BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi ini dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. dengan sedikit bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Belanja modal adalah komponen belanja langsung dalam anggaran pemerintah yang menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam pemanfaatan aset tetap yang dihasilkan tersebut, ada yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik atau dipakai oleh masyarakat (seperti jalan, jembatan, trotoar, gedung olah raga, stadion, jogging track, halte, dan rambu lalu lintas) dan ada yang tidak langsung dimanfaatkan oleh publik (seperti gedung kantor pemerintahan). Dalam perspektif kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) atau inspektorat daerah. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa belanja modal adalah belanja publik, atau sebaliknya, belanja publik adalah belanja modal. Pengaktegorian ke dalam belanja publik dan belanja aparatur mengandung bias dari aspek penggunaan makna fungsi belanja (outcome). Pada prinsipnya alokasi belanja modal dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau

masyarakat di daerah bersangkutan. Dalam perspektif penganggaran partisipatif, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan penting dalam memilih aset tetap yang akan diperoleh dari pelaksanaan anggaran belanja modal. Penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan publik merupakan keniscayaan, bukan suatu pilihan. Pada kenyataannya, praktik penganggaran belanja modal di pemerintah daerah cenderung bersinggungan dengan korupsi atau pencarian rente (rent-seeking) oleh para pembuat keputusan anggaran (budget actors). Setiap tahapan dalam penganggaran memang memiliki ruang untuk korupsi (Isaksen, 2005), namun korupsi dalam pengadaan aset tetap atau barang modal, terutama yang memiliki spesifikasi khusus, termasuk yang paling sering terjadi (Tanzi, 2001). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penganggaran belanja modal adalah belanja ikutan setelah aset tetap diperoleh, yakni belanja operasional dan pemeliharaannya aset tetap bersangkutan. Untuk itu, perlu dilakukan penghitungan yang cermat agar nantinya tidak membebani anggaran berupa pengurangan atas alokasi anggaran untuk bidang/sektor lain (trade-off). Dalam ilmu ekonomi, trade-off yang besar akan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal. Dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah, UU tersebut memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan dan kemampuan daerah. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas & Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai pedoman dalam pengalokasian sumber daya dalam APBD. Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur dan peralatan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang produktif seperti untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Darwanto dan Yustikasari (2006) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program program

pelayanan publik. Kedua pendapat ini menyirat pentingnya mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik. Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan memepengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Pembangunan ekonomi ini ditandai dengan meningkatnya produktivitas dan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk sehingga terjadi perbaikan kesejahteraan. Kenyataan yang terjadi dalam pemerintah daerah saat ini adalah dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal hal ini dapat dilihat dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan dibandingkan dengan total anggaran belanja daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

Peningkatan PAD diharapkan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya, dimana persentasi belanja lainnya lebih besar daripada belanja modal itu sendiri. Jadi hal seperti inilah yang menyebabkan kualitas pelayanan publik tidak naik, melainkan bisa semakin menurun. Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai kegiatannya, maka dari itu menimbulkan ketimpangan fiscal antara satu daerah dengan lainnya. Untuk mengatasi hal ini pemerintah mengalokasikan dana dengan APBN sebagai sumbernya ini untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan dari pemerintah salah satunya adalan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahaan (UU 32/2004). Makan dengan adanya transfer dana pusat ini diharapkan pemerintah daerah bias mengalokasikan PAD yang didapatnyauntuk membiayai belanja modal didaerahnya. Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004). DAK ini penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk semua kegitan yang termasuk komponen belanja

modal dan Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan dana pendamoing sebesar 10% dari nilai DAK yang diterima untuk mendanai kegiatan fisik. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk memilih Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai variabel independen penelitian karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Selain itu, peneliti juga memilih Inflasi sebagai variabel moderating yang akan memperkuat atau memperlemah pengaruh variabel indepen terhadap variabel dependen. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Pentingnya belanja modal untuk meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal? 2. Apakah Inflasi sebagai variabel moderating mampu memoderasi hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal?

1.3 TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan perumusan masalahnya, peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. 2. Inflasi dalam memoderasi hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. 1.3.2 MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Pemerintah Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pentingnya mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki daerah untuk peningkatan kualitas pelayanan publik demi kemajuan daerah. 2. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan asli daerah, Dana alokasi umum,

Dana alokasi khusus dan Inflasi sebagai variabel yang memoderasi terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2013. 3. Bagi Peneliti lainnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi akademisi dalam melakukan dan mengembangkan penelitian sejenis.