BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BAB XI ADMINISTRASI PENGELOLAAN BARANG DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

SALINAN NO : 14 / LD/2009

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

RAPERDA PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES,

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH. A. Pengertian Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI BANGLI PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

SALINAN BUPATI BULELENG, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 511 ayat (1),

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 20

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 2 Tahun 2018 Seri E Nomor 2 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA NOMOR /UN40/HK//2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

Sumber berita: Harian Siwalima, Komisi II Minta Setiap SKPD Miliki Data Aset, Selasa, 18 Juli 2017.

PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 3 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PUNCAK JAYA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

WALIKOTA BANJARBARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. masyarakat berdasarkan asas desentralisasi serta otonomi fiskal maka daerah

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Untuk itu menghadapi. dibutuhkan agar berbagai urusan pemerintahan yang dilimpahkan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Desentralisasi Desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/ fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi/dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut. A. Simanjuntak (2001) menyatakan bahwa desentralisasi dapat dibedakan menjadi 3 macam, yakni desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal. Ketiga macam desentralisasi tersebut saling berkaitan erat satu sama lain dan seyogyanya dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti misalnya peningkatan pelayanan publik dapat dilaksanakan. Desentralisasi politik merupakan pemindahan kekuasaan pengambilan keputusan pada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendorong warganegara dan perwakilan yang dipilih agar beradaptasi dalam proses pembuatan keputusan. Desentralisasi administrasi merupakan pelimpahan kewenangan layanan publik kepada pihak lain dalam struktur kelembagaan negara. Dalam desentralisasi administratif melibatkan desain organisasional, 13

14 identifikasi tugas-tugas administratif khusus yang diperlukan untukmenjalankan peran tersebut. Beberapa peran administratif diantaranya adalah dalam hal perencanaan, inovasi kebijakan, manajemen keuangan, dan manajemen operasional. Desentralisasi fiskal adalah dimaksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan faktor-faktor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong efisiensi sektor publik, juga akuntabilitas publik dan transparansi dalam dalam penyediaan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis. Berikut pengertian Desentralisasi menurut para ahli: Soenobo Wirjosoegito memberikan definisi sebagai berikut: Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu. DWP. Ruiter mengungkapkan bahwa menurut pendapat umum desentralisasi terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu desentralisasi teritorial dan fungsional, yang dijabarkan sebagai berikut: Desentralisasi teritorial adalah memberi kepada kelompok yang mempunyai batas-batas teritorial suatu organisasi tersendiri, dengan

15 demikian memberi kemungkinan suatu kebijakan sendiri dalam sistem keseluruhan pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah memberi kepada suatu kelompok yang terpisah secara fungsional suatu organisasi sendiri, dengan demikian memberi kemungkinan akan suatu kebijakan sendiri dalam rangka sistem pemerintahan. Rondinelli dan Cheema (1983), mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan dan atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi otonomi dan parastatal (perusahaan), pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah. Perbedaan konsep desentralisasi ditentukan terutama berdasarkan tingkat kewenangan untuk perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Selanjutnya, Rondinelli, Nellis dan Cheema (1983) mendefinisikan dekonsentrasi adalah penyerahan sejumlah kewenangan dan tanggung jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah. Conyers (1983: 102), mengemukakan desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda yang mendasarkan pada berbagai literatur berbahasa Inggris, yakni devolution yang menunjuk pada kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal; dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan

16 administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat. Menurut R. Tresna desentralisasi dapat dibedakan ke dalam: a. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi), adalah pemberian atau pemasrahan kekuasaan dari atas ke bawah dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata. b. Desentralisasi ketatanegaraan, merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ketatanegaraan ini dibagi menjadi: Desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Pengertian desentralisasi diungkapkan oleh Cohen dan Peterson (1999), yang mana jenis desentralisasi terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization). Lebih jauh Cohen dan Peterson (1999) mendefinisikan dekonsentrasi: The transfer of authority over specified decision making, financial and management functions by administrative means to different levels under the jurisdictional authority of the central government. Berdasarkan sifatnya desentralisasi dapat dibagi menjadi 3 prinsip, yaitu: 1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah;

17 2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pemerintah daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat, dalam hal tertentu dimana pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur pengunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization. 3. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority) Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritori tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak

18 berstatus otonomi melalui desentralisasi menjadi berstatus otonomi dengan menjelmakannya sebagai daerah otonom. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek. Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Baik dalam definisi daerah otonom maupun otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah yang diselenggarakan secara konseptual oleh Pemerintah Daerah. Dalam banyak hal, desentralisasi dan otonomi adalah kata yang saling bisa dipertukarkan. Otonomi berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata pertama berarti sendiri, dan kata kedua berarti perintah. Otonomi bermakna memerintah sendiri. Dalam wacana administrasi publik daerah otonomi sering disebut sebagai local self government. Konsep desentralisasi menurut Webster (dalam Prakoso, 1984:77) memberikan rumusan desentralisasi sebagai berikut: To decentralize means to devide and distrubute, as governmental administration, to withdraw from the center or concentration (Desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan, mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi).

19 Kemudian pendapat lainnya Fortmann (dalam Bryant 1989:215) menekankan bahwa: Desentralisasi juga merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal. Kekuasaan dan pengaruh cenderung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuannya untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Jika pemerintah lokal semata-mata ditugaskan untuk mengikuti kebijakan nasional, para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai investasi kecil saja didalamnya. Selanjutnya mengutip pendapat Riggs (dalam Sarunjang 2000:47) menyatakan bahwa desentralisasi mempunyai dua makna: a. Pelimpahan wewenang (delegation) yang mencakup penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada ditangan pusat. b. Pengalihan kekuasaan (devolution) yakni seluruh tanggung jawab untuk kegiatan tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang. Tujuan dilaksanakannya desentralisasi adalah untuk: 1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal. 2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada

20 tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari pada kontribusi kegiatan mereka itu. 3. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis. 4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (selfgovernment). 5. Pembinaan kesatuan nasional. Keunggulan desentralisasi, diantaranya : 1. Desentralisasi merupakan alat untuk mengurangi kelemahan perencanaan terpusat. Dengan delegasi kepada aparat di tingkat lokal, problema sentralisasi dapat lebih mudah dipecahkan. 2. Desentralisasi merupakan alat yang bisa mengurangi gejala red tape. 3. Dengan desentralisasi maka kepekaan dan pengetahuan tentang kebutuhan masyarakat lokal dapat ditingkatkan. 4. Dengan desentralisasi lebih memungkinkan berbagai kelompok kepentingan dan kelompok politik terwakili dalam proses pengambilan keputusan, sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan pemerintah. 5. Struktur pemerintahan yang yang desentralistis sangat diperlukan untuk melembagakan partisipasi warga negara dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan.

21 6. Dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam masyarakat dan pemerintahan, pengambilan keputusan yang sentralistis menjadi tidak efisien, mahal dan sulit dilaksanakan. 2. Otonomi Daerah Secara harfiah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Beberapa pendapat ahli mengemukakan mengenai pengertian otonomi: 1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. 2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. 3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. 4. Menurut Benyamin Hoesein otonomi adalah Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.

22 5. Pengertian otonomi menurut Philip Mahwood, adalah Suatu pemerintah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda. 6. Menurut Mariun bahwa Kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah yang memungkinkan mereka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Otonomi merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. 7. Vincent Lemius berpendapat bahwa otonomi sebagai kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu: a. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. b. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.

23 c. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri. Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiayaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diberikan gambaran dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas, nyata, bertanggungjawab, dimana di dalamnya disebutkan bahwa urusanpemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan pengaturannya kepada pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat melakukan identifikasi, pembahasan, dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada pemerintah daerah, seperti kewenangan dibidang pertanian, pertambangan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua

24 bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya. Disamping itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Pengertian luas dalam penyelenggaraan otonomi daerah merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup seluruh bidang pemerintahan yang dikecualikan pada bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Pemerintah daerah selain berperan melindungi masyarakat dan menyerap aspirasi masyarakat juga harus mampu mengelola berbagai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepadanya. Dalam pengelolan kewenangan yang luas tersebut tetap dibatasi rambu penting dalam

25 kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, otonomi bukanlah semata-mata menggunakan pendekatan administratif atau sekedar meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja saja, akan tetapi sekaligus pendekatan dalam dimensi politik. Dengan demikian, makna kewenangan dibidang pemerintahan yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat sejauh mungkin harus dapat dilayani secara dekat dan cepat. Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini ditetapkan antara lain untuk menyesuaikan perkembangan keadaan, kondisi ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah disebabkan dinamika pemerintahan daerah. Selain itu penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat

26 terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini mengatur mengenai: 1) Pembagian Wilayah Negara; 2) Kekuasaan Pemerintahan; 3) Urusan Pemerintahan; 4) Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan; 5) Penataan Daerah; 6) Penyelenggara Pemerintahan Daerah; 7) Perangkat Daerah; 8) Perda dan Perkada; 9) Pembangunan Daerah; 10) Keuangan Daerah; 11) BUMD; 12) Pelayanan Publik; 13) Partisipasi Masyarakat; 14) Perkotaan; 15) Kawasan Khusus Dan Kawasan Perbatasan Negara; 16) Kerja Sama Daerah Dan Perselisihan; 17) Desa; 18) Pembinaan Dan Pengawasan; 19) Tindakan Hukum Terhadap Aparatur Sipil Negara di Instansi Daerah; 20) Inovasi Daerah; 21) Informasi Pemerintahan Daerah; 22) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; dan 23) Ketentuan Pidana. Mengenai keuangan daerah diatur bahwa penyerahan sumber keuangan Daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah yang diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai sumber

27 keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian sumber keuangan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Keseimbangan sumber keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Ketika Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk membiayai urusan pemerintahan dan khususnya urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar, maka Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membantu Daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai. 3. Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) Pengertian dan ruang lingkup dari Barang Milik Daerah (BMD) yang meliputi pengertian dari BMD, pengelolaan BMD, Pejabat Pengelola BMD,Wewenang dan Tanggungjawab pejabat pengelola BMD serta Pemanfaatan BMD diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. Yang termasuk di dalam BMD meliputi barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD, barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah yang meliputi hibah/sumbangan, sebagai pelaksanaan dari perjanjian kontrak, sesuai dengan ketentuan undang-undang dan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

28 hukum tetap. Asas fungsional, kepastian hukum, transparasi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai adalah dasar yang digunakan dalam pengelolaan BMD. Pengelolaan BMD meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan. Penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan dan penatausahaan. Pemegang kekuasaan pengelolaan BMD adalah gubenur/bupati/walikota, dan pengelola BMD adalah sekretaris daerah, serta pengguna BMD adalah kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pengelolaan BMD meliputi tahapan-tahapan: a. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMD meliputi perencanaan pengadaan, pemeliharaan, pemanfaatan, pemindahtanganan dan penghapusan. Dimana perencanaan kebutuhan kecuali untuk penghapusan berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan dan atau standar harga. Gubenur/bupati/walikota menetapkan standar barang dan standar kebutuhan BMD. Sedangkan standar harga ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

29 b. Pengadaan Prinsip efisiensi, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil dan akuntabel merupakan dasar yang digunakan untuk melaksanakan pengadaan BMD. c. Penggunaan Gubenur/bupati/walikota menetapkan penggunaan BMD. Namun penetapan status penggunaan tidak dilakukan terhadap BMD yang berupa barang persediaan, konstruksi dalam pengerjaan atau barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan. d. Pemanfaatan Pengelola barang melaksanakan pemanfaatan BMD. Sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna, kerjasama penyediaan infrastruktur dan tender merupakan bentuk dari pemanfaatan BMD. e. Pengamanan dan Pemeliharaan Pengamanan administrasi, pengamanan fisik dan pengamanan hukum adalah bagian dari pengamanan BMD. Tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk melakukan pengamanan terhadap BMD yang berupa tanah. Sedangkan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah yang bersangkutan harus dilengkapi untuk pengamanan bagi BMD. Untuk barang BMD selain tanah/bangunan,bukti kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang

30 bersangkutan untuk BMD dimaksud harus dilengkapi untuk pengamanan. f. Penilaian Penilaian dilakukan untuk penyusunan neraca daerah, pemanfaatan atau pemindahtanganan kecuali untuk pemanfaatan dalam bentuk pinjam pakai atau pemindahtanganan dalam bentuk hibah. Dan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) digunakan sebagai pedoman dalam penetapan nilai BMD. g. Pemindahtanganan Untuk BMD yang tidak diperlukan lagi bagi penyelenggaraan tugas pemerintah daerah, maka pemerintah daerah dapat melakukan pemindahtanganan. Pemindahtanganan BMD meliputi penjualan, tukar menukar, hibah dan penyertaan modal daerah. h. Pemusnahan Apabila BMD tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan dan/atau tidak dapat dipindahtangankan atau alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka BMD dapat dimusnahkan. Dimana pengguna BMD dapat melakukan pemusnahan tersebut setelah mendapatkan persetujuan dari gubenur/bupati/walikota.

31 i. Penghapusan Jika BMD sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang maka BMD dapat dihapuskan dari daftar barang pengguna dan/atau daftar barang kuasa pengguna. j. Penatausahaan Penatausahaan BMD daerah meliputi: 1. Pembukuan dimana pendaftaran dan pencatatan BMD ke dalam daftar barang pengelola harus dilakukan oleh pengelola barang dan pencatatan ke dalam daftar barang pengguna/daftar barang kuasa pengguna juga harus dilakukan oleh pengguna/kuasa pengguna barang. 2. Sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun dilakukan inventarisasi terhadap BMD kecuali untuk persediaan dan kontruksi dalam pengerjaan dilakukan inventarisasi setiap tahun. 3. Kuasa Pengguna melakukan pelaporan atas BMD dalam bentuk laporan barang kuasa pengguna semesteran dan tahunan dan pengelola barang juga melakukan pelaporan atas BMD dalam bentuk laporan barang pengelola semesteran dan tahunan. k. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian. Menteri dalam negeri melakukan pembinaan terhadap barang milik daerah. Sedangkan pengguna barang melakukan pengawasan dan pengendalian BMD melalui pemantauan dan penertiban dan/atau pengelola barang melalui pemantauan dan investigasi.

32 Wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh gubernur/bupati/walikota sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan BMD adalah: a. menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah; b. menetapkan penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan; c. menetapkan kebijakan pengamanan danpemeliharaan barang milik daerah; d. menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik daerah; e. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah yang memerlukan persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah; f. menyetujui usul pemindahtanganan, pemusnahan, dan penghapusan barang milik daerah sesuai batas kewenangannya; g. menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan; dan h. menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah dalam bentuk kerja sama penyediaan infrastruktur. Sedangkan wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh sekretaris daerah sebagai pengelola barang milik daerah adalah sebagai berikut : a. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik daerah;

33 b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatanbarang milik daerah; c. mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah yangmemerlukan persetujuan gubernur/bupati/walikota; d. mengatur pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, pemusnahan, dan penghapusan barang milik daerah; e. mengatur pelaksanaan pemindahtanganan barang milik daerah yang telah disetujui oleh gubernur/bupati/walikota atau dewan perwakilan rakyat daerah; f. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi barang milik daerah; dan g. melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik daerah. Untuk pengguna barang milik daerah adalah kepala satuan perangkat daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab sebagai berikut: a. mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran barang milik daerah bagi satuan kerja perangkatdaerah yang dipimpinnya; b. mengajukan permohonan penetapan status penggunaan barang milik daerah yang diperoleh dari beban anggaran pendapatan dan belanja daerah dan perolehan lainnya yang sah; c. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya;

34 d. menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; e. mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; f. mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan Barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan; g. menyerahkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya dan sedang tidak dimanfaatkan pihak lain, kepada gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang; h. mengajukan usul pemusnahan dan penghapusan barang milik daerah; i. melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian atas penggunaan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya; dan j. menyusun dan menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang penggunatahunan yang berada dalam penguasaannya kepadapengelola barang.

35 Penggunaan BMD yang digunakan oleh badan layanan umum daerah (BLUD) merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan untuk menyelenggarakan kegiatan BLUD yang bersangkutan, dimana pengelolaan BMD oleh BLUD mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya, kecuali terhadap barang yang dikelola dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum sesuai dengan tugas dan fungsi BLUD, diatur tersendiri dalam Peraturan Daerah tentang Badan Layanan Umum Daerah. Barang Milik Daerah (BMD) yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat daerah dan/atau pegawai negeri disebut dengan rumah negara.gubernur/bupati/walikota melaksanakan pengelolaan barang milik daerah berupa rumah negara dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai rumah negara.peraturan Menteri Dalam Negeri mengatur rumah negara yang merupakan BMD. l. Tuntutan Ganti Rugi Tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan digunakan untuk menyelesaikan setiap kerugian daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan atau pelanggaran hukum atas pengelolaan BMD. Sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan

36 ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan untuk setiap pihak yang mengakibatkan kerugian daerah dikarenakan kelalaian, penyalahgunaan atau pelanggaran hukum atas pengelolaan BMD. 4. Klasifikasi Barang Milik Daerah (BMD) Barang adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa. Pengertian BMD menurut Peraturan Menteri dalam Negeri nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan BMDadalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas bebananggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya. Berdasarkan kepemilikan dan pengelola barang, BMD terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu: 1. Barang yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Barang ini merupakan barang yang penggunaanya/pemakaiannya berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/instansi/lembaga

37 Pemerintah Daerah lainnya sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; 2. Barang yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah (PERUSDA) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Barang ini merupakan barang yang status barangnya dipisahkan. BMD yang dipisahkan adalah barang yang pengelolaannya berada pada Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya yang anggarannya dibebankan pada anggaran Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya. BMD dikelompokkan kedalam 19 (sembilan belas) bidang, yaitu; bidang tanah, bidang jalan dan jembatan, bidang bagunan air, bidang instalasi, bidang jaringan, bidang bangunan gedung, bidang monumen, bidang alat-alat besar, bidang alat-alat angkut, bidang alat bengkel, bidang alat-alat pertanian, bidang alat-alat kantor dan rumah tangga, bidang alat studio, bidang alat kedokteran, bidang alat laboraturium, bidang buku/perpustakaan, bidang barang bercorak kesenian, kebudayaan, bidang hewan/ternak dan tumbuh-tumbuhan, serta bidang alat keamanan. Selanjutnya disebutkan juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan BMD tersebut bahwa yang dimaksud dengan barang inventaris adalah seluruh barang yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah daerah yang

38 penggunaannya lebih dari satu tahun dan dicatat serta didaftarkan dalam buku inventaris. Pengertian bahwa BMD meliputi juga barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sahmeliputi: 1. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; 2. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; 3. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan Undang-Undang; atau 4. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. BMD yang dipisahkan adalah barang daerah yang pengelolaannya berada pada Perusahaan Daerah (PERUSDA) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang anggarannya dibebankan pada anggaran PERUSDA atau BUMD dimaksud. Perolehan BMD melalui APBD dialokasikan ke dalam belanja daerah. Menurut Undang Undang nomor 17 tahun 2003, belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Secara lebih rinci, yaitu di dalam Permendagri 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah 2 (dua) kali yang terakhir dengan Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah dikelompokkan dalam urusan pemerintah daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja.

39 Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah berwenang dan bertanggungjawab atas pembinaan dan pelaksanaan pengelolaan Barang Milik Daerah. Dalam melaksanakan pengelolaan Barang Milik Daerah tersebut, Kepala Daerah dibantu oleh: 1. Sekretaris Daerah selaku pengelola; 2. Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Umum/Unit pengelola Barang Milik Daerah selaku pembantu pengelola; 3. Kepala SKPD selaku pengguna; 4. Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah selaku kuasa pengguna; 5. Penyimpan barang milik daerah; dan 6. Pengurus barang milik daerah. 5. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.definisi tersebut dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentangperimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengelolakeuangannya memiliki maksud agar pemerintah daerah mampu mengoptimalkan potensi yang ada di daerahnya. Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya sendiri merupakan bentuk penerapan kebijakan

40 desentralisasi fiskal. Kebijakandesentralisasi fiskal bertujuan meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.melalui desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diharapkan mampu mengelola aspek-aspek kegiatan di lingkungan pemerintah daerah. Kebijakan desentralisasi memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang ada di daerah, sehingga setiap potensi yang ada di daerah dapat dieksplorasi secara optimal. Kebijakan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan yaitu menggali sumber-sumber pendapatan daerah merupakan upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD tersebut merupakan sumber danauntuk melaksanakan kegiatan operasional pemerintahan daerah dan diharapkan menjadi sumber dana yang utama dalam pembangunan daerah. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkecil ketergantungan pemerintah daerah ke pemerintah pusat di bidang pendanaan pembangunan daerah. Jenis-jenis PAD berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan yang sudah diubah 2 (kali) yang terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu:1) Pajak Daerah; 2) Retribusi

41 Daerah; 3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; dan 4) Lain-lain PAD yang Sah. Pajak Daerah terdiri dari: 1) Pajak Hotel; 2) Pajak Restoran; 3) Pajak Hiburan; 4) Pajak Reklame; 5) Pajak Penerangan Jalan; 6) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; 7) Pajak Parkir; 8) Pajak Air Bawah Tanah; 9) Pajak Sarang Burung Walet; dan 10) Pajak Lingkungan. Retribusi Daerah terdiri dari: 1) Retribusi Jasa Umum; 2) Retribusi Jasa Usaha; dan 3) Retribusi Perijinan Tertentu. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan terdiri dari: 1) Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMD; 2) Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMN; dan 3) Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMS. Sedangkan Lain-lain PAD yang Sah terdiri dari: 1) Hasil Penjualan Aset Daerah yang Tidak Dipisahkan; 2) Penerimaan Jasa Giro; 3) Pendapatan Bunga Deposito; 4) Tuntutan Ganti Kerugian Daerah; 5) Komisi, Potongan dan Selisih Nilai Tukar Rupiah; 6) Pendapatan Denda atas Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan; 7) Pendapatan Denda Pajak; 8) Pendapatan Denda Retribusi; 9) Pendapatan Hasil Eksekusi atas Jaminan; 10) Pendapatan dari Pengembalian; 11) Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum; dan 12) Pendapatan dari Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan.

42 PAD yang terkait dengan pemanfaatan BMD yaitu Jenis Retribusi Daerah Obyek Retribusi Jasa Usaha Rincian Obyek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Jumlah nominal Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah yang berhasil diraih pemerintah daerah menggambarkan jumlah pendapatan daerah yang berhasil diperoleh melalui pemanfaatan BMD. Proporsi atau Rasio Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah terhadap PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pemanfaatan BMD untuk mendukung perolehan PAD. B. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai referensi dalam penyusunan skripsi ini yaitu: No Peneliti, Tahun Judul Hasil Studi 1. Agung Krisindarto 2012 2. Betta Sari Novalita Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang Peranan Pajak Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bogor 1. Pemerintah Kota Semarang dalam pelaksanaan dalam siklus pengelolaan aset belum dilaksanakan secara optimal. 2. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki dan menjalankan strategi terkait optimalisasi aset. 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan baik bila didukung dengan sumbersumber pembiayaan yang memadai. 2. Potensi ekonomi daerah menentukan dalam upayameningkatkankemampuan keuangan daerah bagi

43 penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3. Pemerintah daerah harus memotivasi masyarakat dalam membayar pajak dan memberikan fasilitas yang memadai sebagai kontraprestasi terhadap ketaatan pembayaran pajak. 3. Keriahen Tarigan 2007 Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Sektor-Sektor Berpotensi yang dapat Dikembangkan di Pemerintah Kota Medan 1. Pelaksanaan perimbangan keuangan era otonomi daerah di Pemerintah Kota Medan telah sesuai peraturan perundang-undangan. 2. Variabel independen berpengaruh signifikan secara statistik pada pengujian α = 5% terhadap Pendapatan Asli Daerah 3. Sektor berpotensi : a. Pajak daerah, Pajak penerangan jalan b. Retribusi daerah : - Retribusi Rumah Sakit Umum - Retribusi pemakaian kekayaan daerah - Retribusi parkir - Retribusi sampah 4. Md. Krisna Arta Anggar Kusuma dan Ni Gst. Putu Wirawati 2013 Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Peningkatan PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali 1. Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan PA 2. Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan PAD 3. Kontribusi pajak daerah terhadap PAD lebih dominan daripada kontribusi retribusi daerah

44 5. Mohammad Riduansyah 2003 Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah DAERAH (PAD) dan APBD Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Stufi Kasus Pemerintah Kota Bogor) 1. Total kontribusi komponen pajak daerah terhadap penerimaan APBD dalam kurun waktu tahun anggaran 1993/1994--2000 berkisar antara 7,07% -- 8,79%, dengan rata-rata kontribusi per tahunnya sebesar 7,81% dengan pertumbuhan per tahun 22,89%. 2. Pajak hotel dan pajak restoran memberikan kontribusi pajak terbesar terhadap total penerimaan APBD. Pajak hotel dan restoran memberikan rata-rata kontribusi sebesar 3,06% per tahunnya dan tumbuh rata-rata sebesar 32,64% per tahun. Sedangkan pajak hiburan, pada kurun waktu yang sama memberikan rata-rata kontribusi sebesar 1,96% per tahun dan tumbuh rata-rata sebesar 8,58% per tahunnya. 3. Kontribusi komponen retribusi daerah terhadap total penerimaanapbd berkisar antara 8,36%-- 23,05%, dengan rata-rata kontribusi per tahunnyasebesar 15,61 % dengan pertumbuhan per tahun 5,08%. 4. Retribusi pasar dan retribusi terminal memberikan kontribusi retribusi terbesar terhadap total penerimaan APBD. Retribusi pasar memberikan ratarata kontribusi sebesar 3,25% per tahunnya dan tumbuh rata-rata

45 6. Olivia Vanda N.E, Ngadiman, Nurhasan Hamidi 2014 Intensifikasi Pemungutan Pajak Parkir sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kota Surakarta sebesar 1,44% per tahun. Sedangkan retribusi terminalmemberikan rata-rata kontribusi sebesar 2,93% per tahun dan tumbuh rata-rata sebesar 5,02% per tahunnya. Implementasi intensifikasi pemungutan pajak parkir di Kota Surakarta dilakukan melalui kegiatan pendataan wajib pajak baru, pemeriksaan wajib pajak dan pemungutan pajak parkir 7. Nyemas Hasfi, Martoyo, dan Dwi Haryono 2013 8. Regina Niken W 2013 Pengelolaan Barang Milik Daerah (Suatu Studi pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sintang) Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah 1. Pengelolaan BMD di DPPKA Kabupaten Sintang belum sepenuhnya terlaksana dengan baik sesuai PP Nomor 6 Th 2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Th 2007. 2. Terdapat kendala organisasi terkait proses pengelolaan BMD di DPPKA Kabupaten Sintang. 3. Terdapat kendala jumlah SDM yang terbatas dan belum mencukupi sesuai kebutuhan pekerjaan, juga latar belakang pendidikan yang beragam. 1. Aset merupakan sumber daya yang penting bagi pemerintah daerah. 2. Dalam mengelola aset daerah, pemerintah daerah harus

46 9. Ryan Ardhi 2011 Analisis Pengelolaan Aset Tanah dan Bangunan Terhadap Peningkatan PAD Kabupaten Madiun Tahun Anggaran 2001-2010 memperhatikan tahapan-tahapan dalam pengelolaan aset daerah. 3. SKPD terkait memegang peran penting dalam pengelolaan aset Kabupaten Jember. 1. Retribusi pemakaian kekayaan daerah memiliki korelasi yang signifikan dengan PAD 2. Kontribusi retribusi pemakaian kekayaan daerah terhadap PAD tergolong rendah. C. Kerangka Pemikiran Barang Milik Daerah (BMD) harus dikelola dengan baik dan benar. Pengelolaan BMD dengan baik dan benar berarti bahwa dalam pengelolaannya mentaati asas-asas pengelolaan BMD yaitu asas fungsional, asas kepastian hukum, asas transparansi, asas keterbukaan, asas efisiensi, asas akuntabiltas, dan asas kepastian nilai. Agar taat asas maka pengelolaan BMD harus selaras dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat sejumlah tahapan dalam pengelolaan BMD.Tahapan yang sangat penting adalah tahapan pemanfaatan BMD karena berpengaruh terhadap perolehan PAD yaitu retribusi pemakaian kekayaan daerah.pemanfaatan BMD secara optimal dapat meningkatkan perolehan retribusi pemakaian kekayaan daerah yang berarti pula terjadi peningkatan PAD. PAD yang jumlahnya relatif besar akan berdampak positif terhadap kemandirian keuangan pemerintah daerah.

47 Uraian di muka agar lebih deskriptif disusun dalam bentuk alur kerangka pemikiran seperti berikut: PEMANFAATAN BMD RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH deskriptif kualitatif PAD analisis kuantitatif Sewa Pinjam Pakai Kerja sama Pemanfaatan Bangun Serah Guna atau Bangun Guna Serah Gambar 2.1 Alur Kerangka Pemikiran D. Hipotesis Penelitian Salah satu analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis uji pengaruh. Dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh Pemanfaatan Barang Milik Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah. Adapun hipotesis yang diajukan yaitu: H 0 : H A : diduga Pemanfaatan Barang Milik Daerah tidak berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah diduga Pemanfaatan Barang Milik Daerah berpengaruh terhadap PAD