BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS YANG MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA. Rif ah Raihanah

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

PENGAMBILAN FOTO COPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3). Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hlm Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta Timur, 2013, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan

BAB I PENDAHULUAN. Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Bagian Kedua Penyidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB I PENDAHULUAN. jaminan akan kepastian hukum terhadap perbuatan dan tindakan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

BAB I PENDAHULUAN. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) saat ini, membuat masyarakat tidak

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB III KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA. Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya Rechts geleerd

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017. KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Fernando Kobis 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA YANG TELAH DI LEGALISASI DI KABUPATEN MAGETAN

BAB VII PERADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan strategi pembangunan hukum nasional. Profesionalitas dan

BAB II KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS PUSAT

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TANGGUNGJAWAB NOTARIS TERHADAP KEBENARAN AKTA DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62904/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015. KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN 1 Oleh : Richard Cisanto Palit 2

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh : Neriana. Pembimbing I : Dr. Maryati Bachtiar, SH.,M.Kn. Pembimbing II : Dasrol, SH.,M.H

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS DALAM PELANGGARAN PENGGANDAAN AKTA 1 Oleh: Reinaldo Michael Halim 2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia peraturan mengenai notaris dicantumkan dalam Reglement op het

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

B A B V P E N U T U P

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

Transkripsi:

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA A. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis Yang Sempurna Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka. Menurut sejarah, Lembaga Notariat tersebut sudah dikenal sejak abad ke-11 atau ke-12 di Italia Utara. 54 Saat ini di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan. Maka berdasarkan atas uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta notaris dimana yang dimaksud dengan akta notaris tersebut adalah akta autentik. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang diisyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undangundang Hukum Perdata, bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas sebagaimana Pasal 1868 Kitab Undangundang Hukum Perdata atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak. Ini berarti bahwa surat tanpa ada tanda tangan seperti karcis parkir tidak termasuk akta. Keharusan 54 Chairunnisa Said Selenggang, Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008, halaman 2.

adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. 55 Yang dimaksudkan dengan penandatanganan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penandatangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang Notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Undangundang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking. Legalisasi artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tersebut ditandatangani di hadapan Notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari Notaris. Dengan demikian, Notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda tangannya, dan pihak (yang bertanda tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh Notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut. 56 Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh Notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda tangan tersebut Notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang 55 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty, 1993, halaman 121. 56 Irma Devita, Legalisasi atau Waarmerking?, <http://irmadevita.com/2008/legalisasi-danwaarmerking> (17 Januari 2008), halaman 1.

disebabkan oleh beberapa hal, misalnya : Notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya : dokumen yang ditulis dalam bahasa mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh Notaris yang bersangkutan) atau Notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertandatangan. 57 Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta autentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta autentik dapat ditemukan dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Berdasarkan Pasal 165 HIR (285 RBG) suatu akta autentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. 58 Akta autentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, akta ini meliputi akta autentik di bidang Hukum Publik dan yang membuatnya adalah pejabat publik yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut Pejabat Tata Usaha Negara, contohnya adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor. Contoh akta-akta tersebut dibuat oleh pejabat eksekutif, sedangkan ada juga akta yang dibuat oleh pejabat yudikatif seperti berita acara sidang, surat pemanggilan, akta banding atau kasasi dan lain-lain. Adapun akta autentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta hibah, dan lain-lain. Sedangkan yang 57 Ibid. 58 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., halaman 121.

dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat jadi hanya antara para pihak yang berkepentingan saja. Dalam Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut Undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta autentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk tulisan itu. Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa). Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. 59 Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR (283 RBG) ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan. 60 59 Ibid. 60 Disriani Latifah, AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS YANG MEMPUNYAI KEKUATAN PEMBUKTIAN YANG SEMPURNA <http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/01/10/akta-notaris-sebagai-alat-bukti-tertulis-yangmempunyai-kekuatan-pembuktian-yang-sempurna/> (10 Januari 2009), halaman 3.

Menurut sistem dari HIR, Hakim hanya dapat mendasarkan putusannya atas alatalat bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-undang. Menurut pasal 164 HIR (284 RBG) alat-alat bukti terdiri dari : bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh Undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. 61 Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik. Akta autentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta autentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan di dalam akta ini. Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta autentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta autentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta autentik. 62 Dalam suatu akta autentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil. Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya 61 Ibid. 62 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., halaman 108.

tampak sebagai akta autentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik sampai terbukti sebaliknya. Berarti suatu akta autentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta autentik. 63 Kekuatan pembuktian formil artinya dari akta autentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta autentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat. Dalam arti formil pula Akta Notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materil bahwa secara hukum (yuridis) suatu akta autentik memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris agar suatu Akta Notaris memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus para penghadap yang telah memenuhi syarat (minimal berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja Notaris yang bersangkutan tersebut; para penghadap tersebut harus dikenal Notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya; para penghadap mengutarakan maksudnya; Notaris mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta; Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan; segera setelah akta dibacakan para penghadap, saksi dan Notaris kemudian membubuhkan tanda tangannya, yang berarti membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat tersebut. 64 63 Ibid., halaman 109. 64 Ibid.

Kemudian berdasarkan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa terhadap akta atau surat perjanjian dan surat-surat lainnya, dalam hal ini termasuk yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea materai. Namun tidak adanya materai dalam suatu akta atau surat perjanjian tidak mengakibatkan perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian atau yang biasa disebut probationis causa yang berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah, karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan apabila suatu akta atau surat yang dari semula tidak diberi materai tapi kemudian ternyata perlu untuk dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka pemberian materai dapat dilakukan belakangan. 65 Maka suatu Akta Notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undangundang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta autentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta autentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil 65 Ibid.

dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta autentik tidak lagi disebut sebagai akta autentik melainkan hanya akta di bawah tangan. 66 Menurut Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya. Cacatnya akta Notaris dapat menimbulkan kebatalan bagi suatu akta Notaris dan ditinjau dari sanksi dan akibat hukum dari kebatalan dapat dibedakan menjadi : 1. Batal demi hukum 2. Dapat dibatalkan 3. Non existent Akibat hukum dari suatu kebatalan pada prinsipnya sama antara batal demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukumnya. Titik perbedaannya pada waktu berlakunya kebatalan tersebut, yaitu : a. Batal demi hukum Akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau berdaya surut (ex tunc), dalam praktik batal demi hukum didasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. b. Dapat dibatalkan Akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana pembatalan atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada pihak tertentu, yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat 66 Disriani Latifah, Op. Cit., halaman 4-5.

dibatalkan, tetap berlaku dan mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut. c. Non existent Akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau non existent yang disebabkan karena tidak dipenuhinya essensilia dari suatu perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur atau semua unsur dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan, namun dalam praktik tetap diperlukan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan implikasinya sama dengan batal demi hukum. 67 B. Prosedur Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Prosedur pemeriksaan/penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan Kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administratif. Adapun prosedur penyidikan meliputi : a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana); b. Prosedur khusus berdasarkan Undang-undang yang mengaturnya. 68 Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berikut : 1. Penyidik mengajukan surat kepada Majelis Pengawas Daerah dengan menyebutkan untuk keperluan apa, apakah untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; ataukah keperluan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Minuta Akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. 67 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, halaman 363-364. 68 Baharudin KS, Prosedur Pemeriksaan/Penyidikan Tindak Pidana Terhadap Pejabat Negara. <http://groups.yahoo.com/group/notaris_indonesia/message/4568> (19 Juli 2009), halaman 6.

2. Dalam permohonan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa tersangkanya. 3. Setelah mendapat persetujuan maka Penyidik dapat melakukan tindakan Kepolisian sebagaimana disebutkan angka 1 di atas. 69 Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Dari ketentuan yang tercantum ini dapat dimengerti bahwa : a. Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim hanya diperkenankan untuk : 1. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maupun 2. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanannya, sepanjang untuk kepentingan proses peradilan dan telah memperoleh persetujuan Majelis Pengawas Daerah; b. Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim tidak dibenarkan mengambil Minuta Akta dan/atau surat-surat asli yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; c. Pemanggilan Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim untuk hadir dalam pemeriksaan suatu perkara, baik perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara yang tidak berkaitan dengan akta yang dibuat atau 69 Ibid.

Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris tidak memerlukan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah; d. Dalam pengertian Notaris yang tercantum dalam Pasal 66 ini termasuk didalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus, baik masih sedang menjalankan tugas jabatannya maupun telah berhenti; e. Atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat sebagaimana terurai di atas dibuat berita acara penyerahan, hanya saja Undang-undang ini maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang berkewajiban membuat dan menandatangani berita acara tersebut. 70 Mengingat dalam Pasal 66 Undang-undang tentang Jabatan Notaris tidak dijelaskan dalam status apa saja Notaris dapat dipanggil oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, maka timbul persoalan apakah persetujuan pemanggilan Notaris yang dimaksud dalam pasal 66 ini hanya sebatas dalam kedudukan sebagai saksi, baik dalam perkara perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara ataukah termasuk juga didalamnya sebagai tersangka dalam perkara pidana maupun sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata?. 71 Dalam hubungannya dengan pertanyaan ini, Majelis Pengawas Pusat dalam suratnya tanggal 12 Agustus 2005, nomor C-MPPN.03.10-15 berpendapat/menegaskan bahwa : dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka, maka sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, Dewan Kehormatan Profesi, dan Penyidik atau Penuntut Umum, sedangkan dalam hal pengambilan fotokopi Minuta Akta maupun dalam hal pemanggilan sebagai saksi dinyatakan bahwa sebelum persetujuan pengambilan dan/atau pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan. Berkaitan dengan pendapat Majelis Pengawas Pusat sebagaimana yang terurai di atas, dapat dimengerti bahwa : 70 Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Op. Cit., halaman 238-239. 71 Ibid., halaman 239.

a. Baik dalam status sebagai saksi maupun tersangka sehubungan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapannya maupun dengan Protokol Notaris dalam penyimpanannya, pemanggilan Notaris memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah; b. Tujuan pemanggilan Notaris adalah untuk menemukan fakta hukum yang mempunyai pengaruh penting dalam proses peradilan, sehingga proses pemanggilan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar proses peradilan, sebagaimana yang dikemukakan dalam pertimbangan ketiga dari surat Majelis Pengawas Pusat di atas, maka dalam memproses pemberian persetujuan harus dihindari adanya pendapat atau setidak-tidaknya kesan bahwa Majelis Pengawas Daerah yang melakukan pemeriksaan menghambat pemberian persetujuan termaksud. Latar belakang pemikiran dari Majelis Pengawas Pusat yang berpendirian bahwa pemberian persetujuan atas pemanggilan Notaris sebagai tersangka tetap diperlukan sesungguhnya mudah dipahami oleh orang-orang atau pihak-pihak yang mengerti secara baik dan benar tentang kedudukan dan fungsi Notaris serta akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat : a. Keberadaan dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris adalah terutama dalam rangka pembuatan alat bukti yang berupa akta autentik atas perbuatan, perjanjian dan ketetapan dalam lapangan hukum perdata yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh para pihak; b. Dalam pelaksanaan tugas jabatannya untuk membuat akta autentik, pada pokoknya Notaris hanya mengkonstatir atau merelatir kenyataan yang terjadi dihadapannya yang berupa perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan; c. Apabila Majelis Pemeriksa Notaris menemukan dugaan adanya unsur pidana yang dilakukan oleh terlapor (Notaris), maka Majelis Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas, dan selanjutnya Majelis Pengawas melaporkan adanya dugaan tersebut kepada instansi yang berwenang, sebagimana yang diatur dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 maupun dalam Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 28

Desember 2004 Nomor : M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Bagian Ketiga tentang Tugas Majelis Pengawas. 72 Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dapat ditafsirkan tidak hanya berlaku dalam peradilan pidana saja. Dalam peradilan perdata pun pasal tersebut dapat dipergunakan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Proses peradilan yang dilakukan oleh Hakim sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris tidak hanya dalam lingkup pidana saja, tetapi juga dalam lingkup perdata. Oleh karena itu dalam proses perdata berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undangundang Jabatan Notaris Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berwenang untuk : a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sehubungan belum adanya peraturan pelaksanaan dari Pasal 66 Undangundang Jabatan Notaris khususnya dalam proses beracara perdata jelas merupakan tantangan bagi Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku pengawas yang salah satu kewajibannya adalah melindungi masyarakat atas pelaksanaan jabatan Notaris. Dalam hal ini Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak bisa menolak untuk memproses permohonan persetujuan tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksananya. Penolakan tersebut jelas akan sangat merugikan masyarakat, karena adanya 72 Ibid., halaman 240.

persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagaimana dimaksud Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris sangat dibutuhkan dalam proses peradilan. Oleh karena itu Majelis Pengawas Daerah (MPD) harus bijaksana dalam arti dengan mengingat salah satu tugas kewajibannya adalah melindungi masyarakat, maka seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) menerima permohonan tersebut untuk diproses dengan memperhatikan asas-asas yang ada pada kenotariatan. Apabila ada permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta guna proses peradilan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Majelis Pengawas Daerah, yaitu : 1. Apabila objek persengketaan yang sedang dalam proses peradilan perdata tersebut pada materi atau substansi akta, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum mengijinkan harus meneliti terlebih dahulu, yaitu apakah sudah pernah dikeluarkan salinan akta dari Minuta Akta tersebut. Apabila atas Minuta Akta tersebut sudah pernah dikeluarkan salinannya, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak perlu untuk menyetujui permintaan mengambil fotokopi Minuta Akta. Alasannya karena salinan akta pada dasarnya sebagaimana telah diuraikan di atas sama isinya dengan Minuta Akta. 2. Apabila permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta disebabkan adanya keraguan mengenai salinan akta yang ada, maka sudah seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) mengijinkannya. Keraguan yang dimaksudkan disini adalah keraguan apakah salinan akta isinya sama dengan Minuta Akta, padahal isi salinan akta seharusnya sama persis dengan isi Minuta Akta. 73 Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris disamping memberi wewenang untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dengan seijin Majelis Pengawas Daerah (MPD), juga memberi wewenang untuk memanggil Notaris dalam pemeriksaan sehubungan dengan akta yang dibuatnya (Pasal 66 ayat (1) huruf b). Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pemanggilan Notaris tersebut dapat 73 Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 59.

dimaksudkan memanggil Notaris sebagai saksi yang terkait dengan aktanya, atau sebagai salah satu subjek yang diperiksa. Dalam hal pemanggilan Notaris dimaksudkan sebagai saksi atas akta yang dibuatnya, Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum memberikan ijin harus melihat terlebih dahulu sifat dari akta yang akan dimintakan keterangan dari Notaris pembuat akta itu, yaitu apabila akta tersebut bersifat : 1. Verbaal acte atau ambtelijke acte dapat disebut juga sebagai akta kesaksian dari Notaris selaku Pejabat Umum. Sebagai suatu akta yang merupakan suatu kesaksian dari Notaris, maka Notaris bertanggung jawab sepenuhnya atas isi akta tersebut. Isi verbaal acte kadang belum mampu memberikan gambaran atas suatu peristiwa hukum yang dialami, dilihat atau disaksikan oleh Notaris pembuat akta tersebut. Di samping itu, isi verbaal acte dapat juga tidak bisa dimengerti maksudnya, sehingga masih diperlukan keterangan tambahan. Dalam hal demikian hanya Notaris pembuat verbaal acte tersebut yang dapat memberikan keterangan tambahan yang diperlukan. Oleh karena itu, apabila ada permintaaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris terkait dengan verbaal acte, maka sudah selayaknyalah apabila Majelis Pengawas Daerah (MPD) memberikan persetujuannya. 2. Partij acte atau akta penghadap, dalam partij acte Notaris hanya menuangkan saja apa yang dikehendaki para pihak selaku pengadap ke dalam akta autentik. Dengan perkataan lain bahwa dalam partij acte Notaris hanya merumuskan kemauan para pihak dan selanjutnya menuangkannya ke dalam akta. Notaris dalam partij acte pertanggungjawabannya hanya sebatas pada awal dan akhir akta sedangkan isi akta merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari para pihak dalam akta. 74 Dalam partij acte para pihak tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya terhadap isi akta dengan alasan bahwa yang merumuskan kemauan para pihak adalah Notaris dan selanjutnya Notaris pula yang menuangkannya pada akta, bukan para pihak. Sebelum penandatanganan akta oleh para pihak, saksi-saksi dan Notaris, akta tersebut dibacakan terlebih dahulu oleh Notaris dihadapan mereka. Pembacaan akta oleh Notaris sebelum penandatanganan adalah kewajiban yang harus dilakukan pada peresmian akta (verlijden). Pembacaan akta dapat disimpan yaitu akta tidak dibacakan apabila dikehendaki oleh para pihak bahwa akta tersebut tidak perlu 74 Ibid., halaman 60.

dibacakan. Hal tersebut dijelaskan pada penutup akta bahwa akta ini tidak dibacakan atas kehendak para pihak dan para pihak menyatakan sudah mengetahui isi akta. Adanya pembacaan akta atau tidak dibacakan atas kehendak para pihak dilanjutkan dengan penandatanganan akta, menunjukkan bahwa para pihak menyetujui rumusan kehendaknya yang telah dibuat oleh Notaris dan selanjutnya dituangkan dalam akta. Dengan demikian pertanggungjawaban akta khususnya pada isi akta ada pada para pihak (penghadap). Berkaitan pemanggilan Notaris untuk diminta keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya khususnya partij acte. Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku institusi pemberi persetujuan pemanggilan harus memperhatikan hal-hal tersebut di atas yang antara lain dapat dirinci sebagai berikut : 1. Apabila persengketaan tersebut berkaitan dengan isi akta, misalnya tentang perjanjian atau kesepakatan mereka yang dituangkan dalam akta serta sudah ada salinan aktanya. Majelis Pengawas Daerah dalam hal demikian tidak perlu memberi persetujuan pemanggilan Notaris untuk memberi keterangan tentang materi/isi akta, karena sudah ada salinan aktanya. Kesaksian yang akan diberikan oleh Notaris tidak berbeda dengan apa yang ada pada isi salinan akta. Salinan akta sudah menunjukkan dengan nyata tentang perbuatan hukum para pihak yang dapat berupa kesepakatan atau perjanjian, dan akta autentik termasuk salinannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kecuali apabila akta tersebut memuat hal-hal yang memerlukan kesaksian ahli, maka Notaris dipanggil tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perbuatan hukum yang tertuang dalam akta akan tetapi diminta penjelasannya sebagai ahli yaitu sebagai saksi ahli. Dalam hal demikian Majelis Pengawas Daerah (MPD) memberi persetujuan pemanggilan Notaris sebagai saksi ahli. 2. Apabila persengketaan tersebut terkait dengan bagian akta yang menjadi tanggung jawab dari Notaris selaku pembuat akta, yaitu bagian awal akta atau akhir/penutup akta termasuk peresmian akta. Maka sudah layak Majelis Pengawas Daerah (MPD) menyetujui pemanggilan Notaris untuk menjelaskan hal itu. 3. Apabila pemanggilan Notaris dalam proses peradilan dengan mendudukkan Notaris sebagai pihak tergugat terkait dengan akta yang dibuatnya, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) harus menyetujuinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menghambat jalannya proses peradilan dan Notaris dapat menjawab langsung atas gugatan yang diajukan kepadanya, selanjutnya penilaiannya diserahkan kepada Hakim yang memeriksanya. Persetujuan tersebut juga

dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Notaris dalam pelaksanaan jabatannya dan Notaris tidak kebal hukum. 75 Untuk menghindari adanya pendapat atau setidak-tidaknya kesan dari masyarakat awam mengenai Notaris yang berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 66 Undang-undang tentang Jabatan Notaris maupun dalam peraturan pelaksanaannya seakan-akan memperoleh perlakuan istimewa dihadapan hukum, maka : a. Anggota Majelis Pengawas harus dipilih dari orang-orang yang profesional, artinya menguasai tentang hal ikhwal yang berkenaan dan/atau berhubungan dengan tugas jabatannya serta integritas moralnya tidak boleh diragukan; b. Dalam pelaksanaan tugasnya harus benar-benar objektif dan sesuai dengan hukum yang berlaku; c. Mampu menentukan skala prioritas secara tepat atas pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dihadapi. 76 75 Ibid., halaman 60-61. 76 Ibid., halaman 61.