BAB I PENDAHULUAN. penyaluran kredit pada segmen corporate dan commercial kepada debitur yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan di Indonesia termasuk Hukum Perbankan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bank merupakan salah satu badan usaha yang dibentuk dengan

BAB I PENDAHULUAN. usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. bank. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.7 Tahun

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa

No Restrukturisasi Perbankan, Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan tentang Penanganan Permasalahan Solvabilitas Bank Sistemik, Peraturan Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

dapat diperoleh dengan dana kredit yang ditawarkan oleh bank.

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam sistem perekonomian. Menurut Undang Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Peningkatan pertumbuhan penduduk. meningkatkan pula kebutuhan lahan permukiman di kawasan perkotaan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tingkat suku

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. perbankan. Sektor perbankan memiliki peran sangat vital antara lain sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan jumlah bank swasta nasional yang sangat cepat mulai

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PT. BPR ARTHA SAMUDRA DI KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. statistik menunjukan perputaran keuangan pada sektor perbankan 2011

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) SEWU KABUPATEN TABANAN MELALUI BALAI LELANG BALI INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 301/KMK.01/2002 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA KREDIT PERUMAHAN BANK TABUNGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyediaan dana secara cepat ketika harus segera dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut ada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

BAB 3 PERUMUSAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. perjanjian dalam hukum perdata berlaku saat melakukan perjanjian kredit. Saat

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

[JURNAL ECOBISMA] Vol. 1 No. 2 Juni 2014 ANALISIS LIKUIDITAS BANK MANDIRI TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN. dari pelepasan kredit dan pendapatan berbasis biaya (fee based income). Lambatnya

II. LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang Undang RI No 10 tahun 1998 tentang perbankan, jenisjenis

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dimana

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia.

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di suatu negara sangat bergantung kepada

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi suatu negara secara keseluruhan tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB IV ANALISIS STRATEGI PENCEGAHAN DAN IMPLIKASI PEMBIAYAAN MURA>BAH}AH MULTIGUNA BERMASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. dan aspek sumber daya manusia. Hal terpenting dari aspek-aspek tersebut dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. orang dalam satu departemen atau lebih, yang dibuat untuk menjamin penanganan

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyatu dengan kegiatan ekonomi regional dan internasional,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai pada setiap Negara, salah satunya Indonesia. Pada umumnya Usaha

BAB I PENDAHULUAN. pendukung dan penggerak laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. efisien. Tujuan kegiatan bank tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 2. UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I.PENDAHULUAN. Bidang ekonomi memiliki berbagai sub bidang antara lain bidang perdagangan,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Strategi Mengatasi Kredit Bermasalah (Non Performing Loan) dalam

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan The Five C s of Credit dalam perjanjian kredit UMKM

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam bisnis utama dan bisnis penunjang. Bisnis utama suatu bank adalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya iklim kompetisi perbankan di Indonesia, khususnya dalam penyaluran kredit pada segmen corporate dan commercial kepada debitur yang feasible dan bankable, semakin mendorong bank-bank memberikan kelonggarankelonggaran persyaratan perkreditan. Negative Pledge merupakan salah satu kelonggaran dalam persyaratan jaminan kredit, yang dapat menjembatani kesulitan dalam hal pemberian kredit kepada debitur, yang mempunyai reputasi dan prospek bisnis yang baik. Awalnya, Negative Pledge hanya merupakan suatu klausula dalam sebuah perjanjian kredit yang menyatakan debitur berjanji untuk tidak mengalihkan, menjaminkan aset tertentu kepada kepada pihak manapun dengan cara apapun. Namun, di beberapa negara maju yang menganut Common Law System, Negative Pledge mengalami perkembangan tersendiri yang dikenal dengan Negative Pledge Security yang artinya kredit yang dijamin dengan Negative Pledge. Namun, dengan adanya globalisasi sektor perbankan, akhirnya Negative Pledge Security berkembang ke negara yang menganut Civil Law System, salah satunya adalah Indonesia. Beberapa bank di Indonesia mulai menggunakan Negative Pledge sebagai jaminan dalam pemberian fasilitas kreditnya, salah satunya yang akan 1

dijadikan acuan penelitian adalah Negative Pledge dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja yang diberikan oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk mengatur persyaratan pemberian kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge dalam Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri ( KPBM ) dan Standar Prosedur Kredit ( SPK ) Corporate. Dalam aturan tersebut disebutkan mengenai kriteria-kriteria debitur yang memenuhi persyaratan sebagai berikut ( Bank Mandiri : 2007, 10 ) : 1. Perusahaan tergolong dalam segmen corporate. 2. Perusahaan diutamakan telah terdaftar/listing di bursa efek. 3. Perusahaan pada saat analisa pemberian fasilitas kredit dilakukan, memimiliki financial rating dan costumer rating masing-masing minimal A berdasarkan klasifikasi rating Bank Mandiri. 4. Laporan keuangan perusahaan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang telah menjadi rekanan Bank Mandiri. 5. Harta kekayaan perusahaan belum dan tidak akan menjadi agunan kepada kreditur lain. 6. Jangka waktu kredit diutamakan bersifat jangka pendek. 7. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan mempunyai brand image yang kuat. Persyaratan-persyaratan khusus tersebut diberikan sebagai upaya bank melaksanakan prinsip kehati-hatian (Prudential Banking), serta meminimalisir risiko terjadinya kredit macet. Kondisi pemberian kredit dengan Negative Pledge ini tentunya berbeda dengan praktek perbankan pada umumnya. Peraturan perbankan yang dulu, yakni Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dalam Pasal 24 ayat 1 menyatakan: Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga (Indonesia: 1967, Ps. 24 ayat 1). 2

Akan tetapi, sejak krisis moneter yang menghantam sektor bisnis, dalam aturan perbankan yang baru yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak mengharuskan adanya jaminan dalam pemberian kredit. Justru, bank dalam memberikan kreditnya wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan (Indonesia: 1998, Ps. 8 ayat 1). Dalam praktek perbankan, sumber utama pelunasan kredit yang diberikan (first way out) berasal dari pendapatan operasional debitur dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sebelum pendapatan operasional dipakai untuk melunasi kewajiban kreditnya maka terlebih dahulu, pendapatan tersebut harus dapat menutup kebutuhan operasional debitur seperti biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Apabila ternyata debitur gagal dalam kegiatan usahanya sehingga tidak dapat mampu melunasi kreditnya dan atau mengalami kesulitan dalam usahanya sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar kreditnya, maka bank sebagai kreditur harus memperoleh kepastian bahwa hasil penjualan agunan atau hasil likuidasi atas kekayaan debitur melalui putusan 3

pailit dari pengadilan dapat dijadikan sumber pelunasan alternatif atas kredit yang telah diberikan. Disamping dari hasil penjualan agunan atau likuidasi kekayaan debitur karena perusahaan dinyatakan pailit, juga termasuk harta kekayaan penjamin atau guarantor serta barang agunan milik pihak ketiga, dapat pula menjadi sumber pelunasan. Penyelesaian fasilitas kredit melalui eksekusi agunan dalam praktek perbankan disebut dengan second way out. Selain itu, secara normatif sarana perlindungan bagi kreditur telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang telah mengatur mengenai halhal yang berhubungan dengan jaminan bagi pemberian uang oleh kreditur kepada debitur. Terdapat dua asas umum mengenai jaminan. Asas pertama diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Segala harta kekayaan si berutang, baik yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan kata lain, pasal ini memberikan ketentuan bahwa apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitur tanpa kecuali merupakan sumber pelunasan bagi utangnya. Ketentuan pasal 1131 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tersebut merupakan ketentuan yang memberi perlindungan hukum kepada kreditur, selain itu ketentuan tersebut merupakan asas yang bersifat universal yang terdapat hampir pada semua sistem hukum setiap negara. Asas umum yang kedua adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: 4

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan - alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian apabila debitur wanprestasi maka hasil penjualan atas harta kekayaannya akan dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang masingmasing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain ( Munir Fuady, 2003: 216 ). Terhadap fasilitas kredit yang dijamin dengan Negative Pledge karena termasuk dalam kredit tanpa jaminan (unsecured loan) maka pemberian kredit diberikan secara selektif kepada debitur dengan kriteria tertentu, serta dengan berbagai macam pertimbangan bisnis dan mitigasi resiko yang dilakukan secara komprehensif oleh bank. Pertimbangan yang paling utama adalah dalam rangka pengembangan potensi bisnis atau cross selling untuk produk perbankan lainnya diluar perkreditan untuk meningkatkan pendapatan fee atau pendapatan non bunga. Sedangkan untuk mitigasi resiko, fasilitas ini hanya diberikan kepada debitur dengan reputasi dan track record baik di bisnis dan perbankan serta limit fasilitas yang jauh di bawah nilai asetnya. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, tentunya kajian mengenai aspek hukum, menjadi salah satu pertimbangan bank untuk menanggulangi apabila di kemudian hari kredit yang diberikan oleh bank macet. Mengingat, kredit yang telah diberikan tidak selamanya berkualitas lancar. Sementara bank tetap harus membayar 5

dana pihak ketiga yang ditempatkan oleh nasabah (pemilik dana) dalam kondisi apapun tanpa dapat memberikan alasan bahwa kredit yang diberikan macet dan tidak dapat ditarik sehingga penarikan dana nasabah harus ditunda menunggu penyelesaian atau pelunasan kredit tersebut. Prinsip ketidakpastian usaha debitur di satu pihak dan prinsip kepastian akan likuiditas dan solvabilitas bank terhadap nasabah di pihak lain, adalah dilema yang terus menerus harus dihadapi bank dimanapun di dunia ini ( Gunarto Suhardi, 2003 : 88 ). Banyak terjadi kredit yang diberikan menjadi bermasalah yang disebabkan berbagai alasan, misalnya usaha yang dibiayai dengan kredit mengalami kemerosotan usaha, penurunan penjualan, kalah bersaing, adanya krisis moneter dan ekonomi seperti sekarang ini dan adanya kesengajaan debitur melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit, yang mengakibatkan sumber pendapatan dari usaha tidak mencukupi bahkan gagal dalam mengembangkan usahanya ( Sutarno, 2004: 7 ). Bank sebagai kreditur tentu tidak serta merta melakukan tindakan hukum untuk mematikan usaha debitur dengan melakukan eksekusi terhadap aset-aset debitur yang akibatnya debitur kehilangan segala-galanya dalam perusahaan itu. Bank sedapat mungkin akan menghindarkan tindakan hukum berupa legal action atas aset debitur, karena bagaimanapun debitur adalah mitra usaha yang sangat penting bagi bank dalam meningkatkan pendapatan bank. Karena itu bank sebagai kreditur memiliki kewajiban membina dan memberikan bantuan manajemen serta memberikan keringanan kepada para debitur dalam menyelesaikan utangnya. Walaupun kredit yang diberikan debitur dalam kualitas macet, tetapi sepanjang usaha 6

debitur diniliai masih memiliki prospek usaha yang baik dan debitur kooperatif dalam usaha menyelesaikan kredit macet tersebut maka kreditur akan melakukan restrukturisasi kredit macet tersebut, melakukan perubahan-perubahan perjanjian kredit, dan pengikatan jaminan ( Sutarno, 2004: 7 ). Tindakan hukum terpaksa dilakukan karena usaha-usaha restrukturisasi tidak dapat dilakukan atau restrukturisasi telah dilakukan namun debitur tetap gagal melaksanakan perjanjian restrukturisasi, sehingga tidak mampu mengangkat kualitas kredit menjadi lancar kembali. Dengan tindakan hukum ini berarti bank sebagai kreditur benar-benar memutuskan hubungan dengan debitur sebagai mitra usaha yang saling memberikan manfaat dan keuntungan. Tindakan hukum tersebut dilakukan di luar lembaga hukum atau melalui lembaga-lembaga hukum. Antara lain, melalui Pengadilan Negeri, Panitia Urusan Piutang Lelang Negara /Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (PUPN/DJPLN), atau Pengadilan Niaga ( Sutarno, 2004: 7 ). Atas dasar kepercayaan dalam pemberian kredit kepada debitur, bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada debitur dalam bentuk kredit, jika betul-betul yakin bahwa debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui kedua belah pihak. Untuk itu, regulasi perbankan di Indonesia mewajibkan bank dalam menjalankan aktivitasnya, bank harus memegang prinsip kehati-hatian (prudential banking practices). Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya. 7

Prinsip kehati-hatian secara normatif diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan masih dipertahankan dalam Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992, yang berbunyi: Perbankan Indonesia dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati -hatian. Di sini jelas bahwa prinsip kehati-hatian harus melandasi setiap gerak perbankan dalam menjalankan operasional bisnisnya. Penyaluran kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat, dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap, semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada bank tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi Non Performing Loan (NPL). Jumlah kredit yang NPL-nya tinggi mengakibakan dapat mengganggu likuiditas bank yang bersangkutan. Kondisi likuiditas terganggu akibat meningkatnya kredit bermasalah (NPL), akan bertambah parah jika terjadi Rush yaitu suatu kondisi yang terjadi jika masyarakat yang menyimpan dana pada bank tersebut tiba-tiba menarik dananya secara serentak dalam jumlah besar dan bank harus membayar saat itu juga, tidak boleh menundanunda atau menolak. Akibatnya, bank tersebut bisa mengalami kesulitan likuiditas. 8

Oleh karena itu, setiap bank harus menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana, memperlakukan nasabah penyimpan dana adalah sebagai sumber profit, Costumer is king. Peranan Asset Liquidity Committee (ALCO) sangat penting dalam mengelola dan mengantisipasi likuiditas antara dana yang dipinjamkan dalam bentuk kredit dengan dana-dana yang berasal dari masyarakat ( Sutarno, 2004: 2 ). Kredit yang dikelola dengan prinsip kehati-hatian akan menempatkan kredit pada kualitas yang Performing Loan sehingga dapat memberikan pendapatan bagi bank. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perkreditan berupa selisih antara biaya dana dengan pendapatan bunga yang dibayar para pemohon kredit. Dengan demikian, keberhasilan unit kerja pengelolaan kredit atau divisi kredit dalam menjaga kualitas kredit berupa pembayaran bunga dan pokok yang lancar merupakan sumbangan besar bagi suksesnya suatu bank. Untuk mencapai pada tujuan keberhasilan pengelolaan kredit harus dilakukan analisa yang akurat dan mendalam oleh seorang analis dan pejabat-pejabat yang bertugas di unit kerja pengelolaan kredit guna mengurangi resiko kredit yang bermasalah. Seorang analis dan pejabat yang bekerja di unit pengelolaan kredit harus mampu melakukan analisa dari berbagai aspek, seperti aspek hukum, aspek pemasaran, aspek lingkungan, aspek keuangan, aspek sosial ekonomi, aspek teknis dan aspek lainnya yang masih berkaitan dengan tujuan permohonan kredit ( Sutarno, 2004: 3 ). 9

B. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian latar belakang permasalahan seperti tersebut di atas, masalah pokok yang perlu diteliti adalah: 1. Bagaimanakah penerapan Negative Pledge dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja perbankan? 2. Apakah syarat-syarat pemberian fasilitas kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge dalam operasional di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk? 3. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur yang memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada debitur yang dijamin kondisi Negative Pledge? C. Keaslian Penelitian Penulis telah melakukan tinjauan kepustakaan di Perpustakaan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjahmada, penelitian tentang Tinjauan Yuridis Fasilitas Kredit Modal Kerja yang Dijamin Kondisi Negative Pledge Dalam Operasional Di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, sepanjang yang penulis ketahui belum pernah diteliti oleh pihak lain. Penelitian yang berhubungan dengan permasalahan kredit perbankan yang pernah di tulis adalah mengenai jaminan dalam perjanjian kredit perbankan, termasuk bank garansi, seputar masalah perlindungan hukum konsumen kartu kredit, kejahatan serta kecurangan (fraud) pada kartu kredit, sedangkan dalam penulisan tesis ini penulis lebih menekankan kepada kebijakan, 10

pertimbangan hukum untuk Fasilitas Kredit Modal Kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge. Untuk itu maka penelitian ini merupakan hasil pemikiran sendiri dan akan diteliti lebih lanjut oleh peneliti sendiri. D. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan akan memperoleh kegunaan atau manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum khususnya dibidang hukum perbankan dan hukum bisnis. 2. Meningkatkan pemahaman atas azas dan tujuan hukum yang melandasi hukum bisnis dan hukum perbankan. 3. Menemukan hal-hal baru dan hambatan-hambatan serta resiko-resiko dalam praktek pemberian fasilitas kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge. 4. Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai fasilitas kredit yang dijamin kondisi Negative Pledge sehubungan dengan adanya keterbatasan potensial debitur dalam memberikan jaminan berupa agunan kebendaan. E. Tujuan Penelitian Mengacu kepada pokok permasalahan sebagaimana terurai di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi dan mencari jawaban atas masalah-masalah sebagai berikut : 11

1. Untuk mengetahui penerapan Negative Pledge dalam perjanjian kredit perbankan. 2. Untuk mengetahui syarat-syarat pemberian fasilitas kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge dalam operasional di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. 3. Untuk mendapatkan kejelasan perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur yang memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada debitur yang dijamin kondisi Negative Pledge. 12