HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

IV. PENDEKATAN RANCANGAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Rancang Bangun dan Uji Kinerja Dinamometer Tipe Rem Cakram

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

III. METODOLOGI PENELITIAN. berdasarkan prosedur yang telah di rencanakan sebelumnya. Dalam pengambilan data

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN

Bagaimana perbandingan unjuk kerja motor diesel bahan bakar minyak (solar) dengan dual fuel motor diesel bahan bakar minyak (solar) dan CNG?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan akan alat transportasi seperti kendaraan bermotor kian hari kian

III. METODE PENELITIAN. : Motor Bensin 4 langkah, 1 silinder Volume Langkah Torak : 199,6 cm3

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK KELAPA UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG. Oleh: MIFTAHUDDIN F

PENDEKATAN RANCANGAN Kriteria Perancangan Rancangan Fungsional Fungsi Penyaluran Daya

4 Pembahasan Degumming

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Setelah dilakukan pengujian, maka didapatkan data yang merupakan parameterparameter

PERBANDINGAN PENGARUH TEMPERATUR SOLAR DAN BIODIESEL TERHADAP PERFORMA MESIN DIESEL DIRECT INJECTION PUTARAN KONSTAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN Perbedaan Sebelum di Development. dan tenaga yang di hasilkan kurang sempurna. menurunkan performa mesin.

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN BAKAR SOLAR, BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX TERHADAP PRESTASI MOTOR DIESEL SILINDER TUNGGAL

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA

Tabel 2.3 Daftar Faktor Pengotoran Normal ( Frank Kreit )

III. METODOLOGI PENELITIAN. a. Motor diesel 4 langkah satu silinder. digunakan adalah sebagai berikut: : Motor Diesel, 1 silinder

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin yang digunakan untuk pengujian adalah

BAB I PENDAHULUAN. BBM petrodiesel seperti Automatic Diesel Oil (ADO) atau solar merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENGGUNAAN RADIATOR PADA SISTEM PENDINGIN MOTOR DIESEL STASIONER SATU SILINDER TERHADAP LAJU KENAIKAN SUHU AIR PENDINGIN

II. TEORI DASAR. kelompokaan menjadi dua jenis pembakaran yaitu pembakaran dalam (Internal

KARAKTERISTIK INJEKSI DAN KINERJA MESIN DIESEL SATU SILINDER KETIKA MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX

III. METODOLOGI PENELITIAN. : Motor Diesel, 1 silinder

PEMINAR PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT. Oleh: Ir. Harman, M.T.

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI MOTOR DIESEL PERAWATAN MESIN DIESEL 1 SILINDER

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL UJI UNJUK KERJA

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian

MODUL POMPA AIR IRIGASI (Irrigation Pump)

PERENCANAAN MESIN BENDING HEAT EXCHANGER VERTICAL PIPA TEMBAGA 3/8 IN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

PENGARUH TEMPERATUR BAHAN BAKAR BIO-SOLAR DAN SOLAR DEX TERHADAP UNJUK KERJA MOTOR DIESEL PUTARAN KONSTAN

Lampiran 1 Hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu (penelitian pendahuluan)

BAB II TEORI DASAR. Mesin diesel pertama kali ditemukan pada tahun 1893 oleh seorang berkebangsaan

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

I. PENDAHULUAN. Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil pengujian Pengaruh Perubahan Temperatur terhadap Viskositas Oli

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Rumus Minimal. Debit Q = V/t Q = Av

BAB I PENDAHULUAN. pada bahan bakar minyak fosil (konvensional) khususnya pada transportasi dan

Nugrah Rekto P 1, Eka Bagus Syahrudin 2 1,2

Uji Eksperimental Pertamina DEX dan Pertamina DEX + Zat Aditif pada Engine Diesel Putaran Konstan KAMA KM178FS

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Fahmi Wirawan NRP Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Djoko Sungkono K, M. Eng. Sc

BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL

MESIN DIESEL 2 TAK OLEH: DEKANITA ESTRIE PAKSI MUHAMMAD SAYID D T REIGINA ZHAZHA A

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA. 4.1 Pengujian Torsi Mesin Motor Supra-X 125 cc

III. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin uji yang digunakan adalah motor diesel empat

OPTIMALISASI KINERJA MOTOR DIESEL DENGAN SISTEM PEMANASAN BAHAN BAKAR

PELUANG DAN KENDALA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR NABATI PADA MESIN-MESIN PERTANIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

DESAIN SISTEM PENGATURAN UDARA ALAT PENGERING IKAN TERI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI IKAN TERI NELAYAN HERYONO HENDHI SAPUTRO

EVALUASI KINERJA DAYA POROS MOTOR DIESEL BERBAHAN BAKAR MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN WATER BRAKE DYNAMOMETER YANG SUDAH DIMODIFIKASI

III. METODOLOGI PENELITIAN. uji yang digunakan adalah sebagai berikut.

PENGARUH VARIASI PENYETELAN CELAH KATUP MASUK TERHADAP EFISIENSI VOLUMETRIK RATA - RATA PADA MOTOR DIESEL ISUZU PANTHER C 223 T

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy.

BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL

PENERAPAN KONSEP FLUIDA PADA MESIN PERKAKAS

METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI

Oleh : Wahyu Jayanto Dosen Pembimbing : Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM KONVEKSI PADA ZAT CAIR

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. FPMIPA UPI, Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, dan

BAB FLUIDA A. 150 N.

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGAJUAN... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN PERNYATAAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

ANALISA PENGARUH PEMANASAN AWAL BAHAN BAKAR SOLAR TERHADAP PERFORMA DAN KONSUMSI BAHAN BAKAR PADA MESIN MOTOR DIESEL SATU SILINDER

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PEMERIKSAAN DAN PEMELIHARAAN PADA MESIN KOMPRESOR

contoh soal dan pembahasan fluida dinamis

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 PENGUKURAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG Nilai viskositas adalah nilai yang menunjukan kekentalan suatu fluida. semakin kental suatu fuida maka nilai viskositasnya semakin besar, begitu juga sebaliknya semakin rendah kekentalan fluida maka nilai viskositasnya semakin kecil. Grafik hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. (a) (b) (c) (d) Gambar 15. Grafik pengukuran viskositas minyak (a) N1, (b) N2, (c) N3, (d) N4 Dari Gambar 15a, dapat dilihat pengukuran viskositas minyak N1, yaitu minyak nyamplung hasil ekstrasi dari biji nyamplung tanpa diberi perlakuan (tidak ada penambahan zat kimia). Viskositas awal dari minyak N1 ini adalah sebesar 63 cst kemudian dipanaskan hingga 110 o C sehingga viskositas minyak menjadi 5 cst. Dari hasil pengukuran viskositas biosolar yang merupakan bahan bakar untuk motor diesel diperoleh nilai viskositas sebesar 5-7 cst sedangkan solar 3-5 cst. Jadi minyak N1 sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel ketika dipanaskan hingga suhu optimum yaitu 110 o C. Sedangkan dari Gambar 15b, menunjukkan hasil pengukuran viskositas minyak N2, yaitu minyak nyamplung yang telah mengalami proses pemurnian dengan menambahkan asam 29

fosfat dengan tujuan untuk menghilangkan gum yang ada pada minyak (degumming). Setelah dilakukan degumming, nilai viskositas dari minyak nyamplung mengalami penurunan 7 cst dari minyak N1, yaitu menjadi 56 Cst. Kemudian setelah dipanaskan dengan suhu mencapai 110 o C nilai viskositas dari minyak N2 menjadi 5 cst, sehingga minyak nyamplung hasil degumming (N2) dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel setelah dipanaskan 110 o C. Selanjutnya Gambar 15c menunjukkan hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung dengan perlakuan netralisasi (N3), dimana nilai viskositas dari minyak mengalami penurunan 20 cst dari minyak N1. Menurut Hendrix (1990), proses netralisasi merupakan proses pemisahan asam lemak dalam minyak dengan cara menambahkan NaOH yang bertujuan menghilangkan kotoran/zat berupa asam lemak bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan hasil samping oksidasi. Setelah dipanaskan dengan suhu 110 o C, nilai viskositas minyak nyamplung N3 mengalami penurunan menjadi 3 cst hampir sama dengan nilai viskositas dari bahan bakar solar. Oleh karena itu, minyak hasil netralisasi juga dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel setelah dipanaskan dengan suhu 110 o C. Gambar 15d, menunjukan viskositas dari minyak nyamplung dengan perlakuan degumming dan netralisasi (N4). Viskositas minyak nyamplung N4 lebih rendah dibanding minyak nyamplung yang lainnya (N1, N2, N3). Pada suhu ruangan (30 o C) viskositas minyak nyamplung N4 adalah 30 cst. Setelah dipanaskan 110 o C, viskositas minyak menjadi 4 cst dan sudah dapat di gunakan untuk motor diesel. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung pada setiap perlakuan tersebut maka dapat diketahui bahwa minyak nyamplung dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dengan dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 110 o C (suhu optimum), sehingga dibutuhkan elemen pemanas yang dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 110 o C. 6.2 HASIL RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS (HEAT EXCHANGER) Pada penelitian ini telah dirancang empat buah elemen pemanas yang mempunyai bagianbagian utama yang sama. Masing-masing bagian ini juga terbuat dari bahan yang sama, namun secara keseluruhan semuanya memiliki perbedaan dari segi ukuran. 1. Rancangan I Elemen pemanas I dibuat dari knalpot asli dari motor diesel Yanmar TF 85 MLY-di. Pada elemen pemanas ini pipa tembaga diameter 8 mm dililitkan di bagian luar tabung lalu ditutup kembali dengan plat yang dipasang melingkar pada tabung yang bertujuan untuk mengurangi kehilangan pindah panas. Dimensi dari knalpot yang digunakan yaitu diameter tabung 104 mm, tinggi tabung 149 mm, dan tebal plat 2 mm. Sedangkan diameter selimut tabung sebesar 124 mm dengan tinggi selimut 155 mm dan tebal plat 2 mm. Sehingga jika berdasarkan perhitungan menurut Cengel (2003) panjang pipa tembaga yang digunakan pada rancangan I adalah 2520 mm, (Lampiran 2) hanya saja pada penelitian ini panjang dari pipa tembaga yang digunakan dibuat lebih panjang menjadi 3400 mm (asumsi pindah panas 75%). Saluran masuk gas buang memiliki diameter 30 mm dengan panjang 100 mm. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pemanasan minyak nyamplung dari rancangan I ini belum maksimal karena hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C sedangkan suhu yang dibutuhkan untuk menurunkan viskositas dari minyak nyamplung adalah sebesar 110 o C. Namun, sebenarnya motor diesel sudah dapat dhidupkan dengan menggunakan rancangan I tetapi tidak stabil dan kadangkadang tersendat. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas dari minyak nyamplung yang masih 30

tinggi saat dipanaskan pada suhu 54 o C, yaitu sebesar 21-28 cst. Sehingga dibuat elemen pemanas rancangan II. Gambar 16. Knalpot rancangan I 2. Rancangan II Elemen pemanas rancangan II mempunyai tabung yang berukuran lebih panjang dibandingkan dengan knalpot asli motor bakar Diesel Yanmar TF 85, bentuk dan ukuran saluran minyak nyamplung pada elemen pemanas rancangan II ini membutuhkan ruang yang cukup besar karena lilitan tembaga yang pada awalnya dipasang di bagian luar tabung menjadi dipasang di bagian dalam tabung. Hal ini dikarenakan jika lilitan tembaga dipasang di bagian luar tabung menghasilkan suhu pemanasan yang tidak optimum. Knalpot yang digunakan adalah knalpot asli dari motor Diesel Yanmar TF 85 hanya dilakukan penggantian tabung dan muffler menjadi lebih panjang. Diameter tabung menjadi 107 mm, tinggi tabung 220 mm, dan tebal plat 2 mm. Adapun dimensi dari muffler adalah diameter muffler 30 mm, tinggi 250 mm, dan tebal plat 2 mm. Panjang pipa tembaga yang dibutuhkan pada rancangan II adalah 6790 mm atau kurang lebih 6800 mm (asumsi pindah panas 90%) (Lampiran 3). Diameter lilitan pipa tembaga di dalam tabung knalpot adalah 100 mm. Perbedaan panjang pipa tembaga pada elemen pemanas I dan II adalah pada rancangan II dilakukan perubahan perhitungan, dimana data keluaran suhu dari knalpot/ gas buang yang digunakan berbeda. Akan tetapi, pada rancangan II yang dibuat ini juga masih belum dapat mencapai suhu optimum yang diinginkan. Suhu minyak hasil pemanasan pada rancangan II di rpm 2000 hanya mencapai 74.5 o C. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran diameter lilitan dari pipa tembaga yang sama dengan diameter dalam dari tabung knalpot yaitu 100 mm sehingga lilitan pipa tembaga (saluran minyak nyamplung) menempel pada dinding tabung knalpot. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpindahan panas secara konduksi dari pipa tembaga ke dinding tabung knalpot ke lingkungan, selain itu pemanasan yang diterima oleh pipa tembaga dari panas gas buang motor diesel tidak maksimal karena hanya sisi bagian dalam saja yang mendapat pemanasan maksimum dari panas gas buang motor diesel dalam knalpot. Berdasarkan hal tersebut, sehingga dibuat rancangan elemen pemanas III dengan mengubah diameter lilitan pipa tembaga menjadi lebih kecil yaitu 85 mm dan diameter pipa tembaga menjadi 6 mm, dengan harapan panas yang diperoleh dari gas buang lebih optimum. 31

Gambar 17. Knalpot rancangan II 3. Rancangan III Elemen pemanas rancangan III dibuat dengan tujuan untuk memperoleh hasil pemanasan optimum untuk minyak nyamplung. Pada rancangan III ini, digunakan ukuran pipa tembaga yang berbeda dengan rancangan I dan II, yaitu berdiameter 6 mm. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah perubahan diameter pipa tembaga menjadi lebih kecil akan menghasilkan pemanasan yang lebih merata dan optimum atau tidak, sesuai dengan kebutuhan minyak nyamplung yaitu mencapai suhu 110 o C. Adapun dimensi elemen pemanas rancangan III yaitu, diameter tabung 107 mm, tinggi 250 mm, dan tebal plat 2 mm. Dimensi dari muffler yaitu diameter muffler 30 mm, tinggi 300 mm, dan tebal plat 2 mm. Panjang pipa tembaga yang dibutuhkan pada rancangan III adalah 9050 mm (asumsi pindah panas 90%) (Lampiran 4). Diameter lilitan tembaga di dalam tabung knalpot adalah 85 mm. Akan tetapi, setelah dilakukan pengujian pengukuran, suhu pemanasan yang dihasilkan rancangan III kurang stabil atau sering berubah-ubah. Rata-rata suhu pemanasan minyak yang dihasilkan rancangan III pada rpm 2000 adalah sebesar 83.2 o C sehingga suhu optimum pemanasan minyak nyamplung, yaitu 110 o C belum tercapai. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan diameter pipa tembaga menjadi lebih kecil, yaitu dari 8 mm menjadi 6 mm, menyebabkan aliran minyak nyamplung yang masuk ke elemen pemanas lebih lambat. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa minyak nyamplung mempunyai kekentalan yang sangat tinggi sehingga aliran minyak di dalam elemen pemanas tidak lancar. Oleh karena itu dibuat rancangan IV dengan mengubah kembali ukuran diameter pipa tembaga dari 6 mm menjadi 8 mm, dengan harapan mendapatkan suhu pemanasan minyak nyamplung yang optimum. Gambar 18. Knalpot rancangan III 32

4. Rancangan IV Elemen pemanas rancangan IV ini dibuat hampir sama dengan rancangan II, hanya saja pada rancangan IV diameter dari lilitan pipa tembaga diperkecil menjadi 85 mm yang awalnya (pada rancangan II) adalah sebesar 100 mm. Hal ini dilakukan karena pada rancangan II ketika lilitan diameter pipa tembaga dibuat 100 mm, pipa tembaga menempel di dinding tabung yang menyebabkan pemanasan kurang optimum karena terjadi kehilangan panas dari pipa tembaga ke dinding tabung. Pada rancangan IV, diameter lilitan pipa tembaga diperkecil agar tidak menempel pada dinding tabung sehingga ada celah antara lilitan pipa tembaga dengan dinding di dalam tabung knalpot. Setelah dilakukan pengukuran suhu, rancangan IV dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum 110 o C (hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Gambar 23) sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk memanasakan minyak nyamplung sehingga dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Gambar 19. Knalpot rancangan IV 6.3 UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS 1. Pengukuran Suhu Minyak Nyamplung Hasil Pemanasan Elemen Pemanas Pengukuran suhu minyak hasil pemanasan elemen pemanas dilakukan untuk mengetahui apakah rancangan elemen pemanas yang dibuat sudah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu mencapai suhu optimum pemanasan minyak nyamplung hingga 110 o C. Pengukuran suhu minyak nyamplung dilakukan pada semua rancangan. Pengukuran dilakukan di lima titik. Titik pengukuran pertama yaitu mengukur suhu minyak dalam tangki bahan bakar minyak nyamplung. Titik pengukuran kedua yaitu mengukur suhu minyak nyamplung di pipa saluran bahan bakar sebelum minyak nyamplung masuk ke elemen pemanas. Titik pengukuran ketiga yaitu mengukur suhu minyak nyamplung setelah keluar dari elemen pemanas. Titik pengukuran keempat yaitu mengukur suhu keluaran gas buang dari motor diesel (suhu knalpot), dan titik pengukuran kelima mengukur suhu ruangan. Letak titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 20. 33

5 1 4 2 3 Keterangan : 1 : Titik pengukuran suhu dalam tangki bahan bakar (T1) 2 : Titik pengukuran suhu minyak masuk ke elemen pemanas (T2) 3 : Titik pengukuran suhu minyak keluar dari elemen pemanas (T3) 4 : Titik pengukuran suhu keluaran knalpot (T4) 5 : Titik pengukuran suhu ruangan (T5) Gambar 20. Titik pengukuran suhu pada motor Diesel Pengukuran suhu dilakukan dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu pengukuran suhu pada rpm 1700 dan 2000, masing-masing rpm dilakukan 3 kali pengulangan. Untuk membandingkan hasil pemanasan dari semua rancangan, jenis minyak yang digunakan hanya minyak N2. Hal ini dilakukan karena persediaan minyak yang terbatas, selain itu penggunaan minyak N2 adalah dikarenakan minyak N2 memiliki viskositas yang lebih kecil dibandingkan minyak N1, dan proses pembuatan minyak N2 lebih mudah dibandingkan dengan minyak N3 dan N4. Minyak N1 tidak digunakan di awal pengujian karena dikhawatirkan minyak N1 tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar motor diesel, dengan mempertimbangkan dari kekentalan minyak yang mencapai 63 cst sehingga dipilih minyak N2 pada pengujian awal, dan digunakan untuk semua rancangan. Hasil pengujian pengukuran suhu rata-rata semua rancangan dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan data lengkap hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari Tabel 6 dapat dilihat hasil pengukuran suhu semua rancangan pada rpm 1700 dan 2000 yang menunjukkan bahwa rancangan IV merupakan rancangan yang dapat memanaskan minyak hingga suhu 110 o C. Sedangkan pada rancangan I suhu maksimal untuk memanaskan minyak hanya mencapai 54.8 o C (T3), pada rancangan II pemanasan minyak hanya mencapai 74.5 o C (T3), dan pada rancangan III pemanasan minyak hanya mencapai 83.2 o C (T3). Perbedaan hasil pemanasan minyak juga dipengaruhi oleh rpm mesin, semakin tinggi rpm mesin maka suhu keluaran dari knalpot semakin besar begitu juga sebaliknya. Seperti yang ditampilkan dalam Tabel 6, T5 menunjukkan suhu keluaran gas buang dari motor diesel. Pada rancangan IV suhu minyak mencapai 110 o C ketika rpm mesin 2000 sedangkan pada rancangan 34

Suhu ( o C) lainnya pada rpm 2000 tidak dapat memanaskan minyak hingga 110 o C (Lampiran 8). Untuk mengetahui perbedaan hasil pemanasan minyak pada setiap rancangan dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu Semua Rancangan Elemen Pemanas Bahan Bakar Rpm T1 ( o C) T2 ( o C) T3 ( o C) T4 ( o C) T5 ( o C) R I N2 1700 30.3 31.5 54.8 141.8 30.3 R II R III R IV N2 N2 N2 N3 N4 N1 1700 30.3 36.8 70.6 139.8 30.4 2000 26.4 37.5 74.5 156.2 25.9 1700 29.6 29.4 65.6 138.8 31.9 2000 31.7 43.2 83.2 156.4 31.6 1700 28.0 30.4 86.4 149.0 28.5 2000 29.6 36.3 98.6 171.6 29.8 1700 30.7 32.1 83.9 157.3 31.0 2000 29.7 31.8 100.8 180.5 29.8 1700 30.8 32.5 91.6 151.9 30.7 2000 29.3 31.8 108.5 180.7 29.7 1700 32.6 36.2 87.0 154.7 32.0 2000 29.1 38.3 107.4 175.6 29.9 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran R1 (1700) R2 (1700) R3 (1700) R4 (1700) Gambar 21. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 1700 (n 1 ) pada semua rancangan 35

Suhu ( o C) 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran R2 (2000) R3 (2000) R4 (2000) Gambar 22. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 2000 (n 2 ) pada semua rancangan Gambar 21 menunjukkan perbedaan hasil pemanasan minyak N2 di setiap rancangan pada rpm mesin 1700. Pada grafik dapat dilihat, rancangan I hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C (T3), hal ini dikarenakan pipa tembaga yang menjadi saluran minyak nyamplung pada rancangan I dililitkan di bagian luar tabung knalpot yang kemudian diselimuti oleh plat sehingga panas yang diterima oleh pipa tembaga kurang maksimal. Selain itu panjang pipa tembaga yang digunakan masih kurang panjang. Hal ini dikarenakan perhitungan yang digunakan pada rancangan I masih menggunakan data sekunder dari literatur, bukan data dari hasil pengukuran. Sehingga pengujian rancangan I pada rpm 2000 tidak dilakukan. Setelah memperoleh data suhu keluaran dari knalpot/gas buang, maka dilakukan perhitungan ulang rancangan dan hasilnya digunakan untuk membuat elemen pemanas rancangan II. Hasil pemanasan yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan rancangan I yaitu pemanasan minyak mencapai suhu 70.6 o C (T3). Akan tetapi rancangan II ini belum dapat memanaskan minyak hingga suhu optimum (110 o C) pada rpm 1700. Kemudian rpm motor diesel dinaikkan menjadi 2000 (Gambar 22), dan hasil pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 74.5 o C, terjadi kenaikan suhu pemanasan minyak sebesar 3.9 o C. Oleh karena rancangan II belum dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum, maka dibuat rancangan III dengan mengubah diameter pipa tembaga dari 8 mm menjadi 6 mm. Pada pengujian pertama yaitu pada rpm 1700, pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 65.6 o C lebih rendah dibandingkan dengan rancangan II. Sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak yang diperoleh mencapai 83.2 o C atau terjadi kenaikan pemanasan suhu sebesar 17.6 o C dan lebih tinggi dari rancangan II. Akan tetapi, rancangan III belum mencapai pemanasan suhu optimum minyak nyamplung sehingga dirancang kembali rancangan IV. Pada rancangan IV dibuat sama dengan rancangan II hanya saja diameter lilitan pipa tembaga pada rancangan IV diperkecil (lebih jelasnya dapat dilihat di hasil rancangan elemen pemanas. Hasil pengujian pada rpm 1700 diperoleh suhu pemanasan minyak hingga 86.4 o C lebih tinggi dibandingkan dengan rancangan lainnya, sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak mencapai 98.6 o C. Bila dibandingkan dengan rancangan I, II, dan III, rancangan IV menghasilkan suhu hasil pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu 36

Suhu ( o C) pemanasan optimum minyak nyamplung. Sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk menguji minyak nyamplung lainnya (minyak N1, N3 dan N4). Untuk mengetahui hasil dari pemanasan minyak nyamplung pada rancangan IV dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 menunjukan perbedaaan suhu hasil pemanasan minyak nyamplung dari rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000. Pada rpm 1700, dapat di lihat bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi yaitu 91.6 o C, sedangkan minyak N1 87 o C, minyak N2 86.4 o C, dan minyak N3 83.9 o C. Pada rpm 2000, minyak N4 memiliki hasil pemanasan yang lebih tinggi yaitu 108.5 o C dan mendekati suhu optimum (110 o C), sedangkan minyak N1 107.4 o C, minyak N2 98.6 o C, dan minyak N3 100.8 o C. Dari pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada rpm yang berbeda yaitu pada rpm 1700 dan 2000 dapat disimpulkan bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu optimum pemanasan minyak nyamplung yaitu 110 o C. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas minyak N4 pada suhu ruangan (30 o C) lebih kecil dibanding minyak nyamplung lainnya.. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran N1 (1700) N2 (1700) N3 (1700) N4 (1700) N1 (2000) N2 (2000) N3 (2000) N4 (2000) Gambar 23. Grafik hasil pemanasan minyak nyamplung menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 (n 1 ) dan 2000 (n 2 ) Selain melakukan pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada semua rancangan, dilakukan pula pengukuran rpm motor diesel. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui perubahan rpm motor diesel pada saat menggunakan biosolar dan minyak nyamplung. Untuk mengetahui hasil pengukuran rpm, dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa secara umum kecepatan motor diesel relatif cukup stabil. Pada saat pergantian bahan bakar dari biosolar ke minyak nyamplung terjadi penurunan rpm, namun hal ini tidak berlangsung lama karena setelah beberapa menit selanjutnya rpm motor kembali stabil. Pada saat pengujian, motor diesel sempat beroperasi tersendat-sendat, hal ini dikarenakan terdapat rongga udara di dalam saluran bahan bakar yang menyebabkan aliran bahan bakar tidak lancar. Rongga udara di dalam saluran bahan bakar ini ditimbulkan akibat aliran minyak nyamplung yang belum lancar dan stabil. Salah satu cara agar aliran bahan bakar minyak nyamplung lancar dan stabil adalah dengan memastikan minyak yang keluar dari elemen pemanas sudah mengalir dengan baik dan kontinyu. 37

Tabel 7. Pengukuran rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung menggunakan RIV Rancangan Bahan Bakar Rpm Waktu (menit) 6 12 18 24 30 I N2 1700 1716 1704 1702 1695 1691 II III IV N2 N2 N1 N2 N3 N4 1700 1726 1732 1730 1724 1723 2000 2029 2028 2024 2018 2015 1700 1715 1721 1719 1715 1713 2000 2020 1903 1946 1979 1989 1700 1699 1694 1692 1697 1707 2000 2016 2005 2004 2004 2001 1700 1730 1720 1719 1719 1715 2000 2018 2008 2008 2013 2008 1700 1718 1708 1709 1710 1710 2000 2019 2017 2017 2016 2010 1700 1691 1680 1684 1680 1683 2000 2011 2009 2009 2008 2007 Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hasil pengukuran rpm motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung dengan menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000, dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.. Gambar 24. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 1700 menggunakan R IV Pada grafik (Gambar 24), dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung sebagai bahan bakar di banding biosolar. Minyak N1 terlihat mengalami kenaikan rpm dibanding dengan minyak lainnya (N2, N3, N4). Akan tetapi secara umum rpm dari motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung tidak konstan/stabil. Sehingga belum dapat ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel terhadap kinerja motor diesel bila dibanding dengan biosolar. Hal ini pun terjadi pada pengujian di rpm 2000, rpm motor diesel turun naik atau tidak 38

kostan/stabil. Sebagai contoh pada minyak N1, pada saat pengujian di rpm 1700 performa motor diesel (rpm) mengalami kenaikan, tetapi mengalami penurunan pada saat pengujian di rpm 2000. Sehingga perlu dilakukan pengujian daya poros dari motor diesel yang menggunakan minyak nyamplung agar bisa ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel. Untuk mengetahui lebih jelas hasil pengukuran rpm di rpm awal 2000, dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 2000 menggunakan R IV 2. Uji karakteristik Penyemprotan Bahan Bakar Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar dilakukan untuk membandingkan bahan bakar dilihat dari segi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Hal ini dilakukan untuk membandingkan hasil penyemprotan minyak nyamplung dengan biosolar. Pengujian penyemprotan dilakukan untuk semua jenis perlakuan minyak, yaitu minyak N1, N2, N3, dan N4. Hasil penyemprotan minyak N1 dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27, sedangkan hasil penyemprotan boiosolar dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 26. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude (kasar) tanpa pemanasan 39

Gambar 27. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude (kasar) dengan pemanasan 110 o C menggunakan R IV Gambar 28. Pola penyemprotan biosolar Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan hasil semprotan antara minyak nyamplung dengan biosolar, baik dengan perlakuan tanpa pemanasan ataupun dengan pemanasan pada suhu 110 o C. Butiran-butiran pengkabutan pada biosolar terlihat lebih halus dan merata, sedangkan butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung cenderung lebih besar dan tidak merata. Pengujian semprotan dilakukan pada semua jenis perlakuan minyak nyamplung (minyak N1, N2, N3, dan N4). Gambar hasil dari pola semprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 7. 40

Diameter Penyemprotan (mm) 80 70 60 54.83 61.33 62.83 70.67 63.33 53.33 61.5 63.33 67.67 50 40 30 20 10 0 N1 N1 (110) N2 N2 (110) N3 N3 (110) N4 N4 (110) Biosolar Gambar 29. Diameter penyemprotan bahan bakar Gambar 29 menunjukkan diameter penyemprotan untuk kelima jenis bahan bakar, yaitu minyak N1, N2, N3, N4, dan biosolar. Minyak nyamplung semua jenis perlakuan (N1, N2, N3 dan N4) tanpa pemanasan (suhu ruangan) menghasilkan semprotan dari nozzle injektor dengan diameter 54.83 mm, 62.83 mm, 63.33 mm, dan 61.5 mm. Setelah dipanaskan pada suhu 110 o C, diameter penyemprotan yang dihasilkan sebesar 61.33 mm, 70.67 mm, 53.33 mm, dan 63.33 mm. Biosolar sebagai bahan bakar utama dari motor diesel memiliki diameter penyemprotan sebesar 67.67 mm. Dari hasil penyemprotan dapat dilihat bahwa ada perubahan diameter penyemprotan ketika minyak nyamplung dipanasakan hingga suhu 110 o C. Sebagai contoh, diameter semprotan minyak N1 sebelum dipanaskan adalah 54.83 mm, kemudian setelah dipanaskan meningkat menjadi 61.33 mm lebih besar 6.5 mm, begitu juga untuk minyak nyamplung dengan perlakuan lainnya. Akan tetapi minyak N3 mengalami pengecilan ukuran diameter sebesar 10 mm. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan pada saat pengujian, seperti angin, dan lain-lain sehingga pengkabutan hasil dari semprotan minyak N3 tidak sepenuhnya mengenai kertas milimeter blok. Namun, secara umum minyak nyamplung hasil pemanasan dengan suhu 110 o C mengalami perubahan diameter menjadi lebih besar dibanding sebelum dipanaskan dan sudah mendekati diameter semprotan dari biosolar yang merupakan bahan bakar utama motor diesel. Setelah mengetahui diameter semprotan dari masing-masing bahan bakar, maka dapat diketahui sudut penyemprotan. Selain diameter penyemprotan, tinggi penyemprotan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perhitungan sudut penyemprotan. Dari pengolahan data diameter diatas dan memperhitungkan tinggi penyemprotan yaitu 30 cm, maka didapatkan sudut penyemprotan seperti tertera pada Gambar 30. Untuk mengetahui hasil sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 6. 41

Sudut Penyemprotan ( o ) 16 14 12 10 10.44 11.67 11.96 13.43 12.05 10.16 11.71 12.05 12.87 8 6 4 2 0 N1 N1 (110) N2 N2 (110) N3 N3 (110) N4 N4 (110) Biosolar Gambar 30. Sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar Gambar 30 menunjukkan sudut penyemprotan dari semua jenis bahan bakar minyak nyamplung dan biosolar. Dari gambar dapat dilihat bahwa diameter penyemprotan bahan bakar mempengaruhi sudut penyemprotannya. Semakin besar diameter penyemprotan maka sudut penyemprotan semakin besar. Dengan asumsi bahwa tinggi penyemprotan adalah sama di tiap pengujian. Sama halnya dengan diameter penyemprotan, minyak nyamplung setelah dipanaskan akan memiliki sudut semprot yang lebih besar dibandingkan dengan minyak nyamplung yang tidak dipanaskan karena butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung yang sudah dipanaskan lebih halus dibandingkan dengan minyak nyamplung tanpa pemanasan. Sebagai contoh, minyak N1 sebelum dipanaskan memiliki sudut diameter 10.44 o, setelah dipanaskan menjadi 11.67 o selisihnya adalah 1.23 o. Akan tetapi selisih tersebut tidak berlaku sama untuk semua jenis minyak nyamplung karena setiap jenis minyak nyamplung memiliki hasil penyemprotan yang berbeda. 3. Uji daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung menggunakan R IV Setelah dilakukan pengukuran suhu minyak hasil pemanasan dan uji karakteristik semprotan dari minyak nyamplung selanjutnya dilakukan pengukuran daya poros motor diesel tanpa beban dengan menggunakan bahan bakar minyak nyamplung yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan daya poros tanpa beban yang dihasilkan motor diesel dengan menggunakan bahan bakar biosolar. Minyak nyamplung yang digunakan pada pengukuran daya adalah minyak N4 karena N4 merupakan minyak yang terbaik (dilakukan proses degumming dan netralisasi) dibanding minyak nyamplung perlakuan lainnya. Pengukuran daya dilakukan tiga kali ulangan. Berikut adalah grafik pengukuran daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung, sedangkan untuk mengetahui hasil lengkap pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 12. 42

Gambar 31 Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji I Gambar 32. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji II Gambar 33. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji III 43

Gambar 31 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji I. Pada pengukuran pertama diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 4.88 kw dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. kenaikan torsi terjadi sangat tinggi sampai pada saat titik maksimum yaitu pada rpm 1246. Gambar 32 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji II. Pada pengukuran kedua diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.35 kw dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. Kenaikan torsi yang sangat tinggi pada pengukuran kedua terjadi pada rpm 1367. Sedangkan pada pengujian ketiga diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.39 kw dan torsi maksimum yang dicapai adalah sebesar 123.74 Nm, serta kenaikan torsi maksimum terjadi pada pengukuran rpm 1377. Grafik hasil pengukuran ulangan ketiga dapat dilihat pada Gambar 33. Kenaikan torsi secara tajam menunjukan bahwa pengereman berlangsung dengan cepat, dari titik nol mencapai pengereman maksimum (Pramuditya. A.F, 2009). Nilai torsi maksimum di setiap pengulangan diperoleh hasil yang sama, nilai torsi maksimum diperoleh ketika sesaat mesin akan mati. Nilai gaya (µs) yang ditunjukan handy strain meter pada saat motor diesel akan mati adalah 11 µs, hanya saja terjadi pada perbedaan rpm motor diesel di setiap pengukuran. Sehingga daya yang diperoleh di setiap pengulangan berbeda. Untuk mengetahui perbandingan daya poros yang dihasilkan motor diesel berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perbedaan daya poros mesin berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung Bahan bakar Torsi (N.m) Daya (kw) Uji I Uji II Uji III Uji I Uji II Uji III Biosolar 144.53 144.53 123.74 5.99 5.95 5.87 Minyak Nyamplung 123.74 123.74 123.74 4.88 5.35 5.39 Data pengujian daya motor diesel berbahan bakar biosolar diperoleh dari hasil penelitian Ahmad. H (2010), hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan daya dari motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung jika dibandingkan dengan motor diesel berbahan bakar biosolar. Rata-rata penurunan torsi adalah sebesar 9.59% dan rata-rata penurunan daya motor sebesar 12.26%. Hal ini menunjukkan bahwa biosolar masih memiliki daya maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nyamplung. Akan tetapi dengan rata-rata penurunan yang tidak terlalu jauh (< 15%) dari biosolar maka minyak nyamplung memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar motor diesel pengganti biosolar. Penurunan daya dan torsi motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung adalah akibat dari penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar, karena nilai kalor dari minyak nyamplung lebih rendah 9.7% dibanding nilai kalor biosolar.. 44