BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) termasuk kedalam famili Leguminosae yang tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) sehingga dapat dipanen dalam waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 5 8 tahun. Pada kondisi optimum riap diameter mencapai 5-7 cm per tahun (Satjapraja dan Tim Perhimpi, 1989). Menurut Atmosuseno (1994), berdasarkan catatan sejarah sengon merupakan spesies asli dari kepulauan timur Indonesia yakni Maluku dan Papua. Spesies ini baik digunakan/dimanfaatkan sebagai bubur kertas (NAS, 1979), selain itu juga dapat digunakan sebagai papan partikel, veneer, plywood serta produk komposit (CABI, 2000). Sengon juga cocok untuk dijadikan produk seperti sepatu kayu, instrumen musik, mainan anak-anak (Peh dan Khoo, 1984). Dari segi kualitas, kayu sengon termasuk kayu ringan dengan berat jenis antara 0,33 0,49; kelas awet IV/V dan kelas kuat IV- V (Syahri, 1991). Kayu sengon dengan beragam kegunaanya menjadi salah satu tumpuan sumber bahan baku industri terutama di Pulau Jawa. Kayu sengon di Pulau Jawa umumnya berasal dari hutan rakyat. Data suplai kayu domestik Indonesia sebesar 42, 3 juta m 3 dimana hutan rakyat menyumbang 10 juta m 3 (Kemenhut, 2010). Jenis tanaman hutan yang dibudidayakan pada hutan rakyat adalah jenis tanaman sengon dan jati (Rimbawanto, 2008). Kebutuhan kayu sengon sejalan dengan kebutuhan kayu secara keseluruhan. Dari waktu ke waktu kebutuhan akan kayu terus meningkat, 1
2 sementara produksi kayu yang dapat disediakan tetap bahkan kecenderungan menurun. Total kapasitas produksi industri perkayuan Indonesia setara dengan 68 juta m 3 kayu bulat (Kemenhut, 2010), pada tahun 2010 produksi kayu bulat sebesar 42,443 juta m 3 apabila diasumsikan kapasitas produksi industri perkayuan tetap maka terdapat kesenjangan antara permintaan dan persediaan. Permintaan kayu sengon akan terus meningkat baik untuk keperluan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara langsung maupun untuk keperluan industri. Sengon banyak ditanam karena pertumbuhannya yang cepat dan pemeliharaannya yang mudah. Warnanya yang cerah, ketersediaannya yang cukup dan mudah didapet serta harganya yang relatif murah menjadikan sengon banyak disukai untuk bahan baku berbagai industri (Araya, 2002). Penanaman sengon dapat menggunakan biji (generatif) maupun trubusan (vegetatif). Pertumbuhan trubusan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan bibit yang ditanam dari awal, serta memiliki struktur perakaran yang lebih luas dan lebih kokoh dari tonggaknya. Trubusan adalah tanaman/tunas yang tumbuh dari tegakan bekas pohon yang telah ditebang. Dengan demikian trubusan dari tonggak akan memperoleh pasokan air dan unsur hara yang lebih banyak dibanding bibit yang baru ditanam (Daniel dkk, 1987). Selain itu teknik trubusan dilakukan karena dapat menekan biaya penanaman karena tidak memerlukan biaya pembelian bibit, biaya angkut bibit, pengolahan lahan, pembuatan lubang tanam, maupun penanaman (Mansur, 2012). Tanaman sengon yang berasal dari trubusan, pada umumnya memiliki kecenderungan yang lebih rentan terhadap penyakit karat tumor yang disebabkan oleh
3 jamur Uromycladium tepperianum (Rahayu, 2008). Penyebab penyakit karat tumor pada tanaman sengon di Pilipina, Timor Timur, dan Malaysia serta di Jawa dan Bali telah diidentifikasi sebagai jamur karat U.tepperianum (Rahayu dan Lee, 2010). Rahayu (2008) menyebutkan bahwa saat ini di Indonesia penyakit gall rust (karat tumor, karat puru), merupakan salah satu penyakit yang berbahaya pada tanaman sengon (F. moluccana). Penyakit karat tumor dapat terjadi pada tanaman semai hingga dewasa, dampak yang ditimbulkan mulai dari menghambat pertumbuhan sampai dapat mematikan tanaman. Menurut Rahayu (2010), kelompok jamur karat merupakan anggota jamur dari klas Basidiomycetes yang bersifat parasit obligat. Agrios (1996) menjelaskan, parasit obligat merupakan organisme yang dapat tumbuh dan berkembang biak secara alami hanya dalam inang yang hidup. Menurut Rahayu (2010), jamur karat jenis ini hanya membutuhkan satu inang saja, misalnya sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya. Apabila telah mendapatkan tempat yang sesuai terutama pada bagian tanaman yang masih muda, dan kondisi lingkungannya menguntungkan, teliospora akan berkecambah membentuk basidiospora. Basidiospora ini dapat secara langsung melakukan penetrasi, menembus lapisan epidermis membentuk hifa didalam ataupun diantara sel-sel epidermis, xylem dan floem (Rahayu, 2008). Miselia tersebut kemudian akan merusak dinding sel, menyebabkan periderm, xilem dan floem kehilangan bentuk aslinya. Didalam xilem, jamur dapat membentuk haustoria diantara dinding sel (Rahayu, 2010). Di lapangan, semai yang telah terinfeksi jamur U. tepperianum sejak di persemaian, akan cepat menunjukkan gejala. Namun, kecepatan pembentukan gejala
4 akan sangat bergantung pada lokasi penanamannya. Pada tanaman muda sebelum umur 2 tahun, gejala umumnya berupa tumor yang terbentuk pada batang atau cabang, atau pada ruas-ruas cabang. Pada dasarnya jamur U. tepperianum hanya mampu menginfeksi jaringan-jaringan tanaman yang muda (Rahayu, 2008). Dengan demikian kemungkinan terjadinya infeksi baru pada jaringan tanaman dewasa di lapangan adalah sangat kecil. Gejala pada tanaman dewasa pada dasarnya berasal dari infeksi yang terjadi pada tanaman muda atau bahkan dari semai. Sehingga perbedaan intensitas antara tanaman yang berasal dari semai (generatif) intesitas kenampakannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari trubusan (vegetatif). Serangan karat tumor yang banyak diberitakan diberbagai daerah terutama pada sentra budidaya tanaman sengon mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat. Bentuk kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini antara lain: kematian tanaman, cacat pada batang yang dapat mengurangi volume dan kualitas kayu, kesempatan dan harapan yang hilang bagi petani dengan rusaknya tanaman budidaya mereka. Berdasarkan banyaknya kebutuhan akan kayu sengon di Indonesia, maka diperlukan adanya informasi mengenai kualitas kayu sengon dari permudaan generatif dan vegetatif yang terkena karat tumor terutama sifat mekanikanya dimana masih belum dilakukan penelitian mengenai kualitas mekanika kayu sengon yang terserang karat tumor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanika kayu sengon dalam satu pohon yang terserang karat tumor baik itu pohon sengon yang tumbuh secara vegetatif maupun generatif.
5 Sifat anatomi dari kayu sengon yang terkena karat tumor itu sendiri akan berpengaruh terhadap sifat mekanis dari kayu tersebut. Menurut Nugroho dkk (2011), sifat anatomi kayu akan mempengaruhi sifat mekanis dari kayu tersebut misalnya ukuran sel dan ketebalan dinding sel. Sehingga dalam penelitian ini juga akan diteliti mengenai sifat anatomi kayu sengon yang terkena karat tumor. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh cara permudaan dan arah aksial terhadap sifat anatomi kayu sengon sehat yang pohonnya terserang jamur U. tepperianum. 2. Mengetahui pengaruh cara permudaan dan arah aksial terhadap sifat mekanika kayu sengon sehat yang pohonnya terserang jamur U. tepperianum. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat dalam penggunaan Kayu Sengon (F. mollucana) sehat pada pohon yang terkena serangan karat tumor untuk berbagai keperluan. Dengan demikian informasi sifat anatomi dan mekanika yang diteliti ini dapat memberikan kontribusi dalam memilih permudaan yang memiliki resiko kecil menurunkan kualitas kayu akibat serangan karat tumor.