BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

25 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

3. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. dan non-bergerak bulat kecil berbentuk atau non-motil cocci. Hal ini

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

BAB 1 P ENDAHULUAN. irasional dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri yaitu menggunakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA GANGREN DIABETIK DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN. HALAMAN MOTTO. HALAMAN PERSEMBAHAN. DEKLARASI.. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

METODELOGI PENELITIAN. Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium. Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam waktu 4

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

III. METODE PENELITIAN. menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). pada tenaga medis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum

LAMPIRAN 1. Standar zona hambat antibiotik menurut CLSI

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGERTIAN ISOLASI MIKROORGANISME

LAMPIRAN A SKEMA KERJA PEMBUATAN SUSPENSI BAKTERI

II. METODELOGI PENELITIAN

Survei Resistensi Antibiotik pada E. coli di Ternak, Manusia dan Lingkungan di Peternakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. untuk meningkat setiap tahun (Moehario, 2001). tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina et al., 2004).

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik untuk menguji

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI DASAR ISOLASI MIKROORGANISME. Disusun Oleh: Rifki Muhammad Iqbal ( ) Biologi 3 B Kelompok 6

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan bakteri kokus gram. positif yang dapat menyebabkan penyakit dengan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tersusun seperti buah anggur. Dikenal dua spesies Staphylococcus, yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 1998 WHO melaporkan bahwa infeksi merupakan penyebab kematian kedua setelah kardiovaskular dengan angka mencapai 13,3 juta orang yang meninggal pada tahun 1998. Hal ini setara dengan kematian manusia sebanyak 25 orang setiap menit (Bion et al., 2001). Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke dalam tempat di dalam tubuh yang secara normal dalam kondisi steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat terjadi karena agen infeksi seperti kuman, jamur virus, protozoa, dan cacing parasit (WHO, 2001). Bakteremia merupakan kondisi terdapatnya kuman yang hidup pada aliran darah (Daniela, 2010). Bakteremia dapat terjadi dikarenakan kuman yang normal terdapat pada lapisan mulut, kulit, atau lapisan saluran cerna masuk ke dalam aliran darah melalui abrasi, luka terbuka, atau kerusakan. Selain itu, kuman dapat masuk ke dalam aliran darah karena luka kecil karena sikat gigi (Cabell et al., 2003). Bakteremia merupakan hal yang menentukan terjadinya sepsis. Sepsis merupakan hasil dari infeksi kuman yang parah. Selain itu, sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis shock dengan tanda disfungsi ginjal atau hati yang disertai dengan hipotensi (Cunha, 2008). Sepsis merupakan salah satu infeksi yang masuk ke dalam 10 besar penyebab kematian (Hoyert et al., 2001). Secara keseluruhan kematian karena severe sepsis dan septic shock berkisar antara 30%-60% dengan jumlah kasus severe sepsis dan septic shock telah diperkirakan mencapai 934.000 dan 1.110.000 kasus pada tahun 2010 dan 2020 (Morrell et al., 2009). Terdapat hubungan antara usia lanjut dengan kejadian severe sepsis dan septic shock terutama pada orang tua. Resiko terjadinya sepsis meningkat 13 kali lipat pada pasien dengan usia 65 tahun atau lebih (Artero et al., 2012). 455 kasus sepsis di rumah sakit Universitario Dr. Peset, Spanyol menunjukkan bahwa angka kejadian sepsis paling tinggi terjadi pada pasien dengan umur >70 tahun 1

2 (Artero et al., 2012). Selain itu, kejadian sepsis tejadi di Malaysian public Hospital dengan angka kematian 21,58% pada laki-laki dan 12,16% pada perempuan (Gillani et al., 2009). Kuman penyebab sepsis dapat berasal dari infeksi pada paru-paru, saluran kencing, kulit, sistem saraf pusat, dan infeksi pada bagian perut termasuk saluran empedu dan Community acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (Cunha, 2008 dan SWAB, 2010). Kematian pada pasien sepsis sebagian besar disebabkan oleh kuman Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter sp., Klebsiella pneumoniae, dan lebih dari sepertiga kematian disebabkan oleh MRSA (methicillin resistant Streptococcus aureus) (Gillani et al., 2009). Pasien yang menderita sepsis akan mengalami beberapa komplikasi seperti komplikasi organ. Pasien sepsis dengan kegagalan fungsi organ memiliki kemungkinan meninggal lebih besar. Kematian pasien sepsis tanpa kegagalan fungsi organ diperkirakan sekitar 15% dan meningkat menjadi 70% jika pasien mengalami 3 atau lebih kegagalan fungsi organ. Komplikasi organ meliputi paru-paru, ginjal, dan jantung (Artero et al., 2012). Salah satu tahap dalam first line penatalaksanaan sepsis adalah terapi antibiotik secara empirik (Morrell et al., 2009). Namun, perkembangan resistensi kuman yang sangat pesat terlihat dengan ditemukan kuman yang resisten terhadap antibiotik pada tahun 1979 sampai 2011. Beberapa kuman yang telah resisten terhadap antibiotik seperti gentamicin-r Enterococcus, vancomycin-r Enterococcus, levofloxacin-r Pneumococcus, imipenem-r Enterobacteriaceae, vancomicin-r Staphylococcus, ceftriaxone-r Nesseria gonorrhoeae, dan ceftaroline-r Staphylococcus (CDC, 2013). Penelitian tentang resistensi Escherichia coli terhadap antibiotik menunjukkan bahwa 21 isolat kuman (0,6%) resisten terhadap ampisillin, kloramfenikol, gentamisin, siprofloksasin, sefotaksim, dan trimetoprim/sulfametoksazol (Duerink et al., 2007). Lewis et al. (1999) melaporkan bahwa terjadi resistensi terhadap antibiotik ceftriakson dan imipenem pada kuman Acinetobacter spp. (28,6% dan 10%), Pseudomonas aeruginosa (46,7% dan 3,8%),

3 dan Enterobacter spp. (16% dan 0%). Penelitian lain yang dilakukan di ruang ICU RS Fatmawati, Indonesia didapatkan hasil bahwa terjadi resistensi terhadap antibiotik meropenem, gentamisin, dan levofloksasin pada kuman Pseudomonas aeruginosa (25%; 39,1%; 42,2%), Staphylococcus epidermidis (32,4%; 0%; 50%), dan Escherichia coli (7,7%; 38,5%; 53,8%) (Radji et al., 2011). Penemuan strain ST239 MRSA di Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Filipina menunjukkan adanya resistensi terhadap trimetoprim-sulfametoksazol, siprofloksasin, tobramisin, gentamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Chen & Huang, 2014). RSUD Dr. Moewardi merupakan rumah sakit rujukan terutama untuk daerah Jawa Tengah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan resistensi kuman terhadap antibiotik pada sepsis dewasa sebagai masukan kepada RSUD Dr. Moewardi agar memperhatikan bahwa pada pasien tertentu perlu ada perubahan antibiotika. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut 1. Bagaimana pola kuman pada pasien sepsis dewasa di RSUD Dr. Moewardi? 2. Bagaimana pola resistensi kuman pada pasien sepsis dewasa di RSUD Dr. Moewardi? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut 1. Mengetahui pola kuman pada pasien sepsis dewasa di RSUD Dr. Moewardi 2. Mengetahui pola resistensi kuman pada sepsis dewasa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4 D. Tinjauan Pustaka 1. Sepsis Sepsis merupakan SIRS (Systemic Inflammatory Respon Syndrome) akibat dari infeksi (Ntusi et al., 2010). Pasien yang mengalami sepsis memiliki tanda dan gejala sebagai berikut: Tabel 1. Terminologi dan definisi sepsis Terminologi Systemic inflammatory respons syndrome (SIRS) Sepsis Sepsis berat Syok septik Definisi Dikatakan SIRS bila didapatkan 2 atau lebih: 1. Suhu >38ºC atau <36ºC 2. Denyut nadi >90x/menit 3. Respirasi >20x/menit atau PCO 2 <32 mmhg 4. Lekosit darah >12.000/mm3 atau <4.000 mm3 Sindrom klinis yang ditandai dengan adanya infeksi dan SIRS Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran Sepsis dengan hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Cayono, 2007) Kuman penyebab sepsis dapat berasal dari infeksi pada paru-paru, saluran kencing, kulit, sistem saraf pusat, dan infeksi pada bagian perut termasuk saluran empedu dan Community acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (Cunha, 2008 dan SWAB, 2010). Kematian pada pasien sepsis sebagian besar disebabkan oleh kuman Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter sp., Klebsiella pneumoniae, dan lebih dari sepertiga kematian disebabkan oleh MRSA (methicillin resistant streptococcus aureus) (Gillani et al., 2009). Salah satu tahap dalam first line penatalaksanaan sepsis adalah terapi antibiotik secara empirik (Morrell et al., 2009). RSUD Dr. Moewardi merupakan salah satu Rumah Sakit yang memiliki pedoman penggunaan antibiotik secara empirik untuk pasien sepsis (tabel 2). Namun, perkembangan resistensi kuman yang sangat pesat menyebabkan beberapa kuman resisten terhadap antibiotik seperti gentamicin-r Enterococcus, vancomycin-r Enterococcus, levofloxacin-r

5 Pneumococcus, imipenem-r Enterobacteriaceae, vancomicin-r Staphylococcus, ceftriaxone-r Nesseria gonorrhoeae, dan ceftaroline-r Staphylococcus (CDC, 2013). Tabel 2. Pedoman penggunaan antibiotik pada pasien sepsis di RSUD Dr. Moewardi 2. Isolasi Kuman Biakan murni dari kuman bisa didapatkan melalui beberapa metode isolasi kuman. Metode yang dapat digunakan untuk melakukan isolasi kuman antara lain sebagai berikut: a. Cara goresan (Streak Plate Method) Kuman yang akan diisolasi terlebih dahulu diambil menggunakan ose steril kemudian ditanam diatas media yang cocok dan digoreskan pada media. Kuman yang telah diinokulasi digoreskan sebanyak 3 kali dengan masing-masing bagian goresan sebesar sepertiga bagian media. Setiap akan dilakukan goresan, ose harus disterilkan terlebih dahulu. Goresan kedua dimulai dari titik akhir goresan sebelumnya begitu pula untuk goresan ketiga. Media diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37⁰C.

6 b. Cara taburan (Pour Plate Method) Sampel kuman dimasukkan ke dalam media cair pada tabung kemudian dilakukan pengenceran. Pengenceran dilakukan dengan memasukkan beberapa µl media yang berisi kuman ke dalam media kedua dan media kedua yang berisi kuman dimasukkan ke dalam media ketiga. Setiap tabung yang berisi media dan kuman kemudian dituang ke dalam cawan petri steril dan ditunggu hingga mengeras. Media yang telah mengeras kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37⁰C (Grainger et al., 2001). 3. Uji Identifikasi Kuman Kultur kuman yang telah tumbuh kemudian diambil dan dicampurkan dalam tabung reaksi yang berisi larutan salin serta diatur kekeruhannya hingga setara dengan kekeruhan McFarland 0,5. Larutan salin yang telah setara kekeruhannya kemudian diletakkan pada cassette yang bersebelahan dengan slot reagent pada cassette tersebut. Rak yang telah berisi larutan salin dengan reagent slot dimasukkan ke dalam alat vitex dan dilakukan identifikasi kuman menggunakan alat vitex (Ligozzi et al., 2002). 4. Uji Resistensi Kuman a. Pembuatan media Mueller Hinton Media Mueller Hinton sebanyak 1 liter mengandung 64 gram media. Media Mueller Hinton yang telah dibuat, kemudian dituang kedalam petri dengan ketebalan media antara 3-4 mm b. Pembuatan suspensi kuman Kuman terlebih dahulu digoreskan pada media agar untuk mendapatkan koloni tunggal. Media kemudian diinkubasi selama semalam pada suhu 37⁰C. Kuman yang telah tumbuh dipilih 4-5 koloni menggunakan ose steril dan dimasukkan kedalam media BHI. Suspensi kuman kemudian disamakan kekeruhannya setara dengan standar McFarland 0,5.

7 c. Inokulasi kuman pada media Suspensi kuman yang telah setara dengan standart McFarland 0,5, kemudian ditanam pada media. Suspensi kuman diambil menggunakan kapas steril kemudian diratakan pada permukaan media. d. Cakram antibiotik Cakram antibiotik diletakkan diatas media yang telah diratakan dengan suspensi kuman. Media kemudian diinkubasi dengan keadaan terbalik selama 16-18 jam pada suhu 35⁰C. e. Interpretasi data Media yang telah diinkubasi kemudian diukur zona hambat pada masingmasing antibiotik dan dibandingkan dengan standar zona hambat CLSI (Clinical and Laboratory Standart Institute) (CDC, 2003). 5. Resistensi Kuman Selama 20 tahun terakhir, kuman Gram positif yakni cocci telah menjadi kuman patogen yang menyebabkan infeksi di rumah sakit, karena kemampuan kuman tersebut untuk beradaptasi dengan antibiotik. Jenis kuman lain yaitu Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang sebagian besar resisten dengan antibiotik glikopeptida seperti vankomisin, sehingga dilakukan pembatasan penggunaan antibiotik untuk penanganan kuman tersebut (Bion et al., 2001). Tingginya resistensi kuman terhadap antibiotik tidak lepas dari peran kuman tersebut untuk beradaptasi dengan antibiotik. Adaptasi tersebut dapat berupa beberapa mekanisme kuman terhadap antibiotik, antara lain sebagai berikut: a. Perubahan struktur antibiotik Resistensi kuman terjadi karena adanya produksi enzim β-laktamase oleh kuman yang secara kimia akan menginaktivasi antibiotik, sebagai contoh antibiotik golongan betalaktam. Enzim ini akan menginaktivasi antibiotik dengan merusak cincin β-laktam pada antibiotik, sehingga menyebabkan hilangnya efek antibiotik pada golongan betalaktam.

8 b. Resistensi penghancuran streptomisin dan obat yang terkait Resistensi kuman terhadap antibiotik golongan aminoglikosida terjadi karena adanya penambahan gugus kimia pada antibiotik. Penambahan gugus kimia pada antibiotik tersebut terjadi karena adanya enzim yang dihasilkan oleh kuman. Enzim tersebut akan menambahkan gugus kimia pada struktur antibiotik. Gugus kimia yang berada pada struktur antibiotik tersebut akan menyebabkan terjadinya kegagalan antibiotik untuk menghambat kerja ribosom kuman dalam sintesis protein. c. Perubahan tempat target antibiotik Mekanisme resistensi kuman terhadap antibiotik yang lain dapat terjadi dengan berubahnya tempat target antibiotik. Resistensi pada jalur ini dapat terjadi melalui 2 jalur mekanisme yaitu mutasi pada gen yang mengkode target antibiotik dan enzim yang secara biokimia mengubah target antibiotik. d. Perubahan penyusun dinding sel Resistensi kuman dapat dipicu karena perubahan komponen penyusun dinding sel kuman. Resistensi kuman terhadap antibiotik vankomisin terjadi karena adanya perubahan reseptor vankomisin dari D-ala-D-ala menjadi D-ala-D-laktat sehingga terjadi kegagalan pergantian antara D-ala-D-ala dengan vankomisin. e. Pengeluaran antibiotik dari dalam sel oleh protein pump Mekanisme resistensi kuman dapat berlangsung dengan pengeluaran antibiotik dari dalam sel oleh protein pump pada membran sel. Protein pump diatur secara langsung oleh kuman dan protein pump hanya akan bekerja ketika terdapat antibiotik. Protein pump tersusun dari protein yang mirip dengan protein yang berperan dalam pengeluaran hasil metabolik sel atau hasil samping sel. Salah satu mekanisme resistensi antibiotik yang terjadi melalui protein pump adalah tetrasiklin. Protein pump akan mengikat tetrasiklin dan mengeluarkan antibiotik tersebut dari dalam sel. Resistensi terhadap antibiotik melalui protein pump juga terjadi pada Staphylococcus aureus terhadap antibiotik siprofloksasin dan kloramfenikol. Resistensi kuman tidak hanya terjadi pada tetrasiklin, siprofloksasin,

9 dan kloramfenikol, namun beberapa antibiotik seperti eritromisin dan penisilin serta obat yang terkait dapat terjadi resistensi karena mekanisme protein pump. f. Produksi substrat berlebih Resistensi kuman juga dapat terjadi karena produksi substrat yang berlebih oleh kuman. Substrat yang berlebihan akan menyebabkan penurunan interaksi antara antibiotik dengan target karena jumlah antibiotik yang sedikit dibandingkan dengan substrat. Resistensi terhadap antibiotik melalui jalur ini terjadi pada sulfonamida dan trimetoprim. Resistensi kuman terhadap sulfonamida terjadi karena produksi berlebih dari PABA sehingga memungkinkan PABA berikatan dengan sisi aktif enzim. Selain itu, produksi enzim yang berlebih dalam sel menyebabkan penurunan efektifitas trimetoprim yang berikatan dengan enzim. Penurunan efektifitas ini terjadi karena ketidakcukupan antibiotik untuk berikatan dengan enzim sehingga masih terdapat beberapa enzim dalam keadaan aktif. g. Penurunan permeabilitas Kuman membutuhkan nutrisi dari lingkungan serta membuang hasil samping atau metabolik ke lingkungan. Salah satu jalan untuk keluar dan masuk bahan dari aktivitas kuman tersebut dapat melalui pori-pori. Pori-pori tersebut sering digunakan antibiotik sebagai jalan untuk masuk ke sel kuman. Oleh karena itu, kuman mengatur untuk memperkecil pori-pori sehingga mempersulit antibiotik untuk masuk ke sel kuman. Resistensi kuman dengan penurunan permeabilitas biasanya terjadi pada kuman Gram negatif. Kuman Gram negatif memiliki kemampuan untuk mengatur pori-pori membran sehingga antibiotik tidak dapat masuk ke sel kuman. Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman yang resisten terhadap beberapa antibiotik karena kemampuan kuman tersebut untuk mencegah masuknya antibiotik ke dalam sel kuman. Resistensi kuman juga terjadi pada E. coli 0157:H7 terhadap streptomisin, sulfonamida, dan tetrasiklin. h. Perubahan enzim yang mengaktifkan antibiotik Antibiotik sebagian besar harus dalam bentuk aktif untuk menimbulkan efek. Tetapi, terdapat beberapa antibiotik yang digunakan dalam keadaan inaktif.

10 Antibiotik dalam keadaan inaktif ini akan diaktifkan oleh enzim yang terdapat di dalam kuman tertentu, sehingga antibiotik akan menjadi aktif dan akan menimbulkan efek. Pirazinamid merupakan salah satu antibiotik yang digunakan untuk pengobatan tuberkulosis. Antibiotik ini akan diaktifkan oleh enzim yang berada di dalam sel kuman sehingga menjadi aktif. Namun, beberapa enzim tersebut mengalami mutasi sehingga kehilangan kemampuan untuk mengubah antibiotik menjadi bentuk aktifnya. Ketidakmampuan enzim untuk mengubah antibiotik ini yang menjadikan kuman Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap antibiotik. Selain pirazinamid, isoniazid merupakan obat tuberkulosis yang memerlukan aktivasi oleh enzim KatG untuk menjadi aktif. Namun, beberapa enzim KatG pada Mycobacterium tuberculosis telah mengalami mutasi sehingga terjadi kegagalan antibiotik untuk menghambat pembentukan dinding sel (Guilfoile, 2007). E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data ilmiah tentang pola kuman dan pola resistensi kuman pada sepsis dewasa dari spesimen darah pasien sepsis dewasa terhadap antibiotik di RSUD Dr. Moewardi.