TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

HUTAN: FUNGSI DAN PERANANNYA BAGI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

TINJAUAN PUSTAKA. hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling terkait satu sama lain, yakni fungsi

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebanyak desa (Renstra Kemenhut ), yang terdistribusi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Desa Kepuharjo salah satu desa yang berada di Kecamatan Cangkringan

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Menurut Undang-undang Kehutanan No. 41

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

AN TERNAK D m. Oleh : Diana Rurp *)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Hutan Gaharu (Aquilaria malaccensis) pohon Aquilaria yang sangat berharga terutama karena wangi, dapat digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Apa itu Agroforestri?

I. PENDAHULUAN. Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Oleh : Sri Wilarso Budi R

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang, 2002). John A.Helms (1998) memberi pengertian hutan suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, dan proses-proses yang terkait, dan umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan, dan satwa liar. Definisi tersebut dan beberapa defenisi lain menekankan komponen pohon yang dominan terhadap komponen lainnya dari ekosistem itu, dan mensyaratkan adanya (akibat dari pohon-pohon itu) kondisi iklim (iklim mikro) dan ekologis yang berbeda dengan kondisi luarnya (UU No 41, 1999). Penekanan hutan sebagai suatu ekosistem mengandung maksud bahwa di dalam hutan terjadi hubungan saling tergantung satu komponen dengan komponen lainnya yang terjalin sebagai suatu sistem. Satu komponen dari sistem itu rusak (atau tidak berfungsi) menyebabkan komponen lain terganggu, dan akibatnya sistem itu tidak dapat berjalan normal. Hutan itu 7

8 sendiri sebagai bagian atau komponen dari ekosistem yang lebih besar, sehingga apabila hutan rusak akan mengganggu sistem yang lebih besar itu (Suharjito, 2000). Hutan Bagian Sumber Daya Alam Secara umum klasifikasi sumber daya alam (SDA) terbagi ke dalam bentuk yaitu: (1) lahan pertanian, (2) hutan dengan aneka ragam hasilnya, (3) lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah, (4) perikanan darat dan perikanan laut, (5) sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar, (6) sumber energi non mineral, misalnya panas bumi, tenaga surya, angin, sumber tenaga air, gelombang pasang, dan sebagainya. Sumber daya alam dapat dibedakan terhadap keadaan antara sumber daya yang dapat diperbarui atau dapat diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbarui atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Umumnya dikelompokkan sebagai renewable resources dan non-renewable resources. Contoh renewable resources adalah : hutan, perikanan, hasil pertanian dan lain-lain. Sedangkan contoh non-renewable resources seperti : biji mineral, bahan bakar fosil, dan sebagainya (Reksohadiprodjo, 1988). Pemerintah di dalam mengajukan Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Belanja Negara, biasanya membagi jenis-jenis sumber daya alam secara sektoral dimasukkan ke dalam rincian berikut : (a) sumber daya pertanian meliputi : tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengairan (b) sektor pertambangan meliputi : minyak bumi, gas bumi, batu bara, aspal,

9 nuklir, dan bahan galian lainnya. Sumber daya ini selanjutnya akan dijadikan masukan bagi industri dan jasa (Zain, 1995). Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional, bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan, yaitu : berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995). Pengertian dan Konsepsi Kehutanan Masyarakat di Indonesia Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry) sebenarnya relatif baru karena community forestry (CF) muncul sebagai tanggapan dari kegagalan konsep indusrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Yang menarik, penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu bernama Jack Westoby (Munggoro, 1998). Ia kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta : Forest for People. Kristalisasi

10 pikiran-pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO. Dan kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai : konsep radikal kehutanan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Hal ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola dan melindungi sumber daya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari sumber daya itu dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada masyarakat pedesaan yang miskin (Awang dkk, 2001). Beberapa tahun terakhir ini, konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan dari social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk pengusahaan kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Dan kemudian di Indonesia Perum Perhutani sebagai salah satu pelopor SF di Indonesia mendefinisikan bahwa SF adalah : Suatu sistem dimana masyarakat lokal berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan tanaman. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan meningkatkan fungsi hutan, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan kesejahteraan sosial (Awang dkk, 2001).

11 Hutan Rakyat Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengenal dan mengerti hutan rakyat. Sudut pandang yang sering digunakan adalah sudut pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (kepemilikan). Pandangan pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan kepentingan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat. Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem hutan rakyat tersebut, berbeda satu sama lain tergantung letak geografis, ada yang di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi, dan jenis penyusunnya berbeda menurut tempat tumbuh, dan sesuai dengan keadaan iklim mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain (Awang dkk, 2002). Menurut statusnya (sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan), hutan hanya dibagi ke dalam 2 kelompok besar, yaitu : (1) hutan negara, hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah ; dan (2) hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perorangan maupun bersama-sama. Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa hutan rakyat terbentuk dari kegiatan swadaya masyarakat dengan maksud untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan memperhatikan unsur-unsur keberlanjutan dan perlindungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga dan sosial. Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan (UU No.41/1999) adalah

12 hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dari sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan progam penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980 ; Jaffar, 1993). Sebagian besar penulis artikel dan peneliti tentang hutan rakyat sepakat bahwa secara fisik hutan rakyat itu tumbuh dan berkembang di atas lahan milik pribadi, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam. Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia sebagai inisiatif masyarakat adalah antara lain : hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan rakyat suren di Bukit Tinggi (disebut Parak), dan hutan adat campuran (Awang, 2001).

13 Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) tahun 1967 dengan terminologi hutan milik. Di Jawa, hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan Karang Kitri. Secara nasional, pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada di bawah payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Di dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain sebagainya. Sedang yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa buah antara lain kemiri (Aleuritas molucana), durian, kelapa dan bambu (Suharjito dan Darusman, 1998). Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di atas lahan milik. Pengertian semacam itu kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata rakyat kiranya lebih ditujukan kepada pengelola yaitu rakyat kebanyakan, bukan pada status pemilikan tanahnya. Dengan menekankan pada kata rakyat membuka peluang bagi rakyat sekitar hutan untuk mengelola hutan di lahan negara. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dibakukan, maka diperlukan penegasan

14 kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (menengah dan besar) menguasai tanah milik untuk mengusahakan hutan (Suharjito dan Darusman, 1998). Hardjosoediro (1980) menyebutkan hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, hutan yang dimiliki oleh rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat terjadi adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis. Jadi hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik rakyat, dengan jenis tanaman kayu-kayuan, yang pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha, dengan berpedoman kepada ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah. Menurut Jaffar (1993), sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria : 1. areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari 30%; 2. areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman pangan semusim; 3. areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan; 4. lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim.

15 Sedangkan tujuan pembangunan hutan rakyat adalah (Jaffar, 1993) : 1. meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; 2. membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; 3. membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku industri serta kayu bakar; 4. meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya; 5. memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS. Pekarangan Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah dengan batas-batas jelas, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman keras, semusim, dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan (Awang dkk, 2001). Fungsi ekonomi dari pekarangan adalah : (1) menghasilkan bahan makanan tambahan; (2) dapat menghasilkan setiap hari, (3) menghasilkan bahan bangunan; (4) menghasilkan bumbu-bumbu, rempah-rempah dan bunga-bungaan; (5) menghasilkan kayu bakar; dan (6) menghasilkan pakan ternak. Lahan pekarangan mempunyai potensi yang tidak kecil dalam mencukupi kebutuhan hidup petani atau pemiliknya, bahkan kalau dikembangkan lebih intensif akan dapat bermanfaat lebih jauh lagi (Danoesastro, 1977).

16 Dalam banyak teori, pengelompokan jenis-jenis tanaman di suatu hamparan lahan ditentukan oleh kemampuan jenis tersebut untuk berasosiasi dengan jenis lainnya. Perubahan komposisi jenis dalam satu hamparan lahan tergantung dari kompetisi di antara jenis-jenis yang ada dan perbedaan kemampuan jenis-jenis tersebut untuk berkembang menjadi pohon yang masak pada keadaan tertentu. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi, jika terdiri dari banyak jenis dan masing-masing jenis mempunyai jumlah individu yang besar. Sebaliknya jika suatu komunitas mempunyai banyak jenis dengan jumlah individu sedikit atau mengelompok pada jenis tertentu, maka dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan suatu komunitas yang komplek, karena keanekaragaman yang lebih besar akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi terjadinya variasi interaksi antar jenis. Interaksi populasi tersebut yang berupa transfer energi dan saling berkompetisi, secara teoritis akan lebih komplek dan beragam di dalam suatu masyarakat yang mempunyai keanekaragaman tinggi (Brower dan Zar, 1977). Keanekaragaman jenis ini memberikan banyak keuntungan biologis, terutama dilihat dari stabilitas ekologis dan ekonomis. Keanekaragaman jenis di pekarangan dapat meningkatkan pendapatan keluarga dengan peningkatan tanaman buah-buahan (durian, mangga, rambutan), tanaman kayu bakar (turi, lamtoro) dan sebagainya. Semakin tinggi keanekaragaman jenis suatu ekosistem (alami dan buatan) akan semakin mantap pula ekosistem tersebut. Kondisi ekosistem dengan keanekaragamannya yang semakin tinggi akan semakin tahan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar (Fandeli, 1985).

17 Hutan Kemasyarakatan Istilah hutan kemasyarakatan mulai diperbincangkan dalam seminar PERSAKI pada tahun 1985 dan pola pengembangannya dijabarkan oleh Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan tahun 1986. Hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita Kelima (1989/1990 s/d 1993/1994). Dalam dokumen Repelita Kelima disebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu diusahakan agar kawasan hutan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya dalam jumlah yang lebih banyak dan mutu yang lebih baik melalui hutan kemasyarakatan atau hutan sosial yang dikembangkan di sekitar desa-desa dan dikelola oleh organisasi sosial masyarakat secara mandiri (Awang dkk, 2001). Pengembangan hutan rakyat, hutan serbaguna dan hutan kemasyarakatan dikaitkan dengan program penyelamatan hutan, tanah dan air. Hal itu berkaitan dengan adanya masalah-masalah banjir, kekeringan, tanah longsor, tanah kritis, kebutuhan kayu bakar dan bencana kelaparan. Dengan demikian kegiatan pengembangan hutan rakyat, hutan serbaguna dan hutan kemasyarakatan berada di bawah payung program reboisasi, penghijauan, pengendalian perladangan dan konservasi tanah (Awang dkk, 2001). Perhutanan Sosial Istilah perhutanan sosial pertama kali digunakan dalam penyelenggaraan program oleh Perum Pehutani di Jawa pada tahun 1986 dan proyek percontohan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, yaitu di Belangian, Kalaan dan Selaru Kalimantan Selatan; Enggelam dan Karya Baru Kalimantan Timur,

18 Dormena, Ormu, dan Parieri Irian Jaya. Semua kegiatan tersebut memperoleh dukungan dari The Ford Foundation. Pengembangannya oleh Perum Perhutani di Jawa merupakan penyempurnaan program-program prosperity approach, yaitu intensifikasi tumpangsari dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Pada awal perkembangannya oleh Perhutani kegiatan Perhutanan Sosial meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestry dan diluar kawasan hutan yaitu kegiatan pengembangan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan berbagai usaha produktif seperti perdagangan, industri rumah tangga dan peternakan. Pengembangan agroforestry merupakan pengembangan pola-pola tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat bisa memperoleh manfaat lebih besar. Upaya yang dilakukan antara lain dengan melebarkan jarak tanam dan mengembangkan tanaman buah-buahan tahunan seperti srikaya, mangga, jambu, apokat, di samping tanaman pangan yang sudah biasa ditanam dalam program tumpangsari (Awang dkk, 2001). Kelompok Tani Hutan dibangun untuk meningkatkan komunikasi timbal balik antara petani dan Perhutani sehingga dicapai persamaan persepsi dan hubungan yang lebih harmonis. Sementara itu pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan merupakan kelanjutan dari program PMDH. Implementasi program ini antara lain dalam bentuk pembinaan USKOP (Usaha Kecil dan Koperasi). Sampai dengan tahun 1996, luas agroforestry program perhutanan sosial mencapai 54.019 ha dengan jumlah petani peserta 160.336 orang yang tergabung ke dalam 8.576 Kelompok Tani Hutan (KTH) (Awang dkk, 2001).

19 Pengertian, Konsepsi dan Penyebaran Hutan Rakyat Istilah Hutan Rakyat merupakan fenomena yang relatif baru untuk Indonesia. Oleh karena itu dalam UUPK No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, perihal istilah hutan rakyat juga belum dimasukkan secara proporsional. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang digunakan adalah hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan (Simon, 1998). Sementara itu Departemen Kehutanan mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah : Suatu lapangan di luar hutan Negara yang didominasi oleh pohonpohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya (Dephut, 1998). Definisi ini sesungguhnya hanyalah untuk membedakan hutan yang tumbuh di lahan negara dan lahan milik rakyat. Sedangkan menurut Kamus Kehutanan (1990), hutan rakyat adalah : Lahan milik rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman. Pola Hutan Rakyat Secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang sangat beragam. Namun demikian sebagian besar hutan rakyat yang ada di lapangan pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yakni campuran antara tanaman pangan dan tanaman kayu-kayuan. Menurut Munawar (1986), hutan rakyat dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam berdasarkan pola tanam, yaitu : a. penanaman di sepanjang batas milik

20 b. penanaman pohon di teras bangku c. penanaman pohon di seluruh lahan milik Pola-pola tersebut secara arif dikembangkan masyarakat sesuai dengan tingkat kesuburan lahan dan ketersediaan tenaga kerja. Tujuan pengembangan pola seperti yang telah disebutkan di atas adalah dalam rangka meningkatkan produksi lahan secara optimal, baik ditinjau dari nilai ekonomi maupun ekologi. Sementara itu berdasarkan Rencana Pengembangan Hutan Rakyat yang disusun oleh Kanwil Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, pola-pola hutan rakyat meliputi kayu-kayuan, buah-buahan, HMT (Hijauan Makanan Ternak) dan campuran, kebun, pangan dan hortikultura serta tegalan (Munawar, 1986).