PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF SELULAR ANTARA IBU HAMIL TERINFEKSI CACING WUCHERERIA BANCROFTI DENGAN IBU HAMIL SEHAT SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

Prevalensi pre_treatment

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN PREVALENSI MIKROFILARIA ANTARA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK DENGAN BRUGIA RAPID SKRIPSI

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. 1

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

5. Manifestasi Klinis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 4 HASIL PENELITIAN

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN RESPON IMUN ADAPTIF SELULAR DAN HUMORAL PADA IBU HAMIL DENGAN INFEKSI WUCHERERIA BANCROFTI

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

ABSTRAK ANALISIS KADAR INTERFERON GAMMA PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN BUKAN PENDERITA TUBERKULOSIS

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar: Struktur Antibodi

UNIVERSITAS INDONESIA STATUS GIZI IBU MENYUSUI DAN FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI JAKARTA BARAT TAHUN 2009 SKRIPSI DESSY SEPTIANINGSIH Y

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS INDONESIA

Transkripsi:

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF SELULAR ANTARA IBU HAMIL TERINFEKSI CACING WUCHERERIA BANCROFTI DENGAN IBU HAMIL SEHAT SKRIPSI DARA INDIRA DINIARTI 0806315036 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM JAKARTA JUNI 2012

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF SELULAR ANTARA IBU HAMIL TERINFEKSI CACING WUCHERERIA BANCROFTI DENGAN IBU HAMIL SEHAT SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran DARA INDIRA DINIARTI 0806315036 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM JAKARTA JUNI 2012 i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Dara Indira Diniarti NPM : 0806315036 Tanda tangan : Tanggal : 11 Juni 2012 ii

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama : Dara Indira Diniarti NPM : 0806315036 Program Studi : Pendidikan Dokter Umum Judul Skripsi : Perbandingan Karakteristik Respon Imun Adaptif Selular antara Ibu Hamil Terinfeksi Cacing Wuchereria bancofti dengan Ibu Hamil Sehat Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran. DEWAN PENGUJI Pembimbing : DR. Drs.Heri Wibowo, M. Biomed Penguji : DR. Drs.Heri Wibowo, M. Biomed Penguji : Dr. Isabella Kurnia Liem, M. Biomed, Ph.D, PA Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 11 Juni 2012 iii

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala berkat, rahmat, dan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran pada Program Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran. Penulis merasa sangat terbantu oleh berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Drs. Heri Wibowo, M. Biomed sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Isabella Kurnia Liem, M. Biomed, Ph.D, PA sebagai penguji dari modul riset yang memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc. selaku ketua modul riset Fakultas Kedokteran yang telah memberikan izin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Keluarga penulis, Ayah Ir. Arsal Chandra, Ibu Rahmi Nusayanti, Kakak Aviadi Fitrah Nusaputra dan Meili Harti yang selalu memberikan dukungan baik material maupun moril dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Kelompok riset penulis, Nola Rizal, Rara Agung Rengganis, Febriani, Rana Katina Fiola, dan Mahrani yang memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Segenap teman - teman angkatan 2008 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, keluarga Bursa Kedokteran BEM IKMFKUI, dan staf Departemen Parasitologi yang turut memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu kedokteran dan masyarakat. Jakarta, 11 Juni 2012 Dara Indira Diniarti iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dara Indira Diniarti NPM : 0806315036 Program Studi : Pendidikan Dokter Umum Fakultas : Kedokteran Jenis karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Perbandingan Karakteristik Respon Imun Adaptif Selular antara Ibu Hamil Terinfeksi Cacing Wuchereria bancofti dengan Ibu Hamil Sehat beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 11 Juni 2012 Yang menyatakan, Dara Indira Diniarti v

ABSTRAK Nama : Dara Indira Diniarti Program Studi : Pendidikan Dokter Umum Judul : Perbandingan Karakteristik Respon Imun Adaptif Selular antara Ibu Hamil Terinfeksi Cacing Wuchereria bancofti dengan Ibu Hamil Sehat Filariasis (infeksi oleh cacing filaria) memiliki angka kejadian tinggi dan dampak cukup serius di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara endemik filariasis. Penyebab filariasis tersering dan dengan sebaran terluas di dunia adalah Wuchereria bancrofti. Pada filariasis, tubuh memberikan respon imun adaptif selular berupa peningkatan aktivitas sel Th2 dan supresi sel Th1. Pada kehamilan terjadi perubahan regulasi sistem imun, namun respon imun adaptif selular terhadap cacing ini belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik respon imun adaptif selular pada ibu hamil yang terinfeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan dengan ibu hamil sehat. Desain yang digunakan adalah Cross Sectional dengan data sekunder dari penelitian induk berjudul Pola Respon terhadap Antigen Tetanus Toxoid dari Bayi yang Lahir dari Ibu dengan Infeksi Cacing, yang dilakukan di Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya, Jawa Barat. Subjek penelitian adalah ibu hamil trimester ketiga (n = 63). Dasar penentuan status infeksi Wuchereria bancrofti adalah pemeriksaan Immunochromatography. Respon imun selular yang dianalisa adalah kadar IFN γ (sel Th1) dan IL 5 (sel Th2). Pengukuran kadar IFN γ dilakukan dengan Luminex dan IL 5 dengan ELISA. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar IFN γ dan IL - 5 pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti lebih tinggi secara bermakna (p = 0,01 untuk kadar IFN γ; p = 0,015 untuk kadar IL-5) dibanding ibu hamil sehat. Setelah stimulasi antigen filaria, tampak bahwa kadar IL - 5 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan IFN γ (p=0,00). Disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon imun adaptif selular pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan pada ibu hamil sehat, dengan kadar IL - 5 cenderung lebih tinggi daripada IFN γ. Kata kunci: Filariasis, Respon Imun Adaptif Selular, Wuchereria bancofti, Ibu Hamil vi

ABSTRACT Name Study Program Title : Dara Indira Diniarti : General Medicine : Comparison of Adaptive Cellular Immune Response Profile in Pregnant Women with Wuchereria bancofti Infection and Healthy Pregnant Women Filariasis (infection caused by filarial) have a high prevalence and quite serious impact in the world. Indonesia is one of endemic country. Wuchereria bancrofti is the most frequent in causing infection and the most widely distributed in world. The adaptive cellular immune response in filariasis shows that Th2 cell s activity is stimulated and the Th1 cell s is suppressed. There is a change in regulation of immune response during pregnancy and cellular adaptive immune response toward Wuchereria bancrofti infection during pregnancy has not been discovered yet. This study aimed was to know the profile of adaptive cellular immune response in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection compared to healthy pregnant women. This study used Cross Sectional design with secondary data from the parent study, entitled Immune Response Against Tetanus Vaccination in Worms Infected Pregnant Women., which was done at Jati Sampurna and Jati Karya Village, West Java. Subject of this study was pregnant women in third trimester (n=63). Wuchereria bancrofti infection status defined by Immunochromatography test. Cellular immune response was analized based on level of IFN γ (Th1 cell) and IL 5(Th2 cell). Level of IFN γ counted with Luminex and IL 5 counted with ELISA. The result showed the level of IFN γ and IL 5 in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection is significantly higher than healthy pregnant women (with p = 0,01 for IFN γ; p = 0,015 for IL 5). After stimulated by filarial antigen, appeared that level of IL - 5 is significantly higher than IFN γ (p = 0,00). In conclusion, there is a significant elevation of adaptive cellular immune response in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection than healthy pregnant women, with level of IL - 5 is higher than IFN γ. Keywords: Filariasis, Adaptive Cellular Immune Response, Wuchereria bancofti, Pregnant Women vii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR..xi DAFTAR SINGKATAN...xii 1.PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Hipotesis... 3 1.4 Tujuan Umum....3 1.5 Tujuan Khusus....3 1.6 Manfaat Penelitian.....3 1.6.1 Manfaat bagi Masyarakat/Pengembangan Ilmu Pengetahuan....3 1.6.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi... 4 1.6.3 Manfaat bagi Peneliti... 4 2.TINJAUAN PUSTAKA... 6 2.1 Filariasis Limfatik... 6 2.1.1 Pendahuluan....6 2.1.2 Epidemiologi Filariasis Limfatik... 6 2.1.3 Morfologi Wuchereria bancrofti... 8 2.1.4 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti... 9 2.1.5 Patogenesis dan Gejala Klinis Filariasis Limfatik... 11 2.1.5.1 Fase Asimtomatik... 11 2.1.5.2 Fase Inflamatorik (Akut).......12 2.1.5.3 Fase Obstruktif........13 2.1.6 Diagnosis Filariasis Limfatik..... 14 2.1.7 Penatalaksanaan Filariasis Limfatik.....15 2.2 Eosinofilia Pulmoner Tropikal 16 2.3 Respon Imun Adaptif Selular....17 2.3.1 Sel T Naif... 17 2.3.2 Sel T CD4+ (Sel Th1 dan Th2)... 17 2.3.2.1 Sel Th1... 18 2.3.2.2 Sel Th2... 18 2.3.2 Sel T CD8+ (Sel T Sitotoksik)... 18 2.3.3 Sel T Regulator (Sel Treg)... 19 viii

2.4 Respon Imun Adaptif Selular terhadap Filariasis... 19 2.5 Respon Imun dalam Kehamilan... 22 2.6 Kerangka Teori... 23 2.7 Kerangka Konsep... 23 3.METODOLOGI PENELITIAN... 24 3.1 Desain Penelitian... 24 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 24 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 24 3.3.1 Populasi Target... 24 3.3.2 Populasi Terjangkau... 24 3.3.3 Sampel Terpilih... 25 3.3.4 Besar Sampel... 25 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 26 3.4.1 Kriteria Inklusi... 26 3.4.2 Kriteria Eksklusi... 26 3.5 Cara Kerja... 26 3.6 Identifikasi Variabel... 27 3.7 Analisis Data... 27 3.8 Batasan Operasional... 27 3.9 Masalah Etika... 28 4.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 29 4.1 Karakteristik Subyek... 29 4.2 Perbandingan Kadar Sitokin pada Plasma... 29 4.3 Perbandingan Kadar Sitokin dengan Stimulasi Antigen Filaria... 32 4.4 Perbandingan Kadar Sitokin Sebelum dan Sesudah Stimulasi Antigen Filaria... 35 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 39 5.1 Kesimpulan... 39 5.2 Saran... 39 DAFTAR PUSTAKA... 40 LAMPIRAN ix

DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Karakteristik subjek pada penelitian...... 29 Tabel 4.2 Hasil analisis uji Mann Whitney pada kadar IFN γ dan IL - 5 pada plasma..30 Tabel 4.3 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan kadar IL 5 plasma subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti...30 Tabel 4.4 Hasil analisis uji Mann Whitney pada kadar IFN γ dan IL 5 dengan stimulasi antigen filaria...33 Tabel 4.5 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan IL 5 dengan stimulasi antigen filaria...34 Tabel 4.6 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan kadar IL-5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti...36 Tabel 4.7 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan kadar IL-5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok sehat..36 x

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Distribusi cacing filaria di Indonesia 7 Gambar 2.2 Distribusi vektor filariasis di Indonesia 7 Gambar 2.3 Siklus hidup Wuchereria bancrofti 10 Gambar 2.4 Respon imun selular dan humoral terhadap cacing...20 Gambar 2.5 Respon imun terhadap cacing..21 Gambar 4.1 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN γ dan IL 5 pada plasma.32 Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN γ dan IL 5 pada hasil kultur darah dengan stimulasi antigen filaria.35 Gambar 4.3 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN γ dan IL 5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria...38 xi

DAFTAR SINGKATAN AP : Alkaline phosphatase APC : Antigen Presenting Cells BB : Berat badan BmA : Brugia malayi Antigen BSA : Bovine Serum Albumin cc : cubic centimeters CD : Cluster of Differentiation CLB : Central Laboratory of the Netherlands Red Cross Blood Transfusion Service CO 2 : Karbon Dioksida CTL : Cytotoxic T Lymphocyte DEA : Diethinolamine DNA : Deoxyribonucleic Acid ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay FL : Filariasis Limfatik GM CSF : Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor ICT : Immunochromatography (ICT) IFN-γ : Interferon gamma IgE : Imunoglobulin E IgG4 : Imunoglobulin G4 IL - 10 : Interleukin 10 IL - 13 : Interleukin 13 IL - 2 : Interleukin 2 IL - 4 : Interleukin 4 IL - 5 : Interleukin 5 IL - 9 : Interleukin 9 IU : International Unit kg : Kilo gram L1 : Larva tahap 1 L2 : Larva tahap 2 xii

L3 : Larva tahap 3 Mf : Mikrofilaria MHC ; Molecul Histocompatibilitas Complex ml : Mili liter NIBSC : National Institute for Biological Standards and Control NKT : Natural Killer T o C PBS PCR pg PHA RPMI STAT STH T Reg Tc TGF-β : Derajat selsius : Phosphate buffered saline : Polymerase Chain Reaction : Piko gram : Phytohaemagglutinin : Roswell Park Memorial Institute : Signal Transducers and Activators of Transcription : Soil Transmitted Helminthes : T Regulator : T cytotoxic : Transforming Growth Factor beta Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 TNFα : Tumor Necrosis Factor alfa USA : United State of America USG : Ultrasonography Wb : Wuchereria bancrofti WHO : World Health Organization μg : Mikro gram μl : Mikro liter xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis merupakan infeksi pada manusia ataupun hewan yang disebabkan oleh parasit cacing yang disebut filaria. Dari delapan jenis parasit yang menginfeksi manusia, Brugia malayi, Brugia timori, dan Wuchereria Bancrofti dapat menghambat sistem limfatik dan menyebabkan filariasis limfatik (FL). 1 Namun, parasit yang merupakan penyebab tersering dan dengan sebaran terluas di seluruh dunia adalah Wuchereria bancrofti. 2 Lebih dari 90% filariasis di dunia disebabkan oleh Wuchereria bancrofti. 3 Di Indonesia, Wuchereria bancrofti tersebar di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. 4 Filariasis Limfatik (FL) merupakan penyakit karena parasit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. 2 Walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, FL merupakan masalah kesehatan yang serius. 1 FL merupakan penyakit keempat terbanyak dalam menyebabkan kecacatan di dunia dan secara tidak langsung dapat memengaruhi ekonomi dalam negara berkembang yang endemik. 2 Kementerian Kesehatan RI tahun 2009 memperkirakan penyakit filariasis ini dapat memberikan kerugian ekonomi hingga 43 trilyun rupiah jika tidak ditangani. 4 Penyakit ini menyebabkan morbiditas akut berupa adenolimfangitis dan kronik yang permanen serta berkepanjangan. Manifestasi kronik berupa limfoedema, elefantiasis pada ekstremitas, komplikasi urinogenital, limfe skrotum dan hidrokel, kyluria dan adenopati. 1 Selain masalah kecacatan dan kerugian ekonomi, FL juga memberikan dampak psikologis pada para penderitanya. 5 World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 120 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 miliar beresiko, yang tersebar dalam 83 negara. 2 Penyakit ini endemik pada daerah tropis dan subtropis, seperti Afrika, Asia, India, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Namun, dari seluruh dunia, kejadian FL paling tinggi terjadi di India, 1

2 Indonesia, dan Nigeria. 1 Dari keseluruhan kasus FL, yaitu 49,2% dari 120 juta kasus, terjadi di daerah Asia. Sedangkan 34,1% dari kasus terjadi di daerah Afrika. Dari 120 juta kasus FL, sekitar 83,63 juta merupakan karier, 16,02 juta dengan limfoedema, dan 26,79 juta dengan hidrokel. 3 Menurut WHO, sekitar 66% dari populasi beresiko hidup pada daerah Asia Tenggara dan 33% pada daerah Afrika. 6 Diperkirakan sekitar 15 juta orang dengan FL hidup di daerah Asia Tenggara. Daerah endemik yang terdapat pada wilayah Asia Tenggara, yaitu Kamboja, Laos, Filipina, Indonesia, Thailand, dan Timor-Leste. 7 Sedangkan untuk Indonesia sendiri, berdasarkan data Departemen Kesehatan RI tahun 2009, terdapat sekitar 40 juta orang penderita kronis filariasis yang tersebar di 386 kabupaten/kota. 8 Sedangkan berdasarkan hasil penelitian lain pada Kabupaten Banyuasin, Indonesia, tercatat sebanyak 125 kasus filariasis pada tahun 2002-2005. 5 Pada filariasis, dalam tubuh terjadi respon imun adaptif baik humoral maupun selular. Respon imun adaptif humoral yang terjadi pada tubuh ketika terinfeksi filaria didominasi oleh peningkatan IgE dan aktivasi eosinofil. Sedangkan, respon imun adaptif selular terhadap filariasis berupa peningkatan aktivitas sel Th2 (ditandai dengan tingginya kadar sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2) 9 dan supresi Th1 (ditandai dengan rendahnya kadar sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1, yaitu IFN γ). 9,10 Pada kehamilan, terdapat perubahan regulasi sistem imun yang kompleks. Berkaitan dengan perubahan tersebut, maka respon imun terhadap patogen selama masa kehamilan masih belum diketahui secara pasti. 11 Saat ini telah diketahui bahwa respon imun humoral pada ibu hamil dengan filariasis ditandai dengan ekspresi IgE total yang lebih tinggi daripada ekspresi IgE total pada ibu hamil sehat. 12 Namun respon imun adaptif selular terhadap filariasis selama kehamilan masih belum diketahui. Berdasarkan keadaan yang telah dijabarkan tersebut, terdapat empat hal penting yang dapat disimpulkan. Pertama, filariasis memiliki angka

3 kejadian tinggi dan dampak cukup serius di dunia. Kedua, Indonesia merupakan salah satu negara endemik filariasis dengan angka kejadian yang tinggi. Ketiga, cacing Wuchereria bancrofti merupakan cacing filaria yang paling banyak menyebabkan infeksi di seluruh dunia dan mendominasi distribusi cacing untuk Pulau Jawa. Keempat, walaupun respon imun adaptif selular terhadap filariasis sudah diketahui, namun respon imun selama kehamilan masih belum diketahui. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti bagaimana karakteristik respon imun adaptif selular terhadap infeksi filarial, yaitu cacing Wuchereria bancrofti khususnya, selama kehamilan dan dibandingkan dengan respon imun adaptif selular pada ibu hamil sehat. 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan karakteristik sitokin sebagai respon imun adaptif selular antara ibu hamil yang terinfeksi cacing Wuchereria bancrofti dengan pada ibu hamil sehat? 1.3 Hipotesis Terdapat perbedaan karakteristik sitokin sebagai respon imun adaptif selular antara ibu hamil yang terinfeksi cacing Wuchereria bancrofti dengan ibu hamil sehat. 1.4 Tujuan Umum Mengetahui karakteristik sitokin sebagai respon imun adaptif selular pada ibu hamil yang terinfeksi cacing Wuchereria bancrofti. 1.5 Tujuan Khusus a. Membandingkan kadar IFN - γ (sitokin Th1) dan IL 5 (sitokin Th2) pada plasma antara ibu hamil yang terinfeksi Wuchereria bancrofti dengan ibu hamil sehat. b. Membandingkan kadar IFN - γ dengan kadar IL 5 pada plasma ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti.

4 c. Membandingkan kadar IFN - γ dan kadar IL 5 setelah distimulasi antigen filaria antara ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dengan ibu hamil sehat. d. Membandingkan kadar IFN - γ dengan kadar IL 5 setelah distimulasi antigen filaria pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dan ibu hamil sehat. e. Membandingkan kadar IFN - γ dan kadar IL 5 sebelum dan setelah distimulasi antigen filaria pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dan ibu hamil sehat. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat bagi Masyarakat/Pengembangan Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian dapat membantu dalam pengembangan ilmu imunitas dan parasitologi yang kemudian dapat diaplikasikan kepada masyarakat. 1.6.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi a. Sebagai realisasi tridarma perguruan tinggi. b. Turut berperan serta dalam mewujudkan sebagai universitas riset berkualitas internasional dalam ilmu dan teknologi kedokteran dan mewujudkan visi Fakultas Kedokteran 2014. c. Turut berperan dalam meningkatkan kerjasama serta komunikasi yang baik antara mahasiswa dan staf pengajar Fakultas Kedokteran. 1.6.3 Manfaat bagi Peneliti a. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di S1 regular Pendidikan Dokter Umum, Fakultas Kedokteran.

5 b. Sebagai sarana untuk mendapatkan pelatihan, pembelajaran, serta pengalaman melakukan penelitian langsung di bidang kedokteran. c. Mengembangkan minat, logika, kemampuan analisis, serta keterampilan dalam bidang penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis Limfatik 2.1.1 Pendahuluan Filariasis berarti infestasi oleh filaria, yaitu cacing dari superfamili filarioidea. Filariasis limfatik merupakan istilah umum yang terdiri dari filariasis bancroftian dan filariasis brugian. 13 Filariasis limfatik (FL) adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing mikroskopik yang berbentuk seperti benang. 13,14 Infeksi ini disebabkan oleh infestasi cacing filarial pada sistem limfatik manusia. 13,15 FL dapat ditularkan dari orang ke orang dengan perantara nyamuk. Penderita FL dapat mengalami limfangitis rekuren, limfedema, elefantiasis, dan bila terjadi pada pria, dapat menimbulkan hidrokel pada skrotum. FL termasuk penyebab utama kecacatan permanen di seluruh dunia. Keadaan ini diperparah dengan kecenderungan komunitas yang mengucilkan penderita FL. 14 2.1.2 Epidemiologi Filariasis Limfatik Terdapat tiga spesies filarial yang dapat menyebabkan FL pada manusia, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. 1,14 Namun, penyebab infeksi tersering di seluruh dunia adalah Wuchereria bancrofti, yaitu sekitar 90% kasus. 3,14,15 Di Indonesia, setiap cacing memiliki daerah persebaran tertentu (Gambar 2.1). Wuchereria bancrofti tersebar di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Cacing Brugia timori tersebar di Indonesia Timur. Sedangkan Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. 4 6

7 Gambar 2.1 Distribusi cacing filaria di Indonesia. 4 Infeksi ini dapat menyebar melalui gigitan nyamuk. Di Afrika, vektor pembawa tersering adalah Anopheles. Sedangkan di Amerika, vektor tersering adalah Culex quinquefasciatus. Untuk daerah Pasifik dan Asia, vektor yang dapat mentransmisikan penyakit ini adalah nyamuk Aedes dan Mansonia. 14 Di Indonesia, terdapat 23 spesies dari 5 genus nyamuk yang merupakan vektor filariasis, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres (Gambar 2.2). 4 Gambar 2.2 Distribusi vektor filariasis di Indonesia. 4

8 Pasca gigitan nyamuk sampai berkembang menjadi penyakit FL biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. Penduduk daerah tropis dan subtropis memiliki risiko terbesar mengalami infeksi ini. 14 FL menginfeksi sekitar 120 juta orang pada 80 negara tropis dan subtropis di seluruh dunia. Wilayah endemik penyakit ini meliputi Asia, Afrika, Pasifik barat, dan Amerika Selatan dan Tengah. 14 Selain itu, FL yang disebabkan oleh W. Bancrofti terjadi pada daerah Afrika tengah, Delta sungai Nil, Turki, India, Asia Tenggara, East-Indies, Filipina dan Kepulauan Pasifik, Australia, dan Amerika Selatan, yang memberikan gambaran ikat pinggang ekuator yang luas. Penyebaran ke daerah lain kemungkinan disebabkan oleh kegiatan perbudakan. 15 Angka kejadian FL paling tinggi di India, Indonesia, dan Nigeria. 1 Sekitar 49,2% dari 120 juta kasus FL terjadi di Asia, sedangkan sisanya terjadi di daerah Afrika. Dari 120 juta kasus tersebut, sekitar 83,63 juta merupakan karier FL, 16,02 juta dengan limfoedema, dan 26,79 juta dengan hidrokel. 3 Berdasarkan WHO, sekitar 66% populasi beresiko hidup di wilayah Asia Tenggara dan 33% hidup di Afrika. 6 Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2009, tercatat sekitar 40 juta orang penderita filariasis yang tersebar di 386 kabupaten/kota. 8 Sedangkan dari salah satu penelitian di Indonesia, yaitu di daerah Banyuasin, didapatkan 125 kasus filariasis yang disebabkan Brugia malayi pada tahun 2002-2005. 5 2.1.3 Morfologi Wuchereria bancrofti Cacing dewasa berbentuk panjang dan ramping dengan kutikula halus dan ujung membulat yang tumpul. Bagian kepala sedikit bengkak dengan dua lingkaran papilla, mulut kecil, dan tidak ada kapsul bukkal. Cacing jantan berukuran 40 mm dan memiliki lebar 100μm dengan ekor seperti jari. Cacing betina berukuran sekitar 6-10 cm dan memiliki lebar 300 μm. Cacing dewasa hidup di duktus limfatikus manusia. Biasanya cacing dapat ditemukan di saluran limfe aferen dekat dengan kelenjar

9 limfe mayor pada bagian bawah tubuh. Cacing ini jarang menginvasi vena. Cacing betina merupakan ovoviviparus, yang dapat memproduksi jutaan mikrofilaria. 15 Mikrofilaria (mf) diperkirakan seperti tahap lanjut dari embrio. Mikrofilaria mengandung membran telur sebagai selubung luar yang halus. Selubung luar ini dapat membantu membedakan spesies filarial ketika diwarnai. 15 Mikrofilaria beredar di sirkulasi darah atau bermigrasi melalui kulit. 1 2.1.4 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti Ketika vektor nyamuk menghisap darah manusia, nyamuk yang terinfeksi akan membawa larva tahap 3 (L3) filarial ke kulit pejamu. Larva ini kemudian dapat berpenetrasi ke luka bekas gigitan. Larva kemudian berkembang menjadi cacing dewasa yang biasanya berdiam di sistem limfatik. Cacing dewasa memproduksi mikrofilaria, yang berselubung dan memiliki periode nokturnal (Gambar 2.3). 16 Mikrofilaria dapat masuk ke jaringan sekitar limfe, namun umumnya disapu masuk ke dalam aliran darah melalui duktus torakikus. Periode nokturnal mikrofilaria muncul di dalam darah tepi tergantung dari distribusi geografis. Periode nokturnal ini merupakan keadaan dimana mikrofilaria dapat ditemukan dalam jumlah banyak di dalam darah tepi pada saat malam hari. Pada umumnya, mikrofilaria dengan jumlah tertinggi dapat ditemukan sekitar pukul 22.00 02.00. 15 Namun demikian, disebutkan di Nigeria, mikrofilaria terbanyak ditemukan sekitar pukul 00.00 04.00. Selain dari periode tersebut, mikrofilaria hampir atau hilang sama sekali dari peredaran darah tepi. 1 Tetapi untuk mikrofilaria daerah Pasifik Selatan, dilaporkan tidak memiliki periode nokturnal. 16 Berdasarkan periode nokturnal daerah pejamu, maka nyamuk yang menghisap darah pada malam hari merupakan vektor primer penyebaran FL pada daerah tersebut. Selama siang hari, mikrofilaria terkonsentrasi pada pembuluh darah di jaringan dalam

10 tubuh, terutama pada kapiler paru. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi periode nokturnal ini. Disebutkan bahwa perubahan jadwal tidur pejamu dapat menyebabkan perubahan periode, sehingga menyebabkan mikrofilaremia diurnal. Pengetahuan akan periode mikrofilaremia ini penting dalam penegakkan diagnosis. 15 Gambar 2.3 Siklus hidup Wuchereria bancrofti. 16 Mikrofilaria yang masuk ke dalam aliran darah tepi dapat terhisap oleh nyamuk. Setelah terhisap oleh nyamuk, mikrofilaria kehilangan selubungnya dan menembus usus untuk mencapai otot torakik nyamuk. 16 Kemudian pada tempat tersebut mikrofilaria berkembang menjadi larva tahap satu (L1) dalam 8 hari menjadi larva tahap 2 (L2). L2 ini berukuran pendek dan berbentuk seperti sosis. Setelah 2-4 hari, perkembangan usus mikrofilaria telah sempurna, dan L2 menjadi memanjang dan lebih ramping, menjadi larva tahap tiga (L3) yang infektif. 15 L3 infektif ini kemudian bermigrasi melalui hemokoel mencapai prosbosis nyamuk. Kemudian L3 dapat menginfeksi manusia

11 lain ketika nyamuk menghisap darah pejamu tersebut. 16 Mikrofilaria ini dapat masuk ke kulit melalui luka yang disebabkan oleh nyamuk. 15 2.1.5 Patogenesis dan Gejala Klinis Filariasis Limfatik Patogenesis FL sangat tergantung dari respon imun dan inflamasi pejamu terhadap cacing dewasa di sistem limfatik atau limfe nodus. 15,17 Efek dari infeksi Wuchereria bancrofti menunjukkan gejala klinis dengan spektrum yang luas, meliputi silent-infection yang tidak menunjukkan gejala, ringan sampai berat inflamasi granulomatosa limfatik kronik, hingga reaksi obstruksi granulomatosa. Beberapa peneliti menyatakan keadaan ini merupakan perjalanan dari awal infeksi hingga akhirnya menjadi penyakit obstruktif. Namun, peneliti lain menyatakan bahwa perkembangan gejala klinis ini dapat dihindari dan bahkan memiliki respons plastisitas. Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, cacing membutuhkan waktu 6-12 bulan untuk matang dan untuk cacing betina memulai produksi mikrofilaria. Mikrofilaria dapat baru dikeluarkan hingga 10 tahun pada tidak adanya reinfeksi. 15 2.1.5.1 Fase Asimtomatik Pada fase ini biasanya pasien menunjukkan mikrofilaremia yang tinggi. Pada pasien, terjadi supresi sel Th1 akibat dari sitokin IL - 4 yang dikeluarkan oleh sel Th2 dan terjadi depresi IFN-γ. Namun, setelah beberapa tahun, hiporesponsifitas ini menurun dan reaksi inflamasi dapat meningkat. Maka dari itu, dua fase FL adalah hiporesponsifitas dan penyakit limfatik kronik. Responsifitas sel T kembali setelah adanya keberhasilan penggunaan obat. Banyak orang pada daerah endemik tidak menunjukkan gejala ataupun mikrofilaremia, hal ini disebut sebagai endemik normal. Tetapi, tidak adanya gejala ataupun amikrofilaremia bukan berarti tidak terinfeksi. 15 Walaupun keadaan mikrofilaremia biasanya asimtomatik, namun pada keadaan dimana kadar mikrofilaremia sangat tinggi, dapat

12 terjadi inflamasi granuloma akut atau kronik akibat destruksi limpa. 17 2.1.5.2 Fase Inflamatorik (Akut) Pada fase ini, terjadi respons inflamasi akibat antigen yang dikeluarkan oleh cacing dewasa, khususnya cacing betina. Selain itu, inflamasi juga terjadi akibat invasi dari bakteri yang ada di permukaan tubuh cacing, yaitu antigen Wolbachia. 15 Cacing dewasa yang hidup dalam sistem limfatik atau di limfe nodus menyebabkan terjadinya dilatasi limfa dan gangguan aliran limfa. Hal ini menyebabkan terjadinya limfedema. Pasien dengan limfedema memiliki serangan periodik berupa adenolimfangitis (inflamasi pada kanal limfa) dan limfadenitis (inflamasi dari nodus limfa). Serangan ditandai dengan demam dan menggigil, pembengkakan akut, kulit ekstremitas yang mengalami limfedema terasa hangat dan nyeri, rasa nyeri disepanjang jalur limfatik superfisial, dan limfe nodus yang sakit. 15 WHO membagi edema menjadi tiga tingkat berdasarkan derajat keparahan, yaitu: 18 a. Tingkat 1 : Edema pitting pada tungkai yang bersifat reversibel jika dilakukan elevasi tungkai. b. Tingkat 2 : Edema nonpitting yang bersifat ireversibel jika dilakukan elevasi tungkai. c. Tingkat 3 : Edema parah yang disertai dengan sklerosis dan perubahan kulit. Serangan ini bisa terjadi selama 5-7 hari dan dapat berulang. 15,17 Gejala tambahan lain yang dapat menyertai pada fase akut adalah orkitis, epididimitis, dan hidrokel. 15

13 2.1.5.3 Fase Obstruktif Cacing dalam sistem limfatik menyebabkan dilatasi pembuluh dan penebalan pembuluh limfa. Adanya infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag disekeliling pembuluh limfa disertai dengan proliferasi sel endotel dan jaringan ikat menyebabkan kegagalan sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi dari katup limfe. Respon inflamasi tubuh terhadap cacing filaria menyebakan terjadinya proses granulomatosa dan proliferasi yang dapat menyebabkan obstruksi sistem limfatik. Selama ini diyakini bahwa pembuluh limfe akan tetap paten jika cacing masih hidup dan bergerak. Namun, cacing yang mati akan meningkatkan reaksi granulomatosa dan terjadinya fibrosis. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya obstruksi limfatik. 17 Pada fase ini, terjadi varises limfe, limfe skrotum, hidrokel, kyluria, dan elefantiasis. Varises limfe terjadi akibat dari adanya varises pada duktus limfatikus, yang disebabkan oleh gangguan arus balik limfe karena obstruksi. Hal ini menyebabkan duktus yang terlibat berdilatasi. Hal ini menyebabkan kyluria, atau adanya limfe pada urin. Kyle, yang merupakan campuran limfe dengan emulsi lemak, memberikan penampakan urin yang seperti susu. Selain itu, dapat terlihat adanya infiltrasi diikuti pembentukan jaringan ikat atau jaringan parut pada daerah yang terinfeksi. 15 Pada beberapa kasus, serangan inflamasi limfatik akut berulang diduga menyebabkan terjadinya elefantiasis. Keadaan ini merupakan limfedema kronik yang disertai dengan infiltrasi jaringan ikat masif dan penebalan kulit. Pada pria, biasanya terjadi di skrotum, tungkai kaki, dan lengan. Sedangkan pada wanita, biasanya terjadi pada tungkai kaki dan lengan, dan lebih jarang terjadi pada vulva dan mammae. Organ elefantoid terutama terdiri dari jaringan ikat fibrosa, jaringan granulomatosa, dan lemak. Kulit

14 menjadi menebal dan kering. Adanya invasi bakteri atau jamur dapat memperburuk masalah. Pada keadaan ini, biasanya tidak dijumpai mikrofilaria. Elefantiasis merupakan hasil dari respon imun yang kompleks dan berjalan lama. Setelah cacing mati, maka gejala mulai menghilang. 15 2.1.6 Diagnosis Filariasis Limfatik Diagnosis filariasis dapat ditegakkan dengan menemukan mikrofilaria dari sedian apus darah tebal ketika periode mikrofilaremia di darah tepi. 15,19,20 Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil darah vena pada malam hari. Darah sediaan kemudian difiltrasi menggunakan membran filtrasi millipore sehingga dapat dideteksi adanya mikrofilaria dan menentukan kuantitas infeksi. Pemeriksaan mikrofilaria ini biasa dilakukan pada tahap awal sebelum timbul gejala klinis. Jika sudah terjadi limfedema, biasanya mikrofilaria tidak ditemukan lagi pada darah tepi. 19 Pemeriksaan radiografi, seperti USG dan sinar X, deteksi antigen, dan deteksi DNA dengan PCR juga dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis filariasis. 15,19,20 Pada pemeriksaan radiografi, seperti USG pada limfatik skrotum akan terlihat pergerakan cacing dewasa yang disebut dengan filaria dance sign. 15,19 Sedangkan pemeriksaan sinar X dapat mendeteksi cacing mati yang telah terkalsifikasi. 15 Pemeriksaan antigen menggunakan Immunochromatographic test (ICT) sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi antigen filarial. Pemeriksaan dengan ICT ini dapat mendeteksi penyakit pada tahap awal ketika cacing dewasa hidup. Pemeriksaan ini akan negatif jika cacing dewasa sudah tidak ada lagi. Pemeriksaan antigen ini sangat berguna karena banyaknya orang yang terinfeksi filariasis namun ternyata amikrofilaria. 15,19 Pemeriksaan antigen lain adalah menggunakan antibodi monoklonal Og4C3-enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) pada sediaan darah tepi yang diambil pada malam hari atau cairan hidrokel. Pemeriksaan ini lebih

15 sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikrofilaria. 21 Berdasarkan penelitian pada tahun 2009 yang membandingkan tingkat kesensitifan antara pemeriksaan USG dan deteksi antigen ( ICT dan Og4C3 ELISA), diketahui bahwa pemeriksaan deteksi antigen lebih sensitive (96,69%) daripada USG (73,44%). Sedangkan diantara pemeriksaan antigen sendiri, pemeriksaan ICT merupakan pemeriksaan yang paling nyaman untuk mendiagnosis filariasis. 22 Pemeriksaan DNA menggunakan teknik PCR sangat spesifik dalam mendiagnosis filariasis walaupun tingkat sensitifitasnya dibawah pemeriksaan antigen. Teknik ini dapat membedakan antara parasit pada manusia, hewan, ataupun vektor pembawa. 23 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Lymphoscintigraphy. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginjeksi albumin atau dekstran yang telah dilabeli secara radioaktif dan kemudian dipantau menggunakan kamera gamma. Pemeriksaan ini dapat melihat dilatasi limfatik. 19 Pemeriksaan lain adalah mendeteksi antibodi IgG4 terhadap antigen filarial Bm14 menggunakan ELISA. Namun, adanya onkoserkiasis, askariasis, atau strongyloidasis dapat menunjukkan hasil yang positif pula. 24 Untuk pemeriksaan mikrofilaria, antigen filarial, antibodi terhadap filarial, serta pemeriksaan DNA parasit tidak perlu menggunakan darah vena dalam volume besar. Berdasarkan penelitian pada tahun 2008, pemeriksaan menggunakan sediaan bervolume kecil (150 mikroliter) dari ujung jari sudah cukup untuk pelaksanaan pemeriksaan tersebut. 25 2.1.7 Penatalaksanaan Filariasis Limfatik Pengobatan filariasis menggunakan dietilkarbamazepin (DEC) yang mengeliminasi mikrofilaria dari darah dan dapat membunuh cacing dewasa. Dosis penggunaan yaitu 6 mg/kg berat badan selama 7 12 hari, dengan target dosis akumulatif total 72 mg/kg berat badan. Selain itu, penggunaan bersama dengan ivermektin da DEC atau albendazole memiliki efek

16 penunjang. Pada ekstremitas yang mengalami edema, dapat ditangani dengan memberikan pressure bandage untuk menekan aliran limfa. Tindakan operasi pada jaringan elefantoid juga dapat dilakukan untuk menganani elephantiasis. 15,17 Tindakan pencegahan filariasis yang paling baik adalah pencegahan terkena gigitan nyamuk bagi orang yang tinggal di daerah endemik. Pencegahan dapat dengan menggunakan obat anti serangga atau kelambu. 15 2.2 Eosinofilia Pulmoner Tropikal Eosinofilia pulmoner tropical (Tropical Pulmonary Eosinophilia) atau disingkat TPE merupakan bagian dari occult filariasis. Occult filariasis merupakan keadaan dimana terjadi infeksi filaria namun tidak ditemukannya mikrofilaria di dalam darah. Namun, mikrofilaria dapat ditemukan dalam cairan atau jaringan tubuh lainnya. TPE biasanya terkait dengan infeksi Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi. TPE dapat terjadi pada orang yang tinggal pada daerah endemik filariasis. Gejala klinis TPE yaitu batuk kering paroksismal, mengi pada malam hari, sesak napas, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, demam derajat rendah, adenopati, dan eosinofilia (>3000/µL). Pada foto Rontgen Thorax, dapat terlihat adanya corakan bronkovaskular, lesi milier difus, atau bercak bercak opak pada lapang tengah dan bawah paru. Pada pemeriksaan fungsi paru, terdapat kelainan atau defek obstruksi. Terjadi peningkatan kadar IgE serum dan peningkatan titer antibodi antifilarial. 17,18 Pada TPE, terjadi pembersihan mikrofilaria dan antigen parasit dari darah secara cepat oleh paru. Gejala klinis yang muncul terjadi akibat adanya reaksi inflamasi dan alergi (hiperresponsif) terhadap infeksi cacing filaria. Pada paru, dapat terjadi infiltrasi eosinodil intraalveolar yang menyebabkan pelepasan protein granular proinflamasi sitotoksik yang memediasi patogenesis TPE. Pengobatan TPE menggunakan DEC dengan dosis 4 6 mg/kg berat badan per hari selama 14 hari. Gejala umumnya menghilang dalam 3 7 hari. 17,18

17 2.3 Respon Imun Adaptif Selular Respon imun adaptif selular diperankan oleh limfosit T atau Sel T. Sel T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi mengalami proliferasi dan diferensiasi pada kelenjar timus. Sel T terdiri dari beberapa sel, yaitu sel CD4+ (Th1, Th2), CD8+ (CTL atau Tc), sel T naif, NKT, dan Treg. Sistem imun adaptif selular terutama berperan dalam pertahanan terhadap bakteri intraselular, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Sel T berperan dalam proses inflamasi, aktivasi fungsi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam memproduksi antibodi. Selain itu, sel T juga mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel T naif akan terpajan dengan kompleks antigen MHC (Molecul Histocompatibilitas Complex) dan dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell) akan berkembang menjadi CD4+ dan CD8+ dengan fungsi yang berlainan. 26 2.3.1 Sel T naif Sel ini merupakan sel limfosit matang yang meninggalkan timus tetapi belum berdiferensiasi dan belum pernah terpajan antigen. Sel T naif dibawa dari timus menuju organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang dapat berkembang menjadi Sel Th1 dan Th2. Sel Th0 memproduksi sitokin IL- 2, IFN, dan IL-4. 26 2.3.2 Sel T CD4+ (Sel Th1 dan Th2) Sel Th merupakan subset sel T yang penting dalam menginduksi respons imun terhadap antigen asing. Antigen dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke sel CD4+ yang mengaktifkan dan merangsang proliferasi dan diferensiasi sel CD4+ menjadi sel Th1 atau Th2. Perubahan menjadi sel Th1 atau Th2 ini dipengaruhi oleh sitokin yang diproduksi oleh respon imun nonspesifik terhadap mikroba atau respons imun spesifik yang dini. 26

18 2.3.2.1 Sel Th1 Pembentukan sel Th1 ini diinduksi oleh pelepasan IL-12 oleh makrofag dan sel dendritik melalui jalur STAT4 dependen. Selain itu, faktor transkripsi T-bet yang dilepaskan sebagai respons terhadap IFN-γ juga meningkatkan respons Th1. IFN-γ dan IL-12 yang diproduksi APC merangsang sel CD4+ berdiferensiasi menjadi Th1 yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Sel Th1 ini berperan untuk mengerahkan makrofag dan memacu reaksi sitotoksik. Diferensiasi ini merupakan respons terhadap infeksi mikroba, bakteri intraselular, beberapa parasit, serta virus. Sel Th1 memproduksi sitokin INF-γ, IL-10, dan IL-3. 26 2.3.2.2 Sel Th2 Diferensiasi dari Sel CD4+ menjadi Th2 dipengaruhi oleh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepaskan oleh sel mast. IL-4 yang terutama diproduksi sel T berfungsi untuk meningkatkan induksi Th2 melalui jalur STAT6 dependen. Pelepasan sitokin ini disebabkan oleh pajanan dengan antigen. Sel Th2 yang terbentuk kemudian akan merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Sel Th2 mengeluarkan sitokin IL-4, IL-5, IL-13, IL-10, dan IL-3. 26 2.3.3 Sel T CD8+ (Sel T Sitotoksik) Sel T CD8+ naif keluar dari timus disebut sebagai CTL/Tc. Sel ini mengenali kompleks antigen MHC-I oleh APC. Fungsi utama sel ini adalah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dan menghancurkan sel ganas. Sel ini juga dapat menghancurkan bakteri intraselular yang menginfeksi suatu sel dengan menggunakan sitolisis melalui perforin atau granzim, induksi apoptosis, TNF-α, dan memacu produksi sitokin

19 Th1 dan Th2. Sel Tc membunuh sel dengan cara langsung maupun dengan menginduksi apoptosis. 26 2.3.4 Sel T Regulator (Sel Treg) Sel ini disebut juga sebagai sel Th3 atau Tr. Sel ini berperan dalam toleransi oral dan regulator imunitas mukosa, imunoregulasi dengan menekan sejumlah respons imun. Treg mengekspresikan dan melepaskan TGF-β dan IL-10 yang bersifat supresif. TGF-β berfungsi menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag. Sedangkan, IL-10 berfungsi menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag. 26 2.4 Respon Imun Adaptif Selular terhadap Filariasis Infeksi cacing biasanya bersifat kronik. Selain itu, kematian pejamu ternyata akan merugikan cacing itu sendiri. Respons imun terhadap cacing biasanya lebih kompleks (Gambar 2.4 dan Gambar 2.5). Hal ini disebabkan karena parasit berukuran besar dan tidak bisa dimakan oleh fagosit. Infeksi cacing lebih banyak menginduksi aktivasi sel Th2 yang melepas IL-4 dan IL- 5. IL-4 akan menginduksi proliferasi sel B dan merangsang produksi IgE dan IgG4. Sedangkan IL-5 akan menginduksi perkembangan dan aktivasi dari eosinofil. 9,26 Kemudian, IgE yang berikatan dengan antigen cacing akan diikat oleh eosinofil. Eosinofil akan teraktivasi dan mensekresi granul enzim yang dapat membunuh parasit. Granul eosinofil lebih toksik dibandingkan neutrofil dan makrofag. Selain itu, eosinofil juga bersifat sitotoksik serta dapat menghancurkan patogen multiselular yang berukuran besar. Namun demikian, yang baru diketahui saat ini fungsi sitolitik eosinofil hanyalah terhadap fase larva parasit yang bermigrasi ke jaringan. 26

20 Gambar 2.4 Respon imun selular dan humoral terhadap cacing. 26 Sel Th2 juga melepaskan sitokin yang dapat memediasi aktivasi makrofag. Namun, dalam hal ini,fungsi makrofag yang ditingkatkan adalah fungsi sintesis protein matriks ekstraselular yang penting dalam proses perbaikan jaringan. Sitokin IL 4, IL 10, dan IL 13 yang dikeluarkan oleh sel Th2 memiliki fungsi supresi terhadap imunitas yang diperantarai oleh sel Th1. Hal ini ditandai dengan rendahnya kadar sitokin IFN γ. 9,10 Dengan demikian, maka aktivitas mikrobisidal makrofag dihambat. 9 Filariasis Limfatik (FL) dapat menimbulkan respons imunitas selular kronis, fibrosis, dan limfedema berat. Munculnya mikrofilaria dalam darah menyebabkan sitokin Th2 menjadi dominan, menghilangnya respons sel T, dan peningkatan sintesis IgG4 spesifik parasit. Induksi toleransi sel T diduga terjadi pada sel Th1, dimana terjadi supresi pada sel Th1 yang disebabkan oleh pengeluaran sitokin IL-4 oleh sel Th2. 15,26 Respons Th1 dan Th2 terhadap

21 filariasis terjadi pada individu yang kebal terhadap infeksi ulang. Respons kedua Th ini berperan penting dalam proteksi pejamu dan patogenesis filariasis. 26 Gambar 2.5 Respon imun terhadap cacing. 26 Selain respons imun, pada FL juga dijumpai anergi sel T, walaupun mekanismenya belum jelas. Defisiensi imun pada filariasis kemungkinan disebabkan akibat rusaknya kelenjar getah bening oleh parasit. 26 Selain itu, toleransi sel T terhadap filariasis diduga terjadi pada infeksi yang kronis. Pada keadaan tersebut, didapatkan kadar IFN γ dan IL 5 rendah. Hal ini menunjukkan rendahnya aktivitas sel CD4+, baik Th1 maupun Th2. 27,28,29 Pada daerah endemis filariasis ditemukan tiga respon yang berbeda terhadap filariasis. Respon tersebut terbagi dalam individu yang rentan

22 terhadap infeksi, individu yang resisten terhadap infeksi (silent infection), dan individu dengan gejala klinis. Respon imun terhadap setiap individu tersebut sebagai berikut. 30 a. Individu yang rentan terhadap infeksi. Pada individu ini ditemukan respons Th2 yang lebih tinggi daripada Th1, tingginya kadar IL 10 (Treg), serta tingginya kadar IgG4 dan kadar IgE relatif rendah. b. Individu yang resisten terhadap infeksi (silent infection). Pada individu ini ditemukan respons Th1 dan Th2 yang seimbang, yang dikontrol oleh Treg, kadar IgG4 rendah, dan kadar IgE meningkat. c. Individu dengan gejala klinis. Pada individu ini ditemukan respons Th1 yang tinggi, kadar IgE yang lebih tinggi dari IgG4. Pada keadaan ini diduga aktivitas Treg rendah. Pada keadaan ini, terjadi inflamasi kuat yang memicu keadaan patologi. 2.5 Respon Imun dalam Kehamilan Selama kehamilan, terjadi perubahan regulasi respon imun yang kompleks. Selama ini diyakini bahwa terjadi supresi respon imun selama kehamilan, yang ditandai dengan tingginya kadar sel Th2 sebagai sitokin antiinflamasi serta adanya progesteron yang merupakan supresor imun alami. Namun, Mor G dan Cardenas I (2010) menyatakan bahwa selama kehamilan, respon imun bukanlah disupresi, melainkan terjadi suatu perubahan regulasi respon yang kompleks dan unik. Hal ini dikarenakan selama kehamilan dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang baik terhadap ancaman patogen dari luar tubuh, agar ibu dan proses tumbuh kembang janin dapat berjalan dengan baik. Regulasi imun yang kompleks ini didukung dengan temuan bahwa adanya mekanisme lain yang turut berperan dalam sistem pertahanan tubuh, seperti sel trofoblas yang memproduksi peptida anti mikroba serta plasenta dan fetus yang dapat berperan sebagai organ imunologis tambahan yang mempengaruhi respon tubuh ibu terhadap infeksi patogen. 11

23 2.6 Kerangka Teori Infeksi Cacing Antigen Presenting Cell (APC) Polarisasi Respon Imun Selular (Kadar Sitokin) Kadar IFN γ (Th1) Kadar IL 5 (Th2) Kadar IL -10 (Treg) Respon Imun Humoral Sel B IgE 2.7 Kerangka Konsep Infeksi Wuchereria bancrofti pada Ibu Hamil Respon Imun Adaptif Selular Kadar IFN γ (Th1) Kadar IL 5 (Th2) Infeksi Bakteri Infeksi Virus Penyakit Autoimun Penyakit Imunodefisiensi Keterangan: : Variabel yang diteliti dalam penelitian ini : Variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi Cross Sectional dari penelitian utama studi kohor dengan judul Pola Respon terhadap Antigen Tetanus Toxoid dari Bayi yang Lahir dari Ibu dengan Infeksi Cacing. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian utama penelitian ini dilakukan di dua kelurahan, yaitu Kelurahan Jati Sampurna dan Kelurahan Jati Karya, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Studi pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa kedua desa tersebut merupakan daerah endemik nematoda jaringan,yaitu Wuchereria bancrofti. Penelitian ini dilakukan selama bulan Januari Juni tahun 2012 berdasarkan data sekunder dari penelitian utama yang dilakukan pada tahun 2001-2008. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Target Populasi target penelitian adalah ibu hamil. 3.3.2 Populasi Terjangkau Populasi terjangkau penelitian ini adalah data sekunder dari penelitian utama, yaitu ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas, Puskemas Pembantu dan rumah praktek bidan di desa Jati Sampurna dan Jati Karya, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. 24

25 3.3.3 Sampel Terpilih Sampel terpilih pada penelitian ini dipilih berdasarkan teknik consecutive sampling dari penelitian utama yang memenuhi kriteria pemilihan hingga jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. 3.3.4 Besar Sampel Pada penelitian ini, besar sampel ditentukan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap rerata dua populasi independen. Untuk memperkirakan besar sampel (n) diperlukan informasi utama, yaitu : a. Simpang baku kedua kelompok, s (berdasarkan studi pustaka), ditetapkan 2670,991 b. Perbedaan klinis yang diinginkan, X 1 -X 2, yaitu rerata kadar IL 5 antara ibu hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti dengan ibu sehat (yang diperoleh dari penelitian utama, yaitu 2725,85-1065,312) c. Kesalahan tipe I, α (ditetapkan sebesar 1,960) d. Kesalahan tipe II, β (ditetapkan sebesar 0,842) Rumus besar sampel : Z α = 1,96; Z β = 0,842; s = 2670,991; X 1 = 2725,85; X 2 = 1065,312 n 2 Z Z s 1 n2 2 X1 X 2 n 1 n 2 1,96 0,842 2670,991 2 2725,85 1065,312 2 n = 40 Keterangan: Dari rumus tersebut didapat total besar sampel (n) yang dibutuhkan adalah 40 subjek yang terdiri dari dua populasi dengan jumlah sama besar.

26 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi Penelitian ini menggunakan data yang didapatkan pada penelitian utama. Adapun kriteria inklusi pada penelitian utama, yaitu: - Ibu dengan kehamilan berusia trimester ketiga - Riwayat atau status kehamilan sehat - Tinggal di Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya - Tidak pernah minum obat anti-cacing selama dalam masa kehamilan 3.4.2 Kriteria Eksklusi - Pasien dengan penyakit autoimun - Pasien dengan keadaan imunodefisiensi - Data subjek tidak lengkap 3.5 Cara Kerja Penelitian ini menggunakan sampel dari data penelitian utama yang memenuhi kriteria penelitian (cara kerja penelitian utama terlampir). Setelah data yang dibutuhkan terpenuhi, kemudian data dibagi menjadi dua kelompok subjek, yaitu kelompok ibu hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti dan kelompok ibu hamil sehat. Data kemudian diolah menggunakan program SPSS 16.0 dan kemudian dilakukan verifikasi data.

27 Data dari Penelitian Utama Pemilihan Sampel Terpilih sesuai Kriteria Penelitian Pengolahan Data Analisis Data 3.6 Identifikasi Variabel Variabel bebas Variabel tergantung : Ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti : Respon imun adaptif selular (karakteristik sitokin). 3.7 Analisis Data Kadar sitokin, yaitu IFN - γ (sitokin Th1) dan IL - 5 (sitokin Th2), antara ibu hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti dan ibu hamil sehat dibandingkan. Data tersebut dianalisis menggunakan uji Mann - Withney pada taraf signifikansi 5% karena data tidak terdistribusi normal. 3.8 Batasan Operasional a. Infeksi filaria pada penelitian ini adalah infeksi oleh cacing Wuchereria bancrofti. b. Status infeksi filaria positif adalah subjek dengan hasil pemeriksaan ICT positif. c. Status infeksi STH positif adalah subjek dengan hasil pemeriksaan telur cacing pada tinja positif.

28 d. Status sehat ditegakkan pada subjek tanpa infeksi filarial, infeksi STH, serta memiliki kadar IgE dan IgG4 rendah. e. Karakteristik respon imun adaptif selular yang diteliti adalah kadar sitokin IFN - γ untuk menunjukkan aktivitas Th1 dan IL-5 untuk menunjukkan aktivitas Th2 yang didapat dari pengukuran supernatan hasil kultur darah plasma dan setelah distimulasi antigen filarial (BmA) dengan teknik ELISA dan Luminex. 3.9 Masalah Etika Data pada penelitian ini diperoleh dari penelitian utama. Penelitian utama dengan judul tersebut sebelumnya telah dikaji dan disetujui oleh Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (terlampir).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Subjek Subjek pada penelitian ini merupakan bagian dari subjek yang menjadi sampel pada penelitian utama. Penelitian utama dilakukan di daerah endemik cacing Wuchereria bancrofti di wilayah Bekasi yang melibatkan 2 desa, yaitu Jati Karya dan Jati Sempurna. Subjek pada penelitian utama berjumlah 286 orang. Dari subjek pada penelitian utama tersebut, terdapat 63 ibu hamil yang benar diteliti pada penelitian ini. Karakteristik subjek dan status infeksi tertera pada Tabel 4.1. Umur subjek termuda pada penelitian ini adalah 16 tahun dan umur subjek tertua adalah 42 tahun. Umur rata rata responden adalah 24,71 ± 6,39. Pada penelitian ini, terlihat bahwa jumlah subjek dari masing masing desa dan kelompok status kasus hampir seimbang. Tabel 4.1. Karakteristik subjek pada penelitian Karakteristik n % Jumlah Subjek 63 100 Sebaran Desa Jati Karya 31 49,2 Jati Sampurna 32 50,8 Status Kasus Infeksi Wb+ 26 41,2 Sehat 37 58,7 4.2 Perbandingan Kadar Sitokin pada Plasma Pengukuran respon imun subjek melalui kadar sitokin plasma dilakukan pada penelitian utama. Kadar sitokin diukur dari supernatan hasil kultur darah subjek tanpa diberikan stimulus apapun. Distribusi data hasil 29

30 pengukuran kadar sitokin pada plasma ternyata tidak terdistribusi normal dan tetap tidak normal setelah dilogaritma. Maka dari itu, uji hipotesis yang dilakukan pada data ini adalah uji Mann Whitney. Hasil analisis tertera pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil analisis uji Mann Whitney pada kadar IFN γ dan IL - 5 pada plasma Sitokin n Median (Minimum Maximum) Uji Mann Whitney (p) IFN γ Infeksi Wb+ 26 3,3 (1,4 53,4) 0,01 Sehat 37 1,4 (1,4 80,1) IL - 5 Infeksi Wb+ 26 3,73 (1,4 29,5) 0,015 Sehat 37 1,4 (1,4 57,1) Untuk menguji perbedaan antara kadar IFN γ dengan IL 5 plasma pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti, dilakukan uji hipotesis Wilcoxon untuk data dua kelompok berpasangan dengan distribusi tidak normal. Hasil analisis tertera pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan kadar IL 5 plasma subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti Sitokin n Median (Minimum Maximum) Uji Wilcoxon (p) IFN γ 26 3,3 (1,4 53,4) 0,485 IL - 5 26 3,73 (1,4 29,5)

31 Kadar sitokin IFN γ dan IL 5 pada plasma beserta analisisnya diilustrasikan pada Gambar 4.1. Berdasarkan data tersebut, didapatkan kadar IFN γ (sel Th1) dan IL 5 (sel Th2) pada plasma yang lebih tinggi dan berbeda bermakna pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan dengan ibu sehat. Hal ini menunjukkan bahwa pada keadaan infeksi Wuchereria bancrofti pada ibu hamil terdapat peningkatan aktivitas sel Th1 dan Th2. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan temuan sebelumnya bahwa infeksi filaria akan menyebabkan peningkatan aktivitas sel Th2 dan menekan aktivitas sel Th1. 9,10,15,26 Dalam analisis statistika antara kadar IFN γ (sel Th1) dengan IL 5 (sel Th2) pada plasma subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kadar sitokin tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat aktivitas sel Th1 dengan sel Th2 pada ibu hamil dengan filariasis. Hasil ini juga tidak sesuai dengan teori infeksi filaria dimana cacing akan lebih mengaktivasi sel Th2 dan menekan aktivitas sel Th1. 9,10,15,26 Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Putri DF (2009), respon imun selular terhadap infeksi filaria berbeda sesuai dengan tahap perjalanan penyakit. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pada individu yang tinggal di daerah endemis dengan keadaan silent infection, dapat terjadi aktivitas sel Th1 dan Th2 yang seimbang. 30 Penemuan terdahulu ini mungkin dapat menjelaskan fenomena yang ditemukan sekarang, dimana tidak terdapat polarisasi tertentu pada aktivitas Th1 maupun sel Th2 pada infeksi Wuchereria bancrofti. Terdapat kemungkinan subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini sedang dalam keadaan silent infection. Dalam penelitian ini, subjek tidak secara khusus diperiksa mengenai fase infeksi Wuchereria bancrofti. Selain itu dari temuan bahwa terdapat perbedaan respon imun pada setiap tahapan penyakit filariasis, diketahui bahwa adanya infeksi lain oleh bakteri atau virus juga dapat meningkatkan aktivitas sel Th1. 9 Adanya faktor lain seperti infeksi bakteri ataupun virus yang tidak dapat dikontrol, dapat menyebabkan tingginya aktivitias sel Th1 dalam penelitian ini.

32 Dari hasil analisis data ini, diketahui bahwa terdapat perbedaan karakteristik respon imun antara ibu hamil dengan ibu hamil sehat. Perbedaan ini ditandai dengan peningkatan kadar IFN γ dan IL 5 pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti. Temuan ini menjawab pertanyaan penelitian dan sesuai dengan hipotesis yang diajukan. p = 0,01 Uji Mann Whitney *Uji Wilcoxon p = 0,48 5* p = 0,015 Gambar 4.1. Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN γ dan IL 5 pada plasma 4.3 Perbandingan Kadar Sitokin dengan Stimulasi Antigen Filaria Stimulasi kadar sitokin darah dengan antigen filaria (BmA) dilakukan untuk memperbesar respon imun. Diharapkan respon yang terukur akan menjadi lebih spesifik terhadap antigen filaria saja. Pengukuran kadar sitokin dilakukan pada penelitian utama, yaitu diukur dari supernatan hasil kultur darah subjek yang ditambahkan dengan antigen BmA. Distribusi data pada hasil pengukuran kadar sitokin setelah distimulasi dengan antigen filaria ternyata tidak terdistribusi normal dan tetap tidak

33 normal setelah dilogaritma. Maka dari itu, uji hipotesis yang dilakukan pada data ini adalah uji Mann Whitney. Hasil pengukuran tertera pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Hasil analisis uji Mann Whitney pada kadar IFN γ dan IL 5 dengan stimulasi antigen filaria Sitokin n Median (Minimum Maximum) Uji Mann Whitney (p) IFN γ Infeksi Wb+ 26 8,1 (1,4 152,9) 0,07 Sehat 37 28,2 (1,4 731,3) IL - 5 Infeksi Wb+ 26 233,0 (5,5 4.000) 0,87 Sehat 37 80,1 (1,4 3.000) Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar sitokin IFN γ setelah distimulasi antigen filaria pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dengan subjek sehat. Demikian pula antara kadar sitokin IL - 5 setelah distimulasi antigen filaria pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dengan subjek sehat, tidak menunjukkan perbedaan bermakna secara statistika. Pada kelompok subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti maupun subjek sehat, ditemukan kadar IL - 5 yang lebih tinggi daripada kadar IFN γ. Perbedaan antara kadar IFN γ dengan IL 5 setelah stimulasi antigen filaria pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dan subjek sehat dianalisis menggunakan uji Wilcoxon (Tabel 4.5). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada perbedaan kadar sitokin IFN γ dengan IL 5 setelah stimulasi antigen filaria pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti. Sedangkan untuk perbedaan kadar IFN γ dengan IL 5 setelah

34 distimulasi antigen filaria pada subjek sehat, menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna. Tabel 4.5 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan IL- 5 dengan stimulasi antigen filaria Sitokin n Median (Minimum Maximum) Uji Wilcoxon (p) Infeksi Wb+ IFN γ 26 8,1 (1,4 152,9) 0,00 IL - 5 26 233,0 (5,5 4.000) Sehat IFN γ 37 28,2 (1,4 731,3) 0,05 IL - 5 37 80,1 (1,4 3.000) Kadar sitokin IFN γ dan IL 5 pada hasil kultur darah setelah distimulasi antigen filaria beserta analisisnya diilustrasikan pada Gambar 4.2. Berdasarkan pengukuran ini, terlihat bahwa aktivitas sel Th1 pada kelompok terinfeksi Wuchereria bancrofti lebih rendah daripada subjek sehat. Selain itu juga terlihat bahwa aktivitas sel Th2 pada kelompok terinfeksi Wuchereria bancrofti lebih tinggi daripada subjek sehat. Walaupun kedua perbedaan ini tidak bermakna setelah dianalisis secara statistika. Hal ini dapat menunjukkan secara umum respon imun adaptif selular ketika dipajankan terhadap cacing. Temuan pada kelompok terinfeksi, dimana kadar IL 5 yang lebih tinggi dan kadar IFN γ yang lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terinfeksi dapat disebabkan oleh adanya mekanisme memori pada sistem imun. 9 Pada penelitian ini, terlihat pula tingkat aktivitas sel Th2 lebih tinggi secara signifikan daripada Th1 setelah stimulasi antigen filaria pada subjek dengan infeksi positif. Pada subjek sehat juga ditemukan pola peningkatan aktivitas sel Th2 yang lebih tinggi daripada sel Th1, walaupun tidak

35 signifikan. Namun, dapat dilihat dari sebaran data bahwa terdapat perbedaan antara aktivitas sel Th2 dan sel Th1 disertai dengan nilai kemaknaan yang hampir bermakna. Oleh karena itu, nilai uji kemaknaan mungkin dapat berubah jika jumlah sampel yang digunakan untuk analisis kedua data tersebut ditambah. Berdasarkan pengukuran ini, dapat terlihat bahwa paparan antigen filaria lebih potensial menginduksi aktivasi sel Th2 daripada sel Th1. Temuan ini sesuai dengan teori bahwa infeksi cacing filaria lebih mengaktivasi sel Th2. 9,10,15,26 p = 0,00 * p = 0,87 p = 0,05 * Uji Mann Whitney *Uji Wilcoxon p = 0,07 Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN γ dan IL 5 pada hasil kultur darah dengan stimulasi antigen filaria 4.4 Perbandingan Kadar Sitokin Sebelum dan Sesudah Stimulasi Antigen Filaria Kadar sitokin pada plasma (sebelum distimulasi antigen filaria) dan setelah distimulasi dengan antigen filaria dibandingkan dengan membandingkan antara kedua kelompok subjek dan kemudian dianalisis

36 menggunakan uji hipotesis Wilcoxon. Hasil pengukuran tertera pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7. Tabel 4.6 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan kadar IL-5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti Sitokin n Median (Minimum Maximum) Uji Wilcoxon (p) IFN γ Sebelum stimulasi antigen filaria 26 3,3 (1,4 53,4) 0,192 Sesudah stimulasi antigen filaria 26 IL - 5 Sebelum stimulasi antigen filaria 26 Sesudah stimulasi antigen filaria 26 8,1 (1,4 152,9) 3,73 (1,4 29,5) 233,0 (5,5 4.000) 0,00 Tabel 4.7 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN γ dengan kadar IL-5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok sehat Sitokin n Median (Minimum Maximum) Uji Wilcoxon (p) IFN γ Sebelum stimulasi antigen filaria 37 Sesudah stimulasi antigen filaria 37 IL - 5 Sebelum stimulasi antigen filaria 37 Sesudah stimulasi antigen filaria 37 1,4 (1,4 80,1) 28,2 (1,4 731,3) 1,4 (1,4 57,1) 80,1 (1,4 3.000) 0,00 0,00

37 Pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti, hasil analisis didapatkan perbedaan kadar sitokin IFN γ pada subjek sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria tidak bermakna secara statistika. Sedangkan hasil analisis untuk kadar sitokin IL 5 sebelum dan sesudah distimulasi BmA pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hal ini menunjukkan peningkatan aktivitas sel Th2 yang signifikan dan peningkatan aktivitas sel Th1 yang tidak signifikan pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti. Pada kelompok sehat, hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar IFN γ dan kadar IL 5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria. Pada perbandingan ini menunjukkan peningkatan aktivitas sel Th1 dan sel Th2 yang signifikan pada subjek sehat setelah distimulasi antigen filaria. Keadaan ini tidak sesuai dengan teori bahwa paparan antigen filaria lebih mengaktivasi sel Th2 dan menekan sel Th1. 9,10,15,26 Pada penelitian ini, mungkin terjadi intervensi terhadap respon sel Th1 oleh infeksi lain (bakteri atau virus) pada kontrol kelompok infeksi positif yang kemudian menyebabkan peningkatan aktivitas sel Th1. Namun, dengan stimulasi antigen filaria, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan aktivitas sel Th1 yang bermakna pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti. Dapat disimpulkan bahwa antigen filaria tidak terlalu menginduksi aktivitas sel Th1. Keadaan pada kelompok dengan infeksi positif membuktikan bahwa antigen filaria lebih potensial untuk meningkatkan respon sel Th2 dibandingkan dengan respon sel Th1. 9,10,15,26 Kadar sitokin IFN γ dan IL 5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria beserta analisisnya diilustrasikan pada Gambar 4.3.

38 p = 0,00 Uji Wilcoxon p = 0,00 p = 0,192 p = 0,00 Gambar 4.3 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN γ dan IL 5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria