BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISA PENGARUH KONDUKTIVITAS TERMAL BACKING PLATE TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK SAMBUNGAN FRICTION STIR SPOT WELDING AA 5052-H32

BAB I PENDAHULUAN. penting pada proses penyambungan logam. Pada hakekatnya. diantara material yang disambungkan. Ini biasanya dilakukan

I. PENDAHULUAN. atau lebih dengan memanfaatkan energi panas. luas, seperti pada kontruksi bangunan baja dan kontruksi mesin.

Analisis Sifat Mekanik dan Struktur Mikro pada Pengelasan AA 5083 dengan Proses Friction Stir Welding pada Arah Sejajar dan Tegak Lurus Rol

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Salah satu cabang ilmu yang dipelajari pada Teknik Mesin adalah teknik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. cukup berat. Peningkatan akan kualitas dan kuantitas serta persaingan

PENGARUH PENGELASAN ALUMINIUM 5083

TUGAS PENYAMBUNGAN MATERIAL 5 RACHYANDI NURCAHYADI ( )

SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

ANALISA KEKUATAN BENDING PADA PENGELASAN FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 6110

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. panas yang dihasilkan dari tahanan arus listrik. Spot welding banyak

Pengaruh Variasi Arus terhadap Struktur Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Sambungan pada Proses Pengelasan Alumunium dengan Metode MIG

I. PENDAHULUAN. terjadinya oksidasi lebih lanjut (Amanto & Daryanto, 2006). Selain sifatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH KECEPATAN SPINDLE DAN FEED RATE TERHADAP KEKUATAN SAMBUNGAN LAS TIPE FRICTION STIR WELDING UNTUK ALUMINIUM SERI 1100 DENGAN TEBAL 2 MM

PENGARUH BENTUK PROBE PADA TOOL SHOULDER TERHADAP METALURGI ALUMINIUM SERI 5083 DENGAN PROSES FRICTION STIR WELDING

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH KECEPATAN PUTARANDAN DWELL TIME FLAT TOOL TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK SAMBUNGAN FSSW AA5083DANGALVANIZED STEEL

PENGARUH FEED RATE TERHADAP SIFAT MEKANIK PADA FRICTION STIR WELDING ALUMUNIUM

PENGARUH KECEPATAN PUTAR TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK SAMBUNGAN ALUMINIUM 1XXX DENGAN METODE FRICTION STIR WELDING. Tri Angga Prasetyo ( )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

PENGARUH PROFIL PIN DAN TEMPERATUR PREHEATING TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO SAMBUNGAN MATERIAL AA5052-H32 FRICTION STIR WELDING

PENGARUH FEED RATE TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM SERI 6110

PENGARUH FEED RATE TERHADAP STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN DAN KEKUATAN BENDING PADA PENGELASAN FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5052

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENGARUH IN SITU COOLING TERHADAP SIFAT MEKANIK HASIL PENGELASAN DUA SISI FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5083 PADA KAPAL KATAMARAN

PENGARUH KECEPATAN PUTAR TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK SAMBUNGAN ALLUMUNIUM 1XXX DENGAN METODE FRICTION STIR WELDING

Oleh Wahyu Ade Saputra ( ) Dosen Pembimbing 1. Ir. Achmad Zubaydi, M.Eng., Ph.D 2. Ir. Soeweify, M.Eng

BAB II DASAR TEORI Tinjauan Pustaka

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

THE EFFECT OF PIN DESIGN ON MECHANICAL PROPERTIES OF ALUMINIUM H112 AS A RESULT OF FRICTION STIR WELDING PROCESS

TUGAS AKHIR. Tugas Akhir ini Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Pengelasan adalah suatu proses penggabungan antara dua. logam atau lebih yang menggunakan energi panas.

Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

ANALISIS PENGARUH IN SITU COOLING TERHADAP SIFAT MEKANIK HASIL PENGELASAN DUA SISI FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5083 PADAKAPAL KATAMARAN

BAB I PENDAHULUAN. semakin dibutuhkan. Semakin luas penggunaan las mempengaruhi. mudah penggunaannya juga dapat menekan biaya sehingga lebih

ANALISIS PENGARUH BACKING PLATE MATERIAL PENGELASAN DUA SISI FRICTION STIR WELDING TERHADAP SIFAT MEKANIK ALUMINIUM 5083 PADA KAPAL KATAMARAN

PENGARUH DIAMETER TOOL SHOULDER TERHADAP METALURGI ALUMINIUM SERI 5083 DENGAN PROSES FRICTION STIR WELDING

Pengaruh Diameter Pin Terhadap Kekuatan dan Kualitas Joint Line Pada Proses Friction Wtir Welding Aluminium Seri 5083 Untuk Pre Fabrication

ANALISIS PENGARUH SISI PENGELASAN TERHADAP SIFAT MEKANIK HASIL PENGELASAN DUA SISI FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5083 PADA KAPAL KATAMARAN

Pengaruh Variasi Putaran Terhadap Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Sambungan Las Tak Sejenis Paduan Aluminium 5083 dan 6061-T6 Pada Proses Las FSW

TIN107 - Material Teknik #10 - Metal Alloys (2) METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik

Pembahasan Materi #11

PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO SAMBUNGAN PELAT AA5083 PADA PROSES FRICTION STIR WELDING

PENGARUH KEDALAMAN PIN (DEPTH PLUNGE) TERHADAP KEKUATAN SAMBUNGAN LAS PADA PENGELASAN GESEK AL.5083

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan efisiensi penggunaan BBM. Penggantian bahan pada. sehingga dapat menurunkan konsumsi penggunaan BBM.

Studi Komparasi Sambungan Las Dissimilar AA5083- AA6061-T6 Antara TIG dan FSW

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat

PENGARUH DURASI GESEK, TEKANAN GESEK DAN TEKANAN TEMPA TERHADAP IMPACT STRENGTH SAMBUNGAN LASAN GESEK LANGSUNG PADA BAJA KARBON AISI 1045

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.1. Hasil pengamatan struktur mikro.

PENGARUH POST WELD HEAT TREATMENT PADA PENGELASAN FRICTION STIR WELDING (FSW) ALUMINIUM 2024

TUGAS AKHIR MN

PENGARUH VARIASI KECEPATAN PUTAR DAN DIAMETER FLAT TOOL TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK SAMBUNGAN FSSW AA 5083 H321 DAN GALVANIZED STEEL

Gambar 4.1 Penampang luar pipa elbow

Pengaruh Shot-peening Terhadap Struktur Mikro Dan Laju Korosi Sambungan Friction Stir Welding Pada Aluminium 6061

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik. Oleh : SUPRIYADI NIM. I

Ir. Hari Subiyanto, MSc

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keliatan dan kekuatan yang tinggi. Keliatan atau ductility adalah kemampuan. tarik sebelum terjadi kegagalan (Bowles,1985).

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIAMETER TOOL SHOULDER TERHADAP SIFAT MEKANIK HIGH DENSITY POLYETHYLENE (HDPE) DENGAN METODE FRICTION STIR WELDING

PENGARUH PENGUNAAN PIN TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK PENGELASAN FRICTION STIR WELDING ALMUNIUM (Al)

SKRIPSI / TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II KERANGKA TEORI

dislokasi pada satu butir terjadi pada bidang yang lebih disukai (τ r max).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERNYATAAN. Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Prasetyo Agung Nugroho NIM :

TIN107 Material Teknik. Mekanisme Penguatan. h t t p : / / t a u f i q u r r a c h m a n. w e b l o g. e s a u n g g u l. a c. i d

STUDI PERBANDINGAN SIFAT MEKANIK PADA PENGELASAN SATU SISI DAN DUA SISI FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5083 KAPAL KATAMARAN

BAB I PENDAHULUAN. sangatlah pesat. Salah satu proses yang terpenting dalam bidang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS PENGARUH SUDUT KERJA TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK HASIL PENGELASAN FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5083 KAPAL KATAMARAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dengan pesat. Ditemukannya metode-metode baru untuk mengatasi

PENGARUH PUTARAN DAN KECEPATAN TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK SAMBUNGAN TUMPUL LAS FSW TAK SEJENIS ANTARA AL 2024-T3 DENGAN AL 1100

MENINGKATKAN KEKUATAN SAMBUNGAN LAS Q&T STEEL LOKAL DENGAN MGMAW TANPA PENERAPAN PH DAN PWHT

DASAR-DASAR PENGELASAN

PENGARUH VARIASI SUHU PREHEAT TERHADAP SIFAT MEKANIK MATERIAL SA 516 GRADE 70 YANG DISAMBUNG DENGAN METODE PENGELASAN SMAW

KAJIAN METALOGRAFI HASIL PENGELASAN TITIK (SPOT WELDING) ALUMINIUM PADUAN DENGAN PENAMBAHAN GAS ARGON

I. PENDAHULUAN. selain jenisnya bervariasi, kuat, dan dapat diolah atau dibentuk menjadi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan tarik adalah sifat mekanik sebagai beban maksimum yang terusmenerus

PENGARUH SUHU PREHEAT DAN VARIASI ARUS PADA HASIL LAS TIG ALUMINIUM PADUAN TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KEKERASAN

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA Oleh : Dwi Agus Santoso

PENGARUH PROFIL PIN DAN JARAK PREHEATING TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO SAMBUNGAN MATERIAL AA5052-H32 FRICTION STIR WELDING JUDUL

Kolbi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Program Studi S-1 Teknik Mesin Fakultas Teknik, Yogyakarta 55183, Indonesia

PERUBAHAN NILAI KEKUATAN TARIK PADA HASIL PENGELASAN FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM T3 YANG MENGGUNAKAN PERLAKUAN TRANSIENT THERMAL

BAB I PENDAHULUAN. dimana logam menjadi satu akibat panas las, dengan atau tanpa. pengaruh tekanan, dan dengan atau tanpa logam pengisi.

PERLAKUAN PEMANASAN AWAL ELEKTRODA TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN FISIK PADA DAERAH HAZ HASIL PENGELASAN BAJA KARBON ST 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. waktu pengelasan dan pengaruh penambahan filler serbuk pada

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Friction Stir Spot Welding (FSSW) Penghematan energi dan masalah pemeliharaan lingkungan menjadi topik yang sangat sering diperbincangkan saat ini. Seluruh komponen industri dikembangkan dengan berbagai upaya agar dapat berdampak lebih baik bagi lingkungan. Industri otomotif, perkapalan, dan pesawat mencari solusi bagaimana cara untuk memaksimalkan penggunaan energi dan menjadikan sesuatu yang lebih efisien. Bidang industri mendapatkan banyak permintaan untuk membuat sesuatu yang lebih ringan, lebih kuat, dan juga lebih murah. Salah satu cara yang dianggap efisien adalah mengurangi beban dari suatu kendaraan. Untuk mengurangi suatu beban pada kendaraan terdapat pilihan yaitu mengganti penggunaan material yang ringan, contohnya seperti mengganti baja dengan paduan alumunium pada beberapa komponen dari kendaraan. Pada situasi ini beberapa penelitian dilakukan untuk mencari cara yang tepat mengelas paduan alumunium. Karena alumunium diketahui sebagai material yang cukup sulit untuk disambung apabila menggunakan cara pengelasan yang konvensional. Salah satu metode teknologi pengelasan baru ditemukan oleh Mazda Motor Corporation and Kawasaki Heavy Industry yaitu Friction Stir Spot Welding (FSSW) sebuah pengembangan dari Friction Stir Welding (FSW) (Schneider, 2007). Mazda melaporkan sebuah reduksi yang bagus dalam konsumsi bahan bakar dan investasi peralatan jika dibandingkan dengan Resistance Spot Welding (RSW) (Schneider, 2007). FSSW berbeda dengan FSW karena FSSW dilakukan pada sambungan lap-joint tidak seperti FSW yang dilakukan pada sambungan butt-joint. Pada FSSW hanya dilakukan proses pengelasan pada satu titik pengelasan atau yang diketahui sebagai spot welding sehingga tidak ada pergerakan secara alur terhadap material. FSSW cocok untuk digunakan pada alumunium karena pada teknik pengelasan ini tidak terjadi banyak perubahan pada sifat material yang disambung, hal ini disebabkan oleh proses pengadukan dalam pencampuran material dilakukan pada temperatur yang tidak mencapai titik leleh material. Pengelasan ini 5

6 menggunakan pahat berputar yang masuk dan menekan kedalam benda kerja yang akan disambung. Saat masuknya pahat mencapai kedalaman (plunge depth) yang ditentukan, pahat berputar ditahan pada posisi tersebut dengan lama waktu yang sudah ditentukan untuk melakukan proses pengadukan atau yang disebut sebagai dwell-time (Badarinarayan, 2009). Dalam FSSW kedalaman pahat dan lama pengadukan menentukan penimbulan panas, geometri pengelasan, dan sifat mekanikal dari sambungan las tersebut (Badarinarayan, 2009). 2.1.1 Proses pengelasan FSSW Gambar 2.1 Tiga Tahapan FSSW (Mustafa, 2011) FSSW memiliki tiga tahapan pada pengerjaannya, tiga tahapan itu adalah plunging, stirring, dan retracting seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1. Proses ini dimulai dengan masuknya tool secara perlahan (plunging). Pada proses plunging pahat yang berputar dengan kecepatan tinggi ditekan pada material dengan sentuhan awal dari ujung pahat yang disebut pin. Pin berfungsi sebagai pembuat panas awal pada material dan membantu pahat untuk menerobos masuk kedalam benda kerja bagian atas. Gesekan pin dengan benda kerja menghasilkan panas dan sedikit proses pengadukan pada benda kerja bagian atas lalu ditekan hingga mencapai kedalaman yang diinginkan. Setelah proses plunging dilakukan maka proses berikutnya yang dilakukan adalah proses stirring. Proses stirring adalah proses pengadukan yang dilakukan dengan menekan benda kerja dan sumber panas utamanya adalah shoulder pahat yang juga digunakan untuk melunakan material. Terjadi pengadukan antara material bagian atas dan bawah dikarenakan panas yang ditimbulkan oleh putaran dan tekanan dari pahat. Proses stirring ditahan dalam beberapa saat yang disebut sebagai dwell-

7 time. Setelah mencapai dwell-time yang ditentukan proses stirring selesai dan berlanjut ke proses ketiga. Proses ketiga yaitu retracting, proses diakhiri dengan melakukan pengangkatan pahat ke posisi awal dengan cepat. Berdasarkan observasi struktur makro, zona sambungan FSSW dapat dilihat pada Gambar 2.2. pada gambar tersebut dapat diamati adanya area sambungan sebesar (x) yang sekaligus sebeagai tebal weld nugget. Tebal plat diidentifikasi sebagai (y) yang dapat diamati pada Gambar 2.2 (a) (Chi Sung, dkk 2007). Gambar 2.2 (a) Ilustrasi skematik cross section FSSW, (b) Geometri area sambungan (Chi Sung, dkk 2007) 2.1.2 Karakteristik potongan melintang FSSW Pada proses pengelasan dengan menggunakan teknologi FSSW akan menimbulkan 4 bagian karakteristik hasil lasan pada material yang dilas apabila dilihat dengan cara dipotong melintang pada area sambungan dan dilihat secara makrostruktur. Karakteristik yang dapat dilihat pada Gambar 2.3 adalah Parent Material (PM), Heat Affected Zone (HAZ), Hook, Thermomechanically Affected Zone (TMAZ), dan Stir Zone (SZ) (Mukuna dkk, 2014).

8 Gambar 2.3 Karakteristik potongan melintang FSSW (Mukuna, dkk 2014) Parent Material (PM) adalah bagian material yang letaknya jauh dari wilayah las dan belum berubah strukturnya. Pada bagian ini mungkin sudah mengalami siklus termal hasil dari proses pengelasan akan tetapi tidak terpengaruh oleh panas baik dalam hal mikro ataupun sifat mekaniknya (Mukuna, dkk 2014). Heat Affected Zone (HAZ) adalah wilayah yang terletak lebih dekat ke bagian pusat pengelasan apabila dibandingkan dengan PM. Pada bagian ini telah mengalami siklus termal selama proses pengelasan dan sudah terjadi perubahan secara mikro atau sifat mekanik (Mukuna, dkk 2014) Thermomechanically Affected Zone (TMAZ) ditemukan pada daerah dimana dimana panas dari tool menyebabkan terjadi deformasi plastis pada material. Pada beberapa material, ini mungkin untuk mendapatkan regangan plastis yang signifikan tanpa rekristalisasi pada bagian tersebut. Terlihat batas yang cukup jelas antara TMAZ dengan SZ (Mukuna, dkk 2014). Stir Zone (SZ) adalah wilayah yang sepenuhnya terjadi rekristalisasi karena pada daerah ini merupakan daerah yang bersentuhan langsung pada bagian material dan tool. Ukuran butir dalam SZ terlihat secara jelas sangat berbeda dan lebih kecil daripada butir yang ada pada PM (Mukuna, dkk 2014). 2.1.3 Perbandingan FSSW dengan pengelasan lain FSSW memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan pengelasan busur konvensional. Keunggulan FSSW antara lain : - Memperbaiki kemampuan las - Mengurangi distorsi - Mengurangi residual stress

9 - Menghilangkan faktor ketidakcocokan filler metal - Meningkatkan kekuatan statik Bersifat ramah lingkungan karena tidak menghasilkan residu (Mishra dan Ma, 2005) 2.1.4 Penelitian terhadap FSSW Penelitian terhadap teknologi pengelasan FSSW sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, salah satunya M.K. Bilici (2012) yang melakukan penelitian FSSW tentang pengaruh dari tool geometry pada pengelasan lembaran polypropylene. Pada penelitian ini bilici menggunakan lembaran polypropylene setebal 4 mm dengan dimensi 60x150 mm. Tool yang digunakan adalah SAE 1040 steel dengan bentuk profil pin yang berbeda beda (cylindrical, tapered cylindrical, threaded cylindrical, dan square). Kecepatan putaran dilakukan secara konstan pada 900 rpm dan 105s dwell time. Gambar 2.4 Pembebanan tarik geser dari profil pin yang berbeda (Bilici, 2012) Hasil penelitian Bilici ditunjukan pada Gambar 2.4 yang menyatakan bahwa bentuk profil pin dengan bentuk tapered cylindrical memiliki kekuatan tarik yang lebih besar daripada profile pin yang lainnya yaitu sebesar 4032 N. Sedangkan pada straight cylindrical memiliki kekuatan tarik yang paling rendah yaitu 3305 N. Penelitian lainnya yang membahas tentang pengaruh profil pin terhadap hasil lasan pada teknologi pengelasan FSSW adalah penelitian yang dilakukan oleh Buffa, dkk (2014). Pada penelitian ini menggunakan lembaran allumunium alloy AA6082-T6 dengan tebal 1,5 mm sebagai material dasarnya. Material dasar

10 ini dipotong dengan dimensi 50 x 150 mm. Material untuk tool menggunakan H13 steel yang berikan quenching treatment pada suhu 1020 o C. Tool yang digunakan memiliki diameter shoulder sebesar 15 mm dengan bentuk profil cylindrical pin (tinggi 2.3 mm dan diameter 4 mm) dan conical pin (tinggi 2.3 mm dan diameter besar 4.2 mm dengan sudut 30 o ). Penelitian ini menggunakan variasi kecepatan spindle sebesar 900 rpm, 1500 rpm, dan 2000 rpm. Untuk kecepatan masuk, kedalaman masuk, dan dwell time dijaga tetap konstan pada 0,004 mm/rev, 2.5 mm, dan 5s. Gambar 2.5 Perbandingan hasil lasan dari cylindrical pin dan conical pin (a) Kurva hasil pengujian tarik geser, R=1500 rpm, (b) Nilai pembebanan tarik geser (buffa, dkk 2014) Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa profil pin yang berbentuk conical menghasilkan hasil sambungan yang lebih baik dibandingkan pada cylindrical pin pada kecepatan 1500 rpm dan 2000 rpm. Akan tetapi terjadi penurunan kekuatan pada kecepatan 2000 rpm. Penurunan terjadi diakibatkan oleh terlalu besar panas yang masuk ke material pada saat putaran kecepatan 2000 rpm sehingga menimbulkan kualitas kekuatan yang menurun. Akan tetapi walaupun terjadi penurunan pada kecepatan 2000 rpm, conical pin memiliki kekuatan yang sama pada saat kecepatan pada 900 rpm. Jadi tidak ada penurunan yang berlebihan pada kecepatan 2000 rpm melainkan kembali seperti pada kecepatan 900 rpm. Terdapat pula penelitian tentang teknologi pengelasan FSSW lainnya yang membahas tentang pengaruh plunge depth terhadap hasil lasan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Piccini, dkk (2013) membahas pengaruh tool penetration depth pada paduan alumunium yang berbeda. Penelitian ini menggunakan variasi plunge depth sebesar 0,05 mm, 0,2 mm, 0,6 mm, 1,0 mm dan 1,25 mm. Material

11 yang akan disambungkan pada penelitian ini adalah alumunium 5052-H32 (ketebalan 3 mm) dan 6063-T6 (ketebalan 2 mm). Tool yang digunakan adalah H13 steel dengan diameter shoulder 12 mm, panjang pin 3,8 dan bentuk profil conical pin tanpa ulir berdiameter 3,5 mm. Penelitian ini menggunakan kecepatan spindel 680 rpm, plunge speed 19 mm/s dan dwell time 2s.. Gambar 2.6 Fracture load efek dari plunge depth (Piccini dkk, 2013) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Piccini menyatakan bahwa plunge depth merupakan parameter yang berpengaruh terhadap hasil sambungan FSSW. Apabila kita lihat dari Gambar 2.6 cukup jelas digambarkan bahwa seiring dalamnya tool menyebabkan kekuatan hasil lasan tersebut juga meningkat, tetapi ada yang berbeda ketika pada saat alumunium 6063 yang menjadi upper sheet pada pengelasan ini, pada plunge depth mencapai 1.2 mm kekuatan hasil lasan tersebut meningkat berbeda dengan pada saat alumunium 5052 yang menjadi upper sheet justru kekuatan meningkat secara signifikan. 2.2 Alumunium 5052-H32 Alumunium 5052-H32 adalah paduan alumunium dengan unsur alloy utama magnesium (Mg) sekitar 2,2 2,8%. Dengan adanya Mg didalamnya material ini merupakan non heat treatable alloys yang memiliki ketahanan korosi yang tinggi. Material ini juga memiliki kemampuan las yang baik dan

12 pembentukan dengan cara cold work yang baik. Material ini memiliki kekutan alloy menengah keatas dengan kekuatan sedikit diatas 5251 baik dari sifat mekanikal maupun fatigue strength. Tensile strength yang dimiliki material ini berkisar antara 210-260 Mpa dengan kekerasan sebesar 61 HB. Komposisi kimia dan sifat mekanis dari Alumunium 5052-H32 dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. Tabel 2.1 Komposisi kimia alumunium 5052-H32 (ASM metals handbook, 2004) Element % Present Magnesium (Mg) 2,20 2,80 Chromium (Cr) 0,15 0,35 Iron (Fe) 0,0 0,40 Silicon (Si) 0,0 0,25 Copper (Cu) 0,0 0,10 Zinc (Zn) 0,0 0,10 Manganese (Mn) 0,0 0,10 Other (Each) 0,0 0,05 Aluminium Balance Tabel 2.2 Sifat mekanis 5052-H32 (ASM metals handbook, 2004) Property Value Density 2,68 g/cm 3 Melting Point 605 o C Thermal Expansion 23,7 x 10-6 /K Modulus of Elasticity 70 GPa Thermal Conductivity 138 W/m.K Eletrical Resistivity 0,0495 x 10-6 Ω.m Gambar 2.7 Diagram fase Al Mg (ASM metals handbook, 2004)

13 Terdapat lima cara penguatan mekanisme pada alumunium alloy. Diantaranya adalah grain size control, solid solution alloying, structure of metals, strain hardening (cold work) dan precipitation. A. Grain size control Grain size tidak umum digunakan untuk mengontrol kekuatan di alumunium alloy, walaupun digunakan secara luas dalam mengurangi resiko hot cracking dan kekuatan serta ketangguhan takikan pada C/Mn dan low-alloy steels. Konsekuensi praktis dari hal ini adalah bahwa akan hilangnya kekuatan seiring dijumpai pada HAZ dari lasan karena pertumbuhan butir selama proses pengelasan. Hilangnya kekuatan juga dapat ditemukan dalam logam las yang merupakan struktur dengan ukuran butir lebih besar dari logam induk. Dalam alumunium alloy kehilangan kekuatan karena pertumbuhan butir adalah efek marginal dengan efek lainnya yang mendominasi. Bagaimanapun grain size memiliki efek yang ditandai pada resiko hot cracking, grain size yang kecil memiliki ketahanan yang lebih kuat daripada grain size yang besar seperti yang ditampilkan pada Hall-patch diagram. Gambar 2.8 Hall-patch Diagram (Mathers, 2002) B. Solid solution hardening Solid solution hardening adalah metode penguatan logam dengan cara menyisipkan satu atau beberapa unsur kedalam base metal. Fungsi dari metode ini adalah memperlambat pergerakan dislokasi disebabkan tahanan yang dihasilkan oleh sisipan alloy yang menempati celah-celah base metal. Dalam alumunium

14 5052, magnesium adalah unsur yang disisipkan kedalam base metal sehingga dapat menghambat pergeseran dislokasi. Selain itu, magnesium juga berfungsi sebagai zat aditif yang berfungsi sebagai anti korosi dalam alumunium 5052. Kebanyakan alumunium alloy mencerminkan solid solution hardening sebagai hasil dari element yang terlarut dalam dasar alumunium, kontribusi tiap elements terhadap kekuatan alloy adalah aditif. Biasanya alloys ini diperkuat lebih lanjut dengan heat treatment dengan work hardening. C. Strain hardening (cold work) Strain Hardening adalah proses penting yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kekerasan dari logam dan alloys yang tidak bisa dikuatkan menggunakan heat treatment. Logam cold worked dipanaskan dan temperaturnya mencapai dimana terdapat internal stress kemudian diistirahatkan sehingga terjadi proses pemulihan, hal ini akan banyak merubah sifat fisik dan diketahui merubah ukuran butir atau perubahan yang sangat besar dalam sifat mekanikalnya. Gambar 2.9 Klasifikasi temper hardening (TALAT Lecturer, 1994) Strain Hardening adalah metode penguatan dengan cara memberikan tekanan pada base metal sehingga butir-butir logam dapat berdislokasi secara seragam. Contoh dari work hardening adalah rolling, extruding, drawing, bending, dan lain sebagainya. Untuk alumunium 5052 work hardening yang

15 dilakukan adalah rolling yang dilakukan dibawah temperatur rekristalisasi (cold work). Cold working merupakan proses penguatan material pada saat material tidak mencapai suhu rekristalisasi akan tetapi diberikan deformasi plastis yang besar. Proses cold working (rolling) menghasilkan bentuk struktur yang cenderung berbentuk pipih dan panjang. Struktur yang panjang akan menyebabkan meningkatnya nilai kekerasan pada material karena terjadi sebuah dislocation density. Semakin besar suatu dislocation density akan meningkatkan kekuatan dan kekerasan material karena struktur material yang saling tertekan dan membentuk ikatan yang panjang dan lebih solid. D. Precipitation Mikrostruktur dengan dua atau lebih fase memiliki beberapa jalan yang mana fase itu dapat dibentuk. Geometri dari fase tergantung pada jumlah relatifnya, yang mana fase minor tersebar dalam butir atau hadir pada batas butir dan ukuran serta bentuk dari fase. Fase yang dibentuk dengan proses yang biasa diketahui sebagai presipitasi, dimana waktu dan temperatur dikontrol dan membutuhkan reduksi pada solid solubility sebagai jatuhnya temperatur. Untuk presipitasi sebuah alloys, pertama logam dipanaskan sampai suhu yang cukup tinggi yang menjadikan fase kedua kedalam larutan. Lalu logam dengan cepat didinginkan, mungkin dengan air atau didinginkan dengan udara (pendinginan disesuaikan dengan tingkat pada sistem paduan). Kebanyakan alumunium alloys didinginkan menggunakan air untuk memberikan kecepatan pendinginann yang tinggi. Kecepatan pendinginan harus cukup cepat sehinggan fase kedua tidak memiliki waktu untuk mengendap. Fase kedua dipertahankan dalam larutan pada suhu kamar sebagai laruan padat super jenuh yang stabil.