II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asal-Usul dan Klasifikasi Domba Domba yang dijumpai saat ini merupakan hasil domestikasi yang dilakukan manusia. Pada awalnya domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang berasal dari Asia. Ketiga jenis domba tersebut merupakan domba-domba modern (Williamson dan Payne, 1978). Domba yang berkembang di Indonesia terbagi dalam beberapa rumpun yaitu Domba Ekor Gemuk, Domba Ekor Tipis, Domba Priangan, Domba Garut (Heriyadi, 2011). Domba yang ada saat ini menurut Blakely dan Bade (1985) memiliki Taksonomi sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Family Genus Species : Animalia : Chordata : Mammalia : Artiodactylata : Bovidae : Ovis : Ovis aries Domba yang ada di Indonesia untuk saat ini diperkirakan asal-usulnya adalah berasal dari pedagang-pedagang yang melakukan aktivitas membeli rempah-rempah di Indonesia pada zaman dahulu. Pedagang tersebut pada umumnya berasal dari Asia Barat Daya. Di Indonesia domba dipelihara untuk
menghasilkan daging, disamping wool dan kulit, sementara kotorannya digunakan sebagai pupuk. 2.2 Bangsa dan Tipe Ternak Domba Domba asli Idonesia secara umum diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu Domba Ekor Tipis atau Domba Lokal, Domba Ekor Sedang atau Domba Priangan yang dikenal dengan nama Domba Garut dan Domba Ekor Gemuk (Mulyaningsih, 1990). Tipe ternak domba digolongkan menjadi dua yaitu tipe pedaging dan tipe wol. Tipe wol menunjukan tingkat kemampuan utama menghasilkan sejumlah wol. Domba yang termasuk tipe wol yaitu Domba Merino dan Domba Rambouillet. Domba tipe wol mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Kerangka badan longgar panjang danluas, tetapi ramping tidak penuh dengandaging. 2. Dada dalam dan lebar, tulang rusuk mengembang, punggung lurus, pinggul lebar. 3. Kulit longgar dan berlipat-lipat 4. Wol keriting halus, lunak, lembut, mengkilat sesuai dengan bangsanya. Tipe domba pedaging yaitu mempunyai badan yang berat dan bulu tipis. Domba yang termasuk tipe pedaging yaitu domba Oxford dan Hampshire. Domba tipe pedaging memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Bentuk badan padat 2. Dada lebar dan dalam, leher pendek 3. Garis punggung dan pinggang lurus 4. Keseluruhan badannya penuh dengan urat daging dan lapisan lemak yang padat
5. Kaki Pendek 2.3 Domba Lokal Domba lokal merupakan ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai dengan generasi kelima atau lebih yang beradaptasi pada lingkungan dan atau manajemen setempat (Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 36/Permentan/OT.140/8/2006). Domba lokal memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi serta merupakan sumber genetik yang khas yang digunakan untuk perbaikan bangsa domba (Sumantri dkk., 2007). Domba lokal yang ada di Indonesia banyak yang dipelihara sebagai domba pedaging yang memiliki ciri-ciri diantaranya bentuk badan yang padat, dada lebar dan dalam, leher pendek, garis pundak dan pinggang lurus, kaki pendek dan lebar, keseluruhan badannya penuh dengan urat daging dan lapisan lemak yang padat (Purnomoadi, 2003) 2.4 Pertumbuhan Domba Pertumbuhan domba adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringanjaringan pembangun, seperti urat daging, tulang otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh lainnya. Dalam istilah pertumbuhan juga terdapat pertumbuhan murni, yaitu penambahan dalam jumlah protein dan zat-zat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukanlah pertumbuhan murni (Anggorodi, 1979). Dalam pertumbuhan dan perkembangan domba, pertumbuhan itu sendiri tidak sekedar meningkatnya berat badan domba, tetapi juga menyebabkan konformasi oleh perbedaan tingkat pertumbuhan komponen tubuh, dalam hal ini
urat daging dari karkas atau daging yang akan dikonsumsi manusia (Parakkasi, 1995). Menurut Soeparno (1994) pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas. 2.5 Ukuran-ukuran Tubuh Domba Penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda karena pengaruh genetik maupun lingkungan Diwyanto, 1982). Menurut Mulliadi (1996), ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan- perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi. Menurut Diwyanto (1982) beberapa ukuran yang juga perlu dilakukan pada domba adalah panjang tanduk, lebar muka, lebar ekor, panjang ekor dan berat badan. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh berkorelasi dengan bobot badan jantan dan betina pada domba Garut. Ukuran-ukuran tersebut meliputi tinggi pundak, tinggi kelangkang, panjang badan, panjang kelangkang, lebar dada, dalam dada, lebar pangkal paha, lebar tulang tapis, lingkar dada, panjang tengkorak, lebar tengkorak, tinggi tengkorak, panjang dan lebar ekor.
Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan timbulnya keragaman pada pengamatan dalam berbagai sifat kuantitatif. Keragaman merupakan suatu sifat populasi yang sangat penting dalam pemuliaan terutama dalam seleksi. Seleksi akan efektif bila terdapat tingkat keragaman yang tinggi (Martojo, 1990). Ukuran permukaan tubuh hewan memiliki banyak kegunaan seperti untuk menaksir bobot badan dan memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa (Doho, 1994). Menurut Devendra dan McLeroy (1982), ukuran tubuh dewasa pada domba lokal untuk betina adalah tinggi badan 57 cm, bobot badan 25-35 kg, sedangkan pada jantan tinggi badan mencapai 60 cm dan bobot badan 40-60 kg dengan rata-rata bobot potong 19 kg. 2.6 Indeks Morfologi Keragaman sifat morfologi bisa terjadi karena adanya proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam dapat berakibat hilang atau hanyutnya gen tertentu. Suparyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa populasi besar dengan tingkat keragaman yang cukup tinggi, baik dalam bangsa maupun bangsa menjadikan domba-domba di Indonesia beragam pola warna dan bentuk nya. Perbedaan bobot badan, struktur tubuh, pola warna bulu dan kepadatan dalah contoh karakteristik morfologis yang berlainan antar agroekosistem yang dijadikan sebagai gambaran spesifikasi suatu bangsa ternak. Menurut Pane (1986), seleksi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam suatu program pemuliaan ternak. Metode seleksi yang dimaksud adalah yang dapat menghitung nilai ekonomis domba berasarkan indeks tertentu. Indeks merupakan salah satu indikator dalam penilaian ternak karena mencakup konformasi atau bentuk tubuh ternak. Perhitungan indeks morfologi penting dilakukan karena diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam
mengetahui tipe dan fungsi ternak serta dapat meningkatkan kemampuan dalam memilih potensi breeding stock. Penggunaan pengukuran indeks kumulatif pertama kali digunakan oleh Alderson (1999) sebagai penilaian tipe dan fungsi pada sapi pedaging. Pengunaan indeks kumulatif kemudian di adopsi Salako (2006) yang digunakan sebagai penilaian tipe dan fungsi pada domba pedaging WAD dan Yankasa di Nigeria. Ternak domba dikatakan unggul jika pundak sampai pinggul membentuk garis lurus mendatar sama tinggi, sehingga semakin mendekati nol nilainya akan semakin baik. Nilai width slope index yang tinggi dapat mengindikasi bahwa domba tersebut memiliki balance yang lebih besar (Salako, 2006). Cumulative index berkolerasi dengan umur sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkat pertumbuhannya. Semakin besar nilai cumulative index maka domba semakin baik (Alderson, 1999).