Lobang Tridacna croceda 6. Kima Sisik Tridacna squarmosa 7. Kima Kecil Tridacna maxima 8. Kima Tapak Kuda Hippopus hippopus 9. Triton Charonia tritonis 10. Telapak Kuda Tachipleus gigas 11. Ketam Tapak Kuda Birgus latro 12. Kepala Karnbing Cassis comuta 13. Batulaga Turbo marmoratus 14. Nautilus Berongga Nautilus pompillus Sumber : Data BKSDA Sulawesi Utara. Jenis-jenis satwa yang ada dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut menjadi batasan pengertian satwa yang dilindungi pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi, sehingga aturan menjadi jelas yakni adanya larangan memiliki, memelihara dan menyimpan satwa yang dilindungi yang dimaksud ialah satwa-satwa yang terdapat atau terdaftar dalam lampiran peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa tersebut. Di luar daftar satwa dilindungi tersebut bebas untuk dipelihara tetapi juga harus dengan kontrol dan pengendalian yang baik sehingga statusnya tidak berubah menjadi dilindungi, sebab dari penggolongan yang sudah ditetapkan tersebut sewaktu-waktu bisa berubah ststusnya dari yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya dari yang tidak dilindungi menjadi dilindungi, sesuai kriteria atau pertimbangan yang ditapkan oleh Peraturan pemerintah ini.

Namun, walaupun telah ada larangan mengenai kepemilikan Satwa liar yang dilindungi, tetap saja masih ada masyarakat yang gemar memelihara satwa liar dilindungi dengan alas an untuk kesenangan di lingkungan BKSDA Sulut sendiri dari rentan waktu 5 tahun terakhir sampai dengan tahun 2013 ini tercatat ada 5 (lima) kepemilkan satwa yang Sah yaitu : 1. Pusat Penyelematan Satwa (PPS) Tasikoki di Minahasa Utara 2. Taman Satwa Tandurusa di Bitung 3. Penangkaran Karang oleh PT Mata Karang di Pulau Bangka Minahasa Utara. 4. Penangkaran Penyu di Kombi Minahasa. 5. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado Sedangkan untuk data kepemilkan yang tidak Sah dari hasil operasi Penanggulangan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar terdapat 6 (enam) Kepemilikan satwa yang tidak Sah, yaitu : 1. Anoa sitaan dari Bolmong Utara di titipkan di Taman Sataw Tandurusa sebanyak 1 ekor 2. Anoa sitaan dari Bolmong Utara di titipkan di BPK Manado sebanyak 2 ekor 3. Sampiri di titipkan di BPK Manado sebanyak 16 ekor Kasus dalam proses penyidikan PPNS. 4. Yaki / Macaca di titipkan di PPS Tasikoki sebanyak 5 ekor. 5. Burung Kasuari dititipkan di PPS Tasikoki sebanyak 1 ekor. 6. Burung Nuri dititipkan di PPS Tasikoki sebanyak 1 ekor.

Untuk menanggulangi persoalan mengenai kepemilkan Satwa liar yang dilindungi ini langkah-langkah yang Ditempuh BKSDA Sulut Dalam Perlindungan Satwa Liar adalah sebagai berikut : 1. Sosialisasi tentang perlindungan tumbuhan dan satwa dilindungi, dilaksanakan setiap tahuan di dua seksi wilayah. 2. Kerjasama dengan LSM perlindungan satwa seperti : a. WCS IP Sulawesi s.d tahun 2012 b. Birth life s.d tahun 2007 c. Ms Lynn clayton / Yayasan Nantu s.d sekarang d. Macaca Nigra project s.d sekarang e. PPS Tasikoki s.d sekarang f. Selamatkan Yaki s.d sekarang g. Taman Satwa Tandurusa. h. PT. Matahari Kahuripan Pantera mulai tahun 2013. i. Dll. 3. Operasi perlindungan satwa : a. Kerjasama dengan Ms Lynn clayton / Yayasan Nantu b. Operasi TSL di wilayah Bolmong dan Minahasa Selatan 19. Menurut Bpk. Muhazir Madina, S.Hut, staf Perlindungan SPTN 1 suwawa untuk daerah Gorontalo sendiri sebagai wilayah dari BKSDA sulut, kasus mengenai kepemilikan Satwa liar yang di lindungi ini masih belum menonjol yang terbaru sekarang adalah mengenai kepemilikan beberapa satwa liar yang dilindungi seperti 19 Data BKSDA Sulut 2013

buaya,burung kaka tua yang ada di taman wisata Water Boom, langkah yang telah diambil adalah melakukan pendataan dan sosialisasi agar kepemilikan satwa tersebut di daftarkan dengan cara di urus perizinannya, sejauh ini yang di lakukan baru sebatas itu. Di tambahkan oleh Bpk. Hendrik Rundengan, SP, Kasi KSDA wilayah 2 Gorontalo, yang menjadi hambatan bagi pihak BKSDA untuk mengambil alih satwa liar yang dilindungi tersebut adalah belum adanya tempat atau wadah bagi BKSDA untuk memelihara satwa liar yang dimaksud di Gorontalo, persoalan ini masih terbentur dengan persoalan dana untuk pembutan itu 20. Untuk itu hendaknya sebelum memutuskan untuk memelihara hewan atau membeli hewan untuk dijadikan peliharaan, masyarakat memperhatikan apakah hewan yang nantinya akan di pelihara tersebut termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi, atau sebalaiknya termasuk golongan satwa yang tidak dilindungi. Sebab dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar memang setiap orang diberikan kesempatan untuk dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan, namun di ayat selanjutnya ayat (2) kembali dibatasi bahwa tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan hanya dapat dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi. Adapun untuk memperoleh hewan liar yang tidak termasuk dalam kategori yang dilindungi, diperoleh dari hasil penangkaran, perdagangan yang sah, atau dari habitat alam sebagaimana yang diatur dalam pasal 39 PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. 20 Hasil wawancara singkat dengan Bpk Muhazir Madina, Staf perlindungan SPTN 1 suwawa dan Bpk.Hendrik Rundengan, Kasi KSDA Wilayah 2 Gorontalo.

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum positif kita hanya membolehkan masyarakatnya memelihara hewan sebagai suatu kesenangan yang dilakukan terhadap hewan yang tidak termasuk dalam kategori yang dilindungi. B. Pertanggung jawaban pidana seseorang yang memiliki satwa liar yang dilindungi undang-undang. Berbicara mengenai penegakan hukum maka hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum dan masyarakat yang menjadi subyek hukum, keduanya tidak terpisahkan dan saling berhubungan karena dalam menegakkan hukum bukan menjadi monopoli dari aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat mempunyai peran yang penting dalam hal menegakkan hukum. Apalagi dalam penegakan hukum konservasi peran dari masyarakat begitu sangat penting mengingat di negara ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyak dan beragam, disamping itu wilayahnya yang sangat luas sehingga diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam beserta isinya yang didalamnya termasuk tumbuhan dan satwa. Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa liar adalah karena budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal. Interaksi ekologis masyarakat dengan hutan terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Misalnya hutan sebagai sumber kayu bakar, sumber mata air, protein hewani, nabati dan berbagai fungsi ekonomi dan manfaat langsung lainnya yang didapatkan

masyarakat dari hutan. Hubungan keduanya bersifat ketergantungan, saling mempengaruhi dan mampu merubah lingkungan biofisik tersebut. Persoalan satwa liar tentunya tidak terlepas dari persoalan lingkungan, sehingga jika terjadi pelanggaran terhadapa satwa liar maka secara otomatis melanggar pula hukum lingkungan yang berlaku. Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsure-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata 21. Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hokum yang jika dilanggar, diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsure-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia 22. Sebagai salah satu unsur lingkungan hidup, satwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dimana untuk bertahan hidup dan ber regenerasi, satwa membutuhkan lingkungan hidup. Namun akhir-akhir ini keberadaan satwa terancam punah bukan karena factor lingkungan tetapi justru disebabkan oleh gangguan manusia. Untuk mengatasi hal demikian maka dibuatlah regulasi-regulasi yang mengatur tentang satwa liar yang dilindungi di Indonesia, namun dalam realitas yang ada ternyata masih banyak juga yang sengaja ataupun tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan yang ada. Sehingga menarik untuk kemudian dipersoalkan mengenai pertanggung jawaban pidana bagi orang yang melakukan pelanggaran terhadap regulasi yang ada, hususnya mengenai kepemilikan satwa liar yang di lindungi. 21 Th. G. Drupsteen(1983), dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 207 22 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 221.