PENGANTAR PENULIS Indonesia menempati urutan ke dua di dunia, dalam hal memiliki keragaman flora dan fauna dari 17 negara paling kaya keragaman hayatinya. Brasil adalah negara terkaya dengan hutan Amazonnya. Namun, dalam hal spesies endemis (asli), Indonesia paling kaya. Indonesia memiliki 325.350 jenis flora-fauna yang tersebar di 17.000 pulau. Sungguh kekayaan yang luar biasa. Kekayaan yang sangat hebat. Unggul dibandingkan negara lain. Sebenarnya, unggul bukanlah perkara penting, yang jauh lebih penting adalah bagaimana melestarikan dan mengembangkan keragaman hayati tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Kenyataannya laju kepunahan flora-fauna di Indonesia juga sangat tinggi. Penyebabnya adalah eksploitasi alam yang berlebihan. Dilemanya, tidak jarang lahan-lahan konservasi justru mengandung mineral atau minyak yang berlimpah. Hal itu mengundang nafsu pemilik modal untuk mengurasnya. Caranya? Mulai cara yang legal, artinya berlindung di balik undang-undang, maupun yang ilegal dengan merekayasa undang-undang, sampai pencurian secara terang-terangan. Lihat saja sekarang bagaimana parahnya kerusakan hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian (Papua) dan pulau kecil lainnya. Kerusakan hutan berarti kerusakan ekosistem, kerusakan habitat flora dan fauna di dalamnya. Ketika seorang peneliti dari Britania Raya, Alfred Russel Wallace pada tahun 1854 1862 menjelajah Nusantara, dia terkagum-kagum dengan kekayaan negeri ini. Sebagai seorang naturalis, pengembara, ahli antropologi dan biologi dia telah membuat catatan penting tentang aneka flora dan fauna Indonesia. Pria tersohor itu telah membagi flora-fauna Indonesia menjadi dua. Dia membuat garis imajiner antara Kalimantan dan Sulawesi yang kemudian dikenal dengan garis Wallace. Menurut penelitiannya flora-fauna di sebelah barat garis Wallace sangat mirip dengan flora-fauna Asia, sedangkan yang di sebelah timur ada kesamaan dengan flora-fauna Australia. Bagaimana migrasi itu terjadi? Menurut teorinya, perpindahan binatang tersebut sangat mungkin terjadi pada jaman laut membeku.
Selama menjelajah Nusantara, ia telah menempuh jarak lebih dari 22.500km dan berhasil mengumpulkan 125.660 spesimen fauna meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, 100 spesimen reptil, dan 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu. Selama menjelajah Nusantara ia pernah tinggal cukup lama di Ternate, ketika itu Wallace sempat menulis surat kepada Darwin yang kemudian terkenal dengan nama Letter from Ternate. Surat tersebut berisi buah pemikirannya tentang seleksi alam, bagaimana spesies mempertahankan kelangsungan hidupnya. Buah pikiran Wallace akhirnya mengilhami Darwin membuat teori evolusi yang sangat terkenal itu. Kisah di atas memberi gambaran bahwa sesungguhnya betapa negeri kita, Indonesia sangat kaya raya dengan flora dan fauna. Kalau orang lain begitu peduli, kenapa kita sebagai pemilik yang sah dari negeri ini kemudian tidak peduli? Sebagai generasi penerus sepatutnya kita memelihara dan menjaganya, kalau tidak, berdosa kita. Kepunahan spesies sekecil apapun dari muka bumi Nusantara harus dimaknai sebagai suatu kasalahan manusia kepada generasi pewarisnya, karena yang ada nantinya adalah penyesalan. Banyak spesies yang populasinya mengalami penurunan, bahkan terancam punah. Jalak bali (Leucopsar rothschildi) saat ini sedang menuju kepunahan, akibat diperdagangkan secara gelap. Contoh lain, badak (Rhinoceros sondaicus dan Dicerorhinus sumatrensis), buaya muara (Crocodilus porosus), dan buaya irian (Crocodilus novaeguineae), juga berada di ambang kepunahan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan aneka fauna kita. Bisa dimulai dari yang sangat sederhana. Menyayangi binatang, tidak merusak habitat hewan, menanam pohon, itu sebenarnya sudah memberi kontribusi yang cukup untuk pelestarian fauna. Menanamkan nilai-nilai kepedulian terhadap kelestarian alam kepada anak akan bagus dimulai sejak dini. Bencana alam yang belakangan banyak terjadi dapat dijadikan contoh konkrit kepada mereka bahwa begitulah akbibatnya kalau kita memperlakukan alam dengan sewenang-wenang. Menyayangi hewan dengan cara memeliharanya itu bagus. Melakukan penangkaran, untuk kemudian dilepas ke alam bebas, itu juga sangat bagus. Kalau saja kita bisa berkomunikasi dengan hewan, pasti mereka akan berkata Biarkan saya hidup di alam bebas.
Mengenal nama hewan milik kita baik, tentu lebih baik kalau mengenal juga nama ilmiah atau nama latinnya. Sebab dengan nama Latin akan memudahkan kita berkomunikasi secara lebih luas. Hewan tertentu boleh saja mempunyai nama tertentu di daerah tertentu, tetapi nama latinnya akan sama di seluruh dunia. Hebat bukan? Buku ini bermaksud memberi bantuan kepada mereka yang memerlukan nama-nama Latin hewan, baik untuk keperluan pribadi maupun keperluan lain yang lebih luas. Penulis sering mengalami kesulitan jika suatu waktu harus menuliskan nama Latin hewan, baik dalam kuliah maupun membuat paper. Tentu kesulitan yang sama pernah dialami oleh siswa, mahasiswa, guru, bahkan teman-teman dosen sekali pun. Atas dasar itu penulis mengumpulkan materi ini dari berbagai sumber dengan tujuan bisa berbagi. Penulis yakin mereka yang peduli dengan kehidupan satwa, atau mereka yang menaruh minat terhadap kehidupan fauna yang begitu menarik akan memerlukan buku semacam ini. Penulis sudah berusaha menyusun buku ini dengan baik, namun pasti masih ada kekurangannya. Masukan untuk perbaikan dari para pembaca tentu akan sangat membantu penulis. Silahkan! Terimakasih penulis sampaikan kepada Udayana University Press yang telah menerbitkan buku ini. Terimakasih juga kepada I Ketut Mangku Budiasa, SPt., MSi. yang telah membantu mengoreksi naskah dan anggota Grup Riset Kajian Nutrisi Ternak Nonruminansia yang telah memberi dorongan kuat untuk penulisan buku kecil ini. Denpasar, Januari 2011 Penulis
DAFTAR ISI Pengantar Penulis i Daftar Isi ii Klasifikasi Makhluk Hidup 1 Tata Nama Binomial 9 Penjelasan Singkat 13 Mamalia 14 Reptil 42 Aves (Burung) 55 Amfibi 99 Ikan 107 Serangga 127 Daftar Pustaka 139 Tentang Penulis 141