BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

1 Universitas Indonesia

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. gizi tertentu. Sedangkan Supariasa (2002), satus gizi adalah ekspresi dari

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DAN POLA ASUH DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA BONGKUDAI KECAMATAN MODAYAG BARAT Rolavensi Djola*

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Gizi. Disusun oleh : AGUSTINA ITRIANI J

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KARAKTERISTIK KELUARGA BALITA DENGAN STATUS GIZI KURANG DAN BURUK DI KELURAHAN LANDASAN ULIN TENGAH KECAMATAN LIANG ANGGANG KOTA BANJARBARU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

frekuensi kontak dengan media massa (Suhardjo, 2003).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu mengalami proses perkembangan semasa hidupnya, mulai

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Pengertian Kurang Energi Protein (KEP) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KADARZI DENGAN ASUPAN ENERGI DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA JAGAN KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dengan Status GIzi Pada Balita di Desa Papringan 7

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa awal

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat baik dari segi sosial,

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI DESA KANIGORO, SAPTOSARI, GUNUNG KIDUL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang. pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan kegiatan yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hampir sama dengan anak kebanyakan. Namun takdir berkata lain anak yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Periode penting dalam tumbuh kembang anak

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi

BAB 1 PENDAHULUAN. menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,

GAMBARAN TINGKAT KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI DESA LAMBARO SKEP KECAMATAN KUTA ALAM KOTA BANDA ACEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Kelompok

GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI DAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN CV. SINAR MATAHARI SEJAHTERA DI KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia antara satu sampai lima tahun. Masa periode di usia ini, balita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sarapan Pagi

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa baduta (bawah dua tahun) merupakan Window of opportunity. Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Keluarga 2.1.1 Pendidikan Orang Tua Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang pendidikannya tinggi. Karena sekalipun pendidikannya rendah jika orang tersebut rajin mendengarkan penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Hanya saja tetap harus dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Apriadji,1989). Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa, 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo,1996). Tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan menjamin diberikan stimulus yang mendukung bagi perkembangan anak-anaknya dibandingkan orang tua dengan pendidikan rendah. Pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan orang tua melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto,1990 dalam Nurmiati, 2006).

Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi (Suhardjo, 1996). Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya (Suhardjo,1996). Tingkat pendidikan banyak menentukan sikap dan tindak-tanduknya dalam menghadapi berbagai masalah, misalnya memberikan vaksinasi untuk anaknya, memberi oralit waktu mencret, kesediaan menjadi peserta keluarga berencana, termasuk pengaturan makanan bagi anak balita untuk mencegah timbulnya masalah kesehatan (Depkes RI, 2000). 2.1.2. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah keluarga. Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima. Semakin tinggi kedudukan secara otomatis akan semakin tinggi penghasilan yang diterima, dan semakin besar pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga (Soedioetama, 2000). Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan pada anak

yang kurang, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka (Mulyati, 1990). Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada umumnya di daerah pedesaaan anak yang orangtuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak saudaranya sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja (Soeditama, 2000). 2.1.3. Jumlah Anggota Keluarga Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi

pengeluaran rumah tangga. Harper (1988), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang. Menurut Sukarni (1989) penelitian di suatu negara Colombia menunjukan bahwa dengan kenaikan jumlah anak, jumlah makanan per orang akan menurun sehingga terjadi pertambahan kasus kurang gizi pada anak-anak di bawah lima tahun. Jika jarak kelahiran pendek, akan mempengaruhi status kesehatan dan gizi baik bagi bayi yang baru lahir ataupun pada anak sapihan, sehingga angka kematian anak kurang dari dua tahun akan meningkat. Ada pengaruh status gizi anak dan masyarakat pada jumlah keluarga. Dengan adanya perbaikan status gizi anak dan ibu akan meningkatkan tekanan penduduk sehingga dengan demikian program ditujukan pada pembatasan pertumbuhan penduduk. Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga sangat penting untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil, dan menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi, protein, dan zatzat gizi lain yang cukup setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Suhardjo, dkk. 1989).

2.1.4. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasilhasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek di sini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dll) yang dapat mempengaruhi status gizi. Adanya hubungan antara pendapatan dan status gizi telah banyak dikemukakan para ahli. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat pula mutunya. Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sejak lama telah disepakati bahwa pendapatan merupakan hal utama yang berpengaruh terhadap kualitas menu. Pernyataan itu nampak seperti logis, karena memang tidak mungkin orang makan makanan yang tidak sanggup dibelinya. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya

dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi balita. Dalam kaitannya dengan status gizi, Sayogyo, Soehardjo, dan Khumaidi (1980) menyatakan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik. Menurut Berg (1986), pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik. Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Berlaku hampir universal, peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif. 2.1.5. Pengetahuan Gizi Menyusun dan menilai hidangan merupakan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan oleh semua orang, terutama mereka yang bertanggung jawab atas pengurusan dan penyediaan makanan, baik bagi keluarga maupun bagi berbagai institusi seperti asrama, wisma, dan sebagainya yang harus menyediakan makanan bagi sejumlah atau sekelompok orang. Seorang ibu rumah tangga yang bukan ahli gizi, juga harus dapat menyusun dan menilai hidangan yang akan disajikan kepada anggota keluarganya. Susunan

hidangan yang bagaimanakah yang memenuhi syarat gizi, agar mereka yang akan mengkonsumsinya tertarik dan mendapat kesehatan baik serta dapat mempertahankan kesehatan tersebut (Sediaoetama, 2000). Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1986). Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya (Depkes, 2004). Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. Pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalahmasalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal (Berg, 1986).

2.2. Pola Makan Keluarga Tingkat konsumsi dan ragam jenis pangan yang dikonsumsi suatu rumah tangga ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pola konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin meningkat, dan semakin meningkat pula aksesibilitas terhadap pangan yang berkualitas lebih baik. Faktor lain yang sangat penting adalah ketersediaan dan distribusi yang baik dari berbagai jenis bahan pangan, dan pengetahuan yang baik tentang masalah gizi dan kesehatan. Faktor lain yang juga berperan dalam pembentukan pola konsumsi adalah kebiasaan (sosio budaya) dan selera. Semua faktor tersebut sangat menentukan kualitas pangan yang dikonsumsi rumah tangga, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas gizi dan kesehatan anggota rumah tangga tersebut (Simatupang dan Ariani, 1997). 2.3. Pencatatan Makanan Rumah Tangga (Household Food Record) Pengukuran dengan metode household food record ini dilakukan sedikitnya dalam periode satu minggu oleh responden sendiri. Dilaksanakan dengan menimbang atau mengukur dengan URT seluruh makanan yang ada di rumah, termasuk cara pengolahannya. Biasanya tidak memperhitungkan sisa makanan yang terbuang dan dimakan oleh binatang piaraan. Metode ini dianjurkan untuk tempat/daerah, dimana tidak banyak variasi penggunaan bahan makanan dalam keluarga dan masyarakatnya sudah bisa membaca dan menulis (Supariasa, 2002).

2.4. Status Gizi 2.4.1. Pengertian Status Gizi Menurut Soekirman (2000), status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. Sedangkan Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa status gizi adalah konsumsi gizi makanan pada seseorang yang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan. Menurut Supariasa (2002), satus gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. 2.4.2. Macam Status Gizi Anak Balita 2.4.2.1. Status Gizi Lebih Penyakit ini bersangkutan dengan energi di dalam hidangan yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan atau penggunaannya. Orang yang kelebihan berat badan biasanya dikarenakan kelebihan jaringan lemak yang tidak aktif tersebut. Kategori berat badan lebih (gizi lebih) menurut baku rujukan WHO-NCHS yaitu >+2 SD. Tetapi masih banyak pendapat dimasyarakat yang mengira bahwa anak yang gemuk adalah sehat, sehingga banyak ibu yang merasa bangga kalau anaknya gemuk, dan disatu pihak ada ibu yang kecewa kalau melihat anaknya tidak segemuk anak tetangganya. Sebenarnya kekecewan tersebut tidak beralasan, asalkan grafik pertumbuhan anak pada KMS sudah menunjukkan kenaikan yang kontinu setiap bulan sesuai lengkungan grafik pada KMS dan berada pada pita warna hijau, maka anak tersebut

pasti sehat. Lebih-lebih kalau anak tersebut menunjukkan perkembangan mental yang normal. Untuk diagnosis obesitas harus ditemukan gejala klinis obesitas dan disokong dengan pemeriksaan antropometri yang jauh diatas normal. Pemeriksaan ini yang sering digunakan adalah BB terhadap tinggi badan, BB terhadap umur dan tebalnya lipatan kulit (Supariasa, 2002). 2.4.2.2. Status Gizi Baik Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai dengan adanya penggunaan untuk aktivitas tubuh. Hal ini diwujudkan dengan adanya keselarasan antara, tinggi badan terhadap umur, berat badan terhadap umur dan tinggi badan terhadap berat badan. Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa tingkat kesehatan gizi yang baik ialah kesehatan gizi optimum. Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat gizi tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan setinggi-tingginya. Anak yang status gizi baik dapat tumbuh dan kembang secara normal dengan bertambahnya usia. Tumbuh atau pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam hal besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam stuktur dan fungsi tubuh yang komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan (Soetjiningsih, 1998). 2.4.2.3. Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk Status gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa macam zat gizi yang diperlukan. Hal yang menyebabkan status gizi kurang karena

kekurangan zat gizi yang dikonsumsi atau mungkin mutunya rendah. Gizi kurang pada dasarnya adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Kurang gizi banyak menimpa anak khususnya anak balita yang berusia di bawah lima tahun karena merupakan golongan yang rentan serta pada fase ini kebutuhan tubuh akan zat gizi meningkat karena selain untuk tumbuh juga untuk perkembangan sehingga apabila anak kurang gizi dapat menimbulkan berbagai penyakit (Supariasa, 2002). 2.4.3. Penilaian Status Gizi dengan Metode Antropometri Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita mengunakan metode antropometri sebagai cara untuk menilai status gizi (Supariasa, 2000). Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka dalam penelitian ini peneliti mengunakan penilaian status gizi dengan cara pemeriksaaan fisik yang disebut antropometri. Adapun keunggulan antropometri adalah alatnya mudah didapat dan mudah digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan obyektif, pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus professional, juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu, biayanya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, dan diakui kebenarannya. Sedangkan kelemahan antropometri adalah tidak sensitif untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat, faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitifitas pengukuran antropometri. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran (Supariasa, 2000).

2.4.4. Standar Antropometri WHO 2005 Masalah gizi di Indonesia masih cukup banyak. Salah satu cara mengidentifikasi seseorang menderita gizi kurang, gizi baik, gizi lebih, atau obesitas adalah melalui pengukuran antropometri, dan ahli gizi memiliki keahlian untuk melakukan pengukuran tersebut dan sekaligus merupakan kompetensi yang harus dimiliki. Dalam pelaksanan pengukuran antropometri, ahli gizi membutuhkan acuan pertumbuhan optimal anak. Beberapa pertemuan dilakukan untuk membahas standar baru antropometri yang dikeluarkan oleh WHO 2005 sebagai suatu bentuk sumbangsih PERSAGI terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi di dunia. Pada tahun 2006, Standar Antropometri WHO tersebut diperkenalkan di tingkat SEARO (South - East Asia Regional Office) dan Indonesia salah satu yang ikut serta di dalamnya. Di Indonesia, pertemuan pakar dari berbagai universitas dan profesi dilakukan oleh PERSAGI dan Direktorat Gizi (Ditzi). Diharapkan penggunaan Standar Antropometri WHO 2005 sudah dapat terealisir di tahun 2009. Antropometri WHO 2005 adalah didasarkan pada studi di 6 negara di dunia yaitu Brasil, Ghana, Norwey, Oman, USA, dan India. Melibatkan lebih dari 12.000 bayi sehat dan anak-anak dengan melakukan study longitudinal untuk anak usia 0-24 bulan dan cross-sectional pada anak-anak usia 18-71 bulan. Kriteria pemilihan bayi yang dimasukkan dalam studi ini adalah tidak adanya sakit dan hambatan sosial ekonomi yang dapat menghambat pertumbuhan anak, dan ibunya saat hamil tidak merokok dan menyusui bayinya saat lahir secara eksklusif sampai usia minimal 4 bulan. Penilaian pertumbuhan tidak saja didasarkan pada perkembangan ukuran tubuh tetapi juga pada perkembangan motorik anak dalam

perkembangannya sejak lahir. Standar antropometri WHO 2005 didesain untuk seluruh anak di dunia yang berusia 0-5 tahun yang studinya saat ini masih berlanjut untuk usia yang lebih tua agar tumbuh dan berkembang secara optimal (Persagi, 2009). 2.5. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan landasan teori, maka kerangka konsep yang berkaitan antara variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut. Karakteristik Keluarga : Umur orang tua Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Jumlah anggota keluarga Pendapatan keluarga Pengetahuan Gizi Ibu Pola Makan Keluarga : Jumlah konsumsi energi Jumlah konsumsi protein Pola makan anak balita Status gizi anak balita : Yang akan diteliti : Tidak diteliti Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat dilihat bahwa status gizi anak balita berkaitan dengan pola makan anak balita yang dapat digambarkan dari pola makan keluarga yang meliputi jumlah konsumsi energi dan protein keluarga. Pola makan keluarga berkaitan dengan karakteritik keluarga yang meliputi umur orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga dan pendidikan gizi ibu.